BAB IPENDAHULUANGagal jantung adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah secara adekuat untuk memelihara sirkulasi
darah15. Gagal jantung kongesti merupakan suatu sindrom klinis yang
terjadi pada pasien yang abnormalitas (baik akibat keturunan atau
didapat) pada struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan
terjadinya perkembangan serangkaian gejala klinis dan tanda klinis
(edema dan ronki) yang mengakibatkan opname, kualitas hidup yang
buruk, dan harapan hidup yang memendek15. Kualitas dan kelangsungan
hidup penderita gagal jantung kongestif sangat dipengaruhi oleh
diagnosis dan penatalaksnaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis
pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap
penderita. Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat
gagal jantung adalah sekitar 10% dalam 1 tahun. Sumber lain
mengatakan bahwa setengah dari pasien gagal jantung kongestif
meninggal dalam waktu 4 tahun setelah didiagnosis dan terdapat
lebih dari 50% penderita gagal jantung meninggal dalam tahun
pertama7. Demam reumatik akut merupakan penyakit peradangan akut
yang dapat menyertai faringitis dan ada pada 0,3% kasus faringitis
yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Penyakit ini bias terjadi secara akut atau berulang dengan satu
atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis,
korea, nodul subkutan, dan eritema marginatum. Penyakit ini
cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab terpenting
penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh
dunia. Puncak insiden demam reumatik akut terdapat pada kelompok
usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah
usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Demam reumatik akut
yang menimbulkan gejala sisa pada katup-katup jantung disebut
sebagai penyakit jantung reumatik. Demam reumatik akut dan penyakit
jantung reumatik sering terjadi pada daerah kumuh dan padat. Di
negara berkembang, demam reumatik akut merupakan penyebab utama
dalam kelainan kardiovaskular (25%-45%)18.Stenosis mitral merupakan
suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri
melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral.
Kelainan struktural ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga
timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat
diastol.1Penyebab stenosis mitral yang paling sering adalah
penyakit jantung rematik, yakni sekitar 40% penderita jantung
penyakit jantung rematik berlanjut menjadi mitral stenosis.
Biasanya penyakit jantung rematik ini juga menyebabkan mitral
regurgitasi, yang bersamaan dengan mitral stenosis. Jarang sekali
terjadi mitral regurgitasi sendiri akibat jantung rematik. Penyakit
jantung rematik ini disebabkan oleh bakteri Streptococcus
haemoliticus Group A sehingga penyakit ini menggambarkan sosial
ekonomi yang rendah oleh karena itu angka kejadian stenosis mitral
di luar negeri sudah jarang ditemukan, sedangkan di negara-negara
sedang berkembang angka kejadiannya masih tinggi.2,3,4Di Amerika
angka kejadian stenosis mitral adalah 1 : 100.000 sedangkan di
Afrika angka kejadian stenosis mitral adalah 150 : 100.000, di
India angka ini mencapai 300-400 : 100.000.Penyakit katup, baik
stenosis mitral maupun regurgitasi mitral, ini dapat berlanjut
menjadi gagal jantung kongestif. Hal ini dikarenakan pada stenosis
mitral terjadi aliran darah dari atrium kiri (LA) yang tidak secara
keseluruhan pindah ke ventrikel kiri (LV) akibat penyempitan katup
mitral. Ini akan menyebabkan peningkatan tekanan pada vena
pulmonalis kemudian meningkatkan tekanan di paru-paru dan pada
akhirnya meningkatkan tekanan di ventrikel serta atrium kanan.
Jantung kanan membesar dan akhirnya tidak terjadi kompensasi oleh
jantung kanan akibat kerja ekstra untuk memompakan darah dari
ventrikel kanan ke paru-paru sehingga terjadilah gagal jantung
kanan. Curah jantung yang menurun pada ventrikel kiri akibat darah
dari atrium kiri tidak seluruhnya ke ventrikel kiri, ini sangat
bergantung pada derajat stenosis pada katup mitral tersebut,
mengakibatkan jantung tidak cukup memompakan darah ke seluruh tubuh
ini. Sedangkan pada regurgitasi mitral terjadi aliran balik ke
atrium kiri saat sistol akibat ketidakmapuan katup menutup sempurna
sehingga terjadi overload di atrium kiri saat diastole yang pada
akhirnya meningkatkan tekanan di atrium kiri yang berlanjut dengan
peningkatan tekanan vena pumonalis kemudian ventrikel kiri hingga
terjadi gagal jantung kanan.1,2,3,4,5Karena masih tingginya angka
kejadian stenosis maupun regurgitasi mitral di negara-negara
berkembang, khususnya di Indonesia, maka sangatlah penting untuk
mengetahui mengenai penyakit ini, di samping mengingat efek jangka
panjang penyakit ini sendiri adalah gagal jantung.
