-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
1/26
1
PENDAHULUAN
Tuberous sklerosis kompleks adalah kelainan genetik multisistem
dengan ekspresi
fenotipik bervariasi yang memiliki karakteristik adanya
pembentukan tumor jinak non
invasif, yang sangat jarang berkembang menjadi lesi metastatik,
pada berbagai organ seperti
otak, paru-paru, kulit, jantung dan ginjal.1 Hasil dari mutasi
pada gen TSC1 di wilayah
kromosom 9q34 atau gen TSC2 di daerah kromosom 16p13, diwariskan
dalam pola
autosomal dominan, meskipun sampai dua pertiga kasus merupakan
hasil dari mutasi genetik
spontan.1-4Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis
kompleks adalah kejang, autisme,
keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan
perilaku, serta gangguan
kejiwaan.1,2,3,5
Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada tuberous sklerosis
kompleks dan juga
merupakan gangguan kesehatan yang paling umum pada tuberous
sklerosis kompleks.
Sampai dengan 80 sampai 90% dari individu dengan tuberous
sklerosis kompleks akan
mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan onset
biasanya dalam masa kanak-
kanak.1,3 Mayoritas anak-anak dengan tuberous sklerosis kompleks
memiliki onset kejang
selama tahun pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari
anak-anak dengan tuberous
sklerosis kompleks akan mengembangkan spasme infantil.1,4,6
Epilepsi, terutama dengan
onset selama masa bayi dan spasme infantil dianggap faktor
risiko untuk gangguan
neurokognitif dan keterbelakangan mental pada anak-anak dengan
tuberous sklerosis
kompleks.1,7
Studi menunjukkan insiden autisme yang lebih tinggi pada
anak-anak dengan
tuberous sklerosis kompleks yang memiliki epilepsi intraktabel
awitan dini dan spasme
infantil.1,6 Bolton et al. menemukan bahwa peningkatan risiko
autisme dikaitkan dengan
epilepsi anak, termasuk keberadaan discharge epileptiform lobus
temporal pada EEG, usia
yang lebih muda saat onset aktivitas kejang, dan riwayat spasme
infantil.1,7 Evolusi klinis dan
gambaran EEG awal pada anak-anak yang kemudian berkembang
menjadi TSK dibahas
dengan penekanan khusus pada variabilitas individu terhadap
manifestasi epileptik,
perubahan kulit, dan kecacatan mental. Abnormalitas EEG
cenderung masih merupakan
gambaran kasar selama 2 tahun pertama kehidupan, namun pada
evolus berikutnya terdapat
perubahan multifokal pada beberapa area yang relatif
menggambarkan suatu aktivitas ritmik
yang bertahan lama.8
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
2/26
2
TINJAUAN PUSTAKA
TUBEROUS SKLEROSIS KOMPLEKS
DEFINISI
Tuberous sklerosis kompleks (TSK) adalah kelainan genetik
multisistem dengan
ekspresi fenotipik yang bervariasi, dapat menyebabkan
pertumbuhan tumor jinak pada otak
dan organ vital lainnya seperti ginjal, jantung, mata, paru, dan
kulit. TSK biasanya mengenai
sistem saraf pusat dan menghasilkan kombinasi gejala termasuk
seizure, developmental
delay, masalah perilaku, kelainan kulit, dan penyakit
ginjal.1,2
Nama tuberous sklerosis berasal dari karakteristik tuber atau
nodul potato-like di
otak, yang mengkalsifikasi sejalan dengan usia dan mengeras atau
sklerotik. Kelainan ini,
dulu dikenal sebagai epiloia atau Bournevilles disease, pertama
kali diidentifikasi oleh
ilmuwan Perancis lebih dari 100 tahun yang lalu.2
EPIDEMIOLOGI
Tuberous sklerosis kompleks merupakan penyakit genetik yang
jarang terjadi dengan
angka kejadian sekitar 1 dalam 6800 kelahiran hidup di seluruh
dunia. Sebuah studi berbasis
populasi di Inggris melaporkan frekuensi TSC berkisar 1/12.000
sampai 1/14.000 pada anak
berusia di bawah 10 tahun. Penyakit ini mengenai sebanyak 25.000
sampai 40.000 orang di
Amerika Serikat dan sekitar 1 sampai 2 juta orang di seluruh
dunia. TSK dapat terjadi pada
semua kelompok ras dan suku, dan pada kedua jenis
kelamin.1,2,5
PATOFISIOLOGI
TSK disebabkan oleh defek atau mutasi, pada dua gen yaitu TSC1
dan TSC2. Hanya
satu dari gen yang harus terkena untuk bisa terjadi TSK. Gen
TSC1, ditemukan pada tahun
1997, yaitu gen pada kromosom 9 dan menghasilkan protein yang
disebut hamartin. Gen
TSC2, ditemukan pada tahun 1993, adalah gen pada kromosom 16 dan
menghasilkan protein
tuberin. Protein ini bekerja dalam kompleks sebagai penekan
pertumbuhan dengan
menghambat aktivasi kinase disebut mTOR. Hilangnya regulasi mTOR
terjadi pada sel yang
kekurangan baik hamartin atau tuberin, dan ini menyebabkan
diferensiasi dan perkembangan
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
3/26
3
abnormal, dan pada pertumbuhan sel yang membesar, seperti
terlihat pada lesi otak TSK.
TSK diwariskan dalam pola autosomal dominan, meskipun dua
pertiga kasus dihasilkan dari
mutasi genetik spontan.2
Gambar 1. Interaksi kompleks TSC1-TSC2 dengan jalur seluler
multipel2
GAMBARAN KLINIS
Banyak pasien TSK menunjukkan bukti gangguan pada tahun pertama
kehidupannya.
