TRANSKRIP DIALOG RADIO Judul: Mengupas Modus Gratifikasi Pejabat Negara Diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta Tempat : Ruang Perpustakaan KHN, Lantai 2, Jalan Diponegoro 64 Jakarta Pusat Hari/Tanggal : Rabu, 7 Mei 2014 Waktu : Pukul 13.00-14.00 WIB Narasumber : 1. Frans Hendra Winarta (Anggota KHN RI) 2. Jeremiah Limbong (YLBHI) 3. Giri Suprapdiono (Direktur Grativikasi KPK) Host : Selamat Siang kita berjumpa lagi dalam dialog hukum, saya Vivie Zabkie bersama Anda. Kita bersiaran langsung dari ruang perpustakaan Komisi Hukum Nasional RI Lantai 2, Jl. Diponegoro no.64 Jakarta Pusat. Saudara, siaran bisa Anda simak di 50 radio jaringan KBR. Dan siang ini, saya mengajak Anda Mengupas Modus Gratifikasi Pejabat Negara. Ya, ini produsen ipod, Apple agak senang mungkin, tapi bisa juga gak senang juga karena agak populer, ketika anak dari Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi menikah pada bulan Maret 2014 lalu, rupanya tamu undangan dapat cenderamata berupa ipod. Nah, tamu undangan ini karena yang menikah adalah anak Sekretaris MA, kan terdiri dari para pejabat negara. Nah, kemudian ini menjadi kontroversi, karena beberapa undangan yang mendapatkan cenderamata tersebut sudah mengembalikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan beberapa undangan memilih tidak mengembalikannya dengan berbagai argumentasi, terutama karena pemberian itu tidak dianggap sebagai gratifikasi, sebagaimana tercantum dalam UU. Nah, itu hanyalah salah satu bentuk dari gratifikasi. Ada cara-cara lain pemberian gratifikasi pada pejabat negara. Nah, kita akan kupas dalam diskusi
15
Embed
TRANSKRIP DIALOG RADIO Judul: Mengupas Modus …userfiles.hukumonline.com/redaksi/6_DH_Mengupas_Modus_Gratifikasi... · pembuktiannya dibanding dengan kasus korupsi yang langsung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TRANSKRIP DIALOG RADIO
Judul: Mengupas Modus Gratifikasi Pejabat Negara
Diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan
Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta
Tempat : Ruang Perpustakaan KHN, Lantai 2, Jalan Diponegoro 64 Jakarta Pusat
Hari/Tanggal : Rabu, 7 Mei 2014
Waktu : Pukul 13.00-14.00 WIB
Narasumber :
1. Frans Hendra Winarta (Anggota KHN RI)
2. Jeremiah Limbong (YLBHI)
3. Giri Suprapdiono (Direktur Grativikasi KPK)
Host : Selamat Siang kita berjumpa lagi dalam dialog hukum, saya Vivie Zabkie
bersama Anda. Kita bersiaran langsung dari ruang perpustakaan Komisi Hukum
Nasional RI Lantai 2, Jl. Diponegoro no.64 Jakarta Pusat. Saudara, siaran bisa
Anda simak di 50 radio jaringan KBR.
Dan siang ini, saya mengajak Anda Mengupas Modus Gratifikasi Pejabat Negara.
Ya, ini produsen ipod, Apple agak senang mungkin, tapi bisa juga gak senang juga
karena agak populer, ketika anak dari Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi
menikah pada bulan Maret 2014 lalu, rupanya tamu undangan dapat
cenderamata berupa ipod. Nah, tamu undangan ini karena yang menikah adalah
anak Sekretaris MA, kan terdiri dari para pejabat negara. Nah, kemudian ini
menjadi kontroversi, karena beberapa undangan yang mendapatkan
cenderamata tersebut sudah mengembalikan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), sedangkan beberapa undangan memilih tidak mengembalikannya
dengan berbagai argumentasi, terutama karena pemberian itu tidak dianggap
sebagai gratifikasi, sebagaimana tercantum dalam UU.