BAB IIILUSTRASI KASUS1. IDENTITAS PASIENNama: Ny. NUmur: 42
tahunNo. CM: 1-05-17-51Jenis Kelamin: Perempuan Alamat: Cot Ju
PeusanganSuku : AcehAgama: IslamStatus: KawinPekerjaan: Ibu Rumah
TanggaPendidikan terakhir: SLATanggal Masuk: 13 Mei 2015 (pukul
14.22 wib)Tanggal Pemeriksaan: 18 Mei 2015
0. ANAMNESIS0. Keluhan Utama: Nyeri kepala 0. Keluhan Tambahan:
Kelemahan anggota gerak kiri, nyeri dada, .0. Riwayat Penyakit
Sekarang:Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan
sejak 2 minggu yang lalu, sebelumnya pasien sudah sudah sering
merasakan nyeri diperut sejak perutnya mulai ada benjolan dibagian
perut kanan bawah sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri hilang timbul dan
tidak dipengaruhi oleh posisi dan makin nyeri jika ditekan. Dalam 5
hari terakir pasien mengeluh nyerinya semakin hebat dan tidak
berkurang walaupun sudah minum obat anti nyeri dari dokter. sejak 5
hari yang lalu pasien juga merasakan nyeri dibagian dada tengah
terutama saat pasien batuk atau berubah posisi secara tiba-tiba,
nyeri bersifat tajam dan tembus kebelakang, tidak menjalar ke
lengan. keluhan ini baru pertama kali dialami pasien. Pasien juga
demam sejak 2 minggu yang lalu, demam bersifat tinggi dan tidak
menggigil, selama demam keadaan pasien semakin lemas. Riwayat
muntah (-), mual (-), batuk (-). Riwayat trauma di dada dan perut
disangkal. Pasien merupakan pasien rujukan dari spesialis
0. Riwayat Penyakit DahuluRiwayat Hipertensi : pasien hipertensi
sejak 2 tahun yang lalu.Diabetes Melitus (-)0. Riwayat Penyakit
Keluarga Disangkal0. Riwayat Pemakaian ObatDisangkal0. Riwayat
Kebiasaan SosialPasien merokok 1 bungkus dalam 1 hari sejak usia 15
tahun. Dan sudah berhenti sejak 10 tahun yang lalu.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK0. Status PresentKeadaan sakit : Sakit
SedangKesadaran: Compos Mentis , GCS (E3M4V5)Tekanan Darah: 120/80
mmHgNadi (HR): 85 x/menit Frekuensi Nafas: 21 x/menitTemperatur:
36,7 C
0. Status GeneralKulitWarna: Sawo matangTurgor: Kembali
cepatIkterus: (-) Pucat: (+)Sianosis: (-)Oedema: (-)KepalaBentuk:
Kesan NormocephaliRambut: Berwarna hitam sukar dicabut Mata: Cekung
(-), refleks cahaya (+/+), konj. Palp inf pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-)Telinga: Sekret (-/-), perdarahan (-/-)Hidung: Sekret
(-/-), perdarahan (-/-), NCH (-/-)MulutBibir: Pucat (-), Sianosis
(-)Gigi geligi: Karies (-)Lidah: Beslag (-), Tremor (-)Mukosa:
Basah (+)Tenggorokan: Tonsil dalam batas normalFaring : Hiperemis
(-)LeherBentuk: Kesan simetrisKel. Getah Bening: Kesan simetris,
Pembesaran KGB (-)Peningkatan TVJ : R-2 cmH2OAxilla: Pembesaran KGB
(-)Thorax1. InspeksiBentuk dan Gerak: Normochest, pergerakan
simetris.Tipe pernafasan: Thorako- Abdoimnal.Retraksi: (-)1.
