30
BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Definisi TuberkulosisTuberkulosis
adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium
dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada
jaringan-jaringan. Berbagai organ dapat terkena, walaupun pada
manusia paru adalah tempat utama penyakit ini dan biasanya
merupakan pintu gerbang masuknya infeksi untuk mencapai organ
lainnya (Dorland, 2002). Sedangkan menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis complex (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).2.2. Epidemiologi tuberkulosisTuberkulosis (TB)
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis
di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
penduduk (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Diperkirakan
terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002.
Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per
100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Di Indonesia
berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT
2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama
pada golongan penyakit infeksi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2006).Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB
P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA
positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA
positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun.
Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang
penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap
100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di
dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006). Sedangkan menurut data WHO tahun
2011, Indonesia menempati urutan ke-empat dengan prevalensi
Tuberkulosis terbanyak setelah negara India, China, dan Afrika
Selatan (WHO, 2012).
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Tuberkulosis2.3.1. Etiologi
TuberkulosisMycobacterium tuberculosis biasanya terdapat pada
manusia yang sakit tuberculosis. Penularan yang terjadi melalui
jalan pernafasan (Staf pengajar FKUI, 1994).Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 m
dan panjang 1 4 m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan
asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan
oleh jembatan fosfodiester (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2006).Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut
adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai,
tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan
asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan
sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein.
Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified
antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa,
65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi
dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak
disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh
basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 , protein MTP 40 dan
lain lain (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).Pertumbuhan
secara aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa karbon
yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhan
lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jjam. Suhu pertumbuhan optimum
37oC. Pada pembenihan, pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Daya
tahan kuman tuberkulosis lebih besar apabila dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik permukaan sel. Hijau malakhit
dapat membunuh kuman lain tetapi tidak membunuh Mycobacterium
tuberculosis, begitu pula asam dan alkali. Dengan fenol 5%
diperlukan waktu 24 jam untuk membunuh bakteri ini. Pada sputum
kering yang melekat pada debu dapat hidup 8-10 hari. pengaruh
pemanasan daya tahannya sama dengan kuman lainnya, jadi dengan
pasteurisasi kuman tuberculosis ini sudah dapat dibunuh.2.3.2.
Faktor Risiko TuberkulosisFaktor resiko mudah terjadinya infeksi TB
paru adalah sebagai berikut:1. UmurUmur tua (>65 tahun)
dihubungkan dengan kondisi penurunan pertahanan tubuh secara alami,
sering ditemukan nutrisi yang kurang sehingga menurunkan respon
imun seluler seperti proliferasi limfosit dan sintesis sitokin.2.
Jenis kelaminTB lebih sering dijumpai pada pria karena androgen
pada pria bersifat imunosupresif, dilepas secara menetap selama
masa dewasa dan tidak berfluktuasi.3. Status gizi rendah,
malnutrisiKehilangan protein menyebabkan penurunan jumlah dan
fungsi limfosit, penurunan sel CD4+ dan penekanan fagositosis.4.
Tinggal didaerah dengan insiden tinggi, atau tinggal di tempat
dimana banyak kasus TB yang tak terobati.5. Pasien dengan diabetes
melitus, kanker, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS),
pengguna obat imunosupresif seperti steroid jangka lama (pasien
alergi, penyakit autoimune dan transplantasi) dapat menurunkan
sistem imun dan meningkatkan resiko TB.6. Faktor lingkungan dengan
sanitasi yang buruk dan sosial ekonomi rendah meningkatkan
kerentanan terhadap penyakit.2.3.3. Pengaruh Faktor Lingkungan
terhadap Tuberkulosis ParuLingkungan dapat mempengaruhi prevalensi
tuberkulosis paru, diantaranya :a. Kepadatan Hunian. Kepadatan
penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat
maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara
akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga
yang menderita Tb paru dengan BTA (+). Kuman Tb paru cukup resisten
terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh
cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau
melemahkan fungsi vital organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan
hunian ditempat tinggal penderita Tb paru anak paling banyak ialah
tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat kaitannya
dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Behrman et al, 2003).
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI,
yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni
minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga
ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni
(sleeping density), dinyatakan dengan nilai: baik, bila kepadatan
lebih atau sama dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7
dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5 (Anonim, 1999).
b. Ventilasi. Standard luas ventilasi sesuai Kepmenkes No.