Namun, gambaran klinis dapat samar pada awalnya, dan banyak
tanda-tanda dan gejala
membutuhkan beberapa tahun untuk berkembang. Akibatnya, TSC
dapat tidak dikenali atau
salah didiagnosis selama bertahun-tahun. TSK memiliki spektrum
klinis yang luas, dan
banyak pasien memiliki tanda dan gejala yang minimal tanpa
defisit neurologis. Wanita
dikatakan cenderung terdapat gejala yang lebih ringan
dibandingkan laki-laki. Semua sistem
organ dapat terkena pada TSK.1
Gejala klinis yang paling sering muncul adalah kejang pada saat
bayi atau awal masa
kanak-kanak, dimana yang paling sering adalah spasme
infantil.3Kejang parsial dan umum,
atonik (drop attack), dan myoklonik sering pula ditemukan selama
masa kanak-kanak.3
Sebuah studi berbasis populasi memperkirakan sekitar 80%
anak-anak dengan TSC
menderita epilepsi.3Studi yang sama mengemukakan prevalensi
retardasi mental adalah 44%
dimana duapertiga kasus sangat berat dengan IQ
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
4/26
4
pasien tanpa riwayat kejang. Faktor risiko untuk retardasi
mental meliputi onset kejang
sebelum 12 bulan, kontrol epilepsi yang buruk, dan spasme
infantil. Masalah perilaku juga
sangat umum dijumpai pada penderita TCS, terutama autism,
autistic spectrum disorder dan
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).Gangguan tidur
juga masalah yang sering
muncul pada anak-anak.3
Kulit. Seseorang dengan TSK 100% kulitnya akan terkena. Lesi
kulit termasuk: makula
hipomelanotik (87%-100%), angiofibroma fasial (47%-90%),
shagreen patches (20%-80%),
plak fibrosa fasial, dan fibroma ungual (17%-87%). Di antara
kelainan kulit tersebut,
angiofibroma fasial adalah yang terberat. Tak satupun lesi kulit
tersebut menimbulkan
masalah medis yang serius.7
B.
C.
A.
D. Gambar 2. A. makula hypomelanotic dan
poliosis (dalam hal ini, daerah hipopigmentasi
dan poliosis luar biasa besar; lebih khas pada
makula hypomelanotic lesi kanan bawahnya); B.
angiofibroma facial (adenoma sebasea); C.
Ungual fibroma; D. Shagreen patch.7
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
5/26
5
Tabel 1. Manifestasi kulit TSK8
Mata. Lesi retina pada TSK adalah hamartoma (elevated mulberry
lesions atauplaque-like
lesions) dan achromic patches (mirip dengan lesi kulit
hipopigmentasi). Salah satu atau lebih
kelainan ini dapat muncul pada lebih dari 75% individu yang
terkena TSK. Meskipun lesi ini
biasanya asimtomatik, hanya sedikit pasien dengan TSK terdapat
hamartoma astrositik retinal
yang membesar secara progresif dengan lepasnya retina total yang
eksudatif dan glaukoma
neovaskuler.8
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
6/26
6
Gambar 3. Retina hamartoma dan retina acromic patch
Sistem saraf pusat. Tumor di SSP adalah penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada
TSK. Kelainan otak dapat berupa subependymal nodules (SEN),
cortical tubers, and
subependymal giant cell astrocytomas (SEGA), dapat dibedakan
dengan studi neuroimajing.
SEN terjadi pada 90% kasus dan tuber kortikal atau subkortikal
pada 70% kasus. SEGA
dapat membesar, menyebabkan tekanan dan obstruksi dan
mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan.9,10
Displasia kortikal adalah kelainan bawaan yang disebabkan,
setidaknya sebagian,
ketika sekelompok neuron gagal untuk bermigrasi ke daerah yang
tepat dari otak selama
perkembangan. Tuber kortikal diamati pada 90% pasien TSK dan
temuan patologis pada
gangguan tersebut tipe focal displasia kortikal. Migrasi radial
grisea alba serebri timbul dari
proses patologis yang sama seperti tuber kortikal dan bentuk
lain dari displasia kortikal dan
di TSK bukan hal yang biasa untuk menemukan kelainan migrasi
tuber dan grisea alba
secara bersama-sama. Kedua jenis displasia kortikal di TSK
umumnya dikaitkan dengan
epilepsi dan kesulitan belajar di TSK. Patologis dan klinis
tumpang tindih antara "tuber
kortikal" sebagai gambaran utama dan "garis migrasi radial
grisea alba otak"sebagai
gambaran minor di kriteria diagnostik tahun 1998 yang dirasakan
tidak lagi mewakili prosesyang terpisah dan diganti dengan fitur
utama tunggal dalam klasifikasi baru "Displasia
kortikal." Namun, daerah tunggal fokal kortikal dysplasia atau
bahkan dua dapat terdapat
pada individu yang tidak memiliki TSK, dengan demikian, di
kriteria diagnostik baru, daerah
multiple kortikal fokal dysplasia dianggap hanya sebagai salah
satu fitur utama dan
tambahan gambaran klinis yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosa pasti TSK.9
Nodul Subependymal (SEN) dan subependymal giant cell astrocytoma
(SEGA)
mewakili dua gambaran utama yang terpisah. Kedua lesi ini juga
termasuk dalam Kriteria
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
7/26
7
Konferensi Konsensus tahun 1998 sebagai gambaran utama. Secara
histologi, kedua lesi
mirip dan keduanya relatif spesifik pada TSK. Nodul Subependymal
adalah pertumbuhan
jinak yang berkembang di sepanjang garis dinding lapisan
ependymal dari ventrikel lateral
dan ventrikel ketiga. Terdapat pada 80% dari pasien TSK dan
sering terdeteksi sebelum lahir
atau setelah lahir. Pada TSK insiden SEGA 5-15% dan juga dapat