PalpasiStem premitusParu kananParu kiri
Lap. Paru atasNormalNormal
Lap. Paru tengahNormalNormal
Lap. Paru bawahNormalNormal
1. PerkusiParu kananParu kiri
Lap. Paru atasSonorSonor
Lap. Paru tengahSonorSonor
Lap.Paru bawahSonorSonor
1. AuskultasiSuara pokokParu kananParu kiri
Lap. Paru atasVesikulerVesikuler
Lap.Paru tengahVesikulerVesikuler
Lap.Paru bawahVesikuler Vesikuler
Suara tambahanParu kananParu kiri
Lap. Paru atasRh(-) , Wh(-)Rh(-) , Wh(-)
Lap. Paru tengahRh(-) , Wh(-)Rh(-), Wh(-)
Lap. Paru bawahRh(-) , Wh(-)Rh(-), Wh(-)
Jantung Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat Palpasi:Ictus
cordis teraba ICS V linea midclavicula sinistra Perkusi: Batas
atas: ICS III LMCS Batas kanan: ICS V Linea parasternalis dextra
Batas Kiri: ICS V, 2 cm ke arah lateral linea midclavicula sinistra
Auskultasi: BJ I > BJ II, reguler, bising (-)
Abdomen Inspeksi: simetris, tidak tampak pembesaran organ..
Palpasi: Nyeri tekan (-), Hati, limpa dan ginjal tidak teraba
Perkusi: timpani (+), asites (-) Auskultasi: Peristaltik usus (+)
normal. Genetalia: Terpasang cateterAnus: Tidak dilakukan
pemeriksaanEkstremitas:EkstremitasSuperiorInferior
KananKiriKananKiri
Sianotik----
Edema----
Ikterik----
Pucat----
Kekuatan Motorik5555111155551111
Atrofi otot----
0. PEMERIKSAAN PENUNJANGTanggal 08 05 2015
Darah RutinJenis pemeriksaanHasil PemeriksaanNilai Rujukan
Haemoglobin8,1 gr/dl12 - 15 gr/dl
Leukosit20,7 x 103/mm34,1-10,5 x 103/mm3
Trombosit479 x 103 /mm3150-400 x 103/mm3
Eritrosit2,8 x 106/mm34,5 6,0 x 106/mm3
Hematokrit24 %37 47 %
Hitung jenis
Eosinofil00-5%
Basofil00-2%
Netrofil Segmen8150-70%
Limfosit1020-40%
Monosit92-8%
ElektrolitJenis pemeriksaanHasil PemeriksaanNilai Rujukan
Natrium (Na)138135-145 mmol/ll
Kalium (Ka)3,9 mmol/l3,5-4,5 mmol/l
Clorida ( Cl)9890-100 mmol/l
Fungsi GinjalJenis pemeriksaanHasil PemeriksaanNilai Rujukan
Ureum108 mg/dl13-43 mg/dl
Kreatinin0,94 mg/dl0,67-1,17 mg/dl
DibetesJenis pemeriksaanHasil PemeriksaanNilai Rujukan
Gula darah sewaktu170 mg/dl120 x/ menit)
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor dan dua kriteria minor di saat bersamaan.
3.1.Stenosis Mitral3.1.1. DefenisiStenosis mitral merupakan
suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah pada tingkat
katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral
leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol.1
3.1.2. EpidemiologiStenosis mitral merupakan penyebab utama
terjadinya gagal jantung kongestif di negara-negara berkembang. Di
Amerika Serikat, prevalensi dari stenosis mitral telah menurun
seiring dengan penurunan insidensi demam rematik (Dima, 2010).
Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal
pharyngitis turut berperan pada penurunan insidensi ini. Dari pola
etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94% dengan
penyakit katup jantung. Seperti diluar negeri maka kasus stenosis
mitral memang terlihat pada orang-orang dengan umur yang lebih tua.