Nah, itu hanyalah salah satu bentuk dari gratifikasi. Ada cara-cara lain
pemberian gratifikasi pada pejabat negara. Nah, kita akan kupas dalam diskusi
kali ini. Untuk itu kita akan bersama dengan Direktur Gratifikasi KPK, Bapak Giri
Suprapdiono yang sedang ada di luar kota, jadi kita akan berbincang melalui
saluran telepon. Sementara di ruang perpustakaan KHN sudah hadir Dr. Frans
Hendra Winarta, anggota KHN. Kemudian dari YLBHI ada Bang Jeremiah
Limbong yang sudah berkemas.
Oke baik, saya akan bertanya langsung ke Pak Giri. Pak Giri?
Giri Suprapdiono : Selamat siang.
Host : Pak Giri, kan masih ada yang belum mengembalikan ipod dalam
pernikahan anaknya Pak Nurhadi, Sekretaris MA, salah satu alasanya
mengatakan “ini tidak masuk sebagai gartifikasi”. Sebetulnya yang dimaksud
gratifikasi itu seperti apa? Apakah termasuk dalam pemberian ipod sebagai
cendera mata ini?
Giri Suprapdiono : Sebenarnya ini kejadian yang unik, ya. Karena biasanya
gratifikasi terkait dengan penerima, namun kemudian menjadi menarik ketika,
ini yang menikahkan yang memberi. Jadi ini memang kasus pertama KPK, dimana
yang kita telaah itu dua pihak yaitu pemberi dan penerima.
Gratifikasi sendiri kalau dalam Undang-undang kan dalam arti luas, dan itu akan
dianggap suap apabila pemberian tersebut terkait jabatan dan tugasnya, yang
berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Jadi kami harus menemukan bahwa
pemberian tersebut terkait jabatan, yang kedua, melawan tugas dan
kewajibannya. Dan kami menemukan di kode etik MA yang disepakati oleh
Komisi Yudisial mengenai keputusan bersama bahwa pemberian dalam bentuk di
acara-acara struktural dan tidak terkait perkara dan tidak terkait konflik
kepentingan yang di bahkan preadilan, maka MA membatasi nilainya Rp 500.000,
sehingga kalau diatas Rp 500.000 maka itu masuk kategori gratifikasi yang
dilarang oleh kode etik MA. Larangan terhadap kode etik MA ini yang membawa
kita kepada salah satu alasan mengapa pemberian ipod dari Bapak Nurrhadi
kepada tamu undangan masuk ke dalam gratifikasi.
Host : Em…Undangan itu siapa saja ya? Apakah undangan yang kemudian
dianggap gratifikasi ini apa pejabat negara kah? Atau yang punya kepentingan
dengan MA? Bagaimana kalau masyarakat biasa ada di sana kan gak kena ya?
Giri Suprapdiono : Masyarakat biasa tidak. Jadi yang wajib melaporkan
gratifikasi adalah pegawai negeri dan penyelenggara negara. Jadi ada beberapa
yang diundang kan em misalkan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi di Provinsi-
provinsi, mengundang beberapa pejabat yang ada kaitannya dengan jabatan,
Namun untuk masyarakat biasa, misalkan saudaranya besan, kemudian
saudaranya pengantin misalkan, tidak diwajibkan menurut undang-undang
untuk melaporkan.
Host : Baik, ini unik ya. Biasanya kalau ada pejabat yang menikahkan anak, dia
yang buru-buru melapor bila menerima uang dari tamunya, ini sekarang
tamunya yang harus melapor karena menerima sesuatu dari yang menikahkan.
Nah, Pak Frans, saya ingin tanya, apakah memang sekarang kecenderungan para
penguasa yang terpilih di legislatif, eksekutif, juga yudikatif, ini makin permisif
pada gratifikasi yang mengarah pada suap dan tindak pidana korupsi, apalagi
kalau masuknya pada money politic dan sebagainya?
