Top Banner

of 22

Syafii Dan Pemikiran Fikih Moderat_Sofi Mubarok

Oct 14, 2015

Download

Documents

Article about Imam Al-Syafi'i.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1

    Imam Syafii dan Pemikiran Sintesisnya;

    Studi Analisis Pemikiran Imam Syafii dan Pengaruhnya terhadap

    Perkembangan Diskursus Keislaman

    Oleh

    Muhamad Sofi Mubarok, M.HI1

    A. Pendahuluan

    Membaca perjalanan panjang sejarah terbentuknya fikih Imam Syafii tidak

    terlepas dari pembacaan atas sejarah munculnya ijtihad pada masa awal tabiin,

    dimana Imam Syafii lahir dan terbentuk dalam ruang diskursus pemikiran fikih

    yang sudah dapat dikatakan cukup mapan. Islam, yang pada masa itu mulai

    muncul sebagai agama yang mapan secara intelektual dan mampu bersaing dalam

    ranah kebudayaan serta memiliki sosio-kultural yang khas, menawarkan suatu

    corak pemikiran keberagamaan yang mengejutkan banyak bangsa di dunia

    lainnya.

    Perkembangan intelektualitas umat Islam mengalami masa keemasan

    ketika kekhilafahan Islam jatuh ke tangan Bani Abbasiyah. Kota Baghdad

    dijadikan pusat pemerintahan dalam rangka menjadikan Baghdad sebagai pusat

    peradaban dunia, namun tetap berada dalam kerangka mainset kaum Muktazilah

    sebagai sekte Islam yang dijadikan madzhab resmi pemerintahan dinasti Bani

    Abbasiyah.

    Namun anehnya, corak yurisprudensi Islam tidak banyak terpengaruh

    sebagaimana pengaruh pemikiran rasionalisme Muktazilah terhadap pemikiran

    akidah dan filsafat Islam. Madzhab fikih senantiasa berada pada jalur yang

    ditempuh para sahabat dan tabiin, yaitu berada dalam koridor yang lebih dulu

    ditetapkan nabi dan para sahabat, terutama dalam menganalogikan suatu kejadian

    baru yang tidak ditemukan landasannya dalam al-Quran maupun hadits nabi.

    1 Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana IAI Ibrahimy Sukorejo, Situbondo. Peserta

    Beasiswa Strata ii (S.2) Pendidikan Kader Ulama (PKU) Kementerian Agama RI.

  • 2

    Dibandingkan dengan ranah skolastik Islam (filsafat dan kalm),

    yurisprudensi Islam atau yang dikenal dengan sebutan fikih Islam, tidak dibatasi

    perkembangannya. Selain karena dianggap tidak berbahaya bagi stabilitas

    kekuasaan khalifah, perkembangan madzhab fikih memang sesuai dengan fitrah

    umat Islam yang saat itu mengalamai masa perkembangan yang sangat pesat.

    Oleh karenanya, tiap-tiap daerah memiliki karakteristiknya masing-masing dalam

    mengembangkan madzhab fikih. Pembicaraan mengenai madzhab fikih ini

    menjadi relevan jika dirunut terlebih dahulu bagaimana sejarah menceritakan

    perjalanan panjang kelahiran yurisprudensi Islam generasi awal sampai kelahiran

    Syafii, yang dikenal banyak mensintesiskan dua kubu besar dalam pemikiran

    Islam; madzhab ahli hadits dan ahli rayi.

    B. Kehidupan Imam Syafii dan Latar Belakang Sosio-Kultural Pemikiran

    Islam Saat Itu

    Sejarah Perkembangan Madzhab Fikih Sebelum Kelahiran Imam Syafii

    Sebagai bagian dari estafet kewenangan berijtihad dalam rangka

    memperkokoh Islam sebagai solusi atas persoalan umat, tepat pada masa ini para

    ulama madzhab mulai bermunculan secara massif. Namun tidak berarti, kerangka

    acuan dasar para sahabat dalam menetapkan sebuah keputusan hukum tidak serta-

    merta ditinggalkan. Justru dari sinilah semangat ijtihad kaum tabiin berlanjut.

