TUGAS SYOK KARDIOGENIK, SYOK SEPTIK, DAN SYOK NEUROGENIK, SERTA PENATALAKSANAANNYA PEMBIMBING : dr. Oke Viska, Sp.P DISUSUN OLEH : Meita Kusumo Putri, S. Ked NIM : 030.10.174 0
TUGAS
SYOK KARDIOGENIK, SYOK SEPTIK, DAN SYOK
NEUROGENIK, SERTA PENATALAKSANAANNYA
PEMBIMBING :
dr. Oke Viska, Sp.P
DISUSUN OLEH :
Meita Kusumo Putri, S. Ked
NIM : 030.10.174
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 26 OKTOBER 2014 – 3 JANUARI 2015
0
I. DEFINISI SYOK
Syok adalah suatu sindroma klinis yang terjadi karena adanya gangguan sistem
sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya perfusi jaringan dan hipoksia sel serta
disfungsi multipel organ.2 Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi serta oksigen
sistemik yang tidak adekuat tidak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel, dimana
kondisi ini mempunyai karakteristik, berupa ketergantungan suplai oksigen, kekurangan
oksigen, dan asidosis jaringan, sehingga terjadi metabolisme anaerob, dan berakhir
dengan kegagalan fungsi organ vital, serta kematian.3
II. SYOK KARDIOGENIK
1) Definisi
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan dimana perfusi jaringan tidak adekuat
dan mengakibatkan hipoksia jaringan akibat penurunan curah jantung sistemik pada
keadaan volume intravaskular yang cukup. Kriteria hemodinamik antara lain adanya
hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg sedikitnya 30 menit) dan adanya penurunan
cardiac index (< 2.2 L/menit/m2) dengan peningkatan pulmonary capillary wedge pressure >
18 mmHg. Kegagalan sirkulasi sistemik ini terjadi akibat adanya disfungsi jantung.
2) Etiologi
Penyebab paling umum terjadinya syok kardiogenik adalah infark miokard akut yang
luas, meskipun infark kecil pada penderita dengan gangguan fungsi ventrikel kiri
sebelumnya juga dapat mencetuskan terjadinya syok. Syok kardiogenik juga dapat
disebabkan oleh komplikasi mekanik; seperti regurgitasi mitral akut, ruptur septum
intraventrikular, atau ruptur free wall; maupun oleh infark ventrikel kanan luas. Penyebab
lain syok kardiogenik termasuk miokarditis, kardiomiopati stadium akhir, kontusio miokard,
syok sepsis dengan depresi miokard berat, disfungsi miokard setelah bypass kardiopulmonal
yang berkepanjangan, penyakit jantung katup, dan kardiomiopati obstruktif hipertrofi.1,
1
3) Patofisiologi
2
4) Tatalaksana
3
a. Pasang oksigen 100% NRM
b. Pantau :
1) Tanda vital, meliputi :
- Tekanan darah
- Nadi
- Frekuensi pernapasan
- Suhu
- Auskultasi bila terdengar ronkhi basah diseluruh lapang paru
waspadai oedem paru
2) Monitoring EKG
4
3) Pasang akses IV
4) Pasang urin kateter untuk pantau urin output
5) Pasang pulse oximetri
c. Apabila tidak ada tanda-tanda oedem paru, dapat diberikan resusitasi cairan.
Pada kasus-kasus gawat, pemberian normal saline 2-4 ml/kgBB (diawali
dengan 150 ml) dalam waktu 20 menit dapat dicoba (fluid challenge test).
Apabila infus awal memberikan memberikan dampak perbaikan seperti
meningkatnya tekanan darah dan menurunnya denyut jantung, maka
pemberian cairan dapat diulangi lagi.
d. Kenali penyebab shock kardiogenik sesegera mungkin agar upaya
pengobatan yang tepat, cepat, di saat yang kritis dapat diberikan.
