Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf Tutorial Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Tutorial Klinik Stroke Non Hemoragik dan Atrial Fibrilasi Oleh Annisa Ichsani Tamaya / 1010015005 Hafied Himawan / 09 Ira Damayanti / 09 Pembimbing dr. Susilo Siswonoto, Sp. S Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf Tutorial KlinikFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Tutorial KlinikStroke Non Hemoragik dan Atrial Fibrilasi
DefinisiFibrilasi atrium (atrial fibrillation/AF) merupakan suatu gangguan irama
jantung yang tidak teratur (irregularly irregular) dan pada rekaman EKG ditandai oleh
perubahan gelombang P menjadi gelombang osilasi cepat atau fibrilasi dengan berbagai
variasi baik bentuk, ukuran dan waktunya (Fuster, et al., 2011; Karo – Karo, et al.,
2008; Firdaus, 2007). Klasifikasi
Klasifikasi AF yang sederhana dan berdasarkan keadaan klinis yang relevan (Firdaus,
2007; Fuster, et al., 2011) :
1. AF paroksismal merupakan AF yang timbul dan hilang secara spontan. Umumnya < 7 hari
(sebagian besar < 24 jam) tanpa intervensi.
2. AF persisten merupakan AF yang tidak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama
sinus. Biasanya > 7 hari, sehingga diperlukan intervensi farmakologik ataupun non
farmakologik.
3. AF permanen merupakan AF yang tidak dapat dikonversi menjadi irama sinus meskipun
telah dilakukan terapi farmakologik ataupun direct-current cardioversion.
4. AF rekuren merupakan AF yang terjadi sebanyak 2 kali atau lebih episode. AF
paroksismal dan persisten dapat diklasifikasikan kedalam AF rekuren jika memenuhi
kriteria tersebut.
16
Gambar 2.16. Pola fibrilasi atrium (atrial fibrillation / AF). 1. Episode AF berlangsung selama < 7 hari atau (sebagian besar selama < 24 jam); 2, Episode AF biasanya > 7 hari; 3, Kardioversi gagal untuk menghentikan AF; dan 4, AF paroksismal dan persisten dapat menjadi rekuren. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
Gambar 2.17. Elektrokardiogram menunjukkan AF dengan kecepatan respon ventrikel terkontrol. Gelombang P digantikan oleh gelombang fibrilasi. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
1.1.1. Patogenesis
1.1.1.1. Mekanisme Dasar AF
Terjadinya AF sering bersifat kompleks dan diperlukan beberapa syarat untuk dapat
berkembang menjadi AF, seperti pencetus (trigger) dan substrat anatomis. Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya AF yaitu, automatic focus theory (fokus
17
ektopik) dan multiple reentrant wavelets hypotesis. Mekanisme ini pun tidak semata-mata
berlangsung secara terpisah dan mungkin saja dapat terjadi pada pasien yang sama (Fuster, et
al., 2011)
a. Automatic Focus Theory (fokus ektopik)
Teori ini merupakan teori awal yang menjelaskan tentang proses aktivasi atrium yang
cepat dan ireguler selama AF, khususnya pada pasien dengan AF paroksismal (Neubeger,
2006). Teori ini menjelaskan bahwa fokus awal (inisial) terjadinya AF paling sering berada di
regio vena pulmonalis. Selain itu fokus lain juga telah ditemukan yaitu pada vena kava
superior, ligament of Marshall, left posterior free wall, krista terminalis, dan sinus coroner
(Fuster, et al., 2011). Fokus ini bukan hanya mampu menginisiasi tetapi juga mampu untuk
mengubah AF menjadi permanen (Neubeger, 2006). Terdapat 3 mekanisme (gambar 2.13)
yang mendasari terjadinya fokus ektopik, yakni peningkatan automatisitas, early
afterdepolarizations (AEDs) dan delayed afterdepolarizations (DADs).
Gambar 2.18. Mekanisme fibrilasi atrium yang disebabkan oleh fokus ektopik. EADs, early afterdepolarization; DADs, delayed afterdepolarizations; RyR, ryanodine receptor; dan AP, action potential. Dikutip dari (Iwasaki, et al., 2011).