    Sebagaimana telah kita ketahui bersama, ada sebuah paradigma umum

    yang menyatakan bahwa metode pemikiran (manhaj al-fikr) yang digunakan oleh

    para sahabat itu ada tidak keluar dari dua kerangka besar, yaitu menetapkan segala

    sesuatu sesuai dengan tuntutan teks-teks skriptural (baca: al-Quran dan al-hadits),

    serta menggunakan metode ijtihad jika landasannya tidak ditemukan dalam teks

    wahyu. Dua kerangka metodologi ijtihad ini tertuang dalam dua model besar fikih

    sahabat, yaitu corak pemikiran fikih ahli Madinah yang dinakhodai oleh Zaid bin

  • 3

    Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas, dan madzhab Irak yang

    dipunggawai oleh Abdullah bin Masud.2

    Dua kerangka besar inilah yang kemudian dijadikan tradisi paten bagi

    generasi setelahnya, dan tidak banyak melakukan banyak perubahan paradigma.

    Hanya saja, pergeseran metode sudah mulai banyak terjadi dalam kerangka fikih

    tabiin namun tetap mengekor pada pendapat-pendapat sahabat nabi dalam

    menetapkan sebuah hukum tertentu. Madzhab Irak, yang fatwa-fatwanya

    mengikuti Abdullah bin Masud dan dalam putusan peradilannya mengikuti

    pendapat Ali, diketuai oleh Ibrahim an-Nakhai. Sedangkan madzhab Madinah

    lebih banyak terpengaruh pada pendapat-pendapat sahabat yang tinggal di

    Madinah, dan mufti tabiin yang terkenal dengan madzhab ahli Madinah ialah

    Said bin Musayab.

    Namun ketika masa tabiin berlalu dan digantikan dengan masa para imam

    mujtahid, pemikiran yurisprudensi Islam banyak mengalami pergeseran

    metodologi. Penetapan metode (manhaj) mengalami perubahan menjadi polarisasi

    madzhab fikih. Corak pemikiran fikih terbagi ke dalam madzhab-madzhab besar.

    Abu Zahrah mencatat, setidaknya terjadi lima tahapan terbentuknya

    madzhab fikih dalam khazanah Islam.3 Tahap yang pertama ialah masa dimana

    muncul madzhab fikih dan mulai adanya kaitan antar corak pemikiran madzhab

    fikih dengan kota tempat tinggal para pendirinya. Tahap pertama ini ditandai

    dengan generasi awal munculnya pemikiran yang mengedepankan qiys (analogi)

    yang diawali oleh Abu Hanifah, yang kemudian dikenal dengan madzhab Kufah,

    dan madzhab Madinah yang diketuai oleh Imam Malik bin Anas yang lebih

    banyak menetapkan madzhabnya berdasarkan hadits nabi. Kemudian di Syam

    diketuai oleh Imam Al-Auzai, dan di Mesir dikepalai oleh Imam Al-Laits.

    Sedangkan generasi berikutnya ditandai dengan munculnya Imam Syafii, Imam

    Ahmad, Abu Daud. Tahap kedua ialah tahap dimana kecenderungan mengikuti

    para imam madzhab semakin kental. Penamaan istilah mujtahid mutlak hilang

    sehingga para imam tidak lagi berijtihad secara bebas, akan tetapi berijtihad

    2 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib as-Siyasiyyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh

    al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Beirut: Darul Fikr al-Arabi, tt), vol. II, hal. 30. 3 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 56-57.

  • 4

    seputar madzhab tertentu yang ia ikuti. Tahap yang ketiga ialah masa terjadinya

    pergeseran ijtihad seputar dasar-dasar suatu madzhab menjadi terikat dengan

    madzhab tertentu. Ijtihad, pada tahapan ini, hanya bisa dilakukan pada hal-hal

    yang yang belum ditetapkan oleh para imam madzhab. Tahap yang keempat ialah

    terikatnya pendapat para imam pengikut madzahab tertentu dengan pendapat para

    imam. Pada tahap ini, ijtihad sudah mulai berkurang, dan yang berkembang

    hanyalah mengomentari dan menginterpretasikan pendapat para imam madzhab.4

    Sedangkan tahap terakhir ialah munculnya fanatisme bermadzhab dan terjadinya

    kejumudan dan statisme umat Islam atas ijtihad, sehingga berkembang suatu

    paradigma di masyarakat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan berpegang pada

    suatu madzhab merupakan suatu keharusan.

