Top Banner
Open Journal of Radiology, 2012, 2, 25-30 http://dx.doi.org/10.4236/oj r ad. 2 012.21005 Published Online March 2012 (http://www.SciRP.org/journal/ojrad) Gambaran CT pada pasien terinfeksi virus H1N1 influenza Marirosa Cristallo Lacalamita, Emanuela Salinaro, Maria Raffaella Abrusci, Marco Moschetta, Giuseppe Angelelli Interdisciplinay Department of Medicine, Section of Radiology, Medical School, University of Bari, Bari, Italy Email: marirosacristal [email protected] Received January 12, 2012; revised February 14, 2012; accepted February 23, 2012 Abstrak Tujuan : untuk mengevaluasi lesi primer, komplikasi, dan perkembangan penyakit pada pasien yang terinfeksi virus H1N1. Bahan dan Metode : 24 orang pasien terinfeksi H1N1, didiagnosis melalui apusan tenggorokan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), melalui CT examination. Tujuh orang pasien dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Lima orang pasien diawasi perkembangan penyakitnya. Beberapa yang dievaluasi : lesi primer yang signifikan pada infeksi virus, kemungkinan komplikasi, dan perkembangan penyakit pada pasien terkontrol. Hasil : lesi primer yang beragam ditemukan pada 22 orang dari 24 orang pasien : gambaran opak ground glass (19/24, 79.2%), penebalan interstitial (13/24, 54.2%), nodul sentrilobular (3/24, 12.5%), dan konsolidasi (8/24, 33.3%). Komplikasi yang ditemukan : 3 konsolidasi dengan air bronchogram, 9 efusi pleura, 7 ARDS, dan 1 barotrauma. Pada 5 pasien yang di follow-up (termasuk 3 pasien dirawat di ICU), penyembuhan lengkap ditemukan pada 4 kasus dan perkembangan fokal fibrotik ditemukan pada satu kasus. 3 pasien ICU meninggal akibat ARDS.
15
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Translet Jurnal Radio

Open Journal of Radiology, 2012, 2, 25-30http://dx.doi.org/10.4236/oj r ad. 2 012.21005 Published Online March 2012 (http://www.SciRP.org/journal/ojrad)

Gambaran CT pada pasien terinfeksi virus H1N1 influenza

Marirosa Cristallo Lacalamita, Emanuela Salinaro, Maria Raffaella Abrusci, Marco Moschetta, Giuseppe Angelelli

Interdisciplinay Department of Medicine, Section of Radiology, Medical School, University of Bari, Bari, Italy

Email: m

[email protected]

Received January 12, 2012; revised February 14, 2012; accepted February 23, 2012

Abstrak

Tujuan : untuk mengevaluasi lesi primer, komplikasi, dan perkembangan penyakit pada pasien yang terinfeksi virus H1N1. Bahan dan Metode : 24 orang pasien terinfeksi H1N1, didiagnosis melalui apusan tenggorokan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), melalui CT examination. Tujuh orang pasien dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Lima orang pasien diawasi perkembangan penyakitnya. Beberapa yang dievaluasi : lesi primer yang signifikan pada infeksi virus, kemungkinan komplikasi, dan perkembangan penyakit pada pasien terkontrol. Hasil : lesi primer yang beragam ditemukan pada 22 orang dari 24 orang pasien : gambaran opak ground glass (19/24, 79.2%), penebalan interstitial (13/24, 54.2%), nodul sentrilobular (3/24, 12.5%), dan konsolidasi (8/24, 33.3%). Komplikasi yang ditemukan : 3 konsolidasi dengan air bronchogram, 9 efusi pleura, 7 ARDS, dan 1 barotrauma. Pada 5 pasien yang di follow-up (termasuk 3 pasien dirawat di ICU), penyembuhan lengkap ditemukan pada 4 kasus dan perkembangan fokal fibrotik ditemukan pada satu kasus. 3 pasien ICU meninggal akibat ARDS. Kesimpulan : pada kasus infeksi virus H1N1, CT merupakan alat yang penting untuk mengetahui tingkatan penyakit, mengenali komplikasi dan mempelajari perkembangan penyakit.