Setelah fase repolarisasi, potensial aksi sel atrium yang normal akan berada pada fase
istirahat (fase 4) oleh karena masuknya ion-ion K+. Sel tersebut sebenarnya mampu bertindak
sebagai pacemaker (pencetus potensial aksi) bahkan saat sel berada pada fase istirahat
(dikenal sebagai automatisitas). Kondisi ini tidak dapat terjadi jika jumlah ion K+ yang masuk
ke dalam sel lebih banyak daripada aktivitas pacemaker sehingga mampu meredam terjadinya
automatisitas. Namun, jika terjadi ketidakseimbangan antara keduanya, seperti meningkatnya
18
kinerja sel atrium sebagai pacemaker dan berkurangnya jumlah ion K+ yang masuk ke dalam
sel atrium menyebabkan meningkatnya automatisitas (Iwasaki, et al., 2011).
Selama fase repolarisasi, tidak terjadi aliran masuk ion Ca2+ ke dalam sel. Namun pada
early afterdepolarizations (EADs), terjadi depolarisasi membran sel abnormal selama fase
repolarisasi. Faktor utama yang menyebabkan EADs adalah memanjangnya durasi potensial
aksi sehingga mengaktivasi kembali arus ion Ca2+ yang sebelumnya inaktif dan selanjutnya
menyebabkan masuknya ion-ion Ca2+ ke dalam sel (Iwasaki, et al., 2011).
Delayed afterdepolarization (DADs) disebabkan oleh pelepasan abnormal ion Ca2+
dari tempat penyimpanannya di retikulum sarkoplasma melalui ryanodine receptors (RyRs) –
kanal khusus ion Ca2+- yang dalam kondisi normal, kanal ini tertutup selama diastol, namun
kanal ini dapat terbuka oleh karena kerusakan ryanodine receptors (RyRs) dan kelebihan
simpanan ion Ca2+ di retikulum sarkoplasma. Ketika 1 ion Ca2+ dilepaskan selama diastol,
maka ion tersebut akan digantikan dengan masuknya 3 ion Na2+ yag berasal dari ekstraseluler
melalui Na+-Ca2+ exchanger sehingga dimulai kembali fase depolarisasi (Iwasaki, et al.,
2011).
b. Reentry
Suatu mekanisme sirkuit yang mampu mempertahankan dirinya sendiri atau yang
dikenal sebagai reentry ini pertama kali dijelaskan oleh Mayer (1906) dan selanjutnya
dikembangkan lebih lanjut oleh Mines, Garrey dan Lewis (Neubeger, 2006). Hypothesis ini
menjelaskan bahwa jumlah wavelets yang muncul pada AF bergantung pada periode refrakter,
massa, dan kecepatan konduksi berbagai tempat yang berbeda di atrium (gambar 2.19). Massa
atrium yang besar dengan periode refrakter pendek serta lambatnya konduksi impuls akan
meningkatkan jumlah wavelets (Fuster, et al., 2011).
Gambar 2.19. Prinsip mekanisme elektrofisiologi AF. A, Aktivasi fokal. Fokus pencetus (ditandai dengan gambar bintang) sering terletak di regio vena-vena pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan
19
menggambarkan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelets reentry. B, Multiple-wavelets reentry (ditandai dengan tanda panah) secara acak masuk kembali (reenter) ke dalam jaringan yang sebelumnya diaktivasi oleh wavelets yang sama atau wavelets lain. Rute perjalanan wavelets bervariasi. LA, Left atrium; PV, Pulmonary vein; ICV, Inferior vena cava; SCV, Superior vena cava; RA, Right atrium. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
1.1.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi (Fuster, et al., 2011).