Dan biasanya dengan penyakit penyerta baik kelainan kardiovaskuler
atau yang lain sehingga lebih merupakan tantangan.1,3
3.1.3. EtiologiPenyebab tersering dari stenosis mitral adalah
endokarditis reumatika, akibat reaksi yang progresif dari demam
rematik oleh infeksi streptokokkus. Diperkirakan 40% penderita
penyakit jantung rematik terjadi stenosis mitral. Penyebab lainnya
walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, deformitas
parasut mitral, vegetasi systemic lupus eritematosus (SLE),
karsinosis sistemik, deposit amiloid, rheumatoid arthritis (RA),
Wipples, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi
annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses
degeneratif .1,7
3.1.4. PatogenesisDemam rematik adalah penyakit akut,
diperantarai oleh imunologi, dan inflamasi yang melibatkan banyak
system yang terjadi beberapa minggu setelah episode Streptococcus
pharyngitis hemolyticus group A, dapat juga berasal dari infeksi
streptokokus dari tempat lain, misal kulit, meski angka kejadiannya
sangat jarang. Penyakit jantung rematik akut adalah manifestasi
dari demam rematik dan berkaitan dengan inflamasi katup, miokardium
atau perikardium7. Deformitas katup kronik adalah konsekuensi
penyakit jantung rematik yang paling penting, ditandai dengan
jaringan parut yang padat dan difus pada katup secara permanen
(kasus yang paling sering terjadi adalah stenosis mitral). Sehingga
terjadi penebalan dan kalsifikasi katup dan penebalan serta
memendeknya korda tendinae 3. Demam rematik akut adalah reaksi
hipersensitivitas yang diinduksi oleh antibodi si penderita yang
disebabkan oleh Streptococcus pharyngitis hemolyticus group A.
Teori patogenesis mengenai penyakit katup akibat demam rematik ini
masih dalam penelitian. Ini mungkin terjadi akibat protein M dari
strain streptokokus menginduksi antibody host sehingga terjadi
cross-react dengan glikoprotein antigen di jantung, persendian, dan
jaringan lain. Sekitar 2-3 minggu muncul delay symptom setelah mula
infeksi dan menghilangnya streptokokus pada lesi. Sejak adanya,
meski sangat kecil, pengalaman demam rematik, genetik bertanggung
jawab terhadap perkembangan patogenitas antibodi. Sekuele kronik
berasal dari progresivitas fibrosis akibat penyemuhan lesi
inflamasi kronik.7
Gambar 2.1. Penyebab dan Akibat Stenosis Mitral 7
3.1.5. Patofisiologi
Pada keadaan normal katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2, bila
area orifisium katup berkurang sampai 2 cm, maka diperlukan upaya
aktif atrium kiri berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar
aliran transmitral yang normal dapat terjadi. Stenosis mitral
kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm2.
Pada tahap ini diperlukan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg
untuk mempertahankan cardiac output yang normal. Peningkatan
tekanan atrium kiri akan meningkatkan tekanan pada vena pulmonalis
dan kapiler sehingga bermanifestasi sebagai exertional dyspneu.
Seiring dengan perkembangan penyakit, peningkatan tekanan atrium
kiri kronik akan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal, yang
selanjutnya akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir
diatol, regurgitasi trikuspidal dan pulmonal sekunder dan
seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik
1.Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
stenosis mitral. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secara
pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri, terjadi perubahan pada
vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohormonal
seperti endotelin atau perubahan anatomi yaitu remodel akibat
hipertrofi tunika media dan penebalan intima (reactive
hypertension). Pelebaran progresif dari atrium kiri akan memicu dua
komplikasi lanjut, yaitu pembentukan trombus mural yang terjadi
pada sekitar 20% penderita, dan terjadinya atrial fibrilasi yang
