-
1
TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI
PADA REPOSISI/OPERASI DISLOKASI ATAU
FRAKTUR HUMERUS
Oleh :
I Gde Komang Agung Tresna Rahayudi
NIM. 1302006130
Pembimbing :
dr. Cynthia Dewi Sinardja,Sp.An. MARS
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
-
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat
rahmat-Nya tinjauan pustaka yang berjudul ’’ Tata Laksana
Anestesia dan Reaminasi
Pada Reposisi/Operasi Dislokasi Atau Fraktur Humerus ’’ ini
dapat selesai tepat waktu. Tinjauan pustaka ini merupakan salah
satu tugas dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di SMF/Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan
Tinjauan Pustaka ini penulis banyak memperoleh bimbingan dan
masukan dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat :
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian SMF
Ilmu Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An. MARS, selaku pembimbing
atas segala bimbingan
dan masukan beliau,
3. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian
Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah ikut membantu
penulis dalam
menyelesaikan tinjauan pustaka ini,
4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang
dengan tulus telah
bersedia memberikan bantuan dan masukan.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu
saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tinjauan pustaka ini. Semoga
tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar,12 Mei 2017
Penulis
-
3
BAB I
PENDAHULUAN
Batasan
Fraktur tulang Humerus atau patah tulang humerus adalah cedera
yang sangat
serius. Fraktur ini dikaitkan dengan beberapa komplikasi dan
bisa menjadi bencana
jika tidak dikelola dengan baik. Sebuah kecelakaan jatuh dengan
tumpuan siku atau
lengan cukup untuk menyebabkan fraktur humerus untuk orang yang
sudah tua. Hal
ini juga terlihat pada orang muda setelah kecelakaan di jalan
atau jatuh dari
ketinggian atau cedera langsung ke lengan di tempat kerja.
Kadang-kadang
juga disertai dengan dislokasi siku atau sendi bahu.
Anatomi Tulang Humerus
Humerus adalah tulang lengan panjang yang kokoh, yang membentang
dari
bahu ke siku. Anatomi humerus terutama terkait dengan poros,
ujung atas dan ujung
bawah. Ujung atas membentuk sendi bahu bulat dan berartikulasi
dengan glenoid
rongga. Ujung bawah tidak teratur dalam bentuk karena untuk
mendukung berbagai
gerakan, seperti siku menekuk (fleksi), rotasi (pronasi dan
supinasi ). ujung bawah
juga disebut kondilus humeri, berartikulasi dengan radius tulang
serta tulang ulna
untuk membentuk sendi siku. Beberapa otot-otot penting lengan
berasal baik atau
melampirkan pada poros tulang humerus, seperti brachalis,
trisep, dan sebagainya,
yang memberikan gerakan pada siku dan sendi bahu.
Jenis Fraktur Tulang Humerus
Karena panjang panjang tulang humerus dan tulang ini pun bekerja
untuk
mendukung beberapa fungsi, maka ketika tulang ini patah atau
terluka, maka akan
timbul masalah di beberapa lokasi, dengan konsekuensi yang
sangat tergantung pada
lokasi fraktur. Hal penting lain ada lah dislokasi dari fragmen
patah tulang, patah
tulang yang disertai dislokasi setidaknya memiliki hasil yang
sangat buruk.
-
4
• Fraktur humerus proksimal umumnya karena jatuh pada bahu dan
bisa disertai
dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum pada wanita
lanjut usia
bahkan setelah jatuh sepele karena osteoporosis pasca menopause.
Karena
sifat cancellous tulang humerus di bagian ini (seperti spons),
tulang bagian ini
dapat ada dapat runtuh danterdeformasi bersama dengan fraktur,
hal ini
menyebabkan perlunya reformasi tulang pada saat pengobatan.
• Fraktur Midshaft humerus sebagian besar terjadi setelah jatuh
pada siku atau
kecelakaan di jalan. Saraf radialis berjalan sangat dekat ke
bagian tulang
humerus sehingga dapat terluka karena trauma primer, atau karena
terjebak
antara ujung tulang retak, atau bahkan selama pengobatan. Oleh
karena itu,
perawatan harus dilakukan di setiap langkah untuk memastikan
integritas dari
saraf radial dan bahkan kecurigaan sekecil apapun terhadap
kelumpuhan saraf
radialis harus diikuti oleh eksplorasi pembedahan.
Fraktur humerus distal dapat berupa fraktur humerus
suprakondilaris atau fraktur
humerus condylar. Sebuah fraktur humerus suprakondilaris berada
di persimpangan
Kondilus (ujung bawah) dan poros, dan patah tulang siku yang
paling umum pada
anak-anak. Sebuah fraktur condylar adalah fraktur humerus
parah yang umumnya terjadi karena cedera kecepatan tinggi,
seperti kecelakaan
mobil atau jatuh dari ketinggian. Kecelakaan seperti ini sering
mengakibatkan siku
tidak stabil bahkan setelah operasi dan sering memerlukan suatu
operasi siku
pengganti untuk mendapatkan kembali fungsi siku.
-
5
Gambar 1 : Patah tulang midshaft humerus
-
6
BAB II
PEMBAHASAN
1. Evaluasi pra Anestesia dan Reaminasi
1.1 Batasan
Evaluasi praanestesia dan reaminasi adalah langkah awal yang
dilakukan
sebelum rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap
pasien yang
direncanakan untuk melakukan operatif.