Frans Hendra Winarta: Menurut saya, begini ya, sebenarnya budaya permisif
ini sudah lama, sudah beberapa generasi, sejak saya masih anak-anak, jadi ini
bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang, bagaimana memotong
budaya sungkan kalau menurut saya ini. Karena dengan budaya seperti ini,
orang kan jadi sungkan, terlepas dari jumlahnya berapa tadi dibatasi oleh kode
etik MA dan KY yang Rp 500.000 keatas itu tidak boleh. Tapi menurut saya,
pemberian itu kalau menimbulkan rasa terimakasih, rasa hutang budi, dan lain-
lain yang menyebabkan orang tidak bebas lagi. Apalagi dalam suatu jabatan
tertentu, karena pemberian itu jadi sungkan, jadi mau melanggar hukum, atau
mau melakukan katakanlah kejahatan. Itu yang tidak boleh menurut saya. Jadi
gratifikasi ini kan mulai dari wisata, hotel, tiket pesawat, janji-janji, komis, uang,
sampai kepada seks. Nah, bedanya dengan korupsi, korupsi langsung
menyebabkan kerugian keuangan negara, kalau gratifikasi tidak, terselubung.
Jadi menurut saya, budaya seperti ini harus kita potong. Kita tahu sama-sama,
sudah lama sekali, berapa generasi, dari generasi orang tua kita sampai
sekarang. Yang kecil-kecilan mau buat SIM, KTP, dulu istilahnya uang rokok,
uang lelah, uang keringat, uang dengar, uang apa lagi lah. Saya kira ini budaya
yang harus kita potong, kalau tanpa itu saya kira ini sulit. Dan itu memerlukan
pendidikan sejak kecil di rumah maupun sejak taman kanak-kanak, SD, SMP,
SMA, sampai tingkat Universitas, sikap anti korupsi ini harus dibina, dipupuk.
Karena sehari-hari saya praktik itu, kalau saya kalah karena tidak menyuap, ada
teman atau klien yang mengatakan “Anda terlalu jujur sih”. Ya, kata-kata ‘terlalu’
itu permisif, menurut saya hanya ada jujur dan tidak jujur, gak bisa abu-abu
ditengah-tengah jujur, atau separuh jujur, separuh tidak jujur. Budaya ini lah
yang kita harus potong. Itulah yang menurut saya, kalau ini tidak dibenahi,
korupsi akan tetap marak, gratifikasi apalagi.
Seingat saya, di pengadilan tipikor, itu hampir jarang, atau mungkin tidak ada
tuntutan kepada orang karena gratifikasi. Kebanyakan karena korupsi saja,
karena mungkin pembuktiannya lebih mudah, dan mungkin hukumannya lebih
berat. Coba lihat di pengadilan tipikor, jarang orang dituntut karena gratifikasi.
Ini pun jadi salah satu sebab kenapa orang tidak takut, boro-boro ada rasa jera.
Jadi budaya kita ini yang harus diubah.
Host : Nah, ada dua berarti pr kita. Dan nanti kita akan tanya ke Pak Giri, nanti,
bagaimana membuktikan dan mengubahnya. Saya ingin ke Bang Jeremiah
Limbong dulu dari YLBHI. Bagaimana Anda melihat kaus ini, misalnya apa yang
harus dilakukan oleh KPK, dan saya ingin melihat Pak Nurhadi ini kan sudah jelas
pejabat publik negara, ketika menikahkan, dia kan harusnya tahu undangan
adalah para pejabat negara, disorot publik pula, tapi masih percaya diri
membagikan ipod, menurut Anda apa yang terjadi sih sebenarnya? Apa yang bisa
kita lihat dalam konteks korupsi?
