(Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen) Volume 2, No.2, November 2020 (28-59) htttp://e-journal.sttaw.ac.id/index.php/kaluteros TRANSFORMASI MISI DALAM KONTEKS BUDAYA SUKU KUBU Stevanus Parinussa STT Tabernakel Indonesia Surabaya [email protected]ABSTRACT The research has a purpose to understand the problem in kubu’s tribe society with their values of live and how they formulated their trabsformatif ministry for a miision ministryto improve the balance of lives with God’s will. Qualitative descriptive research through social phenomena trying to interpret the meaningin the daily live. The goal of the research is: (1) the eternity value from a mission transformation process to represent Christ inKubu tribe’s society context. (2) facing with culture, the changing of mission transformation to improve the test, (3) a comprehensive Bible perpective to undertand a comprehensive culture’s contex of Kubu tribe to avoid subjective assessment Key word: miision transformation, context, culture, communicating gospel
32
Embed
TRANSFORMASI MISI DALAM KONTEKS BUDAYA SUKU KUBU Stevanus ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
menyebabkan pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah bagi masyarakat ini terasa sulit untuk dicapai.
Demikian pula dengan upaya misi dalam membantu
masyarakat mengalami dinamika perubahan yang lebih baik
sebagai perwujudan transformasi misi yang arif dan
bijaksana. Permasalah suku Kubu adalah bagaimana
merumuskan transformasi misi bagi masyarakat Kubu
dirasakan penting agar memberikan tatanan nilai yang
mengubah kehidupan menjadi lebih baik dan bermatabat,
yang tentunya dengan menggunakan pendekatan terhadap
elemen budaya suku Kubu, filosofi dan pola pikir
masyarakat Kubu.
Nilai kebudayaan merupakan suatu obyektifikasi,
suatu ekspresi dalam bentuk perkataan dan pekerjaan, dari
roh masyarakat (semangat zaman) yang hidup dalam ruang
dan waktu tertentu untuk mengekspresikan diri dengan cara
mewujudkan kepercayaan dan nilai-nilai melalui
kebebasan.1 Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebudayaan
adalah sistem yang menghasilkan dan mengomunikasikan
tatanan sosial melalui berbagai praktek bermakna yang
mencakup karya monumental manusia.2
Berkenaan dengan pergulatan paradigma di atas,
dimensi transformasi misi berkesempatan dan bertanggung
jawab untuk masuk ke dalam kancah perdebatan
interpretasi mengenai arti keberadaan manusia dan cara
terbaik untuk mencapai pemenuhannya. Dalam taraf
masyarakat inilah studi mengenai kebudayaan dan teori
sosial bersinggungan dan kehadiran transformasi misi
1Herman Dooyeweerd mengatakan, Aktivitas
kebudayaan selalu mencakup pemberian bentuk pada materi dalam kontrol bebas terhadap materi (Roots of Western Culture: Pagan, Secular, and Christian Options. Toronto: Wedge, 1979, 64) dalam D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed), God and Culture, (Grand Rapids, Michigan: William. B. Eerdmans Publishing Co.T.th.), 6.
akal sebagai hasil cipta, karsa dan rasa. Koentjaraningrat
mendefinisikan kata kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya
dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu.8 Budaya atau kultur dimaksudkan juga untuk
menyebut nilai-nilai yang digumulkan oleh masyarakat
dalam bertindak dan berperilaku.9 Manusia berusaha untuk
memenuhi hasrat terhadap keindahan itu dengan
menciptakan kebudayaan sebagai media yang dianggap
dapat mencapai kesempurnaan hidup. Yang dimaksud
dengan kata ‘menyempurnakan hidup’ adalah manusia
merasa lengkap di dalam hidupnya karena terpenuhi
kebutuhannya.