Kata kunci : Computed Tomography; CT-H1N1; Virus; Infeksi

1. Pendahuluan

Virus H1N1 adalah RNA virus dari famili Orthomyxoviridae. Terdapat dua cara penyebaran influenza : bentuk endemik disebabkan oleh virus grup B dan bentuk pandemik disebabkan oleh virus grup A, seperti “Spanish” yang terjadi tahun 1918-1919, “Asiatic” terjadi pada tahun 1957-1958 dan “Hongkong” pada 1968-1969. H1N1 merupakan virus influenza tipe A yang berasal dari babi (SOIV, swine origin influenza virus). Virus ini menginfeksi sebagian besar dari hewan berdarah panas, termasuk burung, babi, kuda, dan manusia, dimana virus B

Page 2: Translet Jurnal Radio

influenza dan virus C influenza hanya menginfeksi manusia dan dapat menjadi epidemik. Reservoir virus A influenza pada hewan, sebagai adaptasi perkembangan mereka, dapat membantu memproduksi influenza golongan baru yang akan menyebabkan epidemik dan pandemik baru [1].

Infeksi antarmanuasia pertama dilaporkan di Mexico pada April 2009 [2] dan penyebaran yang cepat di seluruh dunia terdapat pada bulan Juni 2009 dan WHO mengumumkan sebagai status pandemik, dengan skala emergensi 6 [3].

Penyebaran virus H1N1 di Italia diamati dalam hubungannya dengan penyebaran virus yanng disebabkan influenza musiman pada tahun 2009-2010 dan tahun 2010-1011 [4]. Anak-anak, remaja, dan usia lanjut merupakan kelompok paling beresiko, dengan populasi paling beresiko tinggi tehadap morbiditas dan mortalitas adalah anak-anak, wanita hamil, pasien dengan penyakit jantung, penyakit pernafasan kronik, dan pasien dengan immuno-compromised [5].

Manifestasi klinik dari penyakit ini beragam : asimptomatis, gejala ringan yang berhubungan dengan saluran napas atas (dipsneu, demam, batuk) dan sistem gastrointestinal (diare dan mual), pneumonia berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sampai kerusakan multiorgan.

Higiene dan perlindungan personal penting untuk membatasi penyebaran dari penyakit. Vaksinasi influenza memperlihatkan keefektifan dan cara aman untuk mencegah penyakit dan komplikasi ada pasien beresiko. Pemakaian antiviral dapat digunakan pada pasien terinfeksi H1N1 [4], tetapi pada kasus klinik yang parah dengan gagal napas, lebih baik pasien dirawat untuk mendapatkan terapi ventilasi [5].

Diagnosis infeksi H1N1 biasanya berdasarkan data klinis, tetapi harus dipastikan dengan RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction) pada apusan tenggorokan [3].

Gambaran diagnosis berdasarkan foto thoraks dan Computed Tomography (CT) sangat berguna dalam mengkaji penyakit karena memberikan penilaian kerusakan parenkimal paru yang luas.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi peranan CT dalam mengkaji penyakit, dan khususnya untuk mengidentifikasi luka awal, menemukan komplikasi dan untuk mempertimbangkan perkembangan penyakit.

2. Bahan dan Metode

Pemeriksaan CT pada 24 orang pasien dilakukan antara bulan November 2009 dan Maret 2011 dan terinfeksi virus H1N1 pada ulasan sebelumnya. Diagnosis ditegakkan melalui teknik RT-PCR dengan bahan genetik virus dari apusan tenggorokan.

Page 3: Translet Jurnal Radio

Dua orang ahli radiologi thoraks dengan pengalaman lebih dari 5 tahun meninjau literatur terakhir dan memperlihatkan gambaran analisis tersendiri. Perbedaan penaksiran diputuskan melalui konsensus. Beberapa ahli radiologi mengevaluasi melalui pemeriksaan TC.

Sampel terdiri atas 12 orang perempuan (50%) dan 12 orang laki-laki, berumur antara 20 – 73 tahun (mean 46, median 47.5).

Semua pasien dirawat di rumah sakit pada saat penelitian: 11 dari 24 orang pasien (45.8%) dari departemen paru, 5 dari 24 orang pasien (20.8%) dari departemen penyakit infeksi, dan satu orang pasien (4.2%) dari bagian ruangan hematologi.