829/Menkes/SK/VII/1999 adalah 10% dari luas lantai. Azwar (1999)
mengemukakan bahwa ventilasi mempunyai fungsi yaitu : 1) menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan
O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti
kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat;
2) menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam
kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat)
yaitu sekitar 40 70% kelembaban yang lebih dari 70% akan
berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit); 3) membebaskan
udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen,
karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir; 4) lingkungan
perokok akan menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga
menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena
berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi. Beberapa
penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa
menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti
yang dilakukan oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya
menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan
kejadian Tb paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya
penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara
memperoleh hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah
dengan kejadian Tb paru dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR =
6,176. Hal ini berarti individu yang tinggal di rumah dengan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena Tb
paru sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas
ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, Tobing (2009)
menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya diperoleh hasil
yatu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9%
CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanaan
penelitian di Desa Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya
hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru dimana
nilai p = 0,001 dan OR sebesar 10,8. (Jufri Oksfriani, 2012)Adnani
dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di Kecamatan
Paseh menunjukkan bahwa individu yang memiliki ventilasi yang tidak
baik memilihi risiko terkena Tb paru sebesar 3,69 dari pada mereka
yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya,
penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi
berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 29,99
dengan 95% CI: 3,39-265,50.Hal ini dapat dipahami karena ventilasi
memiliki berbagai fungsi seperti membebaskan ruangan rumah dari
bakteri pathogen terutama kuman tuberculosis. Kuman Tb yang
ditularkan melalui droplet nuclei dapat melayang di udara karena
memiliki ukuran yang sangat kecil (50 mikron). Ventilasi yang tidak
baik karena dapat menghalangi sinar matahari masuk ke dalam
ruangan, padahal kuman Tb hanya dapat dibunuh dengan sinar matahari
secara langsung (Notoadmojo; 2003; Lubis, 1989).c. Suhu Udara. Suhu
udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30C. Suhu optimal
pertumbuhan bakteri sangat bervariasi. Gould dan Brooker (2003)
menyatakan bahwa bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri
mesofilik yang bisa hidup pada suhu udara 10-40oC. Mycobacterium
tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37C. Paparan sinar matahari
selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada
tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di
rumah yang gelap (Anonim, 1999). d. Faktor LantaiTerkait dengan
tingkat kelembaban ruangan, sehingga pada kondisi lantai rumah yang
terbuat dari tanah, cenderung mempengaruhi viabilitas kuman TBC di
lingkungan yang pada akhirnya dapat memicu daya tahan kuman TBC di
udara semakin lama.
2.4. Jenis TuberkulosisSecara umum tuberkulosis terbagi menjadi
tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru.2.4.1. Tuberkulosis
ParuTuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006).1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)TB paru
dibagi dalam :a. Tuberkulosis Paru BTA (+) Sekurang-kurangnya 2
dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif2. Tuberkulosis Paru BTA (-) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali
menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan
BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif Jika belum ada hasil
pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa3. Berdasarkan Tipe
PenderitaTipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :a. Kasus baru adalah
penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)b.
Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya
menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai
lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan : Infeksi
sekunder Infeksi jamur TB paru kambuhc. Kasus pindahan (Transfer
In) adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindahd. Kasus lalai
berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.e. Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih
tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5
(satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita dengan hasil
BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
hasilnya perburukanf. Kasus kronik adalah penderita dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baikg. Kasus bekas TB
adalah hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas)negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan
ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.2.4.2.
Tuberkulosis Ekstra ParuTuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur
spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten
dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh
klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, TB ekstra paru dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakit menjadi dua yaitu TB ekstra
paru ringan dan TB ekstra paru berat.1. TB ekstra paru
ringanMisalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar
adrenal.2. TB ekstra paru beratMisalnya : meningitis, millier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB
tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.2.5.
Cara Penularan TuberkulosisM. tuberculosis ditransmisikan melalui
partikel-partikel udara, yang disebut dengan droplet nuclei.
Droplet nuclei yang infeksius dihasilkan oleh seseorang yang
mengalami TB pulmonal atau TB laring ketika batuk, berteriak, atau
bernyanyi. Bergantung pada lingkungan, partikel-partikel kecil ini
dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Transmisi terjadi
ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang mengandung M.
tuberculosis, dan droplet nuclei masuk melalui mulut atau hidung,
saluran pernafasan atas, bronkus dan sampai di alveolus. Transmisi
juga dapat terjadi melalui kontak langsung pada kulit sehingga
menyebabkan TB verukosa kutis (CDC, 2013; Partogi, 2008).Ada 4
faktor yang menentukan kemungkinan transmisi dari M. tuberculosis1.