Jeremiah Limbong: Ya, kalau kita lihat tadi setelah keterangan Pak Giri tadi,
bahwasanya kalau kita perhatikan memang Nurhadi merupakan Sekretaris MA,
ya dia telah melakukan tindak gratifikasi tadi. Kenapa? Karena yang juga patut
nantinya di selidiki, dan kami juga percaya KPK sedang menyelidiki itu. Eee,
darimana harta sebanyak itu kna nanti jadi pertanyaan di masyarakat. Darimana
harga ipod yang dipasaran adalah Rp 500.000- Rp 700.000.
Host : Dollar ya? Ipod?
Jeremiah Limbong: Rp 700.000. itu patut dipertanyakan, sedangkan tamu
undangan hingga 4000 orang. Bagaimana seorang sekretaris MA kok bisa
menggelar satu pernikahan yang fantastis, bak seorang putra milyuner. Kalau
dia memang milyuner sih gak papa, tapi ini adalah seorang Sekretaris MA, ini
yang harus kita lihat.
Host : Diluar urusan gratifikasi tadi itu juga yang harus dikaji juga, ya?
Jeremiah Limbong: Itu dia, kami melihat seperti itu, karna kecenderungannya
bukan hanya Nurhadi juga, mungkin belum kethuan saja, ada juga pastinya
tindakan serupa seperti yang dilakukan Nurhadi sendiri. Tetapi itu belum
terungkap, ini akan jadi pr untuk KPK dan kita semua untuk sama-sama
mengawasi dan mengungkap kasus.
Host : Baik, Bang Jeremiah Limbong, terimakasih. Pak Giri, masih bersama kami
Pak Giri?
Giri Suprapdiono : Ya.
Host : Nah, soal pembuktian itu, apakah soal gratifikasi ini lebih sulit
pembuktiannya dibanding dengan kasus korupsi yang langsung begitu, yang
lebih besar?
Giri Suprapdiono : Kalau kesulitas sebenarnya relatif. Kalau pak Frans bilang
belum pernah ada kasus gratifikasi, kami punya beberapa catatan. Yang pertama
di sidang dan punya putusan bersalah dalam pasal yaitu Gayus Tambunan,
pegawai pajak yang kena 6 tahun karena gratifikasi terkait pengurusan pajak.
Yang kedua, kasus gratifikasi karena kepemilikian uang senilai 650.000 US$. Jadi
ada beberapa.
Kemudian yang menarik adalah beberapa kasus-kasus yang potensial kasus
gratifikasi. Kenapa potensial? Karena kalau gratifikasi ini kita pidanakan maka
akan jadi predicate crime yang bagus dan mudah bagi tindak pidana pencucian
uang. Jadi dengan menemukan harta yang diluar kewajaran, kita hanya
membuktikan kalau harta itu diperoleh dari mana saja? Apa dari hibah? Karena
bila dalam 30 hari kerja tidak dilaporkan KPK, maka itu bisa jatuh pada pasal
gratifikasi. Jadi sebenarnya bisa mudah bisa sulit. Namun ada kecenderungan
bahwa Jaksa-jaksa itu memilih pasal-pasal yang lebih mudah dibuktikan, seperti
pasal 11, pasal 5, dimana tidak memerlukan pembuktian yang dobel. Kalau
gratifikasi kan pemberian terkait jabatan, dan melawan tugas dan kewajiban. Ada
kata ‘dan’ itu artinya ada dua hal yang perlu dibuktikan disana. Yang pertama,
terkait jabatannya. Yang kedua adalah melawan tugas dan kewajiban. Namun,
untuk membuktikan melawan tugas dan kewajiban itu tidak harus kita buktikan
layaknya pasal suap lain, bahwa keputusan pemberian itu terkait dengan
mempengaruhi putusan yang bersangkutan. Tapi, ee pelanggaran kode etik dan
sumpah jabatan merupakan bentuk dari melawan tugas dan kewajiban tersebut.
Apalagi kalau diperkuat misalkan di MA ada kode etik yang melarang menerima
hadiah terkait jabatan. Bahkan terkait struktural pun, hakim sudah dibatasi.