dideteksi prenatal atau saat
lahir, meskipun lebih sering muncul selama masa kanak-kanak atau
remaja dan bukan hal
yang biasa untuk seseorang muncul setelah usia 20 tahun jika
sebelumnya belum ada. Hal
ini dapat diterima secara luas bahwa SEGA biasanya muncul dari
SEN, terutama di dekat
foramen Monro. Meskipun jinak dan biasanya tumbuh lambat, dapat
menyebabkan masalah
neurologis serius termasuk hidrosefalus obstruktif. SEN dan SEGA
keduanya mengalami
kalsifikasi dari waktu ke waktu. Walaupun karakteristik dari
giant cell merupakan campuran
dari turunan sel-sel glia, namun SEGA diklasifikasikan dalam
astrositoma. Secara histologis
jinak, meskipun lokasinya diventrikel 4 dan di level foramen
Monro seringkali menyebabkan
hidrosefalus.10
Manifestasi neurologis utama tuberous sklerosis kompleks adalah
kejang, autisme,
keterlambatan perkembangan, termasuk keterbelakangan mental dan
perilaku dan gangguan
kejiwaan.10
Gambar 4. Gambaran tuber kortikal dengan MRI
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
8/26
8
Gambar 6. Subependymal Giant Cell Astrocytoma
Epilepsi
Epilepsi adalah gejala yang paling umum pada TSK. Individu
dengan TSK sekitar 80
- 90% akan mengembangkan epilepsi selama hidup mereka, dengan
onset biasanya dalam
masa kanak-kanak.1,3Mayoritas anak-anak dengan TSK memiliki
onset kejang selama tahun
pertama kehidupan, dan sampai sepertiga dari anak-anak dengan
TSK akan mengembangkan
spasme infantil.1,4,6
Epilepsi pada TSK diduga berkaitan dengan keberadaan tuber
kortikal dan fiturneuropatologis lainnya, meskipun hubungan ini
tidak dipahami dengan baik.1 Tuber kortikal
terdiri dari neuron displastik dan sel raksasa, serta komponen
glial, dan terdapat hipotesis
bahwa aktivitas abnormal pada sel-sel menyebabkan
epileptogenesis.1,7,8 Meskipun
mekanisme molekuler epileptogenesis tidak diketahui, kelainan
pada reseptor sub-unit
glutamatergik dan asam -aminobutyric (GABA) telah diidentifikasi
dalam sampel tuber
kortikal, dan transportasi glutamatergik abnormal pada astrosit
telah diamati pada model tikus
TSK.
1
Beberapa studi telah menandai adanya aktivitas neurofisiologis
tuber kortikal pada saatoperasi epilepsi, dengan beberapa
penelitian yang menemukan tuber kortikal secara elektrik
Gambar 5. Tuber subependimal
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
9/26
9
diam tetapi yang lain menemukan aktivitas epileptiform sering
dikaitkan dengan tuber atau
wilayah sekitar tuber-nya.1 Penelitian menunjukkan bahwa jumlah
tuber kortikal, seperti
yang diidentifikasi oleh MRI, lebih tinggi pada individu dengan
TSK dengan penyakit
berat.1,2
Gangguan Perilaku dan Psikiatri
Individu dengan TSK berada dalam risiko yang signifikan untuk
terjadi gangguan
neurodevelopmental dan behavioral. Gangguan behavioral dan
psikiatrik yang sering terlihat
adalah bagian dari gangguan spektrum autisme. Ehninger dan Silva
(2011) melaporkan
bahwa 20%-60% pasien dengan TSK terdapat gangguan spektrum
autisme. Hiperaktivitas
atau ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder) dan agresi
juga biasanya dijumpai padaindividu dengan TSK. Sistem otak bagian
frontal disebutkan paling terganggu berkaitan
neuropatologi TSK yang menimbulkan abnormalitas pada pengaturan
dan perilaku
berorientasi tujuan.2
Zaroff et al. melaporkan bahwa bangkitan awitan dini dan
peningkatan jumlah tuber
adalah factor risiko untuk gangguan kognitif, dan penilaian
behavioral secara dini dan
intervensi terapetik, termasuk kendali bangkitan, akan
meningkatkan keluaran
neurobehavioral yang lebih baik.1
Ginjal. Penyakit ginjal adalah penyebab kedua terbanyak
terjadinya kematian dini (27.5%)
pasien dengan TSK. Sekitar 80% anak dengan TSK terdapat gangguan
ginjal yang dapat
diidentifikasi pada rata-rata usia 10.5 tahun. Kelainan ginjal
yang dapat terjadi pada TSK:
angiomyolipoma benigna (70%); kista epithelial (20%-30%);
oncocytoma (adenomatous
hamartoma benigna) (
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
10/26
10
Jantung. Rhabdomyomas kardiak adalah tumor jinak jantung yang
jarang diamati di individu
non - TSC. Lesi ini biasanya tidak menyebabkan masalah medis
yang serius, tetapi sangat
spesifik untuk TSC dan sering manifestasi pertama yang tercatat
pada penyakit ini, dan oleh
karena itu tetap menjadi gambaran utama . Tumor yang paling
sering terletak di ventrikel, di
mana dapat membahayakan fungsi ventrikel dan akhirnya dapat
mengganggu fungsi katup
atau mengakibatkan obstruksi outflow. Rhabdomyoma kardiak
terdapat pada 47%-67%
individu dengan TSK. Tumor ini disebutkan dapat beregresi
sejalan waktu dan bahkan
menghilang.5
Paru. Lymphangiomyomatosis (LAM) paru yang sering mengenai
wanita diperkirakan
terjadi sekitar 30% individu dengan TSK. Rata-rata usia
didiagnosis LAM pada TSK adalah
28 tahun dibandingkan LAM yang sporadic pada usia 35 tahun. LAM
berkaitan TSK
klinisnya lebih ringan dibandingkan LAM sporadik. Namun, pasien
TSK dengan LAM yang
terdapat kista paru, klinisnya lebih berat dibandingkan LAM
sporadik.1
DIAGNOSIS
Gambar 7. AML renal
Gambar 8. High-res CTmenunjukkan gambaran paru dari
pasien TSK dengan LAM. Catatan
beberapa ruang cyst-like pada kedua
paru.