    Sejarah Singkat Biografi Imam Syafii

    Imam Syafii, yang memiliki nama lengkap Muhamad bin Idris, lahir pada

    tahun 150 hijriah, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Menurut

    Fakhrudin Ar-Razi, sebagian riwayat yang tidak begitu masyhur bahkan

    menyebutkan hari lahirnya Syafii bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah.5

    Beliau lahir di sebuah kota di tanah Palestina, yaitu Gaza. Dalam usianya yang

    masih dalam buaian ibundanya, Syafii hidup dalam keadaan serba kekurangan dan

    menjadi anak yatim. Meski demikian, beliau memiliki garis keturunan terhormat,

    karena ayahnya merupakan keturunan Muthalib, salah satu putra dari Abdu

    Manaf, sedangkan jalur keturunannya dari ibu bersambung pada Bani Azdi. Selain

    itu, garis keturunannya juga bersambung pada Hasyim.6 Ketika menginjak usia

    dua tahun, beliau pindah bersama ibunya ke Mekah.

    Di sinilah beliau memulai pergumulannya dalam dunia intelektualitas

    Islam. Beliau memulainya dengan menghafal al-Quran. Di masa kehidupannya di

    Mekah pula beliau banyak mempelajari hadits dari para guru hadits, serta

    4 Di masa ini, karangan para imam pengikut madzhab fikih kebanyakan berkutat para

    syarah dan hasyiyah atas karya para imam madzhab.

    5 Fakhruddin Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii (Kairo: Maktabah Al-Kuliyah Al-

    Azhariyah, 1406 H/1986 M), hal. 34.

    6 Ar-Razi, ibid., hal. 23.

  • 5

    mempelajari bahasa Arab dari orang-orang yang paling fasih dalam berbahasa

    Arab; kaum Badui.7 Pada usia tujuh tahun, beliau sudah menghafal al-Quran, dan

    tepat ketika berusia tiga belas tahun, beliau sudah mampu menghafal kitab hadits

    Imam Malik, yaitu Muwaththa.8

    Imam Syafii tergolong imam yang sangat mumpuni dalam keilmuan Islam,

    sampai-sampai ketika berusia 15 tahun, beliau telah menjadi seorang mufti di

    Mekah.9 Namun di usia yang relatif muda itu, Imam Syafii tidak serta merta

    menyelesaikan studinya begitu saja. Hasrat untuk menimba ilmu lebih dalam

    beliau tunjukkan dengan melakukan perjalanan ke Madinah, tempat dimana Imam

    Malik, pengarang kitab hadits al-muwaththa yang terkenal itu tinggal. Selama

    sembilan tahun Imam Syafii belajar kepada Imam Malik. Namun salah satu

    riwayat yang cukup populer menyebutkan, beliau belajar kepada Imam Malik

    selama kurang lebih 16 tahun hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H, dan

    pada saat yang bersamaan beliau belajar kepada Ibrahim bin Saad al-Anshari dan

    Muhamad bin Said.

    Setelah mempelajari fikih dari Imam Malik, beliau melanjutkan studinya

    ke Irak. Irak, yang sebagai pusat pemerintahan kekhilafahan Bani Abbasiyah

    terkenal dengan fikih rasionalnya (rayi). Dalam pengembaraannya inilah beliau

    memperdalam fikih rayi kepada para pengikut madzhab Abu Hanifah. Di

    antaranya ialah Muhamad bin Hasan as-Syaibani (w. 189 H)10

    , salah satu murid

    kesayangan Imam Abu Hanifah. Sejarah mencatat, setidaknya Imam Syafii

    singgah ke Irak selama tiga kali. Yang pertama tepat adalah pada saat beliau

    remaja, pada tahun 184 H saat pemerintahan Harun Ar-Rasyid, kemudian tahun

    195 H dan sempat bermukim di sana selama dua tahun. Selama dua tahun

    bermukimnya di Baghdad, beliau menulis kitab ar-Risalah dan menyebarkan

    madzhab qadim-nya. Kemudian yang terakhir ialah 198 H dan tinggal selama

    7 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 229. 8 Al-Imam as-Syafii, kitab diambil dari maktabah syamilah, tanpa pengarang, hal. 2.