1.2 Tujuan
• Mengetahui status fisik pasien preoperative.
• Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
• Memilih jenis/teknik anesthesia yang sesuai.
• Mememberitahu pasien apa yang akan menjadi kendala yang
akan
mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.
• Mempersiapkan alat-alat apa saja yang dibutuhkan pada waktu
operasi dan
obat apa yang digunakan pada waktu kesulitan pada waktu
oprasi.
1.3 Waktu Evaluasi
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anesthesia dilakukan
beberapa hari
sebelum oprasi, jadi disana melakukan pencatatan status pasien,
anamnesis,
pemeriksaan fisik dan menginformasikan pasien baik buruknya pada
waktu
oprasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang
operasi, keesokan
harinya pasien di lakukan pemeriksaan lagi sebelum masuk ke
dalam kamar
operasi dan evaluasi akhir dilakukan dikamar persiapan instalasi
bedah sentral
(IBS) gunanya untuk menentukan status fisik ASA pada pasien.
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu
juga
diruangan persiapan oprasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena
waktu yang
-
7
tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali
informasi tentang
penyakit yang diderita kurang akurat.
1.4 Tatalaksana Evaluasi
1.4.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau kalau pasien
tidak bisa diajak komunikasi, wawancara heteroanamnesis
yaitu
keluarga pasien atau kerabat dekat pasien, meliputi :
• Tanyakan identitas pasien atau biodata.
• Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi organ atau gangguan
psikis pada pasien.
• Anamnesis umum, meliputi :
- Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau yang
sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah
yang diderita, yang bisa mempengaruhi anesthesia atau
dipengaruhi oleh anesthesia.
- Riwayat pemakaian obat atau alergi obat, tanyakan pada
pasien apakah ada obat yang sebelumnya diminum dan
tanyakan pada pasien apakah pasien ada alergi obat.
- Riwayat operasi/ anesthesia terdahulu.
- Tanyakan kepada pasien apakah pasien merokok,
meminum minuman alcohol, minum kopi, dan
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
- Memberitahu pasien sebelum oprasi pasien harus puasa 8
jam sebelum oprasi dimulai.
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
- Pemeriksaan atau pengukuran status presen pasien,
meluputi: kesadaran pasien, nafas pasien, tekanan darah
-
8
atau tensi pasien, nadi, suhu tubuh, berat badan dan
tinggi badan pasien untuk menilai status gizi pasien
atau BMI pasien.
- Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status :
❖ Psikis pasien : gelisah, takut atau kesakitan.
❖ Respirasi.
❖ Hemodinamik.
❖ Penyakit darah.
❖ Hepato-bilier.
❖ Urogenital dan saluran kencing.
❖ Metabolic dan endokrin.
❖ Cek lengan pasien (otot dan saraf)
• Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
- Pemeriksaan rutin
Ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk oiprasi
kecil dan sedang. Hal-hal yang akan dipersiapkan:
1. Test darah pasien : Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan.
2. Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
3. Pemeriksaan radiologi : CT Scan, X-ray.
• Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut diatas
maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anesthesia.
American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik praanastesia menjadi 5 kelas,
yaitu:
ASA 1 : Pasien penyakit bedah tanpa memiliki penyakit
sistemik.
ASA 2 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
-
9
ASA 3 : Pasien penyakir bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
ASA 6 : Pasien sudah mati batang otak, siap donorkan organ
yang masih berfungsi baik.
E : Pasien emergency yang harus di oprasi.
2. Masalah anestesi dan reanimasi
2.1 Sindrom emboli pada lemak
Emboli lemak biasanya terjadi pada patah tulang panjang dan
dapat
berakibat fatal dengan angka mortalitas mencapai 10-20%. Kondisi
ini
umumnya muncul dalam waktu 72 jam pada fraktur pelvis atau
tulang
panjang dengan trias dyspnea, bingung dan petechiae. Emboli
lemak timbul
karena terganggunya sel lemak pada tulang yang mengalami fraktur
sehingga
percikan lemak (fat globules) banyak dilepaskan dan memasuki
sirkulasi
melalui robekan pembuluh darah medula. Teori lain mengungkapkan
bahwa
adanya perubahan metabolisme asam lemak mencetuskan
terbentuknya
agregasi sirkulasi asam lemak bebas yang selanjutnya berkembang
menjadi
emboli lemak. Peningkatan kadar asam lemak bebas dapat memilikki
efek
toksik pada membran alveolar-kapiler yang memicu pelapasan
vasoaktif amin
dan prostaglandin yang nantinya dapat berkembang menjadi acute
respiratory
distress syndrome.2
-
10
2.2 Deep venous thrombosis dan Thromboembolism
DVT dan emboli paru bisa menyebabkan morbiditas dan
mortalitas
saat berlangsungnya operasi orthopedi pada pelvis dan
ekstremitas bawah.