1. Abnormalitas elektrofisiologi
a. Peningkatan automatisitas (focal AF)
b. Abnormalitas system konduksi (reentry)
2. Peningkatan tekanan atrium
a. Penyakit katup mitral atau trikuspid
b. Penyakit miokardium (primer atau sekunder, menimbulkan disfungsi sistolik
atau diastolik)
c. Abnormalitas katup semilunar (menyebabkan hipertrofi ventrikel)
d. Hipertensi pulmonal atau sistemik
e. Tumor atau trombus intrakardiak
3. Iskemia Atrium
a. Coronary artery disease (CAD)
4. Penyakit atrium infiltratif atau inflamasi
a. Perikarditis
b. Amyloidosis
c. Myocarditis
d. Perubahan fibrotik atrium yang diinduksi usia
5. Obat-obatan
a. Alkohol
b. kafein
6. Gangguan endokrin
a. Hyperthyroidism
b. Pheochromocytoma
7. Perubahan pada tonus otonom
a. Peningkatan aktivitas parasimpatis
b. Peningkatan aktivitas simpatis
8. Penyakit metastatik atau primer pada atau berdekatan dengan dinding atrium
9. Postoperatif
20
a. Jantung, paru atau esofagus
10. Penyakit jantung bawaan
11. Neurogenik
a. Perdarahan subarachnoid
b. Nonhemorrhagic, major stroke
12. Idiopatik (lone AF)
1.1.3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan AF berbeda-beda, dan dapat terjadi dengan ada
atau tidak adanya penyakit jantung yang ditemukan. Episode AF dapat sembuh dengan
sendirinya (self-limited) atau memerlukan intervensi untuk menghentikannya. Dari waktu ke
waktu, pola AF dapat didefinisikan dalam istilah jumlah episode, durasi, frekuensi, onset,
pemicu, dan respon terhadap terapi, tetapi gambaran ini tidak mungkin dilihat ketika AF
pertama kalinya ditemui pada pasien (Fuster, et al., 2011).
AF dapat dikenali dengan seketika sebagai suatu perasaan palpitasi (berdebar-debar)
atau sebagai konsekuensi tromboembolik ataupun hemodinamiknya. Namun dapat juga
mengalami periode asimtomatik yang durasinya tidak diketahui. Sehingga diperlukan
rekamanan EKG portabel (ambulatory ECG recordings). Pasien dengan AF yang telah
menjadi permanen sering memperhatikan bahwa palpitasi berkurang seiring dengan
berjalannya waktu dan dapat menjadi asimtomatik. Hal ini sering terjadi pada usia lanjut.
Beberapa pasien mengalami gejala hanya selama terjadi AF paroksismal atau hanya sebentar
– sebentar saja selama AF berlangsung (Fuster, et al., 2011).
Sebagian besar pasien mengeluh palpitasi, nyeri dada, sesak napas, rasa lelah
(fatigue), lightheadedness, atau pingsan (syncope). Polyuria dapat dihubungkan dengan
pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP). AF yang dihubungkan dengan respon ventrikel
cepat yang berkelanjutan dapat menimbulkan kardiomiopati yang diperantarai oleh takikardi
(tachycardia-mediated cardiomyopathy), terutama pada pasien yang tidak sadar terhadap AF
yang dialaminya (Fuster, et al., 2011).
Secara umum telah diketahui bahwa AF merupakan suatu faktor predisposisi
terjadinya komplikasi tromboemboli yang biasanya disebabkan oleh statis aliran darah dan
kontraksi atrium yang lemah. Meskipun konsep ini hampir pasti benar, resiko tromboemboli
pada pasien MS juga dipengaruhi oleh hiperkoagulasi yang statis. Hiperkoagulasi yang statis
ini membaik setelah tindakan BMV dan juga dengan mengontrol denyut jantung (Carabello,
2005). Stroke merupakan salah satu gangguan fungsional yang berhubungan dengan AF, data
21
menyatakan bahwa kualitas hidup akan terganggu pada pasien AF dibandingkan dengan
pasien yang berusia sama namun tanpa disertai fibrilasi atrium (Fuster, et al., 2011) .
1.1.4. Diagnosis
Evaluasi klinis pada pasien AF berdasarkan ACC/AHA/ESC Practice Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation, 2006.
Evaluasi minimal
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, untuk menentukan :
a. Adanya AF dan gejala alami yang berhubungan dengan AF
b. Tipe AF (episode pertama, paroksismal, persisten, atau permanen)
c. Onset serangan gejala awal atau tanggal ditemukannya AF
d. Frekuensi, durasi, faktor presipitasi, dan cara AF berhenti
e. Respon terhadap agen farmakologi yang telah diberikan
f. Adanya penyakit jantung yang mendasari atau kondisi yang bersifat reversible lain
(hyperthyroidism atau konsumsi alkohol)
2. Elektrokardiogram (EKG), untuk mengidentifikasi :
a. Irama (membuktikan AF)
b. Hipertrofi ventrikel kiri
c. Durasi dan morfologi gelombang P atau gelombang fibrilasi
d. Aritmia atrium yang lain
e. Untuk mengukur R-R, QRS, dan QT intervals.