Bernard T. Adeney mengatakan bahwa segala adat-
istiadat atau kebudayaan yang merupakan pedoman hidup
yang berlaku di dalam persekutuan suatu masyarakat atau
suku haruslah dikonfrontasikan dengan Injil Allah, kepada
Yesus Kristus. Segala sesuatu dalam adat, kebudayaan yang
bermaksud mengabdi kepada Allah dan memiliki kebaikan
bagi sesama manusia berasal dari Allah sedang segala
sesuatu dalam kebudayaan yang dengan sadar atau tidak
sadar menghujat nama Allah dan merusak prikemanusiaan
adalah dari Iblis asalnya.10 Adat-istiadat itu yang
menyangkut suatu masyarakat bersama, memiliki jati diri,
martabat, keamanan dan kesinambungan. Kebudayaan ada
disebabkan alam beserta lingkungan cenderung
memberikan ketegangan-ketegangan dalam kehidupan
8Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1985), 9 mengatakan bahwa budaya sebagai suatu kumpulan gagasan. Konsepsi, nilai, norma dan peraturan dapat disamakan dengan adat, tata kelakuan atau adat-istiadat.
9P. Hariyono, Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu
Budaya Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 45.
10Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), 19 dan J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 9.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
oleh Pemerintah Jambi disebut dengan istilah Suku Anak
Dalam untuk memperhalus pengertian dari sebutan Kubu.19
Terkait dengan kehidupan nomaden, asal-usul suku Kubu
juga menghasilkan pendapat yang berbeda-beda dari para
peneliti budaya, yaitu: Pertama, ada yang mengatakan suku
Kubu berasal dari Rejang Lebong (satu daerah di Bengkulu).
Kedua, para peneliti menyebut suku Kubu dari Minangkabau
karena dialek bahasanya mirip orang Padang. Ketiga,
berpendapat suku Kubu sejarahnya memiliki kaitan erat
dengan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya pada masa
lampau, sedangkan antropolog Swedia, Oyvind Sandbukt,
mengatakan suku Kubu berasal dari ras Melayu, tepatnya
proto Melayu atau Melayu Tua.20
Suku Kubu tersebar dalam empat wilayah daerah
tinggkat II Jambi, yaitu Kabupaten Batanghari, Tanjung
Jabung, Bungo Tebo dan Sarolangun bangko. Wilayah ini
juga dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: Pertama, suku
Kubu bagian Timur daerah Jambi, kira-kira berpusat di
18
Masyarakat terasing adalah masyarakat yang terisolir, memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunkasi dengan masyarakat lain yang lebih maju, sehingga bersifat terbelakang, tertinggal dalam proses mengembangkan kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya, keagamaan dan ideolog, dalam Sudarto, Informasi Bina Masyarakat Terasing, (Jakarta: Depsos RI, 1989), 3.
19Kubu dalam bahasa Melayu Jambi berasal dari kata
Ngubu menyembunyikan diri ke hutan sebagai sikap bertahan demi pandangan hidup suku yang turun-temurun, dalam Hasan Basri Madjid, Kondisi dan Permasalahan Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Suku Anak Dalam di Daerah Jambi, (Jambi: Kanwil Depsos-UNJA Jambi, 1993), 4. Namun pandangan orang Kubu sendiri tidak mau disebut ‘Kubu’ karena menurut mereka artinya ‘kebodohan’ (suatu penghinaan), komunitas ini lebih senang disebut Orang Rimbo, Orang Kelam atau Sanak (Data Museum Negeri Propinsi Jambi, 2005).
20Fahcruddin Saudagar, Kebudayaan Melangun Suku
Anak Dalam Jambi, (Jambi: FKIP-UNJA, 1993), 4.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
daerah Tempino (perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan),
yaitu desa Palempang, desa Nyogan, Bayung Lincir dan Ulu
Sekayu di Sumatera Selatan. Kedua, suku Kubu bagian Barat
dan Tengah tersebar di hutan belukar yang sukar dan sulit
dijamah kehidupan pedesaan yang ada di sekitarnya.