Faktor risiko seperti obesitas, umur lebih dari 60 tahun,
prosedur berlangsung
lebih dari 30 menit, penggunaan torniquet, fraktur ekstremitas
bawah dan
imobilisasi lebih dari 4 hari. Insiden DVT dapat mencapai 40-80%
pada
pasien yang tidak diberikan propilaksis. Patofisiologi yang
mendasari
terjadinya DVT tersebut yakni stasis vena dengan hipercoagulable
state
sebagai akibat dari respon inflamasi lokalis dan sistemik
terhadap
pembedahan.2
2.3 Bone cement Implantation Syndrome
Bone cement, polymethylmethacrylate sering dibutuhkan untuk
arthroplasti sendi. Semen merekat di dalam celah tulang
cancellous dan secara
kuat mengikat peralatan prosthetic ke tulang pasien. Pencampuran
bubuk
polymerized methylmethacrylate dengan monomer cair
methylmethacrylate
menyebabkan polimerisasi dan cross-linking rantai polimer.
Reaksi
eksothermik memicu pengerasan semen dan ekspansi berlawanan
dengan
komponen prosthetik. Absorpsi sistemik dari methylmethacrylate
monomer
yang tersisa bisa menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi
pembuluh darah sistemik. Pelepasan jaringan thromboplastin bisa
memicu
agregasi platelet, pembentukan mikrothrombus di paru dan
ketidakstabilan
hemodinamik. Manifestasi klinis dari sindrom implantasi bone
cement
meliputi hipoksia , hipotensi, aritmia, hipertensi pulmonal dan
menurunnya
curah jantung. Emboli juga paling sering terjadi saat pemasangan
prosthesis
femoral untuk arthroplasty panggul. Strategi terapi dalam
mengantisipasi
emboli lemak ini adalah meningkatkan konsentrasi oksigen
inspirasi,
memantau euvolemi, membuat lubang ventilasi di distal femur
untuk
membebaskan tekanan intramedula, membuat tekanan lavage tinggi
pada
femur untuk menghilangkan debris (potensi mikroemboli) atau
menggunakan
komponen femur yang tidak membutuhkan semen. 2
-
11
2.4 Pneumatic Torniquet
Pemakaian torniquet pada ekstremitas mampu menekan
perdarahan
sehingga memudahkan operator saat pembedahan berlangsung. Namun
di sisi
lain torniquet dapat menciptakan masalah potensial seperti
perubahan
hemodinamik, nyeri, perubahan metabolik, thromboembolisme arteri
dan
emboli paru. Tekanan inflasi biasanya diatur kira-kira 100 mmHg
lebih tinggi
dari batas bawah tekanan darah sistolik. Inflasi yang
berkepanjangan (> 2
jam) secara rutin menyebabkan disfungsi otot transien dan bisa
menghasilkan
rhabdomyolisis atau kerusakan saraf permanen. Inflasi torniquet
juga
berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh pada pasien pediatri
saat
mengalami operasi ekstremitas bawah.2
2.5 Perdarahan luka operasi
Pembedahan ortopedi berhubungan dengan adanya kehilangan
darah,
khususnya pembedahan trauma, pembedahan punggung multiple,
pembedahan redo arthroplasty dan pembedahan tanpa
menggunakan
torniquet.
2.6 Persiapan Praoperatif
2.6.1 Persiapan rutin
Persiapan pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan di
poliklinik dan di rumah sakit tempat pasien dirawat (pada pasien
rawat
inap), ruang perawatan, ruang persiapan IBS dan kamar operasi
yang
akan dijabarkan sebagai berikut :
a. Persiapan di ruang perawatan
Persiapan di ruang perawatan hampir sama dengan
persiapan di poliklinik dan di rumah pasien meliputi
-
12
persiapan psikis dan persiapan fisik. Persiapan psikis yang
dilakukan adalah (1) memberikan penjelasan kepada pasien
dan atau keluarga agar mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan yang direncanakan sehingga pasien dan
keluarganya bisa tenang; (2) memberikan obat sedatif pada
pasien yang menderita stress berlebihan atau pasien yang
tidak kooperatif seperti pediatrik pada malam hari menjelang
tidur dan pada pagi hari, 60-90 menit sebelum ke IBS. Pada
persiapan fisik, perlu diinformasikan kepada pasien untuk :
(1) menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok
minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai
sejak evaluasi pertama kali di poliklinik; (2) melepas
segala
macam protesis dan asesoris seperti perhiasan; (3) melakukan
puasa dengan aturan sebagai berikut :3
Tipe Makanan/Minuman Lama Puasa yang
dibutuhkan
Cairan jernih • 2 jam
• Contoh air, jus buah
tanpa ampas buah, teh
jernih, kopi.
• Tidak termasuk alkohol
ASI 4 jam
Formula bayi 6 jam
Makanan ringan • 6 jam
• Contoh roti panggang
Makanan bergoreng/makanan
padat/makanan
berlemak/daging
8 jam
Table 2. Pemantauan pasien sebelum Oprasi
-
13
(4) membuat surat persetujuan untuk keluarga pasien untuk
melakukan tindakan oprasi atau medik; (5) jika keluarga
pasien sudah setuju ganti pakaian pasien yang dipakai dari
rumah dengan pakaian khusus kamar operasi.
b. Persiapan di ruangan IBS
Persiapan yang dilakukan meliputi evaluasi ulang status
presen dan catatan medik pasien serta perlengkapan lainnya,
konsultasi di tempat apabila diperlukan, memberi premedikasi
dan memasang infus.
c. Persiapan di kamar operasi
(1) Mempersiapkan mesin anestesi dan sistem aliran gasnya,
alat pantau tekanan darah, pulse oksimeter, EKG, tiang
infus, defribilator dan obat-obat anestesia yang
diperlukan.