3. Transthoracic echocardiogram, untuk mengidentifikasi :
a. Penyakit jantung katup
b. Ukuran atrium kiri dan atrium
c. Ukuran dan fungsi ventrikel kiri
d. Tekanan ventrikel kanan puncak (hipertensi pulmonal)
e. Hipertrofi ventrikel kiri
f. Trombus atrium kiri (sensitivitas rendah)
g. Penyakit perikardial
4. Tes darah, untuk mengetahui fungsi thyroid, ginjal, dan hati
Tes tambahan
Satu atau beberapa tes dapat diperlukan. 22
1. Tes berjalan 6 menit (Six-minute walk test)
a. Jika kecukupan rate control masih diragukan
2. Tes latihan (exercise test)
a. Jika kecukupan rate control masih diragukan (AF permanen)
b. Untuk menyingkirkan iskemia sebelum pengobatan pada pasien dengan obat
antiaritmia tipe IC
3. Holter monitoring or event recording
a. Jika tipe aritmia masih belum pasti
b. Untuk mengevaluasi rate control
4. Transesophageal echocardiography
a. Untuk mengidentifikasi thrombus atrium kiri) di LA appendage
b. Untuk memandu kardioversi
5. Mempelajari elektrofisiologi
a. Untuk mengklarifikasi mekanisme takikardi kompleks QRS lebar
b. Untuk mencari tempat pengobatan dengan ablasi atau modifikasi/blok konduksi AV
6. Radiografi dada, untuk mengevaluasi :
a. Parenkim paru, ketika penemuan klinis menyatakan abnormalitas
b. Vaskulatur pulmonal, ketika penemuan klinis dinyatakan abnormal
1.1.5. Penatalaksanaan
Berdasarkan ACC/AHA/ESC: Practice Guidelines for the Management of Patients
With Atrial Fibrillation, 2006 menyatakan bahwa penatalaksanan AF memerlukan
pengetahuan tentang pola AF (paroksismal, persisten atau permanen), kondisi yang mendasari
dan keputusan untuk memperbaiki serta mempertahankan irama sinus (sinus rhythm),
mengendalikan laju denyut ventrikel (rate control) dan terapi antitrombotik (Fuster, et al.,
2011). Berikunya akan dibahas tentang algoritma tatalaksana pada masing – masing tipe AF.
23
a. Fibrilasi atrium yang terdeteksi pertama kali
Gambar 2.22. Manajemen farmakologis pasien dengan fibrilasi atrium yang terdeteksi pertama kali. *Lihat gambar 2.24. HF, Heart Failure. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011)
b. Fibrilasi Atrium Paroksismal Rekuren
Gambar 2.23. Manajemen farmakologis pada pasien dengan AF paroksismal rekuren. *Lihat Gambar 2.24. AAD, antiaarrhythmic drug. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
c. Fibrilasi Atrium Persisten Rekuren
24
Gambar 2.24. Terapi obat antiaritmia untuk mempertahankan irama sinus (sinus rhythm) pada pasien dengan AF paroksismal dan persiten rekuren. Didalam tiap kotak, obat didaftar secara alfabetik dan bukan diurut sesuai penggunaan yang diusulkan. Aliran kebawah mengindikasikan urutan pilihan terapi sesuai kondisi masing-masing. Dari kiri ke kanan, penyakit jantung semakin serius, dan pemilihan terapi pada pasien dengan kondisi multipel bergantung pada kondsi yang paling serius. LVH, left ventricular hypertrophy. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
Gambar 2.25. Manajemen farmakologi pada pasien dengan AF persisten dan permanen rekuren. Awali terapi pengobatan sebelum kardioversi untuk mengurangi kemungkinan terjadinya AF rekuren. *Lihat Gambar 2.24. Dikutip dari (Fuster, et al., 2011).
25
HUBUNGAN STROKE NON HEMORAGIK DAN ATRIAL FIBRILASI
Stroke non hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang dapat terjadi ketika
pembuluh darah tersumbar dan suplai darah ke otak berkurang. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan otak akibat kurangnya suplai oksigen dan nutrisi. . Secara umum,
stroke ditandai dengan kelemahan atau kesemutan tiba-tiba pada wajah, tangan dan kaki
yang biasanya dialami 1 sisi tubuh. Selain itu terdapat gejala lain seperti disarthia, kesulitan
melihat pada salah satu atau kedua mata, kesulitan berjalan, vertigo, nyeri kepala dan
hilangnya kesadaran(Avezum, et al., 2012).