7 dari 24 orang pasien (29.2%), dalam keadaan kritis, dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan mendapatkan Mechanical Assisted Ventilation (MAV).

45.8% dari total (11 dari 24 orang pasien) terlibat dalam situasi berbahaya : 4 dari 11 pasien (36.3%) hipertensi, 4 pasien (36.3%) alergi, 3 pasien (27.3%) mengalami penyakit jantung, 2 pasien (18.2%) diabetes, 2 pasien (18.2%) mendapatkan transplantasi ginjal. Satu pasien (9.1%) dipengaruhi oleh trombosis vena dalam (DVT), tiroiditis autoimun, sindrom Down, sarcoma Kaposi, Acute Myeloid Leukemia (AML) dan penyakit paru obstruktif kronik (COPD). Terakhir, satu pasien dengan kegemukan dan dipengaruhi oleh defisit neurologis.

19 pasien hanya menjalani satu pemeriksaan CT, 5 pasien diperiksa setiap waktu untuk melihat tanda klinis yang signifikan.

Pemeriksaan CT menggunakan peralatan CT dengan sistem 16 potongan (Aquilion TSX-101A-16, Toshiba Medical Systems, Tokyo, Japan) dan peralatan CT dengan sistem 320 potongan (Aquilion One, Toshiba Medical Systems, Ottowara, Japan).

Protokol dari scanning memuat dengan ketebalan 1 mm, kV/mAs 120/250, kehitaman 1.75, penambahan 0.8, waktu rotasi tabung 0.5 detik untuk sistem CT 16 baris, dimana dengan ketebalan potongan 0.5 mm, kV/mAs 120/250, kehitaman 1.25, penambahan 0.5, waktu rotasi tabung 0.5 detik dengan menggunakan sistem CT 320 baris.

Pada kebanyakan pasien, CT scan terlihat pada fase inspirasi yang dalam.

Pada 23 kasus dengan CT scan kurang tinggi diperoleh : pada satu kasus, 110 mL medium kontras (Bracco Iomeron 470, Milan, Italy) diinjeksi intravena dengan kecepatan aliran 3mL/detik dikarenakan adanya kecurigaan emboli paru.

Data scanning dihitung menggunakan teknik Sure Start.

Semua pemeriksaan CT akan ditransfer dan dievaluasi pada HP XW 8600 dengan menggunakan software yang berdedikasi untuk pembacaan gambar (Vitrea FX 2.1, Vital Images, Minneapolis, Minnesota, US). Gambaran CT dan rekonstruksi multi-planar (MPR) dianalisis oleh dua ahli radiologi dengan pengalaman 30 tahun dan 5 tahun dalam thoracic imaging dan software reconstruction imaging; pada kasus lesi nodul, program the Maximum

Page 4: Translet Jurnal Radio

Intensity Projection (MIP) dengan ketebalan 7 mm lebih akurat dalam mengindentifikasi lesi nodular.

Pada semua kasus, gambaran CT dievaluasi dengan window untuk mempelajari struktur mediastinum (luas 350 HU, window 40 HU) dan untuk mempelajari parenkim paru (luas 1500 HU, window -700 HU). Perbedaan penaksiran diputuskan melalui konsensus. Durasi setelerah pemosesran selama 15 menit.

Pada semua kasus diperiksa untuk mencari lesi primer yang signifikan pada infeksi virus berdasarkan data Fleischner [6] : gambaran opak ground glass (peningkatan densitas inhomogen di parenkimal, dengan penampakan bronkial dan vaskular), konsolidasi (peningkatan densitas parenkimal dengan penampakan struktur bronkial dan vaskular), penebalan intersititial, nodul (opasitas dengan diameter maksimum 3 cm).

Untuk melihat komplikasi awal atau akhir pada pasien yang menjalani follow-up, parameter yang dipertimbangkan : superinfeksi bakteri (konsolidasi dengan air bronchogram), bronkiektasis, efusi pleura, limfadenopati, ARDS, barotrauma karena ventilasi mekanik, fibrosis.

Berdasarkan distribusinya, lesi paru diperkirakan difus, bila terkena lebih dari satu lobus, atau lobar.

3. Hasil

Secara keseluruhan, pemeriksaan CT dapat mengenali kelainan paru pada 22 orang pasien dari 24 pasien (91.7%).