(2) Mempersiapkan stetoskop, laringoskopi, endotrakeal tube,
guedel orotrakeal tube, plester untuk fiksasi, stilet,
connector dan suction.
(3) Mempersiapkan obat-obat resusitasi, misalnya :
adrenalin,
atropin, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
(4) Mempersiapkan catatan medik anestesia, selimut
penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
2.7 Premedikasi
Bila didapatkan adanya risiko aspirasi gaster, pemberian
premedikasi
sedatif dan narkotik minimal diberikan pada korban trauma.
Premedikasi
seperti H2 antagonis dan antasid juga dapat diberikan.
Premedikasi narkotik
secara titrasi dibutuhkan untuk pasien yang mengalami nyeri saat
pergerakan
atau saat pasien dipindahkan.1,4
2.8 Pilihan anestesinya
Pemilihan anestesi yang akan dikerjakan pada pasien yang
akan
mengalami pembedahan perlu mempertimbangkan berbagai faktor
seperti
-
14
umur, jenis kelamin, status fisik dan jenis operasi. Pada pasien
bayi dan anak
pilihan anestesinya adalah anestesi umum karena pasien anak
cenderung
kurang kooperatif. Pilihan anestesi pada orang dewasa bisa
diberikan anestesi
umum atau analgesia regional, tergantung jenis operasi yang akan
dikerjakan.
Pada perempuan dimana faktor emosional dan rasa malu yang lebih
dominan,
maka pilihan anestesi umum dapat menjadi pilihan, sebaliknya
pada laki-laki
bisa dilakukan anestesi regional. Status fisik pasien seperti
penyakit
sistemik dan komplikasi dari penyakit primer yang diderita juga
menjadi
pertimbangan penting dari tindakan anestesi yang akan dipilih.
Apabila
ditinjau dari jenis operasi, terdapat 4 permasalahan dalam
menentukan pilihan
anestesi yakni lokasi, posisi, manipulasi dan durasi operasi.4
Pada kasus
orthopedi, pilihan anestesi yang sering dilakukan adalah
dengan
menggunakan teknik Endo Trachea Tube (GA-ETT) dan Laringeal
mask
airway (LMA)
ENDO TRACHEA TUBE (GA-ETT)
Intubasi endotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan pipa
khusus
kedalam trakea, sehingga jalan nafas menjadi bebas dan nafas
menjadi mudah
dibantu atau dikendalikan pada waktu oprasi berjalan. Intubasi
endotrakeal
dapat dilakukan dengan memasukkan pipa dari hidung, mulut atau
trakeal
stoma, dengan menggunakan alat bantuan laringoskop.
360C
Gambar I: Pemasangan ETT
-
15
Indikasi Utama Intubasi Endo Trachea Tube pada waktu Oprasi
:
• Menjamin atau mempertahankan jalan nafas agar bebas.
• Mencegah aspirasi isi saluran cerna
• Memungkinkan penghisapan trakeal secara adekuat
• Memberikan oksigen konsentrasi tinggi
• Pemberian tekanan positif pada jalan nafas
Keuntungan pemasangan GA-ETT
1. Intubasi ET akan membantu saluran nafas yang bagus selama
salurannya
masih terbuka.
2. Akan menurunkan normal anatomic dead space (75 ml) menjadi 25
ml.
3. Ventilasi dapat diukur dan dikontrol tanpa mempengaruhi
lambung dan usus.
4. Akan mengurangi kemungkinan aspirasi sekresi, darah, jaringan
dan muntah
secara drastis.
5. Ventilasi dapat diukur dan dikontrol walau pada posisi
lateral telungkup atau
lainnya.
6. Respirasi dapat dikontrol selama pemberian obat pelumpuh
otot.
7. Mempermudah dilakukan suction pada paru
8. Anestesiolog dan alat-alat anestesi dapat diletakan jauh dari
daerah operasi
jika dilakukan operasi kepala atau leher.
Kerugian pemasangan intubasi ET
1. Intubasi ET akan menambah resistensi terhadap pernafasan.
Untuk menjaga
resistensi sekecil mungkin dapat digunakan ET dengan diameter
yang sesuai.
2. Trauma terhadap bibir, lidah, hidung, tenggorokan dan laring
dapat saja
terjadi, mengakibatkan suara serak, sakit dan disfagia. Aberasi
nukosa dapat
-
16
diakibatkan oleh suatu operasi empisema yang luas. Bila terjadi
perforasi dari
membran padadecussatio dari otot krikofaringeal akan dapat
mengakibatkan
mediastinitis.
LARINGEAL MASK AIRWAY ( LMA )
Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring adalah alat yang
sangat
penting untuk mengatasi kegawatdaruratan jalan nafas. Alat ini
sudah terbukti efektif
dalam menjaga jalan nafas dan menjamin ventilasi apabila terjadi
kesulitan atau
kegagalan intubasi. Alat ini juga dapat digunakan untuk
memasukkan pipa
endotrakeal ke dalam trakea. Penempatan sungkup laring yang
benar akan menjaga
kebocoran lebih baik dibanding menggunakan sungkup muka dan
sebanding dengan
pipa endotrakeal pada tekanan ventilasi mencapai 20 cmH20.