terjadi pada sekitar 40% penderita. Derajat berat ringannya
stenosis mitral, selain berdasarkan gradien transmitral, dapat juga
ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara
lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening
snap 1. Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis
mitral sebagai berikut: Minimal : bila area >2,5 cm2 Ringan :
bila area 1,4-2,5 cm2 Sedang : bila area 1-1,4 cm2 Berat : bila
area 10% sel imatur 1-3. Sepsis adalah keadaan klinis yang diawali
oleh timbulnya SIRS disertai dengan bukti adanya infeksi (biakan
postif terhadap organisme dari tempat yang seharusnya tidak
ditemukan kuman pathogen), pada keadaan sepsis biakan darah tidak
harus positif dan tidak harus ditemukan bakteriemia, bakteriemia
yang bersifat sementara seperti yang biasa dijumpai setelah jejas
pada permukaan mukosa dapat bersifat primer (tanpa fokus infeksi
yang teridentifikasi) atau sekunder dengan ditemukannya fokus
infeksi pada intra atau extra vaskuler 2,11. Sepsis berat adalah
keadaan klinis yang disertai dengan adanya disfungsi organ dan
hipoperfusi (hipotensi), kelainan hipoperfusi pada sepsis berat
ditandai oleh; asidosis laktat, oliguria atau perubahan status
mental. CRP (C rective protein) dan PCT (procalcitonin) berdasarkan
konfrensi internasional tahun 2001 dimasukkan sebagai biomarker
untuk mendeteksi adanya sepsis pada tahap awal. Dalam managemen
pasien sepsis, implementasi sistem tingkatan PIRO (Predisposition,
insult infection, response and organ disfunction) sangat penting
untuk diterapkan, sebagai acuan dalam menentukan pengobatan dan
mencari penyebab (sumber infeksi) secara komperhensif dan optimal
berdasarkan karakteristik pasien dengan gejala dan resiko yang
bervariasi antar individu 11.
Tabel 1. kriteria diagnosis Sepsis
3.3 Penatalaksanaan
A. Resusitasi cairan Pasien dengan sepsis berat dan syok septik
mengalami sirkulasi arteri yang tidak efektif sehingga perfusi
jaringan menjadi tidak baik. Hal ini disebabkan oleh vasodilatasi
yang berhubungan dengan infeksi maupun cardiac output yang
terganggu. Perfusi yang buruk menyebabkan terjadinya hipoksia
jaringan global, yang berhubungan dengan meningkatnya kadar laktat
serum.18,19Resusitasi sepsis tahap awal adalah pemberian cairan
kristaloid 20 ml/kg secepatnya sebagai bolus pada kasus
hipovolemia. Resusitasi cairan harus diberikan sedini mungkin, dan
kebutuhan cairan yang diperlukan tidak mudah untuk ditentukan,
sehingga pengulangan pemberian perlu dilakukan dan dilakukan
monitoring dengan pemasangan CVP.18,19
B. Pemberian antibiotik Saat sepsis berat telah teridentifi
kasi, antibiotik harus diberikan sedini mungkin untuk mengobati
infeksi yang mendasari. Antibiotik yang diberikan adalah kombinasi
antara antibiotik untuk gram positif dan negatif, serta didasari
oleh pola kuman di rumah sakit maupun di masyarakat.13 Penelitian
yang dilakukan oleh Bochud dkk15 tahun 2004 menunjukkan bahwa
monoterapi lebih baik dibandingkan terapi kombinasi. Sebelum ada
hasil biakan daerah dan resistensi, pasien diberikan antibiotik
spektrum luas, tetapi jika telah ada hasil biakan daerah, maka
antibiotik harus disesuaikan sesegera mungkin, untuk mencegah
terjadinya resistensi dan pemborosan. Pemberian antibiotik harus
selalu dinilai dalam waktu 48- 72 jam.19
C. Pemberian VASOPRESSORJika pemberian bolus cairan gagal untuk
mempertahankan perfusi organ dan tekanan arteri yang adekuat, maka
agen vasopresor harus segera diberikan untuk mempertahankan MAP
> 65 mmHg. Syaratnya adalah pemberian cairan resusitasi telah
adekuat.10,16.. Perhitungan MAP adalah sebagai berikut : MAP =
(S+2D) : 3 S = sistol D = Diastol
Tabel 2.Pengaruh setiap vasopresor terhadap reseptor dan ,
kelebihan sertaKekurangannya20D. Sasaran terapi ventilasi
mekanikPenilaian awal dari jalan napas (Airway) dan pernapasan
(Breathing) sangat penting pada pasien syok septik. Suplementasi