Pada sebagian, lesi yang dapat diidentifikasi : ground glass opacities pada 79.2% kasus (19/24), konsolidasi pada 33.3% kasus (8/24), penebalan interstitial pada 54.2% kasus (13/24), nodul pada 12.5% (3/24).

Gambaran opasitas ground glass yang menyebar terdapat pada 12 dari 19 kasus (63.1%) dan lobar pada 7 dari 19 kasus (36.8%).

Pada sebagian kasus, penyebaran lesi mempunyai distribusi ke sub-pleural pada 7 dari 12 kasus (58.3%) dan distribusi ke peribronkovaskular pada 5 dari 12 kasus (41.7%). Lesi lobar berlokasi di lobus kanan atas pada tiga kasus (3/7, 42.8%), lobus kiri bawah pada dua kasus (2/7, 28.6%), lonus kanan bawah pada satu kasus (1/7, 14.3%) dan lobus kiri atas pada satu pasien (1/7, 14.3%).

Gambaran opasitas ground glass terjadi sebagai bentuk isolasi pada 3 dari 19 kasus (15.8%), berhubungan dengan konsolidasi parenkimal pada 3 dari 19 kasus (15.8%), berhubungan dengan penebalan interstitial pada 9 dari 19 kasus (47.4%) (Gambar 1) dan berhubungan dengan konsolidasi dan penebalan interstitial pada 4 dari 19 kasus (21.05%).

Page 5: Translet Jurnal Radio

Gambar 1. Pasien yang terkena infeksi H1N1 (a, b). CT transverse scan. Daerah ground glass dengan multi-segmental pendistribusian dapat dideteksi dalam lobus bawah kiri; intra dan interlobular penebalan interstitial terkait.

Gambar 2. Pasien yang terkena infeksi H1N1. Daerah ground glass (panah) (CT scan melintang, (a) - (b); MPR rekonstruksi pada bidang koronal, (c); MPR rekonstruksi di pesawat sagittal, (d); konsolidasi (panah) (a), (d) dan nodul (panah kosong) (b), (c) dapat diamati.

Gambar 3. Pasien yang terkena infeksi H1N1, rumit oleh infeksi bakteri super. CT scan melintang. Kehadiran daerah ground glass (a) terkait dengan konsolidasi parenkim(b), (c) dan air bronchogram (panah) (d).

Page 6: Translet Jurnal Radio

Gambar 4 Pasien yang terkena infeksi H1N1 rumit dengan ARDS dan barotrauma (a) melintang CT scan; (b) co-Ronal rekonstruksi). Pasien yang sama: evolusi penyakit (c) - (d) melintang CT scan). Kehadiran daerah ground glass terutama terletak di lobus atas dan konsolidasi parenkim di lobus rendah. Emfisema interstisial (tanda cincin) (lingkaran merah), pneumo-mediastinum, pneumo-leher dan subkutan-neous emphysema berhubungan (a), (b). 45 hari kemudian, munculnya garis-garis fibrotik dan bronchiectases traksi (panah) di lobus atas (c), (d) dapat diamati, yang dikaitkan dengan diciptakan dengan regresi semua lesi parenkim lainnya.

Konsolidasi parenkimal dilihat pada 8 pasien, dan opasitas ground glass pada 7 kasus (Gambar 2). Terdapat penyebaran konsolidasi pada 75 % kasus (6/8) dan pada 25% kasus (2/8) terjadi sebagai fokal konsolidasi; satu berlokasi di lobus tengah dan satunya di lobus kanan bawah.

Derajat penebalan interstitial untuk gambaran retikular diidentifikasi pada 13 dari 24 pasien (54.2%) dan selalu berhubungan dengan opasitas ground glass. Inter-lobular interstitium terdapat pada semua kasus (13/13, 100%), berhubungan dengan perselubungan intra-lobular interstitial pada 9 dari 13 kasus (69.2%). Sub-pleural interstitium ditemukan pada 7 dari 13 kasus (53.8%).

Nodul dengan diameter dari 5 mm dan 1 cm ditemukan pada 3 dari 24 kasus (12.5%) (Gambar 2).

Pada satu pasien yang menjalani pemeriksaan kontras tidak terdapat abnormalitas perfusi paru.