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
11/26
11
Diagnosis TSK didasarkan pada temuan klinis. Mutasi dapat
diidentifikasi pada
sekitar 85% dari individu yang memenuhi kriteria diagnostik
untuk TSK. Di antara mereka
yang mutasinya dapat diidentifikasi, mutasi pada TSC1 ditemukan
sebanyak 31% dan TSC2
69%. Pengujian genetik molekuler untuk kedua gen tersedia secara
klinis.1
Kriteria diagnostik untuk TSK telah direvisi (Roach dan
Sparagana 2004). Dengan kriteria:
Kenali individu dengan isolated lymphangioleiomyomatosis (LAM)
yang juga
bersamaan memiliki renal angiomyolipomabukanlah TSK.
Telah mengeliminasi gambaran non spesifik (misal: spasme
infantile dan mioklonik,
bangkitan tonik atau atonik) dan dan telah membuat gambaran
klinis tertentu lebih
spesifik (misal: fibroma ungula atau periungual nontraumatik;
tiga atau lebih macula
hipomelanotik).
Namun kini terdapat kriteria diagnostik terdepan untuk TSK
secara temuan klinis dan
radiologis.
Tabel 2.Kriteria diagnostik untuk TSC (Rekomendasi dari the 2012
International Tuberous SclerosisComplex Consensus Conference)
6
A. Genetic diagnost ic criteriaThe identification of either a
TSC1 or TSC2 pathogenic mutation in DNA from normal tissue is
sufficient to make adefinite diagnosis of tuberous sclerosis
complex (TSC). A pathogenic mutation is defined as a mutation
that
clearly inactivates the function of the TSC1 or TSC2 proteins
(e.g.,out-of-frame indel or nonsense mutation),prevents protein
synthesis (e.g., large genomic deletion), or is a missense mutation
whose effect on proteinfunction has been established by functional
assessment (www.lovd.nl/TSC1, www.lovd/TSC2, and
Hoogeveen-Westerveld et al., 2012 and 2013). Other TSC1 or TSC2
variants whose effect on function is less certain do notmeet these
criteria, and are not sufficient to make a definite diagnosis of
TSC. Note that 10% to 25% of TSCpatients have no mutation
identified by conventional genetic testing, and a normal result
does not exclude TSC, orhave any effect on the use of clinical
diagnostic criteria to diagnose TSC.
B. Clinical diagnostic criteriaMajor features1. Hypomelanotic
macules (>3, at least 5-mm diameter)2. Angiofibromas (>3) or
fibrous cephalic plaque3. Ungual fibromas (>2)
4. Shagreen patch5. Multiple retinal hamartomas6. Cortical
dysplasias*7. Subependymal nodules8. Subependymal giant cell
astrocytoma9. Cardiac rhabdomyoma10. Lymphangioleiomyomatosis
(LAM)11. Angiomyolipomas (>2)Minor features1. Confetti skin
lesions2. Dental enamel pits (>3)3. Intraoral fibromas (>2)4.
Retinal achromic patch5. Multiple renal cysts6. Nonrenal
hamartomas
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
12/26
12
Definite diagnosis: Two major features or one major feature with
>2 minor featuresPossible diagnosis: Either one major feature or
>2 minor features* Includes tubers and cerebral white matter
radial migration lines.A combination of the two major clinical
features (LAM and angiomyolipomas) without other features does
notmeet criteria for a definite diagnosis.
PENATALAKSANAAN
Evaluasi Setelah Diagnosis Awal
Untuk menentukan luasnya penyakit pada individu didiagnosis
dengan TSK, evaluasi
berikut direkomendasikan oleh Clinical Issues Panel di Konsensus
Konferensi Tuberous
Sclerosis pada bulan Juli 1998 (revisi Roach & Sparagana
[2004]:
Riwayat medis, terutama untuk tanda klinis TSK
Riwayat keluarga, terutama untuk tanda klinis TSK
Pemeriksaan fisik dengan penggunaan lampu Woods (sinar
ultraviolet) di ruang yang
gelap dan perhatian khusus untuk temuan dermatologi
CT / MRI cranial
Ultrasonografi ginjal
Pemeriksaan Oftalmologis
Elektrokardiografi dan ekokardiografi jika menunjukkan gejala
jantung
Electroencephalography Jika terdapat masalah kejang
Evaluasi neurodevelopmental dan perilaku
CT thoraks untuk wanita dewasa
Konsultasi genetika medis
Pengobatan bangkitan pada TSK mirip dengan epilepsi dari
penyebab lain, dan obat
antikonvulsan adalah pilihan utama pengobatan.2,3,6,10Adanya
peningkatan penggunaan obat
antikonvulsan baru, terutama pada populasi anak, sedang
dikembangkan dalam pengobatan
epilepsi karena TSK dan penyebab lainnya.1,6 Beberapa laporan
menunjukkan kemanjuran
obat antikonvulsan tertentu dalam pengobatan jenis bangkitan
yang berhubungan dengan
TSK. Topiramate, lamotrigin, oxcarbazepine, dan levetiracetam
semuanya telah ditemukan
efektif dan ditoleransi dengan baik pada populasi kecil dari
individu dengan TSK dan
epilepsi. Karena kecilnya ukuran studi, belum memungkinkan untuk
diidentifikasi obat
antikonvulsan tertentu sebagai "obat pilihan" pada bangkitan
yang berhubungan dengan TSK
selain spasme infantil.1,11
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
13/26
13
Kendali bangkitan yang dini dapat mencegah terjadinya
ensefalopati epileptic dan
mengurangi konsekuensi gangguan kognitif dan perilaku. Efikasi
berbagai pengobatan untuk
infantile spasme bervariasi antara individu. Review retrospektif
terkini menemukan bahwa
vigabatrin dapat mengendalikan spasme infantile pada 73%
anak-anak dengan TSK.