Gambar II : pemasangan LMA
Indikasi Penggunaan LMA
Yang menjadi indikasi untuk menggunakan LMA antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Untuk menghasilkan jalan nafas yang lancar tanpa
penggunaan
sungkup muka.
2. Untuk menghindari penggunaan ET/melakukan intubasi
endotrakeal
selama ventilasi spontan.
3. Pada kasus-kasus kesulitan intubasi.
-
17
4. Untuk memasukkan ET ke dalam trakea melalui alat intubating
LMA.
Kontraindikasi Penggunaan LMA
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan yang merupakan
kontraindikasi
untuk menggunakan LMA, yaitu :
1. Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut
lebih
dari 1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe
rheumatoid
arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan
kesulitan
memasukkan LMA.
2. Kelainan didaerah faring (abses, hematom).
3. Obstruksi jalan nafas pada atau dibawah laring.
4. Pasien dengan lambung penuh atau kondisi yang menyebabkan
lambatnya pengosongan lambung.
5. Meningkatnya resiko regurgitasi (hernia hiatus, ileus
intestinal).
6. Ventilasi satu paru.
7. Keadaan dimana daerah pembedahan akan terhalang oleh kaf
dari
LMA.
Keuntungan dan Kerugian penggunaan LMA
• Laryngeal Mask Airway (LMA) atau sungkup laring merupakan
konsep
alternatif dalam penanganan pemeliharaan jalan nafas antara
intubasi endotrakeal dan
penggunaan sungkup muka.
• Beberapa keuntungan dari LMA dalam penggunaannya antara lain
adalah
pemasangan tidak memerlukan laringoskop, tidak memerlukan
pelumpuh otot, tidak
merusak pita suara, respon kardiovaskuler sangat rendah jika
dibandingkan intubasi
endotrakea.
• Namun selain keuntungan diatas, ada beberapa kerugian
dalam
penggunaannya. Kerugian itu antara lain adalah meningkatkan
resiko aspirasi, tidak
aman jika digunakan pada pasien morbid obese, lebih besar resiko
kebocoran gas dan
-
18
polusi. Lebih lengkap tentang keuntungan dan kerugian penggunaan
LMA
dibandingkan intubasi ET dan penggunaan sungkup muka dapat
dilihat pada Tabel 4
berikut ini.
2.9 Obat Anestesia
Beberapa pilihan obat ananlgesik pada pasien post-operatif
dengan trauma ortopedi :
2.9.1Premedikasi
Premedikasi adalan tindakan awal anesthesia dengan memberikan
obat-obat
yang digunakan sebelum melakukan operasi dimana obat ini
menimbulkan rasa
nyaman untuk pasien, yang meliputi: bebas dari rasa takut atau
cemas, tegang,
kawatir, mual dan muntah. Berikut obat premedikasi :
Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas.
Diazepam
bekerja pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek
antiansietas yang selektif
pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan,
deperesi napas, mual
atau muntah.
Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah
kadang-kadang
pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang
berkepan-jangan. Selain itu juga
rasa sakit pada penyuntikan intramuskular. Serta absorbsi
sistemik yang jelek setelah
pemberian IM. Sekarang sudah ada obat baru dari golongan
Benzodiazepin IM, yaitu
Midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada
penyuntikan
baik secara IM maupun IV.
Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg,
sedang
pada anak kecil 0,2 – 0,5 mg/kg BB. Midazolam dapat diberikan
dengan dosis 0,1
mg/kg BB. Penggunaan midazolam ini harus dengan pengawasan yang
ketat, karena
kemungkinan terjadi depresi respirasi.
2.9.2 Induksi
Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari
sadar penuh
sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk
dimulainya anestesi dan
pembedahan. Berikut obat induksi anesthesia :
-
19
• Ketamin
Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi
efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai peneri-
maan
keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi).
Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang
berarti
efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah
didetoksikasi/dieksresi,
dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik
ini
adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa.
Pasien
tidak tampak “tidur”. Mata mungkin tetap terbuka tetapi
tidak
menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon terhadap
rangsangan
nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian
ketamin.
Demikian juga reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat
ketamin
dapat diberikan secara iv / im setiap beberapa menit untuk
mencegah
rasa sakit.
• Propofol
Propofol adalah kandungan obat yang biasa digunakan dalam
proses anestesi (pembiusan) umum, yaitu untuk mengurangi
tingkat
kesadaran pada pasien yang akan melalui prosedur operasi.
Propofol
juga digunakan sebagai obat penenang pada pasien dewasa
dalam
kondisi kritis yang membutuhkan alat ventilasi buatan dalam
ruang
perawatan intensif. Obat ini diberikan dengan cara infus.
2.9.3Obat pelumpuh otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh
otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi
(kompetitif,
takikurare).
• Obat pelumpuh otot depolarisasi
Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai
asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor
asetilkolin dan
-
20
membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini
tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya
tidak
menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan
depolarisasi
di motor-end plate. Efek samping yang akan terjadi Nyeri otot
pasca
pemberian, Peningkatan tekanan intraocular, Peningkatan
tekakana
intracranial, Peningkatan tekakanan intragastrik dan alergi.
• Obat pelumpuh otot non depolarisasi
Pemulihan tonus otot rangka akibat pengaruh obat pelumpuh
otot non depolarisasi bisa berlangsung secara spontan setelah
masa
kerja obat berakhir. Namun untuk mempercepat pemulihannya
perlu
diberikan obat antagonisnya, yaitu golongan obat anti kolin
esterase.