Terdapat beberapa factor yang meningkatkan terjadinya stroke seperti obesitas,
diabetes mellitus, merokok dan penyakit kardiovaskular. Salah satu penyakit kardiovaskular
yang dapat meningkatkan resiko stroke secara signifikan adalah atrial fibrilasi yaitu suatu
kelainan irama jantung (Pfizer, 2014). Sekitar 15 % stroke berkaitan dengan atril fibrilasi.
Atrial fibrilasi meningkatkan resiko terjadinya stroke non hemoragik lima kali lebih tinggi
dibandingkan dengan irama jantung yang normal (Avezum, et al., 2012). Stroke yang
berkaitan dengan atrial fibrilasi lebih berat dibandingkan dengan stroke tanpa atrial fibrilasi
(Goto, et al., 2012).
Atrial fibrilasi dapat menyebabkan stroke non hemoragik karena irama jantung
abnormal menyebabkan aliran darah yang statis pada atrium kiri sehingga mudah terjadi
pembentukkan thromboemboli. Umumnya thromboemboli yang timbul pada keadaan ini lebih
besar sehingga perfusi jaringan ke otak akan lebih terganggu. Hal ini akan mengakibatkan
resiko kematian lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, kecacatan yang lebih
besar dan meningkatnya resiko rekurensi stroke (Takashi, 2006).
Prinsip terapi pada stroke non hemoragik dengan atrial fibrilasi adalah mencegah terjadinya
pembentukkan emboli dan memperbaiki irama jantung (Pfizer, 2014). Obat tambahan yang
sering diresepkan umumnya adalah obat untuk menurunkan viskositas darah seperti
antikoagulan atau antiplatelet. Selain obat-obat neuroprotektan seperti citicolin dan anti
aritmia seperti Beta blocker, Calcium Channel Blocker, digitalis, amiodaron dan propafenon.
(Avezum, et al., 2012).
Pemberian antikoagulan, antiplatelet atau trombolitik bertujuan untuk menghilangkan emboli
dan juga mencegah pembentukkannya kembali. Antikoagulan yang biasa digunakan seperti e ,
heparin, ximelagatran dan dabigatran. Sedangkan antiplatelet yang biasa digunakan adalah
clopidogrel, dipyridamole, indobufen, dan trifusal. Trombolitik yang biasa digunakan adalah
26
recombinant tissue plasminogen activator, streptokinase, urokinase dan alteplase(Lindsay,
Gubitz, & Phillips, 2013).
27
Daftar Pustaka
Aliah, A., Kuswara, F., & A, L. (2005). Gambaran Umum tentang gangguan peredaran
darah otak (GPDO). Yogyakarta: Gajah mada University press.
Avezum, Á., Csiba, L., -Zuelgaray, J. G., Hankey, G. J., Tichy, T. H., Hu, D., et al. (2012).
Atrial Fibrillation-Related Stroke: An Avoidable Burden . II.
Firdaus, I. (2007). Fibrilasi Atrium Pada Penyakit Hipertiroidisme: Patogenesis dan
Tatalaksana. Jurnal Kardiologi Indonesia, 28:357-386.
Fuster, V., Ryden, L. E., Cannom, D. S., Crijns, H. J., Curtis, A. B., Ellenbogen, K. A., et al.
(2011). 2011 ACCF/AHA/HRS Focused Updates Incorporated Into the
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the Management of patients With Atrial
Fibrillation. Journal of the American College of Cardiology, e101-e198.
Goto, S., Hu, H. -H., Quek, D., Sim, K. i.-H., Tse, H. F., Zhang, S., et al. (2012). Atrial
Fibrillation-Related Stroke across the Asia-Pacific Region: A Preventable Problem .
united state: Bayer HealthCare Pharmaceuticals.
Iwasaki, Y.-k., Nishida, K., Kato, T., & Nattel, S. (2011). Atrial Fibrillation
Pathophysiology : Implications for Management. Circulation, 124: 2264-2274.
Karo - Karo, S., Rahajoe, S., & Sulistyo, d. S. (2008). Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia ( PERKI ).
Lindsay, M., Gubitz, G., & Phillips, B. M. (2013). CANADIAN BEST PRACTICE
RECOMMENDATIONS FOR STROKE CARE . Canadian Stroke Network , 31-38.
Mischbach, J. (2007). Guideline Stroke2007 (Edisi Revisi). PERDOSI .Neuberger, H.-R.
(2006). The Effects of Chronic Atrial Dilatation on Atrial Electrophysiology and