1) Data subjektif faktor resiko kardiovaskular, riwayat sakit jantung,
stroke, atau penyakit ginjal. Perlu diketahui bahwa penyebab terbesar syok
kardiogenik adalah akibat sindroma koroner akut, sehingga pengenalan
awal gejala sindroma koroner akut, yaitu berupa riwayat nyeri dada khas
angina penting untuk diketahui.
2) Data objektif Meliputi :
a) Pemeriksaan fisik :
Tanda-tanda hipoperfusi :
- Peningkatan tahanan vaskular perifer : kulit pucat dan
dingin, oligouria
- Peningkatan tonus saraf adrenergik : takikardia untuk
meningkatan curah jantung, keringat banyak.
- Hipoperfusi organ vital : iskemia miokardium ditandai
dengan nyeri dada, dan sesak napas; insufisiensi serebral
ditandai dengan perubahan status mental.
Tanda-tanda kardiomegali, suara gallop, atau bising jantung.
b) Pemeriksaan penunjang
Pada foto polos dada menunjukan adanya kardiomegali dan/atau
oedem paru.
Pada pemeriksaan EKG menunjukan gambaran penyakit jantung
koroner.
5
e. Apabila data subjektif dan objektif mengarah pada syok kardiogenik, maka
farmakoterapi yang diberikan tergantung pada derajat hipotensi, yaitu
apabila:
1) Tekanan darah sistolik < 70 mmHg disertai gejala dan tanda syok
- Berikan norephinephrine 0,5 – 30 mcg/menit IV
- Bila ada perbaikan dan tekanan darah naik antara 70 – 100 mmHg,
norephinephrine segera diganti dopamine 2 – 20 mcg/kgBB/menit
dengan tetap memperhatikan tekanan darah.
- Bila syok kardiogenik terjadi akibat sindroma koroner akut, harus
dipikirkan angiografi-intervensi (percutaneous coronary intervention)
dan pemasangan IABP (Intra-aortic balloon counterpulsation) bila awal
gejala muncul dalam waktu 12-24 jam, dan dipikirkan kemungkinan
bedah pintas koroner.
2) Tekanan darah sistolik 70 – 100 mmHg disertai gejala dan tanda syok
- Berikan dopamine 2 – 20 mcg/kgBB/menit IV. Dopamine merupakan
obat pilihan untama sampai tanda hipoperfusi berkurang atau hilang.
Bila dosis tinggi dopamine belum memberikan perbaikan, dapat diganti
norephinephrine dengan dosis disesuaikan.
- Dobutamine boleh dikombinasikan dengan dopamine dan tidak boleh
diberikan sebagai obat tunggal pada tekanan darah < 90 mmHg yang
disertai gejala hipoperfusi, namun dapat mulai diberikan apabila
hipoperfusi sudah menghilang, dengan dosis 2 – 20 mcg/kgBB/menit
IV.
- Apabila tekanan darah sistolik telah mencapai > 100 mmHg, dapat
diberikan nitrogliserin 10 – 20 mcg/min IV. Setelah tekanan darah
sistolik telah mencapai >100 mmHg, dapat dilakukan pemeriksaan
lanjutan untuk menegakkan diagnostik, seperti pulmonary artery
catheter, echocardiography, angiography, ataupun melakukan tindakan
terapeutik, berupa pemasangan intraaortic balloon pump (IABP), atau
tindakan reperfusi/reperfusi.
III. SYOK SEPTIK
1. Definisi
6
Syok septik adalah kegagalan sistem sirkulasi yang mengakibatkan tidak
adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan yang disebabkan oleh adanya sistemik
inflamatory respons terhadap infeksi.
- Sistemik inflamatory respons ditandai dengan adanya 2 atau lebih dari gejala :
a) Temperatur >38°C atau <36°C
b) Heart rate >90x/menit
c) Frekuensi napas >20x/menit atau PaCO2 <4,3 kPa
d) Leukosit >12.000 sel/mm3 atau <4.000 sel/mm3 atau >10% bentuk imatur.