    9 Ar-Razi, Manaqib,hal. 37. 10 Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar Alam an-Nubala (Tt: Muassisah ar-Risalah, 1405 H),vol. IX, hal. 136.

  • 6

    beberapa bulan.11

    Tepat di kota inilah seorang ahli hadits besar berguru kepada

    Imam SyafiI, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.

    Berguru kepada As-Syaibani membuat Imam Syafii banyak sekali

    menyerap metodologi dan corak yurispruden Islam rasional (madzhab rayi).

    Akan tetapi, bukan berarti Imam Syafii hanya mempelajari fikih rayi dan metode

    qiys saja kepada As-Syaibani, akan tetapi juga mempelajari riwayat-riwayat yang

    sudah dikenal oleh ulama-ulama Irak yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali

    oleh ulama Hijaz.12

    Sembari mempelajari fikih dari as-Syaibani, Imam Syafii

    menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan ulama Irak, terutama yang

    menyangkut fikih mereka, yaitu fikih rayi seraya memperkenalkan dirinya

    sebagai pengikut Imam Malik. Saat itu, bakat Imam Syafii dalam mengungkapkan

    suatu metode tertentu belum ditunjukkan kepada ulama Irak. Meski banyak

    mengkritik fikih rayi yang menjadi tradisi ulama Irak saat itu, Imam Syafii tidak

    bersedia berdebat dengan orang-orang yang seusia dengan As-Syaibani, bahkan

    tidak melakukan perdebatan dengan Imam Syaibani sendiri karena Imam Syafii

    memandangnya sebagai seorang guru.13

    Di pengembaraannya yang terakhir, Imam Syafii melabuhkan hidupnya di

    kota suci umat Islam, yaitu Madinah. Di sinilah beliau melihat konsep baru yang

    ditawarkan Imam Malik, yaitu diterimanya pendapat ahli Madinah meski

    memiliki kontradiksi dengan hadits ahad dan tidak melalui jalur ananah sesuai

    dengan metode kritik dalam ilmu hadits. Syafii melihat hal itu sebagai sebuah

    krisis (azma). Dari sinilah kemudian Syafii membangun madzhabnya dengan

    mencoba mensintesiskan kubu Abu Hanifah yang rasional dan Imam Malik yang

    banyak menekankan hadits sebagai pondasi bermadzhab.

    11 Muhamad bin Idris As-SyafiI, ar-Risalah, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir (Beirut: Dar al-Fikr, tt), dalam catatan kaki, hal. 6.

    12 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 235. 13 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 236.

  • 7

    Atas dasar inilah, ulama mengkategorikan Imam Syafii sebagai seorang

    mujtahid mustaqil, yang berarti seorang mujtahid yang tidak mentendesikan

    ijtihadnya pada seorang mujtahidpun.14

    C. Pemikiran-pemikiran Syafii dalam Khazanah Keislaman

    Imam Syafii termasuk salah seorang pendiri madzhab yurispruden Islam

    yang sangat cerdas. Tak kurang dari beberapa khazanah keilmuan Islam yang

    dikuasai, dari mulai pemikiran fikih klasik, kalm, politik (siyasah) Islam, studi

    al-Quran (ulumul duran), hadits, dsb. Beliau meninggalkan banyak karya dalam

    berbagai literatur Islam, seperti al-Umm, Ahkam al-Quran, Ikhtilaf al-Hadits, al-