oksigen sebaiknya diberikan, bahkan intubasi dini dan penggunaan
ventilasi mekanik sebaiknya dipertimbangkan sejak awal terutama
pada kasus dengan peningkatan usaha napas/ sesak napas, hipotensi
menetap, ataupun perfusi perifer yang buruk.21
E. Transfusi Packed Red Cell (PRC)Jika pasien dengan hipovolemia
dan anemia, dengan kadar hematokrit kurang dari 30% dari volume
darah, diberikan tranfusi sel darah merah yang dimampatkan. Hal ini
memiliki dua keuntungan yaitu meningkatkan penghantaran oksigen ke
jaringan yang hipoksia, dan menjaga tekanan vena sentral 8 mmHg
untuk jangka waktu yang lebih lama, dibandingkan dengan hanya
pemberian cairan saja.21Meskipun penyebab takikardi pada pasien
sepsis mungkin multifaktorial, terjadinya penurunan denyut jantung
dengan resusitasi cairan sering merupakan pertanda membaiknya
pengisian intravaskuler.21
Prinsip utama penanganan sepsis adalah mengeliminasi agen
penyebab infeksi dengan pemberian antibiotik dan mengilangkan fokus
infeksi melalui tindakan bedah namun hingga saat ini belum ada
strategi khusus yang terbukti efektif dalam menangani gangguan
fungsi jantung pada keadaan sepsis, mekanisme selular yang
mendasari terjadinya kelainan jantung pada saat sepsis masih belum
sepenuhya dimengerti, penelitian dalam bidang ini masih terus
berkembang yang membuka kesempatan luas dan memberikan antusiasme
tersendiri bagi para peneliti untuk menjelaskan patofisiologi pada
tingkat seluler yang mendasari timbulnya gangguan fungsi jantung
pada keadaan sepsis sehingga didapatkan strategi yang tepat dalam
penatalaksanaannya 1-3.Penatalaksanaan gangguan fungsi jantung pada
keadaan sepsis hingga saat ini terfokus pada terapi suportif berupa
resusitasi cairan, penggunaan vasopresor, inotropik, dan perbaikan
keadaan umum dengan tranfusi sel darah merah, penggunaan ventilasi
mekanik dan hemodialisa 12. Resusitasi cairan dengan monitoring
ketat menggunakan pengukuran tekanan vena sentral, saturasi mix
oksigen atrium kanan (central vein) dan penilaian respon
hemodinamik dengan echokardiografi merupakan terapi suportif lini
pertama dalam mengatasi timbulnya gangguan jantung pada saat sepsis
13. Penggunaan vasopresor dan inotropik yang ditujukan untuk
meningkatkan tekanan perfusi jaringan diberikan setelah status
volum (preload) dinilai cukup, resusitasi dengan target nilai
kardiak indek (CI) melebihi keadaan fisiologis terbukti secara
klinis tidak membawa dampak signifikan dalam peningkatan angka
kelangsungan hidup pasien sepsis, bahkan dapat membawa dampak buruk
pada pasien yang memiliki gangguan fungsi jantung 12,13. Sepsis
menimbulkan gangguan hemodinamik yang komplek berupa vasodilatasi
sistemik, penurunan tahanan vaskular perifer dan gangguan pompa
jantung 14. Gangguan sistem kardiovaskular pada keadaan sepsis pada
beberapa penelitian dikatakan memiliki efek adaptif yang
menguntungkan, akan tetapi data penelitian terbaru menggunakan
echokardiografi menemukan adanya hubungan peningkatan mortalitas
pada pasien sepsis yang memiliki gangguan fungsi jantung, ketidak
sesuaian data ini disebabkan oleh penilaian fungsi jantung yang
kompleks meliputi fungsi kontraktilitas, preload dan afterload pada
pasien dengan sakit berat yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
3. Tujuan utama optimalisasi hemodinamik pada keadaan sepsis adalah
mengembalikan tekanan perfusi jaringan global dan regional serta
metabolisme selular kedalam batas normal, peningkatan mediator
inflamasi pada keadaan sepsis mengakibatkan gangguan dalam
penggunaan oksigen dan zat nutrisi lainnya sebagai bahan
metabolisme seluler meskipun perfusi jaringan berada dalam batas
normal, mekanisme ini dijadikan dasar dalam penggunaan zat
vasoaktif sebagai terapi suportif pada keadaan sepsis dengan
mempertimbangkan tekanan darah arteri dan perfusi jaringan ketika
memilih agen terapi dan memonitor efikasinya berdasarkan parameter