SusceptibilityKerentanan (status imunologi) dari individu yang
terpapar2. InfectiousnessInfeksius berkaitan dengan jumlah bakteri
TB yang dikeluarkan di udara3. EnvironmentFaktor lingkungan yang
mempengaruhi konsentrasi M. tuberculosis4. ExposureJarak ,
frekuensi, dan durasi dari paparan
Karakteristik pasien dengan TB yang dihubungkan sebagai keadaan
yang infeksius menurut CDC 2013 :FaktorGambaran
Klinis Batuk, 3 minggu atau lebih Penyakit saluran nafas,
khususnya keterlibatan laring (sangat infeksius) Tidak menutup
hidung dan mulut ketika batuk atau bersin Pengobatan yang tidak
adekuat (obat, lamanya)
Prosedur Pada saat dilakukan prosedur yang menginduksi batuk
(bronskoskopi, pengambilan sputum)
Radiografi dan Laboratorium Adanya kavitas Kultur positif M.
tuberculosis BTA positif
Faktor Lingkungan yang meningkatkan kemungkinan transmisi M.
tuberculosisFaktorGambaran
Konsentrasi droplet nucleiMakin banyak droplet nuclei
kemungkinan transmisi makin bertambah
RuangRuang tertutup dan sempit
VentilasiVentilasi yang tidak adekuat
Sirkulasi udaraUdara sirkulasi mengandung droplet nuclei
Penanganan spesimenPenanganan spesimen yang tidak tepat
Tekanan udaraTekanan udara positif sehingga M. tuberculosis
berpindah ke area yang lain
Patogenesis TBInfeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet
nuclei yang mengandung basil dan masuk sampai ke alveoli. Basil ini
kemudian dimakan oleh makrofag alveolar, sebagian besar basil ini
dihancurkan atau dihambat dengan cara membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi basil yang disebut granuloma. Pada keadaan ini
seseorang telah mengalami infeksi M. tuberculosis namun tidak
menimbulkan gejala.Seseorang menjadi Tb aktif jika bakteri pada
penderita tb laten menjadi aktif kembali atau bakteri berhasil
bermultiplikasi secara intraseluler. Bakteri yang bermultiplikasi
secara intraseluler dapat keluar ketika makrofag mati atau jika
makrofag tetap hidup, basil ini berkemungkinan dapat menyebar ke
sistem limfatik atau masuk ke aliran darah dan dapat mencapai
jaringan dan organ yang letaknya jauh (otak, tulang, tulang
belakang atau ginjal).1
Infeksi TB latenInfeksi TB aktif
Jumlah bakteri Tb sedikit, hidup, inaktifJumlah bakteri Tb
banyak, hidup, aktif
Tidak menularMenular
Tidak ada gejalaBergejala seperti batuk, demam, penurunan BB,
dll
Pemeriksaan tuberculin dan pemeriksaan darah menunjukan infeksi
TBPemeriksaan tuberculin dan pemeriksaan darah menunjukan infeksi
TB
Radiografi normalRadiografi abnormal
BTA dan kultur negatifBTA dan kultur positif
Pengobatan ditujukan untuk pencegahanPengobatan ditujukan untuk
kuratif
Tidak membutuhkan isolasi repirasiButuh isolasi repirasi
(penggunaan masker)
Faktor risiko Tb laten menjadi Tb aktifFaktor risiko
Penderita HIV Anak 60 kg : 600 mg BB 40-60 kg : 450 mg BB <
40 kg : 300 mg. Dosis intermiten 600 mg / kali INH 5 mg/kg BB,
maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X
semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali
Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu,
50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :BB > 60 kg : 1500 mgBB 40-60 kg
: 1 000 mgBB < 40 kg : 750 mg Etambutol : fase intensif 20mg /kg
BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB
2 X seminggu atau :BB >60kg : 1500 mgBB 40 -60 kg : 1000 mgBB
< 40 kg : 750 mgDosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mgBB 40 - 60 kg : 750
mgBB < 40 kg : sesuai BB Kombinasi dosis tetapRekomendasi WHO
1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4
tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat
menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang
selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada
kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit /
fasiliti yang mampu menanganinya.2.6.1.2. Efek Samping OATSebagian
besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi
dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi
dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.1.