Salah satu obat yang termaksuk golongan ini adalah
neostagmin
metilsulfat atau prostagmin. Prostagmin merupakan obat
antikolinesterase yang berkhasiat menghambat kerja enzim
kolinesterase untuk menghidrolisis asetilkolin, sehingga
terjadi
akumulasi asetilkolin pada hubungan saraf otot atau pada ujung
saraf
kolinergik.
2.9.4 Obat analgetik
• Opiod
- Fentanyl
Merupakan obat Anastesia yang bersifat narkotik sintetik yang
paling
banyak digunakan dalam praktik atau oprasi anestesiologi.
Mempunyai
potensi 1000 kali lebih kuat dibandingksan dengan petidin dan
mempunyai
50-100 kali lebih kuat dari morfin. Mulai kerjanya cepat dan
masa kerjanya
pendek. Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri.
Dalam
bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Obat Fentanyl
digunakan hanya
untuk pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika. Fentanyl
bekerja di
dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek
samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf
pusat. Pada
-
21
pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi
tidak sering
terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan dosis aturan.
Ketergantungan biasa
terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga
untuk
mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis
secara
bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan
dihentikan.
- Morfin
Morfin merupakan obat prototype opiod yang menjadi
perbandingan
pada semua jenis obat golongan agonis opioid. Efek dari morfin
berupa
analgesia, euforia, sedasi, berkurangnya konsentrasi, nausea,
perasaan
berat pada ekstremitas, mulut yang kering dan priritus terutama
pada daerah
sekitar hidung. Jenis nyeri tumpul yang continu lebih efektif
dihilangkan
dengan morfin daripada jenis nyeri yang tajam dan intermiten.
Efek analgesia
dari morfin lebih efektif bila diberikan sebelum stimulus nyeri
diberikan.
Sementara bila tidak ada rangsangan nyeri, morfin lebih
memberikan efek
disforia daripada euphoria.
- Petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja
agonis
terhadap reseptor u dan k sebagai derivat dari fenilpiperidin.
Adapun
beberapa analog golongan ini antara lain fentanil, alfentanyl,
sufentanyl dan
remifentanyl. Secara struktur, meperidin mempunyai bentuk
menyerupai
atropin sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki oleh
atropine ini seperti
takikardi, midriasis dan antispasmodic. Normeperidin mempunyai
waktu
paruh eliminasi 15 jam dan dapat dideteksi di urin 3 hari
setelah pemakaian.
Normeperidin mempunyai potensi ½ meperidin sebagai analgesik
dan
menstimulasi sistem saraf pusat. Kejang, mioklonus, delirium dan
halusinasi
yang dapat terjadi setelah pemberian meperidin adalah sebagai
akibat efek
stimulasi saraf pusat oleh normeperidin.
2.9.5 NSID
- NSID dan paracetamol
Parasetamol dan NSAIDs menjadi obat utama pada nyeri pasca
bedah
dengan intensitas ringan sementara opioid dan atau teknik
anestesi lokal dapat
digunakan untuk intensitas nyeri sedang.
-
22
- Ketorolac
Ketorolac adalah obat dengan fungsi mengatasi nyeri sedang
hingga nyeri
berat untuk sementara. Biasanya obat ini digunakan sebelum atau
sesudah
prosedur medis, atau setelah operasi. Ketorolac adalah golongan
obat nonsteroidal
anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja dengan memblok
produksi substansi
alami tubuh yang menyebabkan inflamasi. Efek ini membantu
mengurangi bengkak,
nyeri, atau demam.
Efek samping dari ketorolac :
• Sakit perut, mual atau muntah ringan, diare, konstipasi
• Heartburn ringan, nyeri perut, kembung
• Pusing, sakit kepala, mengantuk
• Berkeringat; atau
• Telinga berdenging
3.1 Pemantauan selama anestesia
3.1.1 Pemantauan Umum
Pemantauan selama anestesia penting dilakukan untuk
meningkatkan
kualitas penatalaksanaan pasien. Selama pemberian
anestesia/analgesia,
tenaga anestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar
bedah yang
bertujuan agar dapat memantau pasien dan memberikan antisipasi
segera
terhadap perubahan abnormal yang terjadi. Pemantauan pasien
selama
anestesia berdasarkan standar ASA dijelaskan sebagai berikut
:4
a) Jalan nafas
Jalan nafas selama anestesia dipantau secara kontinu baik
dengan teknik sungkup maupun intubasi trakea. Apabila pasien
bernafas spontan, pemantauan dilakukan melalui gejala/tanda
seperti :
terdengar suara nafas tambahan, gerakan kantong reservoir
terhenti
atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal. Sedangkan pada
nafas
kendali yang dipantau adalah tekanan inflasi terasa berat,
tekanan