- Kegagalan sistem sirkulasi ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik <90
mmHg, atau turun >40 mmHg dari tekanan basal, atau MAP < 70 mmHg),
dan/atau hiperlaktatemia (laktat serum > 4 mmol/L).
2. Etiologi
Syok sepsis paling sering terjadi pada pasien dengan critically ill, terutama pada
pasien yang mengalami perawatan di ICU. Penyebab tersering syok sepsis adalah
pneumonia, infeksi intraabdomen dan infeksi saluran kemih.
3. Patofisiologi
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri,
dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan
menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu
sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi
pada sepsis merupakan proses homeostasis, dimana terjadi keseimbangan antara
proses proinflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses
inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi
tersebut. Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan
homeostasis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang berifat destruktif. Keadaan tersebut akan
menimbulkaan gangguan pada tingkat seluler pada berbagai organ.
Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan disfungsi endotel,
vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume
darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain yang juga
berperan adalah disfungsi miokard akibat oengaruh berbagai mediator sehingga
terjadi penurunan curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan
syok pada sepsis.
7
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptif akan menyebabkan gangguan
fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gangguan organ multipel
(MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler
(termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat
hipoperfusi, iskemia reperfusi dan mikrotrombus.
4. Tatalaksana
Early goal directed teraphy (EGDR) pada pasien syok septik adalah suatu
strategi komprehensif untuk mengevaluasi pasien syok septik terdiri dari beberapa
tugas yang harus dimulai sejak awal dengan cepat, dan harus lengkap dalam 6 jam
pertama setelah timbulnya sepsis berat ataupun syok septik. Early goal directed
teraphy terdiri dari resusitasi cairan, pemberian antibiotika, pemberian
vasopressor, mengukur saturasi oksigen vena sentral, tranfusi PRC, pemberian
inotropik, dan ventilasi mekanik yang dapat dilakukan sejak awal sepsis ditemukan
dan sebelum pasien masuk ruang terapi intensif, karena jika resusitasi tertunda
sampai terjadi disfungsi organ, maka segala hal yang dilakukan untuk
meningkatkan kadar oksigen sel akan menjadi tidak ada gunanya. Berikut
merupakan protokol EGDT :
8
1. Resusitasi cairan
Pasien dengan syok septik mengalami sirkulasi arteri yang tidak efektif
sehingga perfusi jaringan menjadi tidak baik. Hal ini disebabkan oleh vasodilatasi
yang berhubungan dengan infeksi maupun cardiac output yang terganggu. Perfusi
yang buruk menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan global, yang berhubungan
dengan meningkatnya kadar laktat serum.8, 11
Resusitasi sepsis tahap awal adalah pemberian cairan kristaloid 20 ml/kg
secepatnya sebagai bolus pada kasus hipovolemia. Definisi bolus cairan harus
memenuhi persyaratan berupa tipe cairan yang diberikan kristaloid ataupun koloid,
waktu pemberian harus cepat, ada tujuan akhir yang ingin dicapai. Tanda-tanda
kelebihan cairan saat resusitasi harus diperhatikan seperti edema periorbita,
ekstremitas, rales, dan kesulitan bernapas. Monitoring yang paling obyektif adalah
dengan memperhatikan CVP. Nilai normal CVP adalah 8-12 mmHg. Koloid yang
ekuivalen dapat juga diberikan dengan dosis 0,2 - 0,3 g/kgbb tergantung jenis
koloid. Resusitasi cairan harus diberikan sedini mungkin, dan kebutuhan
9
cairan yang diperlukan tidak mudah untuk ditentukan, sehingga
pengulangan pemberian perlu dilakukan dan dilakukan
monitoring dengan pemasangan CVP.