Keterangan hasil survei penduduk menunjukkan
bahwa perkembangan populasi dan sebaran orang Rimba
terbagi dari, yaitu: Orang Rimba, hidup secara berkelompok
di hulu-hulu sungai di dalam hutan. Konsentrasi terbesar
orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas (TNBD) yang secara geografis terletak
antara 102° 30o - 102° 55o BT dan 10° 45o - 20° LS, dengan
jumlah 2.546 jiwa (survei 2017) dan sebagian kecil ada di
wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) sebanyak
474 jiwa (survei 2013). Orang Rimba juga dapat ditemukan
di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit
sepanjang jalur lintas Sumatera hingga ke batas Sumatera
Selatan, dengan jumlah populasi 1.373 jiwa (survei 2013).21
Hukum Adat sebagai Pengendali Sosial22
Hukum adat sebagai aspek kebudayaan yang
praktiknya dapat diamati dari perilaku sehari-hari dimana
berfungsi sebagai pedoman bertingkah laku. Ketaatan
masyarakat Kubu terhadap norma-norma yang berlaku
sangat tinggi.23 Undang-undang adat yang menjadi norma
hidup disebut dengan nenek moyang delapan, pucuk undang
delapan, pucuk teliti duabelas. Empat moyang adalah
21
KKI Warsi, The Indonesian Conservation Communit, Orang Rimba, Kubu dan Suku Anak Dalam (SAD), http://warsi.or.id/content/showing/55/content (diakses, 4 Oktober 2020, pukul 16.50 WIB).
22Sutomo Muntholib, Orang Rimbo: Kajian Fungsional
Masyarakat Terasing di Makekal Propinsi Jambi, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1995), 133.
23Permono, Hubungan Hukum Adat Dengan Status
Tanah Dan Hutan Bagi Masyarakat Suku Anak Dalam Di Propinsi Jambi, (Jambi: Fakultas Hukum – UNJA, 1993), 2.
undang-undang yang seringkali diisyaratkan dengan seloka
adat. Keempatnya mengenai ketaatan tradisi nenek moyang
untuk hidup di hutan, tradisi adat yang harus ditegakkan
terus dan tentang musyawarah dalam pengambilan
keputusan.
Undang-undang delapan dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: empat di atas dan empat di bawah. Empat di atas
berisi tentang aturan norma kesusilaan. Hukuman dahulu
adalah hukuman mati. Empat di bawah berisi peraturan
yang menyikapi pelanggaran kemasyarakatan, misalnya
menyakiti orang hingga terluka, menipu, dan sebagainya.
Untuk hal-hal di luar empat di atas biasanya dikarenakan
hukuman denda kain atau denda hasil buruan atau meramu.
Undang-undang duabelas pada dasarnya sama dengan
undang-undang delapan, tetapi memiliki aturan-aturan
tambahan dan materi yang bertambah. Sedangkan teliti
adalah norma yang telah diperkuat dengan tambahan
peraturan khusus atas dasar kesepakatan tokoh adat. Fungsi
teliti adalah untuk meninjau kembali berat atau besar
hukuman yang dapat diperkecil kembali.
Nilai Kerohanian/Spiritualitas Budaya Suku Kubu
Konsep Allah
Suku Kubu menganut kepercayaan animisme.
Komunitas ini meyakini adanya alam dunia yang tidak
nampak dalam arti di luar batas pencaindera dan di luar
batas akal. Dunia gaib itu menurut sistem kepercayaan
masyarakat Kubu mengandung bayangan tentang wujudnya
dewa (baik dan jahat).24 Pada sebagian masyarakat Kubu
24
Sutomo Muntholib, Orang Rimbo: Kajian Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal Propinsi Jambi, 158. Muntholib cenderung mengaitkan nama dewa sebagai nama lain dari malaikat-malaikat, sesuai dengan beberapa bagian suku Kubu yang menerima pengaruh ajaran Islam dari penyiar-penyiar Islam yang difasilitasi pemerintah.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
moyang atau keturunan. Kedua, agar keberadaan seseorang
di kalangan adat masyarakat Kubu mendapat perhatian. Pria
dan wanita yang belum menikah dianggap ‘belum sebagai
masyarakat penuh’. Hal ini terkait dengan adat yang berlaku
bahwa isteri berhak mendapat perlindungan suami dan
suami berhak memeroleh pelayanan dari isteri sesuai
dengan pepatah adat ‘bini sekato laki’ (pria dalam rumah
tangga adalah kepala keluarga yang patut dihormati
wanita).31 Pernikahan juga menjadi bentuk ikatan baru,
menjadi kelompok yang sama ‘urang kito’ yang menyatu
dengan kelompok yang lain. Ketiga, mengatur perilaku
seksualitas seseorang. Keempat, pernikahan juga sebagai
bentuk perlindungan terhadap anak-wanita yang tidak
memiliki orangtua atau sanak saudara, atau bagi janda muda
yang masih memiliki anak yang kecil.32 Pada masyarakat
Kubu adanya larangan pernikahan sekandung, larangan
perceraian, larangan poligami (meskipun ada juga yang
melakukannya, namun akan berhadapan dengan ketentuan
adat yang berlaku).