Itulah mengapa ketika menetapkan ipod, posisi hakim itu sangat unik, karena
kalau kita pahami kan hakim itu kan atas nama Tuhan untuk menetapkan nasib
seseorang. Misalkan dicabut, sehingga orang bisa bebas. Eee, hal-hal lain yang
dalam konteks HAM itu sepertinya pelanggaran, tetapi hakim mempunyai
kewenanngan yang cukup besar sehingga dibutuhkan suatu kode etik dan
tatanan sehingga hakim ini dijaga benar dari perilaku-perilaku kurang tepat,
patutnya begitu. Jadi memang kasus ipod ini pelajaran bagi kita semua sehingga
tidak semata-mata hukum formil, namun unsur etika dan kepatutan itu jadi lebih
penting, dalam bahasa kerennya, rule of moral itu mustinya juga harus
mengimbangi rule of law.
Host : Baik, menarik sekali. Kita akan kembali kupas modus gratifikasi pejabat
negara di bagian berikutnya. Dan untuk Anda yang hadir disini, mungkin nanti
setelah perbioncangan diskusi kita, KPK memberikan video tentang Gratifikasi
yang bisa kita tonton bersama setelah diskusi. Saudara tetap bergabung bersama
kita dalam diskusi modus gratifikasi pejabat negara dengan telepon ke …..atau
sms ke ….. Kami segera kembali.
IKLAN
Host : Mengupas modus gratifikasi pejabat negara itu tema diskusi hari ini. Masih
bersama Bapak Giri Suprapdiono, Direktur ratifikasi KPK, Bapak Frans Hendra
Winarta, Anggota Komisi Hukum Nasional dan Bung Jeremiah Limbong dari
YLBHI.
Nah, saudara, tadi ada beberapa hal menarik yang disampaikan oleh Pak Giri,
diantaranya soal etika kepatutan juga perlu diperhatikan selain hukum yang
berlaku. Nah, bagaimana pendapat Anda, Bang Jeremiah? Ada juga yang
mengatakan ini orang makin lama menganggap gratifikasi ini bukan hal yang
penting dalam skala kecil di masyarakat, seperti yang disampaikan Pak Frans,
sudah dianggap biasa.
Jeremiah Limbong: Iya, bahwasanya kita tadi sudah melihat bahwasanya terjadi
sikap permisif di masyarakat. Pertama kita mesti liat dulu, saya sangat setuju
dengan apa yang dikatakan Pak Frans, bahwasanya masyarakat menjadi permisif
karena memang orang sudah cuek, sudah jadi budaya. Bahwasanya setiap
pemilu, kalau kita lihat gambar di internet, “menerima serangan fajar”, bisa
sampai kalau gitu ya. Ada juga bila kita lihat aspek lain, kekecewaan masyarakat
terhadap pemerintah, ini bisa jadi salah satu faktor, masyarakat bersikap
permisif. Itu kalau kita lihat di ranah pemilu. Pemilu 2014, ini kan kita sering
lihat di media bahwasanya terjadi money politic yang dalam skala yang cukup
besar. Lalu sangkut pautnya kepada gratifikasi, masyarakat merasa bahwa “gue
dikasih kok, ini hanya sekedar cenderamata”. Masyarakat tidak melihat ada apa
dibalik, bukan berarti ini bersentuhan langsung. Seperti apakah ada kaitan
Nurhadi dengan undangan-undangan tersebut dalam arti rekan kerja atau
baaimana. Tapi yang bisa kita lihat adalah masyarakat begitu cuek, bahkan
beberapa bandel gak mau mengembalikan itu karena mereka melihat ini tidak
ada kaitanya kok. Kan ini saya dikasih. Dikasih ya saya terima. Ini yang
sebenarnya harus diadakan edukasi, sosialisasi, pendidikan bahwa ini
merupakan salah satu bagian dari kita harus mempertanyakan.