Isoniazid (INH)Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda
keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan
nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada
keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping
berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus.2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan
hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah : Sindrom flu berupa
demam, menggigil dan nyeri tulang Sindrom perut berupa sakit perut,
mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare Sindrom kulit
seperti gatal-gatal kemerahan Efek samping yang berat tapi jarang
terjadi ialah : Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal
tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok
dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi,
rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang Sindrom respirasi yang ditandai
dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada
air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut
terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti dan tidak
perlu khawatir.
3. PirazinamidEfek samping utama ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri
sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.4.
EtambutolEtambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis
yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatanakan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.5. StreptomisinEfek
samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada penderita
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitivitas kadang
terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat
menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 2.2 Ringkasan Efek Samping OAT
2.6.2. Pengobatan Suportif/SimptomatikPengobatan yang diberikan
kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan. 1. Penderita rawat jalan a. Makan makanan
yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan
(pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)b. Bila demam
dapat diberikan obat penurun panas/demam c. Bila perlu dapat
diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.2. Penderita rawat inap a. Indikasi rawat inap : TB
paru disertai keadaan/komplikasi sebagai berikut : Batuk darah
(profus) Keadaan umum buruk Pneumotoraks Empiema Efusi pleura masif
/ bilateral Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di
luar paru yang mengancam jiwa : TB paru milier Meningitis TB b.
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat
2.6.3. Kriteria Sembuh BTA mikroskopik negatif dua kali (pada
akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan
pengobatan yang adekuat . Pada foto toraks, gambaran radiologik
serial tetap sama/ perbaikan . Bila ada fasilitas biakan, maka
kriteria ditambah biakan negative
2.7. Definisi ResistensiResistensi dapat diartikan sebagai
kemampuan mikroorganisme untuk menahan efek obat yang mematikan
terhadap sebagian besar anggota spesiesnya. Secara umum resitensi
terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :1. Resistensi
primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1
bulan2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti
apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau
tidak.3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai
riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan (Soepandi, 2010)Terdapat
empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :1. Monoresisten:
Kekebalan terhadap salah satu OAT2. Poliresisten: Kekebalan
terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin3. Multidrug-resistance (MDR): Kekebalan terhadap
sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin4. Extensive
drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu
dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
(Soepandi, 2010).
2.8. EpidemiologiSejak dijalankannya Program Penanggulangan TB
Global pada tahun 1994, data terjadinya resistensi OAT telah
dikumpulkan dari 135 negara. Laporan WHO tahun 2007 menyatakan
persentase resistensi primer di seluruh dunia telah terjadi
poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat 10,3%, dan Multidrug
Resistan-Tuberculosis (MDR TB) sebesar 2,9%. Sedangkan di Indonesia
resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2%. Dari laporan
2007-2010, kasus MDR TB baru diperkirakan sekitar 0-28,9% dengan
Belarus 25,7%, Estonia 18,3%, Rusia 28,3%, dan Tajikistan 16,5%.
Sedangkan MDR TB pada pasien yang telah mendapat pengobatan
berkisar 0-65%. Negara dengan proporsi lebih dari 50% diantaranya
Belarus 60,2%, Lithuania 51,5%, Republik Moldovo 65,1%, Federasi
Rusia dan Tajikistan (WHO 2007).Di Indonesia sendiri belum
mempunyai data nasional mengenai angka resistensi M. tuberculosis
ini. Data-data yang ada saat ini merupakan data yang diambil dari
rumah sakit sebagai pusat pendidikan kedokteran. Suyata (1999)
dalam penelitiannya tentang resistensi M. tuberculosis terhadap
obat anti tuberkulosis di Palembang mendapatkan angka resisten yang
tinggi, yaitu 67,9% resistensi sekunder, dan 40,2% resistensi
primer. Dari penelitian ini juga didapatkan angka MDR sekunder
sebesar 28,6% dan 4,9% MDR primer. Penelitian ini dilanjutkan oleh
Irawan pada tahun 2006 dan didapatkan penurunan angka resistensi
menjadi 27,7% resistensi primer, 52,7% resistensi sekunder, 7,2%
MDR primer dan 16,4% MDR sekunder. (Irawan, 2006).Hasil penelitian
pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Susi mengenai pola resistensi
M. tuberculosis pada narapidana di Lembaga Permasyarakatan Kelas 1
Pria Tanjung Gusta Medan didapatkan hasil DR TB sebesar 83,3% dan
MDR TB 16,7%. (Susi, 2008). Yuniarti, pada tahun 2010 melakukan
penelitian resistensi OAT primer pada penderita baru tuberkulosis
paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru (bp4) Lubuk Alung Sumatera
Barat didapatkan resistensi primer sebesar 8,2%. (Yuniarti, 2010).
