TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA OPERASI MASTEKTOMI Oleh: Ni Ketut Cintya Riska Prathiwi dr. Putu Kurniyanta,SpAn BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIA DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH 2017
TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI
PADA OPERASI MASTEKTOMI
Oleh:
Ni Ketut Cintya Riska Prathiwi
dr. Putu Kurniyanta,SpAn
BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIA DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH
2017
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii
I. Batasan ..........................................................................................................1
II. Masalah ..........................................................................................................2
III. Penatalaksanaan ...........................................................................................2
3.1 Evaluasi ...........................................................................................2
3.2 Persiapan Praoperatif ........................................................................4
3.3 Premedikasi ......................................................................................4
3.4 Pilihan Anestesia ..............................................................................5
3.5 Pemantauan Selama Anestesia .........................................................7
3.6 Terapi Cairan ....................................................................................8
3.7 Pemulihan .........................................................................................8
3.8 Pasca Anestesia ................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
1
I. Batasan
Tatalaksana anestesia dan reanimasi yang dilakukan pada operasi
pengangkatan payudara radikal modifikasi (modified radical mastectomy)
akibat keganasan.
Mastektomi radikal modifikasi merupakan proses eksisi seluruh
jaringan payudara dari dinding dada hingga bagian ekor aksila dan
pengangkatan total nodus limfa aksila serta jaringan ikat di sekitarnya.
Apabila terlibat, bagian otot di bawah jaringan payudara juga dapat turut
dieksisi.1 Berikut ringkasan dari prosedur mastektomi radikal modifikasi:
Mastektomi Radikal Modifikasi
Posisi Supinasi dengan lengan ipsilateral abduksi dan bisa
diikat saat di lapangan. Hindari peregangan plexus
brachial. Reposisi mungkin saja dibutuhkan.
(rekonstruksi latissimus dorsi)
Insisi Eliptikal oblique atau eliptikal transverse termasuk
puting payudara/areola dan biopsi bagian sekitarnya;
periareolar, atau “tennis-racquet”
Pertimbangan
khusus
Hindari pemasangan IV (intra vena) line dan manset
tensimeter pada lengan ipsilateral; kebanyakan dokter
bedah memilih untuk tidak menggunakan obat pelumpuh
otot selama pembedahan di bagian aksila
Antibiotik Cefazolin 1 g IV (opsional)
Durasi
pembedahan
1,5 – 3 jam; bisa lebih lama pada pengangkatan
payudara bilateral
Pertimbangan
penutupan luka
Pembalutan dengan kasa pada bagian yang diinsisi
Perkiraan
kehilangan darah
150-500 ml, tergantung apabila pisau bedah (scalpel)
atau elektrokauter yang digunakan
Perawatan post
operatif
ICU – 2 hari MRS
Mortalitas Jarang
Morbiditas Limfaedema 5-30%; Seroma 25%; Infeksi 2-10%;
Nekrosis <5%; Hematoma <5%; Perlukaan pada struktur
2
neurovaskular aksila: jarang; Pneumotoraks: jarang
Skor nyeri 4-8
diadaptasi dari: Jaffe RA2
Mastektomi jenis ini masih menjadi pilihan pembedahan utama di
berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara dengan pendapatan rendah
dimana mastektomi dengan konservasi payudara masih jarang dilakukan. Hal
ini disebabkan oleh prevalensi pasien kanker payudara yang akan dioperasi
lebih banyak sudah memasuki stadium akhir, ukuran tumor yang sudah besar
saat didiagnosis, dan karakteristik alamiah penyakit ini didominasi oleh wanita
muda.1
II. Masalah
1. Ancaman depresi nafas. Masalah pernapasan bisa saja muncul
intraoperatif mengingat tindakan anestesia baik anestesia umum
maupun anestesia regional untuk operasi mastektomi melibatkan
manipulasi organ dan jaringan lainnya di bagian toraks.
2. Perdarahan. Risiko terjadinya perdarahan semakin meningkat seiring
dengan meluasnya area metastasis dan jaringan yang terlibat serta
neurovaskularisasi di sekitar tumor.