Bangkitan pada TSK dapat resisten terhadap politerapi dengan
antikonvulsan. Salah satu
mekanisme epilepsi refrakter pada TSK mungkin berhubungan dengan
mekanisme seluler
resistensi obat baik karena multidrug resistance transporterMDR1
dan multidrug resistance
terkait protein 1 telah ditunjukkan diekspresikan dalam beberapa
tuber kortikal.1 Pengobatan
alternatif selain obat antikonvulsan harus dipertimbangkan pada
pasien dengan TSK ketika
kejang tidak dapat dikontrol secara efektif. Perawatan
nonfarmakologis saat ini termasuk
stimulator saraf vagus, diet ketogenik, dan bedah epilepsi
resektif.11 Sejumlah studi kecil telah
melaporkan hasil yang memuaskan dengan operasi epilepsi.1
Surveilans aktif dengan neuroimaging serial dianjurkan bahkan
pada pasien tanpa
gejala, karena SEGA memiliki potensi untuk tumbuh seiring dengan
berjalannya waktu.
Reseksi bedah telah menjadi pilihan pengobatan standar untuk
gejala SEGA. Morbiditas
pascaoperasi bervariasi dan dapat terjadi pada ~ 50 % pasien.
Komplikasi meliputi
peningkatan prevalensi kejang, hidrosefalus, gangguan
penglihatan, sakit kepala, stroke,
hemiparesis, dan autism.
Kekambuhan tumor selalu dijumpai apabila tidak dilakukan reseksi
total. Dapat
terjadi pertumbuhan tumor yang sangat besar, invasif secara
lokal, atau lesi bilateral. Waktu
intervensi bedah untuk SEGA masih kontroversial, beberapa ahli
bedah menganjurkan
operasi awal, sementara ahli lain menunggu lesi simptomatik atau
pengembangan
hidrosefalus, sehingga dapat memfasilitasi pendekatan
transcortical terhadap lesi. Jika operasi
yang dipilih, pembentukan bertahap koridor operasi menggunakan
teknik dilatasi balon
adalah contoh dari teknik minimal invasive. Pendekatan ini telah
menghasilkan total reseksidengan resolusi ventrikel dilatasi dan
disrupsi kortikal minimal. Rekomendasi klinis yang
dibuat oleh sebuah diskusi panel para ahli Eropa yang bertemu di
Roma, pada bulan Maret
2012, mendukung operasi pada pasien bergejala dan pasien
asimtomatik dengan pertumbuhan
tumor yang terdokumentasi. Panel juga merekomendasikan
everolimus (Afinitor , Novartis,
East Hanover, NJ, USA) untuk pengobatan orang dewasa dan
anak-anak > 3 tahun dengan
SEGA terkait dengan TSK yang memerlukan intervensi terapeutik
tetapi tidak setuju untuk
operasi. Kontraindikasi operasi meliputi ketidakmampuan untuk
mentolerir anestesi dankasus-kasus di mana risiko operasi lebih
besar daripada manfaat (reseksi total tidak dapat
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
14/26
14
tercapai atau menimbulkan risiko yang signifikan untuk pasien).
Prosedur Endoskopi
berhubungan dengan morbiditas yang lebih rendah , tetapi mereka
terbatas pada lesi dengan
diameter < 2 cm. Gamma Knife radiosurgery stereotactic telah
digunakan, namun perannya
dalam mengobati SEGA belum jelas karena data efikasi dan
keamanan yang belum cukup.
Kemoterapi standard tidak dianjurkan, terkait fakta bahwa data
terapeutik sedikit dan risiko
jarak jauh dari kemoterapi, peningkatan malignansi
sekunder.12
Manajemen angiomyolipomas yang tepat ditentukan oleh ukuran dan
gejala lesi.
Hubungan antara ukuran angiomyolipoma (> 4 cm), ukuran
aneurisma (> 5 mm), dan risiko
perdarahan telah dicatat. Embolisasi lebih disukai dalam kasus
perdarahan baru atau aktif,
atau ketika dijumpai aneurismayang besar atau beberapa
aneurisma. Embolisasi mungkin
memerlukan beberapa prosedur dari waktu ke waktu dan berhubungan
dengan pengurangan
yang tidak terlalu signifikan dari ukuran tumor. komplikasi
embolisasi termasuk kondisi yang
disebut sindrom postembolisasi, yang ditandai dengan nyeri,
demam, dan malaise yang
dihasilkan akibat adanya jaringan nekrotik di retroperitoneum.
Hal ini dapat dicegah dengan
penggunaan steroid profilaksis.11
Saat ini, pengobatan untuk lesi kulit seperti angiofibroma wajah
termasuk dermabrasi,
cryosurgery, kuretase, chemical peeling, electrodesiccation,
eksisi, dan terapi laser. Namun,
terapi ulangan seringkali dibutuhkan karena lesi dapat muncul
kembali.
Bronkodilator digunakan untuk membantu mengendalikan gejala pada
pasien dengan
obstruksi aliran udara reversible akibat LAM paru. Pendekatan
pengobatan lainnya termasuk
dukungan oksigen dan pengobatan dengan antagonis estrogen.
Namun, pilihan pengobatan
yang efektif untuk kondisi ini masih kurang.12
Tabel 3. Penatalaksanaan umum SEGA, angiomyolipoma, lesi kulit
dan LAM
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
15/26
15
Peran penting dari jalur mTOR dalam etiologi TSK dan kondisi
terkait memberikan
alasan yang kuat untuk penggunaan inhibisi mTOR sebagai terapi
yang ditargetkan. Inhibitor
dari jalur mTOR , seperti rapamycin, memiliki sifat
imunosupresif dan tindakan. Mereka
bertanggung jawab untuk normalisasi fungsi jalur ini dalam sel
yang kekurangan TSK1 atau
TSK2.