Diantara beberapa komplikasi, temuan yang dinilai : 3 pasien super-infeksi bakteri (3/24, 12.5%), 9 pasien efusi pleura (9/24 37.5%), 7 pasien ARDS (7/24, 29.2%), berhubungan dengan barotrauma pada satu kasus (1/7, 14.3%) (Gambar 3). Komplikasi bakteri pada distribusi multi-segmental ditemukan pada semua kasus; berlokasi di lobus kanan atas pada dua kasus dan lobus kiri bawah pada satu kasus.

Page 7: Translet Jurnal Radio

Efusi pleura terdeteksi pada 9 kasus (9/24, 37.5%); bilateral pada 5 kasus (5/9, 55.5%), dan unilateral pada 4 kasus (4/9, 44.4%), lokasi di kanan pada 2 kasus (2/4, 50%) dan lokasi di kiri pada 2 kasus (2/4, 50%).

Disamping itu, dua pasien terdapat efusi pleural di basal kiri, seperti yang dilaporkan.

Pemeriksaan kontrol CT pada 5 pasien (5/24, 20.8%), termasuk 3 pasien ARDS (3/5, 60%). Pada 4 kasus (4/5, 80%) perbaikan yang lengkap dilaporkan.

Perkembangan kerusakan parenkimal bertahap ditemukan pada satu kasus. Pada saat penelitian, daaerah opasitas ground glass dan konsolidasi parenkimal ditemukan melalui dengan pemeriksaan CT untuk ARDS teridentifikasi. Lalu, interstitial empisema dengan tanda “cincin mengelilingi arteri”, pneumothorkas, pneumomediastinum dan subcutaneus empisema, kemungkinan dipicu oleh Mechanical Assisted Ventilation (MAV) teridentifikasi (Gambar 4).

Perubahan ditentukan oleh barotrauma dan peningkatan progretivitas. Seteah 45 hari, perbaikan menyeluruh konsolidasi parenkimal dinilai bersamaan dengan perkembangan fibrosis di daerah ground glass (Gambar 4).

Dengan mengacu pada hasil yang dilaporkan, 21 pasien (21/24, 87.5%) memenuhi pemulihan dan “exitus” pada 3 pasien (3/24, 12.5%); pasien kegemukan yang dipengaruhi tiroiditis autoimun, pasien dengan hipertensi dan transplantasi ginjal dan yang terakhir pasien dengan sindrom Down dan PPOK berat.

4. Diskusi

Sejak 2009, era pertama infeksi antar manusia di Meksiko, penyebaran cepat dari H1N1 telah diamati dan pandemia telah menjadi darurat global. Diagnosis infeksi ini didasarkan pada gejala klinis dan data laboratorium, terutama pada RT-PCR swab tenggorokan. Bahkan, berbagai manifestasi klinis dari bentuk asimtomatik sampai kegagalan pernafasan dan kegagalan multi-organ. Sebagaimana diuraikan dalam literatur, setelah mendapatkan diagnosis, penilaian tingkat kerusakan parenkim pulmo dengan cara rontgen dada dan / atau dada CT pemeriksaan adalah wajib. Menurut beberapa penulis [7], rontgen dada sudah cukup untuk membuat diagnosis dan CT scan dapat dicadangkan untuk kasus-kasus tertentu, beberapa ahli [8-10] menekankan penggunaan CT sebagai alat yang lebih akurat dalam menentukan jenis dan distribusi lesi, dengan alasan bahwa penyelidikan X-ray kadang-kadang bisa meremehkan kerusakan.

Dalam hal ini, hasil yang dilaporkan oleh berbagai penulis mengenai jenis lesi primer pada dasarnya sama, meskipun insiden adalah variabel dalam seri yang berbeda.

Dalam pengalaman dilaporkan, opasitas ground glass kembali hadir sebagai perubahan yang paling sering, dengan 79,2% (19/24) nilai kejadian.

Page 8: Translet Jurnal Radio

Hasil ini sesuai dengan batas atas dari kisaran dilaporkan dalam literatur [7-13], mulai dari 12% [7] dan 65% [10]. Deteksi daerah opasitas ground glass tidak spesifik untuk pneumonia influenza karena fitur ini bisa menjadi sekunder untuk infeksi menular parenkim paru atau infeksi tidak menular. Namun, pengakuan dari temuan pada simptom pasien dilaporkan bahwa opasitas ground glass daerah periperal mungkin merupakan tanda awal infeksi H1N1 [14].