Nilai Tradisi Kelahiran
Proses dan peristiwa kelahiran bagi masyarakat
Kubu dianggap sebagai awal kehidupan manusia yang
merupakan karunia bagi keluarga, sebab kelanjutan hidup
nenek moyang berlanjut dengan adanya generasi baru yang
akan memelihara hutan. Pandangan ini menimbulkan
aturan-aturan yang membimbing calon ibu mulai dari
kondisi kehamilan hingga melahirkan dalam keadaan baik.
Suku Kubu memandang kehidupan manusia berasal
dari dewa dan sebagai bentuk permohonan agar proses
31
Aswinar Mahmud, Lingkaran Hidup Suku Anak Dalam Jambi, 5-20.
32Pernikahan suku Kubu dengan masyarakat luar (desa
biasa) jarang terjadi, karena orang desa akan merasa sangat terhina dan malu, jikalaupun ada biasanya orang Kubu tersebut harus mengikuti agama mayoritas.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
kematian adalah upaya akhir yang dapat dilakukan untuk
menghindari kondisi yang terburuk.35
Upacara dipimpin oleh dukun yang mampu
berhubungan dengan roh-roh gaib melalui mantera yang
diucapkannya. Roh-roh gaib yang dipanggil dalam upacara
tersebut disebut mambang atau pembantu rajo nyawo atau
dewa nyawa yang mampu mengambil nyawa manusia. Orang
Kubu percaya bahwa orang-orang yang telah meninggal
rohnya akan dijadikan pelayan dewa nyawa dan dapat
menjadi perantara dukun untuk berhubungan dengan dewa
nyawa. Persiapan yang dalam upacara kematian mencakup
aneka rupa kembang, burung-burungan ondan yang terbuat
dari anyaman daun enau sebagai lambang kendaraan roh
halus, ramuan dan kemenyan dan rumah-rumahan atau bale
pengasuh untuk persinggahan roh gaib yang akan
dipanggil.36
Tanda kematian yang dimengerti masyarakat Kubu
yaitu apabila lidah si sakit ditetesi air garam atau bagian
kulit luar tubuhnya digores dengan benda tajam tidak
bereaksi.37 Orang Kubu yang meninggal tidak ditanam, tetapi
diletakkan di dalam pondok yang dibuat khusus dengan
lokasinya tidak berjauhan dari pemukimannya semasa
hidup. Beberapa barang milikinya akan disertakan agar
dapat digunakan di alam rohnya. Upacara pemakaman
dilaksanakan dalam suasana berkabung dan tangisan yang
sangat memilukan hati. Selesai upacara pemakaman,
keluarga kerabat akan pergi jauh melangun untuk
menghindari kesialan yang semakin meluas dan melupakan
35
Dalam kehidupannya, suku Kubu sering menjumpai masalah serius yang menimbulkan kegelisahan. Mereka bertindak mengatasinya sesuai cara sebagaimana mereka ketahui, namun tindakan tersebut seringkali tidak menyelesaikan masalahnya.
36Yang TR., Basale: Upacara Ritual Suku Kubu, 12-30.