Everolimus merupakan turunan rapamycin yang menghambat jalur
mTOR dengan
bertindak pada mTORC1. Everolimus mengikat FKBP-12, membentuk
kompleks dengan
penghambatan mTORC1, sehingga menghambat aktivitas kinase mTOR
dan jalur di
bawahnya. Everolimus mengurangi fosforilasi efektor hilir mTOR,
seperti translasi represor
eukariotik faktor elongasi protein 4E dan S6 protein ribosom
kinase 1, yang terlibat dalam
translasi protein.2,10
Obat ini efektif dalam mengurangi volume tumor pada pasien
dengan TSK, seperti
angiomyolipoma ginjal, SEGA dan LAM sporadik.2
Gambar 9. Target kerja Everolimus
PROGNOSIS
Prognosis untuk individu dengan TSK sangat bervariasi dan
tergantung pada
keparahan gejala. Orang-orang dengan gejala ringan biasanya baik
dan memiliki harapan
hidup normal, dengan memperhatikan permasalahan spesifik TSK.
Individu yang terkena
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
16/26
16
dampak parah bisa menderita keterbelakangan mental yang berat
dan epilepsi persisten.
Semua individu dengan TSK beresiko untuk kondisi yang mengancam
jiwa yang
berhubungan dengan tumor otak, lesi ginjal, atau LAM
(lymphangioleiomyomatosis).
Pemantauan lebih lanjut oleh dokter berpengalaman dengan TSK
adalah penting. Dengan
perawatan medis yang tepat, sebagian besar individu dengan
gangguan tersebut dapat
berharap untuk harapan hidup normal.13
GAMBARAN ELECTROENCEPHALOGRAM PADA TUBEROUS SKLEROSIS
KOMPLEKS
Electroencephalogram (EEG) harus dilakukan pada individu dengan
TSK saat
didapatkan adanya kejang. EEG secara berkala dilakukan sesuai
dengan indikasi klinis.Beberapa individu dengan TSK memiliki
keadaan yang koeksisten dengan sindrom epilepsi
tertentu yang kita kenal seperti sindrom West (WS) (yaitu, pada
spasme infantil) atau
sindrom Lennox-Gastaut (LGS). Jika demikian, EEG long-term
mungkin berguna untuk
membantu:14
Mendeteksi temuan EEG untuk sindrom spesifik
Menangkapdan mengklasifikasikan setiap beberapa tipe kejang
Mendidik orang tua mengenai kapan suatu peristiwa dinyatakan
sebagai kejang dan kapan
suatu peristiwa merupakan perilaku non-epilepsi
Telah diketahui bahwa spasme tonik merupakan kejang tipe
general, dan pada EEG
iktalnya menunjukkan perubahan pola EEG secara general, seperti
atenuasi general dengan
atau tanpa superimposed aktivitas gelombang cepat, gelombang
lambat general, dan sharp
wave dengan gelombang lambat yang general, dan seterusnya. Pada
kesempatan lainnya
Gaily et al melaporkan adanya spikefokal, sharp wavesfokal, dan
aktivitas cepat unilateral
atau asinkron sebagai EEG iktal dari spasme tonik. Selain itu
Gobbi et al juga melaporkan
adanya spasme periodik yang mirip dengan spasme tonik pada WS
namun juga ditemukan
pada pasien dengan epilepsi terlokalisasi. Pola fokal sering
ditemukan pada periode awal atau
setelahnya, juga dapat ditemukan di kala pengawasan ketat
terhadap terapi dengan ACTH
sintetik atau VPA dosis tinggi. Temuan ini menyarankan bahwa
pola iktal fokal muncul di
bawah kondisi dimana terdapat interaksi yang kurang ketat dari
kortikal dan subkortikal.14,15
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
17/26
17
Belakangan banyak perhatian dikerahkan pada mekanisme kortikal
pasien WS karena
pd pasien ini memiliki kejang baik yang partial maupun yang
simultan. Selain itu, spasme
infantiltelah disupresi oleh operasi pengangkatan dari lesi
kortikal dimana dideteksi adanya
hipometabolisme fokal oleh PET. Karena adanya hubungan antara
mekanisme kortikal dan
subkortikal pada WS, Dulac et al mengemukakan bahwa spasme tonik
dan kejang parsial
muncul dari dua lokasi penghasil kejang yang berbeda karena
kejadian dari spasme tonik
tidak dimodifikasi oleh kejang parsial sebagai kejang yang
simultan. Sedangkan Gaily et al
mengatakan bahwa regio epileptogenik kortikal yang melibatkan
area sensorimotor primer
dapat berfungsi sebagai penghasil primer untuk spasme infantil
dikarenakan lesi patologik
fokal pada area tersebut yang terdeteksi oleh MRI dan PET scan,
dan spasme asimetris dan
asinkron yang terjadi secara signogenik seiring ifikan
berasosiasi dengan discharge
kontralateral pada EEG iktal. Chugani et al menyatakan bahwa
pada studi PET didapatkan
spasme tonik yang disebabkan adanya discharge dari batang otak
dan nukleus lentiformis
bilateral, yang dipicu oleh discharge kortikal dari lesi
kortikal. Pada kasus dimana spasme
tonik diikuti atau diselingi dengan kejang parsial, kemungkinan
yang terjadi adalah discharge
yang terjadi dari batang otak memfasilitasi lesi kortikal
epileptogenik dan pada akhirnya
menimbulkan kejang parsial.
Kejang parsial pada TSK dinyatakan memiliki karakteristik
berikut:
a. Beberapa pasien mengalami perubahan fokus epileptogenik
seiring bertambahnya usia
b. Beberapa tipe yang berbeda dari kejang parsial dapat berada
pada periode yang sama
pada satu individu
c. Kejang parsial yang berbeda dapat terjadi beriringan pada
kejadian di waktu
bangkitan yang sama
d. Jumlah dari fokus epileptogenik dapat meningkat selama
perjalanan klinis.