III. Penatalaksanaan
3.1. Evaluasi
1. Penilaian Status Presen
Evaluasi preoperatif yang efektif membutuhkan anamnesis riwayat
medis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Riwayat medis yang dimaksud
disini termasuk riwayat penggunaan obat pasien di masa lalu, seluruh riwayat
alergi baik terhadap obat maupun kontak dengan bahan tertentu, serta
pengalaman prosedur anestesia yang pernah dilakukan sebelumnya. (Morgan)
Anamnesis dalam ilmu anestesia seringkali berpatokan dengan mnemonic
AMPLE (Allergies, Medication, Past Illness, Last Meal,dan Event). Sementara
untuk pemeriksaan fisik pasien secara menyeluruh dimulai dari tanda-tanda
vital yaitu: tekanan darah, laju respirasi, laju nadi, temperatur, dan nyeri.
Dilanjutkan dengan pemeriksaan B1-B6 yang terdiri dari B1: Brain (tingat
3
kesadaran, Glasgow Coma Scale, pupil isokor dan anisokor), B2: Breath (laju
dan suara nafas tambahan), B3: Blood (status hemodinamik, suara jantung),
B4: Bowel (gerakan peristaltik, distensi abdomen, kelainan hepar/lien), B5:
Bladder (buang air kecil spontan atau via kateter, produksi urin), dan B6:
Bone (ekstremitas). Hasil dari penilaian status presen sebaiknya dapat
menentukan klasifikasi yang digunakan American Society of Anesthesiologists
(ASA) pada pasien untuk mempertimbangkan risiko relatif pasien terhadap
sedasi dan anestesia selama pembedahan.
2. Evaluasi Status Generalis
Pasien dengan keganasan pada payudara umumnya tidak memiliki
masalah kesehatan lain. Akan tetapi, ada baiknya tetap mempertimbangkan
implikasi dari penyakit yang mungkin terjadi di kemudian hari termasuk
metastasis ke paru, otak, hati, dan tulang, serta penyakit lainnya.
- Sistem Pernapasan: masalah pada sistem pernapasan bisa saja muncul
apabila pasien telah menerima X-ray Radiation Therapy (XRT) pada
dada sebagai bagian dari pengobatan. Pemeriksaan: Pertimbangkan
foto toraks dada apabila muncul tanda dan gejala dari penyakit
pulmoner. Masalah lainnya dapat menjadi pertimbangan berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.2
- Sistem Kardiovaskuler: agen kemoterapeutik (seperti doxorubicin pada
dosis >550 mg/m2) dapat menyebabkan kardiomiopati yang signifikan.
Pemeriksaan: EKG dapat dilakukan pada pasien dengan usia di atas 60
tahun atau pada pasien dengan tanda dan gejala penyakit jantung.
Tinjau kembali lewat temuan pada jantung lainnya yang relevan serta
pertimbangkan ekokardiografi apabila muncul tanda dan gejala
kardiomiopati atau penyakit gagal jantung.2
- Sistem Neurologis: kanker payudara bisa mengalami metastasis ke
sistem saraf pusat dan dapat muncul dengan defisit neurologis fokal,
peningkatan tekanan intra kranial, atau perubahan status mental.
Pemeriksaan: sesuai indikasi dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik.2
- Sistem Hematologi: Cari tanda-tanda anemia dan trombositopenia
setelah melakukan kemoterapi. Pemeriksaan: Tes Darah Lengkap.
4
- Pemeriksaan Laboratorium lainnya diindikasikan sesuai dengan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik.2
Evaluasi preoperatif juga termasuk tinjauan tentang kemungkinan
munculnya adverse effect berkaitan dengan kemoterapi yang dilakukan.
Penggunaan IV line pada lengan dengan risiko limfoedema sebaiknya
dihindari karena adanya kemungkinan eksaserbasi limfaedema dan
suseptibilitas terhadap infeksi. Hal yang juga harus diperhatikan adalah
perlindungan lengan dengan risiko limfoedema tersebut dari kompresi
(sebagai contoh pemasangan manset tensimeter) dan panas. Adanya nyeri
tulang dan sendi serta fraktur patologi harus diperhatikan dalam
mempertimbangkan tindakan anestesia regional dan memposisikan pasien saat
pembedahan. Pemilihan obat anestesia, teknik, dan monitoring khusus lebih
dipengaruhi oleh prosedur pembedahan yang telah direncanakan.3
3.2. Persiapan Praoperatif
1. Persiapan Rutin
Persiapan yang rutin dilakukan pada pasien dewasa yang akan masuk
ruang pembedahan adalah puasa, biasanya 8 jam sebelum operasi untuk puasa
makanan dan 4 jam sebelum operasi untuk minum air putih.