    Imla, al-Asma wa al-Qobail fi Ikhtilaf al-Iraqiyyin, al-Kitab al-Jadid dan kitab

    al-Qodim yang berisi pendapat-pendapat seputar qoul qodim dan qoul jadid,

    Musnad al-Imam as-Syafii, yaitu karya beliau seputar hadits-hadits nabi, dan ar-

    Risalah yang menjadi kitab prototipe filsafat hukum Islam (ushul fikih).15

    Betapa besar sumbangsih pemikiran Imam Syafii, sehingga para ulama

    mengelompokkan beliau sebagai mujtahid mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang

    tidak menyandarkan ijtihadnya kepada siapapun. Beliau merupakan salah satu

    imam mujtahid yang memiliki pengikut terbanyak sepanjang sejarah Islam hingga

    saat ini. Tak heran jika Imam Abdurrahman Bin Mahdi senantiasa mendoakan

    beliau sepanjang sholatnya,16

    begitupun dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang

    mendoakan Imam Syafii dalam sholatnya selama empat puluh tahun.17

    Beberapa poin penting dari pemikiran Imam Syafii akan dijelaskan dalam

    pembahasan selanjutnya, di antaranya adalah:

    Sintesis antara Metode Imam Malik (Fikih Hadits) dan Imam Abu Hanifah

    (Fikih Rayi)

    14 Muhamad Al-Khatib As-Syarbini, al-Iqna fi Hall Alfadz Abi SyujaI, tahqiq Ali

    Muhamad Muawad dan Adil Ahmad Abdul Maujud (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, cet. Ke-3, 2004 M), hal. 7.

    15 Untuk lebih lengkap mengenai karangan Imam Syafii serta intisarinya, lihat kitab yang

    membahas secara detail karya-karya turats Islam, Kasyfu adz-Dzunun, karangan Haji Khalifah..

    16 Komentar yang diberikan oleh pentahqiq kitab ar-Risalah Imam Syafii, hal. 4.

    17 Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Marifah, tt), juz. I, hal. 26.

  • 8

    Dasar utama pijakan Imam Syafii dalam menetapkan madzhabnya adalah

    sintesis dan keseimbangan antara penetapan suatu hukum berdasarkan kaidah-

    kaidah tekstual (al-Quran dan hadits) dan kaidah-kaidah rasio (qiys). Sintesis

    yang dihasilkan oleh Imam Syafii ini dibangun berdasarkan beberapa kaidah baku

    antara berbagai teori-teori fikih klasik dan metodologinya untuk mendapatkan

    suatu ketetapan hukum. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana di antara

    pendapat-pendapat tersebut yang lebih dekat kepada kebenaran dan mana yang

    sesuai dengan tujuan dari syariah itu sendiri (maqashid syariah).

    Sebagai pijakan madzhabnya, Imam Syafii berhasil menyusun dua

    kerangka besar pemikirannya. Petama, beliau mengeluarkan sebuah madzhab

    baru, dengan terlebih dahulu mengatakan bahwa beliau adalah murid dari Imam

    Malik yang menyeru untuk mengikuti pendapat-pendapat Malik, namun kemudian

    menjadi seorang guru yang bebas dan merdeka. Pendapat-pendapat Imam Malik

    kemudian dianalisis secara mendalam oleh Imam Syafii, dan berakhir dengan

    sebuah keputusan pro maupun kontra dengan pendapat Imam Malik tersebut.

    Kemudian, hasil analisisnya beliau tuangkan dengan mengeluarkan sebuah buku

    Khilaf Malik. Di samping itu, beliau juga menganalisis teori-teori yang

    dikemukakan oleh Imam Syaibani dengan metode analisis-kritis, untuk

    menetapkan kesamaan maupun perbedaan pandangannya dengan teori-teori

    tersebut. Beliau akhirnya menulis buku yang ia beri nama Khilaf al-Iraqiyyin.

    Yang kedua, Imam Syafii mengeluarkan penjelasan atas berbagai kaidah

    penalaran induksi (istinbath), yang kemudian dikenal dengan ushul fiqih. Dalam

    konteks keilmuan ini, Imam Syafii telah mengabadikan namanya sebagai

    prototipe mujtahid penggagas ilmu ushul fikih. Hal ini dilakukan oleh beliau

    karena para ulama generasi sebelumnya menetapkan berbagai metode untuk

    menetapkan sebuah hukum dalam kerangka global belaka. Hal inilah yang

    menjadi acuan Imam Syafii untuk membuat suatu karya ilmiah yang dapat

    dijadikan standar bagi para mujtahid dalam membuat kerangka hukum dengan

    memberikan aturan-aturan dan kaidah-kaidah terperinci agar seorang mujtahid

  • 9

    tidak keliru dalam memformulasi suatu hukum. Oleh karenanya, kebenaran dalam

    ijtihad merupakan suatu yang sangat diutamakan oleh Imam Syafii.18

    Boleh jadi Imam Syafii adalah seorang motor penggerak bagi pemikiran

    ijtihad. Semangatnya untuk mensintesiskan dua kubu besar pemikiran Islam

    kemudian diadopsi oleh penerus-penerusnya.