klinis dan hemodinamik 12-14.Mempertahankan curah jantung,
optimalisasi sirkulasi mikro dan regional kedalam batas normal pada
keadaan shock septic tidak semudah menaikkan tekanan darah,
dobutamin dalam hal ini merupakan inotropik pilihan lini pertama
pada keadaan sepsis, inotropik lain seperti levosimedan dapat
menjadi terapi alternatif yang dapat menggantikan katekolamin
konvensional, levosimedan adalah suatu inodilator yang biasa
digunakan dalam penanganan gagal jantung akut dan memiliki efek
vasodilatasi sistemik serta pulmonal melalui aktifasi jalur Katp
chanel dan mampu meningkatkan kontraktilitas dan metabolisme energi
sel otot jantung melalui peningkatan cAMP dan konsentrasi kalsium
ditingkat seluler 3,13,15. Dalam suatu penelitian pada kelompok
pasien sepsis (EGDT) ditemukan sebesar 9% pasien dengan MAP > 90
mmHg dan membutuhkan terapi pengurangan afterload dengan
vasodilator 12. Nitrogliserin sebagai vasodilator dapat diberikan
pada pasien sepsis yang memiliki peningkatan tahanan vascular
perifer (afterload) karena memiliki efek pada preload, afterload,
arteri koroner dan mikro sirkulasi. Penggunaan vasodilator pada
keadaan sepsis harus diberikan dengan hati hati karena umumnya pada
saat sepsis terjadi vasodilatasi sistemik dan disertai penurunan
tahanan vascular perifer 2,12. Obat obatan lain seperti
isoproterenol, esmolol, levimedan dan cobinamid memiliki efek yang
menjanjikan dalam memperbaiki gangguan fungsi jantung dan
meningkatkan saturasi oksigen sentral (mixed vein) pada pada saat
sepsis masih dalam tahap penelitian intensif 1-3,8,9. Penggunaan
steroid dosis rendah dan stain dalam banyak penelitian dihubungkan
dengan peningkatan angka kelangsungan hidup pasien dengan sepsis
berat, steroid dosis rendah telah terbukti secara klinis mampu
menginhibisi jalur proinflamasi dan menurunkan angka mortalitas
jangka pendek pada pasien sepsis 10,16.
3.6 KesimpulanKesuksesan resusitasi pada pasien dengan syok
septik masih merupakan tantangan yang harus dilatih oleh para
klinisi. Poin yang paling penting adalah resusitasi harus dimulai
seawal mungkin. Jika terjadi keterlambatan dalam pemberian
resusitasi, maka sedikit sekali manfaat yang kita dapatkan. Hal ini
sejalan dengan tujuan resusitasi yaitu mencegah terjadinya
disfungsi organ yang lebih lanjut. Jika resusitasi tertunda sampai
telah terjadi disfungsi dan kematian sel, maka memberikan lebih
banyak oksigen pada sel menjadi tidak bermanfaat lagi.gangguan
fungsi jantung pada keadaan sepsis dapat meningkatkan resiko
terjadinya kematian karena penurunan curah jantung dan gangguan
perfusi perifer. Penurunan curah jantung pada keadaan sepsis yang
disertai gangguan respon intrinsik (neuro hormonal) organ
kardiovaskular bermanifestasi pada timbulnya gangguan hemodinamik
yang ditandai oleh penurunan tonus pembuluh darah perifer, gangguan
perfusi sistem organ dan terjadinya penurunan pompa jantung
(sistolik) yang diakibatkan oleh dilatasi ruang ruang jantung
(ventrikel) disertai gangguan compliance (diastolik). Mekanisme
yang mendasari timbulnya gangguan fungsi jantung pada keadaan
sepsis belum sepenuhnya dimengerti dan masih banyak pertanyaan yang
belum terjawab tentang patofisiologi pada tingkat selular, akan
tetapi peran agen proinflamasi seperti sitokin dan nitrix oxide
sebagai dasar terjadinya gangguan fungsi jantung pada keadaan
sepsis sangat kuat. Perbaikan fungsi jantung secara bertahap
dijumpai pada pasien yang sembuh dari sepsis sedangkan perburukan
fungsi jantung akan terlihat setelah 48 jam sejak awitan sepsis
timbul dan disertai dengan peningkatan kadar troponin, peningkatan
troponin jantung tanpa disertai bukti kelainan pembuluh darah
koroner pada keadaan sepsis mengindikasikan terjadinya gangguan
fungsi jantung yang bermakna dan dihubungkan dengan prognosis yang
buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Merx MW and Weber C. Sepsis and the Heart. Circulation.