Mengkomunikasikan jadwal puasa kepada pasien merupakan hal yang wajib
dilakukan meningat salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas tersering
berkaitan dengan anestesi adalah aspirasi isi lambung. (Alan) Selain puasa,
pasien juga harus disiapkan mental dan fisiknya dengan pemberian KIE,
dukungan moral, dan diingatkan untuk berdoa. Pasien dan keluarga sudah
harus paham betul akan tindakan yang akan dilakukan serta menandatangani
informed consent. Informasi yang harus diberikan kepada pasien diantaranya
adalah: komplikasi umum yang mungkin terjadi terkait tindakan anestesi yang
akan dilakukan, pengalaman dan perasaan yang mungkin dialami selama masa
perioperatif, risiko yang mungkin didapat selama perioperatif, simpulan
mengenati tindakan anestesia yang akan dilakukan, serta pasien harus
diberikan kesempatan bertanya mengenai hal-hal yang masih kurang dipahami
sebelum memberi informed consent. Dalam memberikan informed consent
sendiri, pasien harus memiliki kapabilitas dalam memberi persetujuan, telah
5
mendapatkan informasi yang cukup sehingga mampu memberi persetujuan,
dan persetujuan yang diberikan harus bersifat sukarela.4
2. Persiapan khusus
Persiapan khusus berupa donor dan transfusi darah dipertimbangkan
dengan melihat risiko perdarahan dari segi pembedahan dan hasil evaluasi
preoperatif. Pertimbangan yang dimaksud dari segi stadium kanker, ukuran
tumor, usia pasien, kondisi pasien sebelum operasi, penyakit bawaan pasien,
dan hasil pemeriksaan laboratorium; konsentrasi hemoglobin preoperatif.
3.3. Premedikasi
Midazolam 0,04-0,10 mg/KgBB.5
Midazolam lebih sering dipilih sebagai premedikasi karena efek
amnestiknya yang kuat melebihi efek sedasi yang diberikan sehingga pasien
bisa saja terjaga kesadarannya tetapi tetap “mati ingatan” selama operasi
berlangsung dan lupa akan percakapan yang berlangsung di ruang operasi.
Secara farmakokinetik, midazolam akan mengalami absorpsi yang cepat di
saluran pencernaan serta dapat melalui sawar darah otak. Midazolam juga
memiliki durasi kerja dan eleminasi yang relatif cepat. Sebagai premedikasi
dengan pemberian rute vena kanul, midazolam dengan dosis 1-2,5 mg IV
(onset dalam 30-60 detik, waktu untuk mencapai efek maksimal 3-5 menit,
durasi sedasi 15-80 menit) cukup efektif untuk sedasi selama anestesia
regional dan pada operasi yang tidak terlalu lama.3
3.4. Pilihan Anestesia
Anestesia yang bisa digunakan pada pasien yang akan melakukan
operasi mastektomi adalah anestesia umum berupa General Endotracheal
Anesthesia (GETA) atau General Anesthesia (GA) dengan laryngeal mask
airway (LMA) dan anestesia regional (Paravertebral Block).
Anestesia Umum (General Anesthesia/GA):
- Induksi: Propofol dengan dosis induksi 1,5-2,5 mg/kgBB IV pada
orang dewasa sehat.3
- Pemeliharaan: Fentanyl dapat digunakan sebagai analgesia standar
dengan dosis 1–2 µg/kg IV.3 Sementara, penggunaan obat pelumpuh
otot selama diseksi axial harus dihindari agar dapat dilakukan
6
identifikasi bedah terhadap saraf akibat rangsangan dari stimulator
saraf atau jika elektrokauter perlu digunakan pada aksila.2
- Emergence: Perawatan luka dengan tekanan dapat diaplikasikan pada
pasien yang telah dianestesia dan dengan “sitting-up” pada akhir
dilakukannya prosedur. Diskusikan dengan ahli bedah apakah mereka
bermaksud untuk mengaplikasikan jenis dressing seperti ini, untuk
mengizinkan waktu yang tepat dari emergence. Pertimbangkan
pemberian profilaksis PONV.2
- Pemasangan pipa endotrakea dan nafas kendali.