2. Pemberian antibiotik
Saat sepsis berat telah teridentifikasi, antibiotik harus diberikan sedini
mungkin untuk mengobati infeksi yang mendasari. Antibiotik yang diberikan
adalah kombinasi antara antibiotik untuk gram positif dan negatif, serta didasari
oleh pola kuman di rumah sakit maupun di masyarakat. Sebelum ada hasil biakan
daerah dan resistensi, pasien diberikan antibiotik spektrum luas, tetapi jika telah
ada hasil biakan daerah, maka antibiotik harus disesuaikan sesegera mungkin untuk
mencegah terjadinya resistensi dan pemborosan. Pemberian antibiotik harus selalu
dinilai dalam waktu 48-72 jam.
3. Pemberian vasopressor
Jika pemberian bolus cairan gagal untuk mempertahankan perfusi organ dan
tekanan arteri yang adekuat, maka agen vasopressor harus segera diberikan untuk
mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg.
Dopamin ataupun norepinefrin yang diberikan melalui kateter vena sentral
sesegera mungkin adalah pilihan utama agen vasopressor untuk mengkoreksi
hipotensi pada syok septik. Dopamin merupakan prekursor alami norepinefrin dan
epinefrin serta memiliki beberapa efek farmakologi yang tergantung dosis.
Dopamin meningkatkan MAP dengan cara meningkatkan cardiac index dengan
efek resistensi vaskuler sistemik yang minimal. Peningkatan dbsejbd!joefy akibat
meningkatnya isi sekuncup dan meningkatnya detak jantung. Meskipun demikian
dopamin dapat mengurangi pH, hal ini dihubungkan dengan berkurangnya aliran
darah ke mukosa gaster, sehingga pCO2 gaster meningkat.16 Norepinefrin adalah
agonis α adrenergik yang poten. Norepinefrin dapat meningkatkan resistensi
vaskuler sistemik karena memiliki efek vasokonstriksi, dengan perubahan minimal
pada detak jantung dan cardiac output. Norepinefrin merupakan vasopressor ideal
pada syok hangat, dimana cardiac output normal atau meningkat, tapi disertai
hipotensi dan takikardi, dengan ekstremitas hangat. Dosis norepinefrin dapat
4. Pengukuran saturasi oksigen vena sentral
Saturasi oksigen vena sentral yang diukur pada vena cava (ScvO2)
berhubungan dengan penghantaran oksigen, dan dapat digunakan sebagai standar
10
pengukuran yang reliable untuk penghantaran oksigen jaringan yang adekuat
selama resusitasi. Kadar ScvO2 yang ditargetkan adalah > 70 %. Angka 70% ini
berasal dari jumlah oksigen yang kembali ke paru, karena sejumlah 30% telah
diekstraksi oleh jaringan. Meningkatnya pengambila oksigen, atau menurunnya
saturasi vena sentral (ScvO2) merupakan salah satu parameter yang menunjukkan
bahwa telah terjadi suatu mekanisme kompensasi untuk mengatasi
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen
jaringan.
5. Transfusi packed red cell
Salah satu kunci tatalaksana EGDT adalah menjaga saturasi oksigen vena
sentral agar mencapai target. Jika pasien dengan hipovolemia dan anemia, dengan
kadar hematokrit kurang dari 30% dari volume darah, diberikan tranfusi sel darah
merah yang dimampatkan. Hal ini memiliki dua keuntungan yaitu meningkatkan
penghantaran oksigen ke jaringan yang hipoksia, dan menjaga tekanan vena sentral
≥8 mmHg untuk jangka waktu yang lebih lama, dibandingkan dengan hanya
pemberian cairan saja. Meskipun penyebab takikardi pada pasien sepsis mungkin
multifaktorial, terjadinya penurunan denyut jantung dengan resusitasi cairan sering
merupakan pertanda membaiknya pengisian intravaskuler.