Host : Ketika seseorang memberi kita, kita patut mempertanyakan apakah ada
maksudnya?
Jeremiah Limbong: Heem, bukan itu saja. Maksudnya dalam arti kita melihat ini
cukup mewah kalau kita lihat untuk seukuran pejabat negara. Kalau kita lihat
Nurhadi begitu super mewah mengadakan pesta pernikahan anaknya. Nah, kalau
masyarakat itu kritis kan akan bertanya, dapaet ipod juga, kan biasanya dapet
gelas segala macem.
Host : Gantungan kunci, hehee.
Jeremiah Limbong: Nah itu, kekritisan mayarakat di pupuk sedari sekarang. Jadi
masyarakat jangan terlalu cuek, ini kalau kita sama-sama mau menegakkan
sikap anti korupsi dalam masyarakat. Kita harus bersama-sama meningkatkan
kekritisan masyarakat mulai dari kita sendiri.
Host : Nah ini ada pertanyaan menarik dari Ibu Niar di Depok. Pertanyaanya,
“gratifikasi saat kenaikan kelas, kasih hadiah untuk gurunya. Bagaimana caranya
untuk menghilangkan itu? “ Dia menganggap itu gratifikasi ya. Nanti kita tanya ke
Pak Giri.
Kemudian Ibu/ Bapak Juni di Pontianak, Kalimantan Barat. “Bagaimana kita
memberi batasan ini gratifikasi dan itu tanda terimakasih? “
Pak Giri tolong dibantu jawab dulu, Pak. Apa misalnya kasih hadiah untuk gur
sebagai ucapan terimakasih itu gratifikasi? Kalau menurut Ibu Niar, itu
gratifikasi. Lalu bagaimana membedakan gratifikasi dan tanda terimakasih?
Giri Suprapdiono : Kalau gurunya itu PNS, maka gratifikasi.
Host : Otomatis ya Pak? Berapapun nilainya?
Giri Suprapdiono : Masyarakat cenderung menghalalkan ini. Karena
anggapannya setelah naik kelas kan tidak bertemu lagi, jadi ini tidak akan
mempengaruhi perlakuannya. Perlu diingat kalau gratifikasi itu pada unsur
penerima jadi makanya pegawai negeri dilarang menerima hadiah dalam bentuk
apapun, itu adalah bagian dari pelayanan.
Host : Karena tugas seorang guru kan memberikan pelayannan ya? Jadi tidak
perlu dikasih hadiah karena sudah mengajar, begitu ya Pak?
Giri Suprapdiono : Itu bisa menimbulkan preferensi dan ketidakadilan
kedepannya.
Host : Ya, Pak Giri, mohon maaf suara Anda agak terputus-putus. Kami akan
menelpon Anda lagi supaya suaranya lebih jelas.
Giri Suprapdiono : Baik.
Host : Pak Frans, tadi ada sms, menarik ini, bagaimana kita memberi batasan dari
gratifikasi dengan tanda terimakasih. Nah, ini agak nyambung dengan apa yang
Bapak katakan di awal, bahwa masyarakat Indonesia ini kan budayanya
mengucapkan terimakasih, kasih barang begitu ya, Pak?
Frans Hendra Winarta:Justru setelah kita lihat pasal 12 ayat 1b ini, tidak selalu
melanggar hukum memang, bisa saja kalu itu bentuknya suap ya melanggar
hukum kan. Tapi kalau tidak ada motif untuk menguntungkan yang memberi,
mungkin tidak melanggar hukum, tapi secara etika sudah pasti tidak boleh .
Host : Secara etika tidak bisa ya?
Frans Hendra Winarta: Ya, karena kan seorang guru sudah dibayar dengan gaji,
mau minta apa lagi? Apalagi kalau minta sendiri. Nah, orang tua yang memberi
juga harus hati-hati. Apakah memberi pada tempatnya atau tidak. Ini karna
budaya permisif atau budaya sungkan tadi yang harus kita potong. Jadi gak selalu
semuanya harus dengan hukum.