Regional Anesthesia: Paravertebral Block (PVB) unilateral multiple-
level memberikan hasil anestesia yang memuaskan untuk modified radical
mastectomy dan lumpektomi dengan diseksi nodus limfa aksiler.2 PVB dapat
digunakan sebagai pilihan anestesia ataupun tambahan analgesia untuk teknik
GA pada pasien yang akan melakukan operasi mastektomi. Block yang
dilakukan dapat berupa single level atau multiple level injection. Level
dermatoma yang diblock tergantung pada prosedur pembedahan. Block T2-T6
biasanya dibutuhkan saat mastektomi. Ketika akan dilakukan mastektomi
dengan diseksi aksila maka blocking sampai T1 juga dibutuhkan. Tambahan
block pada plexus cervical superficial juga dapat meningkatkan efek analgesia
pada aspek superior dari insisi.6 Anestesia lokal yang sesuai (4-5 mL/level)
adalah 0,5% bupivakain dengan 1:400.000 epinefrin. Sedasi seringkali
bermanfaat selama block placement dan diberikan secara kontinyu durante
operasi. PVB kontra indikasi pada kondisi berikut: pasien menolak, alergi
terhadap anestesia lokal, patologis atau pada pembedahan sebelumnya terjadi
ditorsi anatomis pada ruang paravertebral, dan atau infeksi pada area injeksi.2
Teknik anestesia yang digunakan dapat memengaruhi hasil post
operasi jangka panjang pada pasien. Pada sebuah penelitian oleh Lee dkk di
Korea pada tahun 2016 ditemukan hasil bahwa anestesia intravena berbasis
propofol total untuk mastektomi dapat mengurangi risiko kekambuhan kanker
payudara dibanding anestesia berbasis sevofluran. Pengaruh anestesia pada sel
pertahanan anti-tumor host telah dipelajari secara in vivo, in vitro, dan dalam
beberapa penelitian lainnya dengan subjek manusia. Ketamin dan thiopental
menunjukkan peningkatan jumlah sel tumor hidup pada jaringan paru serta
mampu menekan aktivitas sel NK (Natural Killer cell), sementara
7
berkebalikan dengan propofol yang memiliki sifat tidak menekan aktivitas sel
NK.7
NSAIDS dan COX inhibitor sendiri telah menunjukkan sifat anti tumor
dan anti angiogenesis pada tikus. Forget dkk menunjukkan bahwa penggunaan
NSAIDs terutama yang diberikan dalam periode singkat sebelum operasi
mampu menurunkan risiko kekambuhan kanker payudara disbanding
pemberian analgesia lainnya. Disarankan pula periode ideal untuk
memasukkan tipe obat yang dapat berinteraksi dengan sel NK adalah tepat
sesaat sebelum operasi. Sementara pada hasil penelitan oleh Lee dkk
pemberian NSAID post operatif tidak memengaruhi kemungkinan rekurensi.7
Anestesia inhalasi pada berbagai penelitian telah menunjukkan efek
supresi pada fungsi imun termasuk sel NK dan limfosit. Anestesia inhalasi
mampu meningkatkan faktor pemicu hipoksia yang berfungsi sebagai
pelindung jaringan dan dapat menyebabkan tumorigenesis dan metastasis.