Konsolidasi parenkim diamati pada 33,3% kasus (8/24). Distribusi mereka menyebar di 75% kasus dan fokal di 25%. Seperti dilaporkan dalam literatur, nilai jumlah kejadian mengenai konsolidasi secara luas berkisar antara 5% [7] dan 85% [10].

Sebuah penebalan interstitial retikular tercatat pada 54% kasus, dengan nilai insiden yang lebih tinggi daripada yang dilaporkan sejauh ini dalam literatur, antara 3% [8] dan 37% [7]. Mungkin perbedaan ini adalah karena tingkat keparahan pasien dipertimbangkan, seperti penampilan retikular kemungkinan akan dianggap indikasi tahap yang lebih lanjut dari penyakit.

Nodul ditemukan pada 12,5% pasien, dan bahwa ditempatkan di antara persentase terendah, mulai dari 4,8% [12] 40% [10].

Komplikasi yang dilaporkan dalam penelitian ini adalah: 3 kasus infeksi bakteri super (3/24, 12,5%), 9 efusi pleura (9/24, 37,5%), 7 ARDS (7/24, 29,2%), 1 barotrauma (1 / 7, 14,3%).

Dalam penelitian yang dilaporkan , komplikasi bakteri diamati pada 12,5 % kasus dan , seperti yang dilaporkan dalam literatur [ 15,16 ] , pengakuan mereka didasarkan pada deteksi konsolidasi dengan air bronchogram , terkait dengan efusi pleura dalam satu kasus . Sebaliknya , tidak ada tanda-tanda lain yang sugestif dari infeksi bakteri seperti opasitas “puncak pohon” , efusi perikardial , adenopati hilus , kavitasi dan hidropneumo thorax [ 11 ] .

Efusi pleura ditemukan pada 37,5 % pasien , persentase dengan peringkat tertinggi di antara nilai-nilai yang dilaporkan dalam literatur , mulai dari 10 % [ 7 ] untuk 44,4 % [ 11 ] kasus .

Kehadiran efusi pleura dilaporkan dalam banyak seri dalam literatur [ 11-13 ] : beberapa penulis mengkorelasikan tanda ini sebagai komplikasi penyakit lain dari infeksi bakteri [ 11 ], lainnya [ 13 ], bukan mempertimbangkan efusi pleura sebagai infeksi H1N1 cedera dikenali .

29,1 % dari pasien ( 7/24 ) ditemukan gambaran radiologi dan temuan klinis yang spesifik untuk ARDS [17] , yang diperlukan masuk ke ICU ; ini merupakan komplikasi yang dilaporkan dalam berbagai penelitian dengan persentase berkisar antara 7,5 % [ 7 ] dan 25 % [ 13 ].

20,8 % (5 /24) dari pasien , termasuk 3 dipengaruhi oleh ARDS , menjalani pemeriksaan CT tindak lanjut dan 4 dari mereka regresi lengkap penyakit ini diamati. Dalam satu kasus , emfisema interstisial , pneumotoraks , pneumomediastinum dan subkutan emphisema yang terkait dengan pengembangan barotrauma dideteksi, mungkin disebabkan oleh bantuan

Page 9: Translet Jurnal Radio

ventilasi mekanik ; ini merupakan komplikasi yang dilaporkan oleh beberapa penulis [ 18 ] , dengan frekuensi mulai dari 17 % [ 13 ] untuk 62 % kasus [ 12 ] .

Kontrol pada pasien yang sama menunjukkan terjadinya fibrosis fokal , dianggap sekunder terhadap infeksi H1N1 karena karakteristiknya , yang terjadi pada jarak waktu 45 hari dari perawatan rumah sakit , berbeda dengan fibrosis diharapkan setelah ARDS , di mana kerusakan terjadi pada jarak waktu sekitar 7 hari [ 17-19 ] .

Baru-baru ini , peran beberapa infeksi virus ( Hepatitis C Virus , Epstein Barr Virus , Cytomegalovirus dan H1N1 ) dalam patogenesis fibrosis paru idiopatik ( IPF ) telah ditekankan [ 20 ] dan, khususnya , telah menunjukkan bahwa dalam beberapa virus tersebut dapat memodulasi gen ELMOD2 terlibat dalam respon fibroblast infeksi virus pada sel epitel dan makrofag alveolar dan mengaktifkan mekanisme patogenetik dari IPF [ 21 ] .