Walaupun masih belum jelas tuber yang mana yang menyebabkan
epileptogenik,
namun dilaporkan bahwa kortikal displasia secara intrinsik
epileptogenik karena discharge
epileptogenik seringkali terekam dari lesinya. Diketahui pula
bahwa perubahan patologis
pada TSK sesuai dengan lesi kortikal displasianya, sehingga
semua kortikal tuber terdapat
kemungkinan untuk menjadi epileptogenik. Diungkapkan bahwa besar
ukuran dari tuber
berkaitan dengan epileptogenisitas. Masih diteliti apakah
banyaknya tuber kortikal
merupakan marker terbaik untuk memprediksi outcome epilepsi dari
pasien TSK.
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
18/26
18
Pada pasien dengan epilepsi parsial berat, reseksi awal pada
lesi kortikal
epileptogenik akan menghentikan perkembangan dari fokal
epileptogenik sekunder.
Keputusan untuk reseksi kortikal pada pasien TSK tetap harus
diambil secara hati-hati karena
tuber yang tersisa dapat menjadi epileptogenik beberapa tahun
setelah operasi.15
Epileptogenisitas luas yang tidak terbatas pada kelainan
struktural yang terlihat pada
MRI mungkin terkait dengan sulitnya menemukan wilayah yang layak
operasi. Studi
neuroimaging fungsional memberikan bukti bahwa epileptogenisitas
tidak terbatas pada tuber
kortikal tetapi juga dapat mempengaruhi area fungsional terkait
(Perreson et al, 1998; Asano
et al, 2000.). Rekaman EEG intrakranial mengungkapkan bahwa,
khususnya, jaringan di
sekitar dan di perbatasan tuber mungkin sangat epileptogenik
(Otsubo et al., 2005).
EEG-fMRI simultan adalah alat noninvasif untuk mengevaluasi
jaringan
epileptogenik di otak. Metode ini memungkinkan identifikasi
daerah dengan perubahan
sinyal Blood Oxigenation Level Dependent (BOLD) berkorelasi
dengan interictal epileptic
discharge(IED). Respon BOLD positif maupun respon BOLD negatif
dapat menggambarkan
zona iritasi (Gotman et al., 2006). Pada studi di Kanada,
dievaluasi pertama kali untuk anak-
anak dengan TSK menggunakan EEG-fMRI. Didapatkan hipotesis bahwa
jaringan
epileptogenik pada pasien dengan TSK lebih tersebar luas
dibandingkan dengan keberadaan
tuber yang digambarkan pada MRI, dan bahwa jaringan ini dapat
diidentifikasi melalui
respon BOLD pada saat IED.16
Tabel 4. Pola EEG iktal yang berkaitan dengan spasme tonik
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
19/26
19
Gambar 10. EEG iktal yang menunjukkan fase awal dari spasme
tonik asimetris serial pada anakperempuan berusia 5 tahun dengan
WS. Sisi kanan yang dominan spasme diikuti dengan aktivitas
gelombang fokal yang cepat di regio oksipital kiri.Pada pasien
ini, kejang parsial yang berasal dari regiooksipital kiri terkadang
didahului spasme serial, atau spasme tersebut diselingi dengan
kejang parsial.15
Tabel 5. Model tampilan pada kejang parsial
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
20/26
20
Gambar 11. A: Tipe A: Spikefokal pada regio oksipital kiri yang
diikuti dengan spasme asimetrik(seperti gambar 10). B: Tipe B:
Aktivitas fokal theta pada regio frontal kiri yang didahului
dengan
spasme simetris. Pasien ini anak wanita berusia 6 bulan dengan
WS yang juga mengalami kejangparsial yang berasal dari regio
posterior kanan dalam periode waktu yang sama.
15
Tabel 6. Ukuran tuber kortikal pada MRI
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
21/26
21
Gambar 12. Anak perempuan usia 3 th 4 bulan dengan epilepsi
terkait lokasi. Kiri: Saat onsetkejang parsial, 6-7 siklus
aktivitas theta terlihat pada regio frontosentral kiri. Anak itu
tampak
linglung, dan didapatkan spasme pada wajah kiri. Tengah: Dua
puluh enam detik kemudian,tampak 5 siklus aktivitas theta pada
regio frontal kiri. Ia menarik ekstremitas atas kanannya danmemutar
tangan kanannya ke segala arah. Spasme yang dominan di kanan mulai
muncul saat
kejang parsial berikutnya. Kanan: Seratus dua puluh detik
kemudian, spasme dominan kanankontinyu berseri setelah dua tipe
dari kejang parsial menghilang.
15
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
22/26
22
Gambar 13. Evolusi gambaran EEG pada anak perempuandengan spasme
infantil di usia 3 bulandan yang meningkat juga dengan tipe kejang
lainnya. A. Pada usia 20 bulan terdapat gelombangaktivitas
perlambatan dengan amplitudo besar iregular dan multifokal, yang
lebih sedikit pada obusfrontal (kalibrasi 180 v). B. Saat usia 2
tahun terdapat sejumlah komponen lambat yang iregularlebih nampak
pada posterior, dan elemen sharp muncul fokal di regio
temporooksipital kiri (kalibrasi
100 v). C. Di usia 2,5 tahun terdapat lebih banyak lagi
gelombang iregular yang lebih lambatdengan elemen sharp tidak
teratur pada regio posterior temporal kiri (kalibrasi 180 v). D.
Ssaat usia
3 tahun semakin banyak aktivitas perlambata iregular pada area
frontosentral kanan dantemporooksipital kiri (kalibrasi 100 v).
Pada anak ini subnormalitas mental sudah nampakpadaonset usia awal,
begitu juga tampaknya area hipopigmentasi pada ekstremitas dan
badan.Tampak juga kalsifikasi intrasereblar multipel pada
radiografi tengkorak saat usia 19 bulan.