Hasil penelitian Tirtana (2011) di Semarang, didapatkan resistensi
primer sebesar 73,3% dan resistensi sekunder sebesar 27,7% .
2.9. PatogenesisFaktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
resistensi M.tuberculosis terhadap OAT antara lain:1. Pemberian
terapi TB yang tidak adekuat, misalnya:a. Penggunaan regimen yang
efektivitasnya kurang memadai, misalnya pasien dengan diagnosis tb
paru bta (+) diberikan 2 atau 3 jenis obat pada fase awal.b. Pasien
dengan OAT yang resisten yang mendapat pengobatan jangka pendek
dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang
resisten (The amplifier effect).c. Peresepan yang kurang adekuat
atau aturan pakai yang salah.2. Faktor penderitaa. Ketidakpatuhan
penderitab. Gangguan absorbsi pada saluran cerna sehingga
konsentrasi efektif serum tidak tercapai.c. HIV akan mempercepat
terjadinya infeksi TB dan memperpanjang periode infeksius.d. Masa
infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resiten obat. Penyebaran ini tidak
hanya pada pasien di rumah sakit, tetapi juga pada petugas rumah
sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien. 3. Faktor mikroba
mengalami mutasi4. Faktor komunitasa. Pendidikan yang rendah yang
menyebabkan kurangnya pemahaman pentingnya pemakaian obat secara
teratur.b. Sosioekonomi rendahc. Sosiodemografis yang kurang
terjangkau (Gillespie, 2002) (Soepandi, 2010) 2.9.1. Resistensi
Mikroba Terhadap AntimikrobaBrooks dkk (2008) mengemukan,
mikroorganisme dapat menjadi resistensi melalui beberapa mekanisme
diantaranya mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat
aktif dan mengubah permeabilitasnya terhadap obat serta
mengembangkan sasaran struktur yang dirubah terhadap obat. Jasad
renik dapat kehilangan bentuk sasaran khusus untuk suatu obat
selama beberapa generasi dan resistensi.2.9.2 Asal Resistensi
Obat1. Resistensi Non GenetikAntimikroba dapat bekerja dengan baik
bila kuman dalam keadaan aktif membelah. Kuman yang tidak dalam
keadaan masa aktif akan resisten terhadap obat. Bila berubah
menjadi aktif, mikroba kembali menjadi sensitif dan keturunannya
juga tetap bersifat sensitif terhadap antimikroba tersebut (Brooks
dkk, 2008).
2. Resistensi GenetikKebanyakan mikroba yang resisten obat
timbul sebagai akibat perubahan genetik dan proses seleksi yang
terjadi kemudian oleh obat antimikroba. Resistensi genetik
didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi, dikenal resistensi
kromosomal dan ekstrakromosomal. Mikroba dapat menjadi tidak peka
terhadap antimikroba atau memerlukan kadar antimikroba yang lebih
tinggi. Hal ini terjadi karena elemen yang membawa sifat genetik
resisten itu diturunkan (Brooks dkk, 2008).
3. Resistensi SilangMikroorganisme yang resisten terhadap obat
tertentu juga dapat resisten terhadap obat lain yang mempunyai
mekanisme kerja yang sama. Hubungan tersebut terutama terdapat di
antara agen-agen kimia yang terkait erat atau yang mempunyai cara
pengikatan atau yang mempunyai cara kerja yang sama (Brooks dkk,
2008).
2.10. Kerangka Teori
RifampisinIsoniazidPirazinamidEthambutolStreptomisinResistensi
bakteri terhadap OATMonoresistenPoliresistenMulti Drug
ResistenBakteri- Hasilkan enzim yang hancurkan bahan aktif obat-
Ubah permeabilitas- Perubahan jalur metabolic- Perubahan struktur
target obatKomunitas- Pendidikan rendah- Sosial ekonomi rendah-
Sosio demografi kurang terjangkauTerapi- Obat tunggal- Regimen
kurang efektif- Aturan Pakai Salah- Peresepan kurangPenderita-
Tidak patuh- Gangguan absorbs- HIV- Terlambat didiagnosis6