37Isi mantera basale yang mengandung unsur magi
sangat tabu untuk diketahui masyarakat luar karena jika diucapkan sembarangan dapat menyebabkan kutuk.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
kesedihan. Bagi yang tidak melaksanakan tradisi melangun
akan kena kutuk dan masyarakat Kubu sangat takut akan
kutuk.38
Transformasi Misi Mengomunikasikan Injil
Fungsi transformasi misi yang utama dalam
eksistensinya di dunia ini adalah mengomunikasikan Injil
melalui perkataan dan tindakan. Hal ini harus dipahami oleh
setiap pelaku perubahan karena transformasi misi
merupakan inti dari fungsi keberadaannya untuk
mengomunikasi Injil di tengah-tengah budaya masyarakat
Kubu. Misi dengan memberitakan Firman Allah dan
memperkenalkan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat,
sehingga mengalami dinamika perubahan yang signifikan
adalah tujuan transformasi misi, tetapi tidak melakukan
sesuatu untuk mengatasi keadaan sosial yang tragis, adalah
ibarat imam orang Lewi dalam perumpamaan Yesus tentang
orang Samaria yang murah hati.39
Jadi, dalam melaksanakan transformasi misi sebagai
perwujudan dari amanat agung Yesus Kristus, setiap pelaku
perubahan harus menyatukan secara harmoni antara
perkataan dan tindakan. Iman tanpa perbuatan adalah mati.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya
mengimplementasikan fungsi tersebut dalam konteks
masyarakat Kubu yang sangat kompleks?
Beberapa hal yang penting diketahui dari kultur
masyarakat Kubu adalah:
1) Orang Kubu sangat mencintai keseniannya. Hal ini dapat
menjadi pintu bagi pemberitaan Injil Kristus dan Injil Kerajaan
38
Kebiasaan tidak menanam jenazah disebabkan beberapa hal, yaitu: Pertama, zaman dahulu lahan hutan masih sangat luas, tidak dihuni dan masyarakat Kubu tidak mengenal sistem penguburan. Kedua, alasan belas kasihan dan harapan kecil dari keluarga bahwa jika anggota keluarga yang sakit kondisinya tiba-tiba membaik.
39Tissa Balasurya, Teologi Ziarah, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), 210.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
manusia dan keturunannya mengalami kematian, baik fisik
maupun rohani. Manusia terpisah dari Allah dan gambar dan
rupa Allah rusak. (c) kematian Kristus merupakan cara Allah
mengalahkan Iblis, sebagai dasar pengampunan dan pemulihan
relasi antara Allah dengan manusia serta untuk melepaskan
atau menebus manusia dari dosa kematian. (d) kebangkitan
Kristus menandakan maut tidak berkuasa terhadap kematian
orang-orang percaya, pindah dari maut ke dalam hidup, dan
membaharui manusia atau kelahiran kembali.
2) Membuang tradisi melangun, untuk menghindari kesialan atau
kutuk, dan cara keluarga untuk menghapus rasa pilu.
Pendekatan dialog, yaitu: (a) memberi pengertian bahwa
tradisi melangun bukan cara yang tepat untuk melepaskan diri
dari kutuk kematian, usaha tersebut hanyalah kesia-siaan.
Disinilah transformasi misi dapat kreativitasnya untuk
mengomunikasikan Injil dengan pemberitaan karya penebusan
dan pembebasan yang dilakukan oleh Kristus yang tersalib
sebagai bentuk analogi penebusan dan pembebasan suku Kubu
dari kutuk-kutuk nenek moyang.48 (b) arahkan pemikiran
kutuk kepada berkat-berkat Allah bagi orang-orang yang
percaya dalam Kristus. Hal tersebut mencakup; dosa, kutuk,
nasib buruk, kesulitan, kemiskinan, kebinasaan yang semuanya
telah selesai, dan yang baru dialami seperti: kesucian, berkat,
nasib baik, kesehatan, kekayaan dan kehidupan.49 (c) suku
Kubu juga perlu diberikan penyuluhan pola hidup sehat untuk
memperkecil tingkat sakit penyakit, mengelola sumber bahan
makanan sederhana namun bergizi dan memanfaatkan fasilitas
kesehatan. Allah sendiri mau umatNya dalam keadaan sehat.
3) Memakai tradisi adat masyarakat Kubu untuk memelihara
hutan dan lingkungan ekosistemnya sebab tidak bertentangan
48
Lihat metode yang dilakukan oleh Don Richarson, Anak Perdamaian, (Bandung: Kalam Hidup, 1974), 212-222 dan Penguasa-penguasa Bumi, (Bandung: Kalam Hidup, 1995), 112.
49Abraham Alex Tanuseputera, Batu Penjuru,
(Surabaya: House of Blessing, 2005), 179.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…