    Kerangka Madzhab Imam Syafii

    Imam Syafii mengkonstruk madzhabnya dengan meletakkan lima

    kerangka dasar. Beliau berkata demikian:

    Ilmu memiliki banyak tingkatan-tingkatan. Tingkatan pertama ialah al-Quran dan hadits nabi apabila hadits itu telah kokoh dan telah tetap (otentisitasnya). Di tingkatan yang kedua, terdapat ijma (konsensus) atas suatu persoalan yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadits. Sedangkan di tingkat ketiga ialah sebagian sahabat nabi yang

    mengemukakan suatu pendapat, dan pada saat yang sama tidak ada

    satupun pendapat sahabat lain yang memperselisihkannya. Tingkat yang

    ke empat ialah pendapat sahabat yang berbeda dengan pendapat tersebut,

    jika memang terdapat pendapat lain yang berseberangan dengan pendapat

    awal tadi. Dan yang terakhir ialah qiys (analogi). Dan segala sesuatu

    tidak diperkenankan untuk merujuk selain kepada al-Quran dan hadits nabi selama keduanya menyuguhkan substansi dasarnya. Dan dari tingkat

    tertinggi itulah (baca: al-Quran dan hadits), ilmu itu diambil.19

    Dari perkataan Imam Syafii di atas, dapat kita lihat bahwa Imam Syafii

    menganggap tingkatan pertama yang digunakan untuk mengambil sebuah

    ketetapan hukum ialah berasal dari teks-teks wahyu (al-Quran dan hadits). Imam

    Syafii, selanjutnya, menjadikan keduanya sebagai sumber utama dalam

    yurisprudensi Islam (fikih), sedangkan sumber hukum lainnya merupakan cabang

    dari al-Quran dan hadits. Oleh karena itu, pendapat-pendapat para sahabat, baik

    pro maupun kontra satu sama lainnya tidak mungkin bertentangan dengan al-

    Quran dan hadits, bahkan keduanya menjadi sumber inspirasi dan sumber bagi

    mereka, yaitu dengan menjadikan teks-teks al-Quran dan hadits sebagai sumber

    hukum, maupun hanya mengambil substansi dan esensi dasar yang disediakan

    oleh keduanya.

    18 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, 19 As-SyafiI, al-Umm (Beirut: Darul Marifah, 1393 H), vol. VII, hal. 265.

  • 10

    Secara garais besar, menurut Imam Syafii, terdapat empar sumber utama

    hukum Islam, yaitu al-Quran, hadits atau sunnah, ijma (konsensus) dan qiys

    (analogi).

    Al-Quran

    Al-Quran mendapat tempat yang pertama sebagai sumber hukum Islam

    dalam madzhab Imam Syafii. Menurutnya, sumber hukum yang mesti digali

    pertama kali oleh seorang muslim ialah al-Quran, sebagaimana dikemukakan

    oleh Imam Syafii dalam al-umm.20

    Namun agar tidak terjerumus ke dalam

    pemahaman keliru atas al-Quran, Imam Syafii mengatakan, masing-masing ayat

    yang terdapat dalam suatu teks memiliki karakteristik masing-masing. Tiap-tiap

    ayat berbeda satu dengan lainnya, sehingga melahirkan hukum yang berbeda-beda

    pula.

    Kaidah al-Quran ini, yang kemudian dikembangkan para pakar ilmu studi

    al-Quran (ulum al-Quran) semisal As-Suyuthi dalam al-Itqannya menjadi

    kaidah baku dalam memahami karakteristik dan kandungan al-Quran.