6. Pemberian inotropik
Pada EGDT, dobutamin direkomendasikan jika didapatkan adanya hipoperfusi
jaringan (ScvO2 < 70%), dengan syarat CVP, hematokrit dan MAP telah dikoreksi
terlebih dahulu dan mencapai nilai normal. Pada beberapa kasus, cardiac output
sendiri dapat berkurang karena sepsis yang menginduksi disfungsi kardia. Pada
kasus ini diberikan dobutamin (dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 20
μg/kg/menit) untuk meningkatkan penghantaran oksigen ke perifer dan mencegah
disfungsi organ lebih jauh yang disebabkan hipoperfusi dan iskemia. Jik pemberian
dobutamin menyebabkan terjadinya hipotensi, disarankan penggunaan norepinefrin
untuk melawan efek vasodilatasi dobutamin.
7. Sasaran ventilasi mekanik
Penilaian awal dari jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing) sangat
penting pada pasien syok septik. Suplementasi oksigen sebaiknya diberikan,
bahkan intubasi dini dan penggunaan ventilasi mekanik sebaiknya
dipertimbangkan sejak awal terutama pada kasus dengan peningkatan usaha napas/
sesak napas, hipotensi menetap, ataupun perfusi perifer yang buruk.
11
IV. SYOK NEUROGENIK
1. Definisi
Syok neurogenik merupakan suatu kondisi kegagalan sistem sirkulasi akibat
kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak
di seluruh tubuh, sehingga terjadi hipotensi dan darah pada pembuluh tampung
(capacitance vessels). Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini
diakibatkan oleh cedera pada sistem saraf
2. Etiologi
Syok neurogenik terjadi pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis,
terutama pada regio servikal dan thorakal enam keatas, sehingga terjadi penurunan
tonus simpatis mendadak yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah masif
menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik dan berdampak pada penurunan
tekanan darah, dan bradikardi.
3. Patofisiologi
12
4. Tatalaksana
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasopressor seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan
sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul
ditempat tersebut. Kemudian konsep dasar berikutnya adalah dengan penggunaan
prinsip A (airway) – B (breathing) – C (circulation) dan untuk selanjutnya dapat
diikuti dengan beberapa tindakan berikut yang dapat membantu untuk menjaga
keadaan tetap baik, diantaranya:
1) Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
2) Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang
berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika
terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong
menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-
otot respirasi.
3) Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per
infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap
tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap
terapi.
4) Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik, agonis alfa yang kontraindikasi bila ada perdarahan seperti
ruptur lien) :
- Dopamin Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,
berefek serupa dengan norepinefrin. Dan jarang terjadi takikardi.
- Norepinefrin Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan
darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika
norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada
pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per
infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh
13
vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung
(palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal
kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat
menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
- Epinefrin Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung, sebelum pemberian obat ini harus
diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu
diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenik.
- Dobutamin Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah
melalui vasodilatasi perifer.
V. PRINSIP KERJA OBAT INOTROPIK DAN VASOPRESOR
Prinsip penangan pasien yang mengalami syok adalah mengidentifikasi serta
mengatasi penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya gangguan hemodinamik,
dimana pemberian resusitasi cairan merupakan penangan inisial pada gangguan
hemodinamik. Penggunaan obat-obatan inotropik dan vasopressor diberikan pada
kondisi dimana gangguan hemodinamik bersifat menetap. Obat inotropik bekerja
dengan meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga terjadi peningkatan kardiak
indeks, sedangkan obat-obatan vasopressor bekerja dengan meningkatkan tonus
vaskular sehingga terjadi peningkatan tekanan darah arteri rerata (mean arterial
pressure/MAP).
Prinsip dasar kerja obat inotropik dan vasopresor :
- Katekolamin endogen adrenalin (epinefrin), noradrenalin
(norepinefrin), dan dopamin
- Katekolamin sintetik dobutamin, isoprenalin, phenylephrine
Katekolamin bekerja pada sistem kardiovaskular melalui reseptor α1, β1, β2, dan
pada reseptor dopaminergik, dimana :
- Reseptor β1 ditemukan paling banyak pada miokard jantung, dengan efek
stimulasi berupa peningkatan kontraktilitas miokard melalui Ca2+
14
mediated facilitation pada ikatan kompleks aktin-miosin dengan troponin
C sehingga terjadi peningkatan cardiac output.