inspiratif meningkat dan lain-lainnya. Hal lain yang juga
perlu
-
23
dievaluasi adalah memeriksa kadar oksigen gas inspirasi melalui
pulse
oxymeter, memeriksa oksigenasi darah dengan melihat warna
darah
luka operasi dan permukaan mukosa, secara kualitatif dengan
alat
oksimeter denyut dan pemeriksaan analisis gas darah untuk
menilai
tekanan parsial O2 dan CO2.4
b) Ventilasi
Ventilasi pernapasan pasien dipantau dengan cara : mengamati
gerak naik turunnya dada, gerak kembang kempisnya kantong
reservoar atau auskultasi suara nafas, memantau “end tidal
CO2”
terutama pada pasien dengan risiko tinggi (kraniotomi) dan
mengaktifkan sistem alarm jika vent ilasi dilakukan dengan
alat bantu nafas mekanik sehingga dapat terdengar sinyal jika
nilai
ambang tekanan dilampaui.4
c) Sirkulasi
Fungsi sirkulasi pasien dipastikan dalam kondisi terpantau
dengan baik yang dilakukan dengan cara menghitung denyut
nadi
secara manual pada orang dewasa dan dengan stetoskop
prekordial
pada bayi dan anak. Selanjutnya dilakukan pengukuran tekanan
darah
secara non invasif menggunakan tensimeter air raksa dan
secara
invasif menggunakan kateter vena sentral pada pasien dengan
risiko
tinggi dan bedah ekstensif untuk menilai status volume
intravaskuler
dan tekanan vena sentral. Pemantauan fungsi sirkulasi pasien
juga
dilakukan dengan memantau EKG dari monitor, pulse oksimeter
dan
produksi urin secara kontinu.4
d) Suhu Tubuh
Mempertahankan suhu tubuh dengan mengukur secara kontinu
pada daerah sentral tubuh melalui esofagus atau rektum
dengan
termometer khusus yang dihubungkan dengan alat pantau yang
mampu menayangkan secara kontinu.4
-
24
3.1.2 Pemantauan Khusus
Pemantauan arterial/CVP line diindikasikan pada pasien
dengan
gangguan hemodinamik atau resiko tinggi.1
3.2 Terapi cairan
Terapi cairan merupakan aspek penting dari manajemen
perioperatif
yang harus dikhususkan pada masing-masing individu. Terapi
cairan optimal
diawali dengan penilaian klinis pasien untuk menentukan jumlah
cairan dan
kecepatan cairan yang harus diadministrasikan. Terapi cairan
harus
diperhitungkan pada 3 aspek yakni defisit cairan yang sudah
hilang, kebutuhan
cairan maintenance dan kebutuhan cairan yang akan hilang.
Pilihan cairan
terapi meliputi larutan kristaloid dan koloid.6
1. Kebutuhan cairan pemeliharaan
Kebutuhan ini diperlukan untuk untuk mengganti cairan yang
hilang
dari urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan kehilangan
yang
insensible dari traktus respratori. Estimasi kebutuhan
cairan
pemeliharaan dapat dihitung melalui rumus berikut ini :
a. 10 kg pertama : 4ml/kg/jam
b. 11-20 kg : 40 ml/jam + 2 ml/jam untuk setiap kg diatas 10
c. 21 kg dan >21 kg : 60 ml/jam + 1ml/jam untuk setiap kg
diatas
20 kg
2. Defisit cairan yang hilang
Defisit cairan yang hilang tergantung dari lama waktu puasa
sebelum
pembedahan yang diperoleh dari kebutuhan cairan pemeliharaan
normal
dikalikan dengan jumlah jam puasa. Defisit cairan puasa
meningkat ketika
terdapat cairan yang hilang seperti perdarahan, muntah,
diuresis, diare,
sekuestrasi cairan dan meningkatnya jumlah cairan insensible
yang hilang.
-
25
3. Kebutuhan cairan yang akan hilang
Jumlah cairan yang hilang selama operasi sangat tergantung dari
jenis
operasi yang dilakukan. Perhitungan cairan yang hilang
berdasarkan jenis
operasi yang dilakukan yaitu :
a. Operasi besar : 6-8 ml/kgbb/jam
b. Operasi sedang : 4-6 ml/kgbb/jam
c. Operasi kecil : 2-4 ml/kgbb/jam
Pedoman koreksi cairan :
a. Pada dewasa
- Perdarahan >20% dari perkiraan volume darah berikan
transfusi
- Perdarahan
-
26
3.3 Pemulihan Anestesia
Prosedur pemulihan diawali dengan membersihkan dan menghisap
cairan, lendir atau bekuan darah yang ada dalam pipa
endotrakeal.
Selanjutnya mengganti pipa lumen ganda dengan pipa endotrakeal
yang
biasa dan menhentikan aliran nafas gas atau obat anestesia
inhalasi dan
berikan oksgen 100% (4-8 liter) selama 2-5 menit. Obat
antikolinesterase
yaitu neostigmin dan dikombinasikan dengan atropin diberikan
untuk
memulihkan pernafasan pasien. Setelah pasien bernafas spontan
dan
adekuat maka dapat dilakukan ekstubasi pada pasien. Pada kasus
yang
diduga akan terjadi depresi nafas pasca bedah, tidak dilakukan
ekstubasi
pipa endotrakeal dan pasien langsung dikirim ke ruang terapi
intensif untuk
tindakan perawatan dan terapi lebih lanjut.4
3.4 Pasca bedah
3.4.1 Tatalaksana pasca anesthesia
Tatalaksana pasca anesthesia yaitu evaluasi kesadaran,
respirasi,
sirkulasi, fungsi ginjal dan saluran kemih, fungsi saluran
cerna, fungsi
motorik, suhu tubuh, nyeri.