Dalam pertimbangan, pemulihan lengkap ditemukan pada 87,5% pasien dan exitus di 12,5% dan nilai-nilai ini sebanding dengan yang dilaporkan dalam literatur, memberikan tingkat pemulihan antara 50% [10] dan 97,5% [7] dan exitus antara 2,5 % [7] dan 40% [11].

Perlu dicatat bahwa semua pasien yang meninggal memiliki komorbiditas penting, dan mungkin exitus mereka dapat berhubungan dengan adanya penyakit yang berhubungan (penyakit autoi-mmune tiroid, hipertensi, transplantasi ginjal, sindrom Down, PPOK berat), selain kerusakan parenkim, seperti juga ditunjukkan dalam pengalaman sebelumnya dilaporkan oleh penulis lain [2-4,7,10].

5. Kesimpulan

Pada pasien yang terkena infeksi H1N1, pemeriksaan CT merupakan alat yang layak karena akurat dalam menampilkan tingkat kerusakan parenkim dan evolusi penyakit. Keterbatasan utama dari teknik ini tetap ketidakmampuan untuk mencirikan infeksi H1N1 sesuai dengan jenis lesi primer, tapi mungkin lebih berpengalaman di seri yang lebih besar akan meningkatkan hasil yang diperoleh sejauh ini.

REFERENSI

[1] G. Watts, “Pandemic Flu A/H1N1 Influenza Virus: The Basics,” July 2009. http://www.bmj.com/conte n t/33 9 /bmj.b3046

[2] R. Perez-Padilla, D. de la Rosa-Zamboni, S. Ponce de Leon, et al., “Pneumonia and Respiratory Failure from Swine-Origin Influenza A (H1N1) in Mexico,” The New England Journal of Medicine, Vol. 361, No. 7, 2009, pp.680-689.

[3] World Health Organization, “Human Infection with Pan- demic (H1N1) 2009 Virus: Updated Interim WHO Guid- ance on Global Surveillance,” July 2009. http://www.who.int/csr/resources/publications/swineflu/in terim_guidance/en/index.html

[4] Circolare del Ministero della Salute, “Prevenzione e Controllo Dell’Influenza: Raccomandazioni per la Stagione 2010-2011,” July 2010. http://www.normativasanitaria.it/normsan-pdf/0000/34861_1.pdf

[5] Centers for Disease Control and Prevention “People at High Risk of Developing Flu-Related Complications,” November 2009. http://www.cdc.gov/h1n1flu/highrisk.htm.

[6] D. M. Hansell, A. A. Bankier, H. MacMahon, B. Bao, T.

Page 10: Translet Jurnal Radio

C. McLoud, N. L. Müller and J. Remy, “Fleischner Soci- ety: Glossary of Terms for Thoracic Imaging,” Radiology,Vol. 246, No. 3, 2008, pp. 697-722.doi:10.114 8 /radiol.2462070712

[7] E. Busi Rizzi, V. Schininà, F. Ferraro, L. Rovighi, M.Cristoforo, D. Chiappetta, F. Lisena, F. Lauria and C. Bibbolino, “Radiological Findings of Pneumonia in Patients with Swinw-Origin Influenza A Virus (H1N1),” La Radiologia Medica, Vol. 115, No. 4, 2010, pp. 507-515. doi:10.100 7 /s11547-010-0553-9

[8] P. Agarwal, S. Cinti and E. A. Kazerooni, “Chest Radio- graphic and CT Findings in Novel Swine-Origin Influ- enza A (H1N1) Virus (S-OIV) Infection,” American Jour- nal of Roentgenology, Vol. 193, No. 6, 2009, pp. 1488-1493. doi:10.22 1 4/AJR.09.3599

[9] A. M. Ajlan, B. Quiney, S. Nicolaou and N. L. Müller, “Swine-Origin Influenza A (H1N1) Viral Infection: Ra- diographic and CT Findings,” American Journal of Ro- entgenology, Vol. 193, No. 6, 2009, pp. 1494-1499. doi:10.221 4 /AJR.09.3625