9
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
23/26
23
Gambar 14. Figur ini menunjukkan semua respon positif dan
negatif BOLD dari seorang anak usia1 tahun. Fokus pada
temporooksipital kiri tampak pada scannerEEG. Topografi dari
spiketerlihatdengan peta voltase rata-rata dari spike (BESA
software). Didapatkan respon positif BOLD padaoksipital bilateral
yang berkorelasi dengan fokus EEG, namun bukan yang berasal dari
tuber. Tigatuber yang berbeda merupakan bagian dari zona iritatif
pasien ini, berada pada area yang agak jauhdari fokus EEG. Respon
BOLD negatif yang kuat terdapat dari tuber frontal bilateral.
Kejang yangdimulai dari lobus frontal kanan berkorelasi baik dengan
respon BOLD negatif ini. Batas-batas darituber kortikal ditandai
dengan warna hijau terang dan SEGA ditandai dengan warna ungu.
Panah
merah menandai respon positif dan negatif BOLD dengan
t-valuetertinggi dari studi ini.16
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
24/26
24
Gambar 15. Figur ini menunjukkan semua respon positif dan
negatif BOLD. T-value maksimaluntuk respon positif nampak pada
tuber di parietal kanan dan nilai maksimum t-valueuntuk
responnegatif BOLD pada tuber di oksipital kanan. Satu respon
positif ditemukan di dalam SEGA.Totalnya, terdapat enam lesi yang
berbeda yang terlibat dengan jaringan epileptogenik pada pasien
ini. Respon BOLD dari tuber di lobus oksipital kanan, lobus
parietal kanan, dan lobus frontal kananyang mengikuti
dischargeinteriktal merupakan asal dari kejang pada pasien ini,
dimana dimulai dari
oksipital kanan, parietal kanan dan kemudian area frontal
bilateral. Hasil ini dikonfirmasi oleh
adanya IED multifokal dan onset kejang pada telemetri
long-termpasien ini.16
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
25/26
25
DAFTAR PUSTAKA
1.
Thiele EA. Managing Epilepsy in Tuberous Sclerosis Complex. J
Child
Neurology. 2004;19(9):680-686.
2. Inoki K, Guan KL. Tuberous sclerosis complex, implication
from a rare genetic
disease to common cancer treatment. Human Molecular Genetics.
2009;18(1).
3.
Pagon RA, Bird TD, Dolan CR, et al. Tuberous Sclerosis Complex.
Last Update:
November 23, 2011. NCBI Bookshelf. A service of the National
Library of Medicine,
National Institutes of Health.
4.
Petrova LD. Tuberous sclerosis and epilepsy. Am J
Electroneurodiagnostic Technol.2011 Mar;51(1):5-15.
5. Curatolo P,D'Argenzio L,Cerminara C,Bombardieri R.Management
of epilepsy in
tuberous sclerosis complex. Expert Rev Neurother. 2008
Mar;8(3):457-67.
6. Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic
Criteria Update:
Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis
Complex Consensus
Conference. Pediatric Neurology. 2012;49:243-54.
7. Crino PB, Nathansan KL, Henske EP. The Tuberous Sclerosis
Complex. N Engl J
Med. 2006; 355: 1345-56.
8. Yeung RS. Tuberous sclerosis as an underlying basis for
infantile spasm. IntRev
neurobiol2002;49:315-32.
9.
Pampiglione G, Moynahan EJ. The Tuberous Sclerosis Syndrome:
Clinical and EEG
Studies in 100 Children. Journal of Neurology, Neurosurgery, and
Psychiatry.
1976;39:666-73.
10.
Umeoka S, Koyama T, Miki Y, Akai M, Tsutsui K, Togashi K.
Pictorial Review of
Tuberous Sclerosis in Various Organs. Radiographic; 2008.
11.Holmes GL, Stafstrom CE. Tuberous sclerosis complex and
epilepsy: recent
developments and future challenges. Epilepsia; 2007
Apr;48(4):617-30.
12.
Connolly MB,Hendson G,Steinbok P.Tuberous sclerosis complex: a
review of the
management of epilepsy with emphasis on surgical aspects. Chids
Nerv Syst; 2006
Aug;22(8):896-908.
13.Muzykewicz DA,Costello DJ,Halpern EF,Thiele EA. Infantile
spasms in tuberous
sclerosis complex: prognostic utility of EEG. Epilepsia 2009
Feb;50(2):290-6.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Curatolo%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=D%27Argenzio%20L%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Cerminara%20C%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Bombardieri%20R%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Bombardieri%20R%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Yeung%20RS%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=12040899http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Holmes%20GL%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Holmes%20GL%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Stafstrom%20CE%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Stafstrom%20CE%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Connolly%20MB%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Connolly%20MB%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Hendson%20G%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Steinbok%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Steinbok%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Muzykewicz%20DA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Muzykewicz%20DA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Costello%20DJ%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Halpern%20EF%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Thiele%20EA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Thiele%20EA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Thiele%20EA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Halpern%20EF%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Costello%20DJ%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Muzykewicz%20DA%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18801034http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Steinbok%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Hendson%20G%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Connolly%20MB%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=16770618http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Stafstrom%20CE%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Holmes%20GL%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=17386056http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Yeung%20RS%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=12040899http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Bombardieri%20R%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Cerminara%20C%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=D%27Argenzio%20L%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=Curatolo%20P%5BAuthor%5D&cauthor=true&cauthor_uid=18345974
-
5/20/2018 Tuberous Sklerosis Kompleks
26/26
26
14.Roach ES, Whittemore VH. Diagnosis, Screening, and Clinical
Care of Indiiduals
with Tuberous Sclerosis Complex. Tuberous Sclerosis Alliance.
2011.
15.
Ohmori I, Ohtsuka Y, Ohno S, Oka E. Analysis of Ictal EEGs of
Epilepsy Association
with Tuberous Sclerosis. Department of Child Neurology, Okayama
University
Medical School. Japan 1998;39(12):1277-83.
16.
Jacobs J, Rohr A, Moeller F, Boor R, Kobayashi E, Meng PLV, et
al. Evaluation of
epileptogenic networks in children with tuberous sclerosis
complex using EEG-fMRI.
Neuropediatric Department, McGill University. Canada
2008;10:1111.