- Reseptor β2 bekerja pada stimulasi simpatis otot polos sehingga terjadi
vasodilatasi.
- Reseptor α1 merupakan reseptor yang paling banyak ditemukan pada
pembuluh darah arteri otot polos dan memiliki efek stimulasi simpatis
berupa vasokonstriksi sehingga meningkatkan resistensi vaskular sistemik.
- Reseptor dopaminergik (D1 dan D2) merupakan reseptor yang terdapat
pada vaskular ginjal dan splanchnic, dengan efek stimulasi berupa
vasodilatasi pembuluh darah ginjal dan mesenterik.
1) Norepinefrin
Norepinefrine merupakan agonis reseptor α1, β1, dimana afinitas terhadap reseptor
α1 lebih kuat dibandingkan pada reseptor β1.
2) Epinefrin
Epinefrine merupakan agonis reseptor α1, β1, β2 yang potent. Pada penggunaan
dosis rendah, epinefrin bekerja pada reseptor β1 sehingga merangsang inotropik
dan kronotropik dan terjadi peningkatan kardiak output, sedangkan efek
vasokonstriksi pada reseptor α1 tertutupi oleh efek vasodilatasi reseptor β2,
sehingga menghasilkan peningkatan kardiak output dengan menurunan sistemik
vaskular resisten. Pada penggunaan dosis yang lebih besar, epinefrin bekerja lebih
dominan pada reseptor α1 sehingga menghasilkan efek vasokonstriksi yang lebih
dominan. Peningkatan efek vasokonstriksi pembuluh darah ini, juga diikuti
dengan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner dan meningkatkan aliran darah
pulmoner, sehingga terjadi peningkatan volume afterload ventrikel kanan.
Dikatakan bahwa pada pemberian adrenalin dapat meningkatkan konsentrasi
laktat, terutama pada kondisi infeksi berat dan terjadi peningkatan konsumsi
oksigen. Peningkatan laktat ini merupakan tanda klinis penting, dimana laktat
merupakan salah satu marker adanya hipoperfusi jaringa. Meskipun demikian,
peningkatan laktat serum yang terjadi akibat epinefrin ini tidak terlalu
membahayakan.
3) Dopamine
Dopamine merupakan agonis reseptor α1, β1. Aktivitas kerja dopamine pada
reseptor α1, β1 tergantung pada dosis yang digunakan. Dalam penggunaan dosis
yang lebih kecil (3 – 10 mcg/kgBB/min), dopamine dominan bekerja pada
15
reseptor β1 dibandingkan reseptor α1 sehingga berefek pada peningkatan
kontraktilitas miokard dan terjadi peningkatan kardiak output . Sedangkan pada
dosis yang lebih besar (10 – 20 mcg/kgBB/min), dopamine dominan bekerja pada
reseptor α1, sehingga berefek pada vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan
meningkatkan resistensi vaskular sistemik.
4) Dobutamine
Dobutamin merupakan analog dopamine sintetik, dengan rasio efek ikatan pada
reseptor β1 : β2 adalah 3 : 1. Karena aktivitasnya yang dominan terhadap reseptor
β1, dobutamine merupakan inotropik kuat dan memilii efek kronotropik yang
lemah. Dobutamine secara signifikan meningkatkan konsumsi oksigen miokard.
5) Isoprenaline
Isporenaline merupakan agonis reseptor β potent , yang memiliki efek inotropik
dan kronotropik yang kuat, namun juga memiliki efek potent vasodilator sistemik,
sehingga efek peningkatan stroke volume seimbang dengan penurunan resistensi
vaskular sistemik, sehingga berdampak netral pada cardiac output.
6) Phenylephrine
Phenylephrine merupakan agonis reseptor α1 potent, digunakan sebagai bolus
untuk koreksi cepat pada kondisi hipotensi berat.
16