Contoh begini lah ya, kita bandingkan dengan Jepang, nanti dengan Korea. Coba
lihat di Jepang, uang yang paling kecil sajalah jangan bilang Rp 500.000 ke atas,
kembalian 10 yen saja, misalnya Rp 10.000 kita, supir taksi itu tidak mau terima,
sama sekali tidak mau. Itu masalah kebanggan dia dari suatu bangsa, sebagai
manusia tidak mau dia. Dia hanya mau menerima apa yang tertera di meteran
taksi. Tapi sisanya itu, atau dilebihi saja, dia tidak mau. Begitu juga di Korea.
Tetapi di Singapura, Thailand, Pfhilipina itu lain lagi. Apalagi disini, itu diterima
dengan baik, karena mungkin kita ketularan budaya Amerika Serikat. Soal tip,
jadi kalau misalnya pelayan itu selain dia dapat gaji. Kalau dilayani untuk suatu
yang lebih cepat itu kelihatannya boleh ya, saya tidak tahu persis mengapa. Tapi
kalau di Restoran itu aturannya 10%, kalau puas itu tambah lagi 5%, itu sebagai
jasa atau servis. Ini kita harus menentukan kedepannya, para pemimpin dan
masyarakat, kita mau budaya yang seperti Jepang, strict, tidak mau terima sama
sekali. Atau kita anggap itu sah dan etis saja menerima itu, karena ada pelayanan
yang lebih dari pada normal, dan sangat memuaskan. Kita sekarang di dalam era
yang abu-abu, apa kita mau seperti bangsa epang yang karena kebanggan tidak
mau sama sekali secara etis, atau kita mau seperti bangsa Amerika yang
menerima itu sebagai aturan tidak tertulis, itu saja. Kedepan kita harus tegas
mengenai itu.
Host : Nah, dalam rangka membangun budaya anti korupsi, mana diantara dua
pilihan ini yang paling pas dengan kondisi negara ini luar bisa menghadapi
masalah besar korupsi?
Frans Hendra Winarta: Ini pendapat saya ya, bukan Komisi Hukum Nasional.
Host : Silahkan Bapak, boleh Pak. Hahaaa
Frans Hendra Winarta: Kalau saya, kalau kita memang mau memerangi korupsi
secara tuntas dan lebih cepat. Kita harus poting generasi. Mulai sekarang kita
bilang, berapapun jumlahnya tidak boleh, apalagi dia pejabat publik ya.
Host : Untuk membiasakan semua orang?
Frans Hendra Winarta: Ya, itu dimulai dari sekolah, kalau menurut saya. Jadi
mungkin kalau resminya, pejabat publik, penyelenggara budaya. Tapi kalau
secara budaya, saya kira sejak taman kanak-kanak, karakter anti korupsi harus
ditanamkan dari kecil.
Saya pernah membela suatu perkara, seorang profesor dari perguruan tinggi
negeri. Dan ketika perkara itu jalan, maaf saya gak menyebut namanya, dia diam-
diam ngasih uang sebagai tanda terimakasi. Ada yang sebelum putusan, ada yang
sesudah putusan. Ketika saya protes, profesor itu bilang “ya, sebagai tanda
terimakasih.” Uang lelah, uang keringat, uang dengar. Kan kalau ada yang
transaksi di depan kita, kita bilang uang dengar. Padahal kita tidak punya jasa
apapun juga, Pak.
Host : Cuma karena kebetulan ada saja.
Frans Hendra Winarta: Ini kan sudah budaya tertanam di kita, uang dengar,
uang lelah, uang rokok. Itu semuanya saya kira dimulai dari situ timbulnya
korupsi. Sekali, dua kali tidak ketahuan, ketiga kali mulai merasakan enak, makin
lama makin besar maik enak. Lama-lama jadi karakter seseorang.