Baik isoflurane dan sevoflurane yang sering digunakan sebagai anestesia
inhalasi menunjukkan efek imunosupresi dan tumorigenesis lewat beberapa
mekanisme termasuk supresi aktivitas sel NK dan fungsi limfosit, proliferasi,
apoptosis, dan invasi sel kanker. N2O sendiri disebutkan tidak memengaruhi
kemungkinan rekurensi kanker tetapi dapat mengganggu sistem imun
termasuk komponen penting yang mengkonfrontasi kanker. Biasanya
digunakan N2O 50% dan O2 50% pada pasien yang akan dioperasi.7
Berkebalikan dengan obat anestesia pada umumnya, beberapa
penelitian menyebutkan bahwa propofol memiliki sifat anti tumor dan
mempertahankan imunitas anti tumor secara in vitro dan in vivo. Propofol,
berkebalikan dengan isofluran, dapat menstimulasi aktivasi dan diferensiasi
sel limfosit T helper, sebagai salah satu proses penting dalam respon imun anti
infeksi dan anti tumor. Akan tetapi, meskipun secara teoritis telah banyak
yang mengemukakan hal tersebut, telah dilakukan pula beberapa uji klinis
untuk membuktikan hipotesa tersebut. Hanya satu penelitian yang
menunjukkan efek besar inhibisi dari proliferasi sel kanker payudara pada
serum pasien yang menerima propofol/anestesia-analgesi paravertebral untuk
kanker payudara dibandingkan pada pasien yang menerima sevofluran/opioid
anestesia-analgesi. Bagaimanapun hasil ini menunjukkan efek kombinasi dari
propofol dan anestesia regional karena teknik regional ini seperti analgesi
8
paravertebral dapat berperan dalam mengurangi risiko kekambuhan kanker
payudara selama tahun awal folow up setelah operasi.7
3.5. Pemantauan Selama Anestesia
Pemantauan standar selama anestesia dapat didokumentasikan dalam
catatan anestesia intraoperatif yang memuat:
- Persiapan alat-alat dan mesin anestesia preoperative;
- Evaluasi ulang pada pasien sesaat setelah dilakukan induksi anestesia;
- Waktu administrasi obat, dosis, dan rute pemberian obat intraoperatif;
- Perkiraan jumlah darah yang hilang dan output urin;
- Hasil pemeriksaan laboratorium yang didapat selama tindakan operasi;
- Cairan intravena dan produk darah yang dimasukkan;
- Catatan prosedur khusus yang dilakukan (seperti: intubasi edotrakeal,
pemasangan monitor invasif);
- Catatan adanya pelaksanaan teknik intraoperatif khusus seperti mode
ventilasi, penggunaan anestesia hipotensif, dan lain-lain;
- Catatan waktu tindakan intraoperatif seperti induksi, ekstubasi;
- Kejadian yang tidak biasa seperti aritmia;
- Kondisi pasien saat dikeluarkan dari ruang operasi.6
Perlu juga dilakukan pemantauan kemungkinan adanya komplikasi
dalam operasi mastektomi yaitu pneumotoraks. Bedah eksplorasi dalam dapat
menyebabkan pneumotoraks inadvertent; selalu monitor pasien untuk tanda
dan gejala (seperti peningkatan Peak Inspiratory Pressure, penurunan PaCO2,
suara nafas agonal, ketidakstabilan hemodinamik). Diagnosis: foto toraks
dada. Terapi: chest tube dan peningkatan FiO2.2
3.6. Terapi Cairan dan Transfusi
Pemberian cairan pada pasien yang akan melakukan operasi
mastektomi tidak berbeda dengan pemberian cairan pada pasien yang akan
melakukan tindakan pekbedahan lainnya. Pasien yang akan melakukan
pengangkatan payudara membutuhkan akses intravena untuk administrasi
cairan serta obat-obatan, serta pada kasus tertentu mungkin membutuhkan
komponen darah. Hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan akses vena
9
adalah diusahakan tidak pada tangan ipsilateral dengan lokasi pengangkatan
untuk mencegah risiko limfaedema.
Perhitungan untuk jumlah cairan yang dibutuhkan dapat diprediksi dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
hemodinamik. Cairan intravena yang biasa digunakan adalah cairan kristaloid,
dapat berupa ringer laktat atau normal salin dengan dosis NaCl/ RL 3-5
mL/kgBB/jam.5
Pemberian komponen darah pada pasien dilakukan apabila keuntungan
dari transfusi melebihi risiko pemberiannya pada individu tersebut. Apabila
pasien telah kehilangan lebih dari 20% volume darah tubuh atau mengalami
penurunan konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit) mencapai 24%
(hemoglobin <8 g/dl) maka transfusi menjadi pilihan terapi. Guideline klinis
biasanya menyebutkan: 1) satu unit Packed Red blood Cell dapat
meningkatkan hemoglobin 1 g/dl dan meningkatkan 2-3% hematokrit pada
orang dewasa, serta 2) 10ml/kgBB transfusi Packed Red blood Cell dapat