3.4.2 Resiko Pasca Anestesia
Berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca
anesthesia/bedah, dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
• Kelompok 1
Pasien yang mempunyai resiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskuler pasca anesthesia/bedah, sehingga
perlu nafas kendali pasca anesthesia/bedah. Pasien yang
termaksuk dalam kelompok ini langsung dirawat di unit terapi
Intensif pasca anesthesia/bedah bertujuan untuk memantau
secara kontinyu dan mengobati secara tepat masalah respirasi
dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi
dan
-
27
sirkulasi, memantau perdarahan luka oprasi, dan
mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca operasi/bedah.
• Kelompok 2
Sebagian besar pasien pasca anesthesia/bedah
termaksuk dalam kelompok ini. Tujuan perawatan pasca
anesthesia/bedah adalah menjamin agar pasien secepatnya
mampu
menjaga keadekuatan respirasinya.
• Kelompok 3
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pasien pada kelompok ini bukan hanya fungsi
respirasinya adekuat tetapi harus bebas dari rasa mengantuk,
ataksia, nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa
kembali pulang.
3.5 Penanggulangan nyeri
Manajemen nyeri pada pasien trauma orthopedi membutuhkan
pendekatan
multmodal. Analgesia yang tidak adekuat dapat menimbulkan
komplikasi terkait
dengan kesembuhan, fungsi imum dan disfungsi otonom. Nyeri
berkepanjangan dapat
berkembang menjadi nyeri kronis yang lebih sulit untuk diobati
dan dapat
menurunkan kualitas hidup pasien. Tujuan dari manajemen nyeri
pada pasien trauma
adalah untuk menurunkan respon stres dan meredakan nyeri dengan
mempertahankan
stabilitas kardiovaskular dan hemostasis jaringan.
3.6 Kriteria Pemulihan
Pada pasien pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang
pemulihan
menggunakan Skor Aldrete yaitu :
-
28
Objek Kriteria Nilai
Aktivitas
Mampu menggerakan
empat ekstremitas
2
Mampu menggerakan
dua ekstremitas
1
Tidak mampu
menggerakan
ekstremitas
0
Respirasi Mampu nafas dalam dan
batuk
2
Sesak atau pernafasan
terbatas
1
Henti nafas 0
Tekanan Darah Berubah sampai 20%
dari prabedah
2
Berubah 20-50% dari
pra bedah
1
Berubah >50% dari pra
bedah
0
Kesadaran Sadar baik dan orientasi
baik
2
Sadar setelah dipanggil 1
Tidak ada tanggapan
terhadap rangsangan
0
-
29
Warna Kulit Kemerahan 2
Pucat agak suram 1
Sianosis 0
Table 4. pasca anestesia dan kriteria pengeluaran dari ruang
pemulihan
menggunakan Skor Aldrete
Penilaian dilakkukan ketika pasien masuk ke ruang pemulihan
selanjutnya
dilakukan pencatatan setiap 5 menit sampai tercapai nilai dengan
total 10 untuk
mengembalikan pasien ke ruangan.
-
30
BAB III
PENUTUP
• Masalah anestesi pada pasien dengan operasi tulang humerus: 1)
Pendarahan
luka operasi; 2) Operasi berlangsung lama; 3) Ancaman gangguan
fungsi
respirasi dan sirkulasi berkaitan dengan ketinggian lesi (syok
spinal);
• Lima alasan dasar operasi kelainan tulang humerus: 1)
Disfungsi neurologis;
2) Ketidakstabilan struktural; 4) Kelainan bentuk; 5) Sakit
(tulang humerus).
• Teknik Anestetik endotrakeal umum lebih dipilih untuk semua
operasi
pembedahan. Pertimbangan anestetik yang perlu dilakukan selama
operasi
adalah evaluasi pra operasi, durante-operasi dan
pasca-operasi.
-
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Jaffe RA, Samuel, Stanley L, Schmiesing, Clifford A, Golianu
et al.
Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures. Lippincott
Williams &
Wilkins; 2013.
2. Jessica A. Lovich-Sapola and Charles E. Smith (2012).
Anesthesia for
Orthopedic Trauma, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.),
ISBN:
978-953-51-0231-1, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesia-
considerations-for-orthopedic-traumasurgery [Akses : 14 Maret
2017]
3. Dr.Mangku ,Sp.An, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia
dan
Reanimasi. PT Indeks; 2017.
4. Katzung, 1998, Farmakologi Dasar dan Klinis, Staf Dosen
Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Hal : 351-366Latief,
S.A.,
5. Howard GW., Patrick JB., Peter BJC. The laryngeal mask airway
: a
comparison between two insertion techniques. Anesth Analg
2013.
6. Agro F., Brimacombe J., Verghese C., Carassiti M., Cataldo R.
Laryngeal
mask airway and incidence of gastro-oesophageal reflux in
paralysed patiens
undergoing ventilation for elective orthopaedic surgery. Br. J.
Anaesth. 2012.
7. Kapila A, Addy EV., Verghese C., Brain AIJ. The intubating
laryngeal mask
airway : an initial assessment of performance. Br. J. Anaesth
2015.
http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesia-considerations-for-orthopedic-traumasurgeryhttp://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/anesthesia-considerations-for-orthopedic-traumasurgery