[10] B. M. Elicker, B. S. Schwartz, C. Liu, E. C. Chen, S. A.Miller, C. Y. Chiu and W. Richard Webb, “Thoracic CT Findings of Novel Influenza A (H1N1) Infection in Im-munocompromised Patients,” Emergency Radiology, Vol.17, No. 4, 2010, pp. 299-307. doi:10.100 7 /s10140-010-0859-x

[11] M. Coppola, A. Porto, D. De Santo, S. De Fronzo, R.Grassi and A. Rotondo, “Influenza A Virus: Radiological and Clinical Findings of Patients Hospitalised for Pan-demic H1N1 Influenza,” La Radiologia Medica, Vol. 116,No. 5, 2011, pp. 706-719. doi:10.100 7 /s11547-011-0622-0

[12] T. Valente, F. Lassandro, M. Marino, F. Squillante, M.Aliperta and R. Muto, “H1N1 Pneumonia: Our Experi- ence in 50 Patients with a Severe Clinical Course ofNovel Swine-Origin Influenza A (H1N1) Virus (S-OIV),”La Radiologia Medica, Vol. 116, No. 7, 2011, pp. 989-1152.

[13] G. Mineo, F. Ciccarese, C. Modolon, M. P. Landini, M.Valentino and M. Zompatori, “Post-ARDS Pulmonary Fibrosis in Patients with H1N1 Pneumonia: Role of Fol- low-Up CT,” La Radiologia Medica, Vol. 116, No. 7, 2011, pp. 989-1152.

[14] D. J. Mollura, D. S. Asnis, R. S. Crupi, et al., “Imaging Findings in a Fatal Case of Pandemic Swine-Origin In- fluenza A (H1N1),” American Journal of Roentgenology, Vol. 193, No. 6, 2009, pp. 1500-1503. doi:10.221 4 /AJR.09.3365

[15] J. Vilar, M. L. Domingo, C. Soto and J. Cogollos, “Radi- ology of Bacterial Pneumonia,” European Journal of Radiology, Vol. 51, No. 2, 2004, pp. 102-113. doi:10.101 6 /j.ej r a d.2004.0 3 .010

[16] S. Sharma, B. Maycher and G. Eschun, “Radiological Imaging in Pneumonia: Recent Innovations,” Current Opinion in Pulmonary Medicine, Vol. 13, No. 3, 2007, pp.159-169. doi:10.1097/MCP.0b013e3280f3bff4

[17] G. R. Bernard, A. Artigas, K. L. Brigham, J. Carlet, K. Falke, L. Hudson, M. Lamy, J. R. Legall, A. Morris andR. Spragg, “The American-European Consensus Confer- ence on ARDS. Definitions, Mechanisms, Relevant Out-comes, and Clinical Trial Coordination,” American Jour- nal of Respiratory and Critical Care Medicine, Vol. 149, No. 3, 1994, pp. 818-824.

[18] H. Henry Guo, R. T. Sweeney, D. Regula and A. N.Leung, “Fatal 2009 Influenza A (H1N1) Infection, Complicated by Acute Respiratory Distress Syndrome andPulmonary Interstitial Emphysema,” Radio Graphics, Vol. 30, 2010, pp. 327-333. doi:10.1 1 48/rg.3020952 1 3

[19] M. Prokop and M. Galanski, “Tomografia Spirale e Multistrato,” Elsevier-Masson, Milano, 2006.

[20] R. Kaarteenaho1 and V. L. Kinnula Hindawi, “Diffuse Alveolar Damage: A Common Phenomenon in Progres- sive Interstitial Lung Disorders,” Hindawi Publishing Corporation Pulmonary Medicine, Vol. 2011, 2011, Arti- cle ID: 531302, pp. 1-10.

[21] V. Pulkkinen, S. Bruce, J. Rintahaka, U. Hodgson, T.Laitinen, H. Alenius, V. L. Kinnula, M. Mylla¨rniemi, S. Matikainen and J. Kere, “ELMOD2, a Candidate Genefor Idiopathic Pulmonary Fibrosis, Regulates AntiviralResponses,” The FASEB Journal Research Communica- tion, Vol. 24, No. 4, 2010, pp. 1167-1177. doi:10.109 6 /fj. 0 9-138545