meningkatkan konsentrasi hemoglobin 3 g/dl dan hematokrit 10%.8
3.7. Pemulihan
Segera setelah operasi, aliran obat anestesia dihentikan dan lanjut
pemberian oksigenasi 100%. Pasien diberikan obat penawar pelumpuh otot,
dibersihkan jalan nafasnya dengan suction, kemudian dilakukan ekstubasi
setelah nafas spontan dan adekuat.5
3.8. Pasca Anestesia
Pemantauan pasca anestesia mengikuti prosedur standar, di antaranya:
memperhatikan nyeri yang dirasa pasien sebagai manifestasi kegelisahan post
operatif. Masalah sistemik yang serius (seperti: hipoksemia, asidosis
metabolic atau respiratorik, atau hipotensi) atau komplikasi bedah seperti
perdarahan harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding kecemasan post
operatif. Masalah pernapasan kerap kali menjadi komplikasi serius di ruang
pemulihan pasca anestesia. Mayoritas masalah pernapasan berkaitan dengan
obstruksi jalur nafas, hipoventilasi, dan atau hipoksemia.6
Masalah pasca anestesia yang mungkin terjadi pada pasien post operasi
mastektomi:
10
1. Pneumotoraks. Jika kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya
pneumotoraks tinggi maka pertahankan oksigenasi (100% FiO2) dan
ventilasi; informasikan pada dokter bedah kemungkinan dari diagnosis
pasien. Jika pasien stabil secara hemodinamik dan tidak hipoksemi maka
foto toraks dada dapat membantu diagnosis. Ujian: foto toraks dada post
operasi apabila dicurigai adanya pneumotoraks.2
2. Nyeri kronis post operasi atau persistent post surgical pain yang sampai
saat ini dipertimbangkan sebagai kondisi yang jarang ditemukan setelah
operasi kanker payudara, mengenai 60% sampai 80% survivor kanker
payudara.9 Saat ini telah tercatat insiden yang signifikan dari nyeri kronis
hebat setelah pembedahan termasuk torakotomi, mastektomi, amputasi
ekstremitas, dan operasi vasektomi yang invasif.4 Penyebab pasti dari nyeri
kronis setelah operasi kanker payudara masih belum jelas, tetapi terdapat
hubungan antara nyeri akut post operasi dan generasi nyeri kronis
berikutnya setelah kanker payudara. Intensitas nyeri akut post operasi dan
konsumsi analgesi secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang
mengalami nyeri kronis setelah operasi kanker payudara dan disarankan
untuk mengoptimalisasi manajemen nyeri post operative untuk
mengurangi nyeri kronis. Salah satu jenis manajemen yang sedang hangat
diteliti dalam penanganan nyeri setelah operasi kanker payudara adalah
injeksi Thoracic Paravertebral Block (TPVB).9
3. Post Operative Nausea and Vomiting (PONV). Apabila pasien setelah
operasi payudara mengalami PONV, sebaiknya dilakukan puasa makan
dan minum serta bed rest.10
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Ogundiran TO, Ayandipo OO, Ademola AF, Adebamowo CA. Mastectomy
for management of breast cancer in Ibadan, Nigeria. BMC surgery. 2013 Dec
19;13(1):59.
2. Jaffe RA. Anesthesiologist's manual of surgical procedures. Lippincott
Williams & Wilkins; 2014.
3. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anesthesia. Churchill Livingstone; 2015
May 22.
4. Aitkenhead AR, Smith G, Rowbotham DJ, editors. Textbook of anaesthesia.
Elsevier Health Sciences; 2007.
5. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta:
Indeks. 2010.
6. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Young WL.
Anesthesia. Elsevier Health Sciences; 2009 Jun 24.
7. Lee JH, Kang SH, Kim Y, Kim HA, Kim BS. Effects of propofol-based total
intravenous anesthesia on recurrence and overall survival in patients after
modified radical mastectomy: a retrospective study. Korean journal of
anesthesiology. 2016 Apr 1;69(2):126-32.
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti JT, Raya J,
Bedford RF, Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New
York: McGraw-hill; 2002.
9. Karmakar MK, Samy W, Li JW, Lee A, Chan WC, Chen PP, Ho AM.
Thoracic paravertebral block and its effects on chronic pain and he alth-related
quality of life after modified radical mastectomy. Regional anesthesia and pain
medicine. 2014 Jul 1;39(4):289-98.
10. Okasho Y, Okutani R, Tsujikawa S, Okutani H, Kinishi Y, Oda Y. Incidence
of PONV occurrence related to anesthesia and airway management in patients
undergoing mastectomy: 1AP4‐5. European Journal of Anaesthesiology
(EJA). 2012 Jun 1;29:14.