2007;116;793-802.2. Wheeler AP. Recent Developments in the
Diagnosis and Management of Severe Sepsis. Chest.
2007;132;1967-1976.3. Hunter JD and Doddi M. Sepsis and the heart.
Br J Anaesth. 2010; 104: 311.4. Maeder M, Fehr T, Rickli H, and
Ammann P. Sepsis-Associated Myocardial Dysfunction Diagnostic and
Prognostic Impact of Cardiac Troponins and Natriuretic Peptides.
Chest. 2006; 129:13491366.5. Sharma AC. Sepsis Induced Myocardial
Dysfunction. Shock. 2007;28: 265-269. 6. Kumar V, Abbas AK, Fausto
N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Elsevier
Inc; 2005.7. Silbernagl S: Heart and Circulation. Silbernagl S,
Lang F. Color Atlas of Pathophysiology, Thieme, 2000.p.230 234.8.
Broderick KE, Feala J, McCulloch A, Paternostro G, Sharma VS, Pilz
R, and Boss G. The nitric oxide scavenger cobinamide profoundly
improves survival in a Drosophila melanogaster model of bacterial
sepsis. Faseb J. 2006; 20: 18651873.9. Hauser B, Bracht H,
Matejovic M, Radermacher P, and Venkatesh B. Nitric Oxide Synthase
Inhibition in Sepsis? Lessons Learned from Large-Animal Studies.
Anesth Analg. 2005;101:488 498.10. McGown CC and Brookes ZLS.
Beneficial effects of statins on the microcirculation during
sepsis: the role of nitric oxide. Br J Anaesth. 2007; 98:163175.11.
Guntur AH.Sepsis. In: Sudoyo AW, Satyohadi B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta: Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.p.2889-2895.12. Otero RM, Nguyen HB, Huang DT, Gaieski DF,
Goyal M, Gunnerson KJ, Trzeciak S, Sherwin R, Holthaus CV, Osborn
T, Rivers EP. Early Goal-Directed Therapy in Severe Sepsis and
Septic Shock Revisited: Concepts, Controversies, and Contemporary
Findings. Chest. 2006;130; 1579-1595.13. Overgaard CB and Dzavk V.
Inotropes and Vasopressors: Review of Physiology and Clinical Use
in Cardiovascular Disease. Circulation. 2008;118;1047-1056.14.
Hollenberg Steven M. Vasopressor Support in Septic Shock. Chest.
2007;132:1678-1687.15. Duraira Lj, and Schmidt . Fluid Therapy in
Resuscitated Sepsis. Chest. 2008; 133:252263.16. Annane D,
Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Confalonieri M, De Gaudio R,
Keh D, Kupfer Y, Oppert M, Meduri GU. Corticosteroids in the
Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock in Adults. JAMA.
2009;301:2362-2375.17. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al:
Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for management
of severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med 2008; [pub
corrections appears in 2008; 36:13941396] 36:29632718. Shapiro NI,
Howell MD, Talmor D, Nathanson LA, Lisbon A, Wolf RE, dkk. Serum
lactate as predictor of mortality in emergency department patients
with infection [ abstract]. Ann Emerg Med. 2005;46:5.19. Cohen J,
Brun-Buisson C, Torres A, Jorgensen J. Diagnosis of infection in
sepsis: An evidence based review. Crit Care Med. 2004;32:11(suppl):
S466-90.20. Beale RJ, Hollenberg SM, Vincent JL, Parillo JE.
Vasopressor and inotropic support in septic shock : An evidence
based review. Crit Care Med. 2004;32:11(suppl): S455-65.21. Rivers
E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, dkk. Early
goal directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic
shock. NEJM. 2001;345:19.
19