    Penggunaan kaidah ini, walau bagaimanapun, oleh Imam Syafii bertujuan untuk

    menghindari pemahaman literal atas al-Quran yang sangat kaya dengan

    kandungan makna. Selain itu, faktor eksternal (sabab an-nuzul) dan kondisi sosio-

    historis juga mutlak diperlukan, sehingga kebenaran al-Quran yang jauh dari

    kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya terbukti.21

    Hadits Nabi

    Pada masa di mana Imam Syafii hidup, banyak sekte-sekte bermunculan.

    Di antara sekte yang muncul, terdapat sebuah sekte yang yang menyerang

    eksistensi dan keberadaan sunnah sebagai salah satu pijakan utama dalam

    menetapkan hukum. Terdapat sebuah keterangan yang dikutip dari kitab Jama al-

    Ilmi, sekte ingkar sunah terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:22

    a. Kelompok yang mengingkari sunah secara keseluruhan dan totalitas

    20 As-SyafiI, ibid..

    21 QS. An-Nisa/04: 82.

    22 As-Syarbini, a-Iqna, vol. I, hal. 13-14.

  • 11

    b. Kelompak yang menolak sunah, kecuali jika muatan makna yang

    terkandung dalam sunah itu adalah al-Quran

    c. Menerima sunah atau hadits mutawatir,23 dan menolak hadits-hadits yang

    tidak sampai pada derajat otentik (mutawatir). Mereka menamakan hadits

    mutawatir sebagai hadits atau khabar umum, dan menamakan selain hadits

    mutawatir itu sebagai hadits atau khabar khusus.

    Tepat pada masa itu, banyak sekali sekte-sekte Islam menyebar di berbagai

    penjuru dunia Islam. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mendapat

    pengakuan dari masyarakat, termasuk memalsukan hadits-hadits nabi; mereka

    membuat suatu hadits dan menisbatkannya kepada Nabi dan para sahabat. Pada

    taraf di mana hadits sudah sangat bercampur dengan kebohongan dan kekaburan,

    Imam Syafii memandang hal ini sebagai sebuah krisis yang harus segera

    diselesaikan. Hadits nabi, menurutnya, harus segera disterilkan dari hadits

    maudlu (palsu), dengan melacak silsilah atau mata rantai hadits sehingga dapat

    dipastikan apakah hadits tersebut sampai kepada nabi atau tidak.24

    Selain menghadapi para pemalsu hadits, Imam Syafii juga berhadapan

    dengan kelompok ingkar sunnah yang menolak menjadikan hadits nabi sebagai

    argumentasi sumber hukum Islam. Setidaknya, kelompok ingkar sunnah

    mendasarkan argumentasinya pada empat hal pokok; Pertama, Dalam al-Quran,

    terdapat pernyataan yang konkret akan cakupan al-Quran yang meliputi segala

    sesuatu.25

    Ayat-ayat tersebut dengan tegas menunjukkan al-Quran telah

    mencakup segala sesuatu yang terkait dengan persoalan agama, hukum dan

    undang-undang, sehingga al-Quran yang akan merinci ketentuan-ketentuannya

    berdasarkan keterangan dalam al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu, peran sunnah

    sebagai spesifikator kaidah al-Quran tidak dibutuhkan. Kedua, perintah

    23 Hadits otentik, yaitu hadits yang dapat dipastikan berasal dari nabi, karena

    diriwayatkan berdasarkan jalur periwayatan yang banyak sekali, sehingga tidak ada celah pagi

    seorangpun dari para periwayat hadits itu untuk berdusta. 24 Metode klarifikasi hadits ini kemudian dikenal dengan ilmu jarh wa at-tadil. Inti

    pembahasan cabang keilmuan ini adalah menjelaskan kecacatan dan karakteristik seorang

    periwayat hadits, dalam rangka meminimalisasi pemalsuan hadits dan menjaga otentisitas suatu

    hadits yang disandarkan kepada nabi.

    25 QS. Al-Anam/06: 38, dan QS. An-Nahl/16: 89.

  • 12

    menghafal wahyu hanya ditujukan kepada al-Quran,26 dan tidak untuk menghafal

    hadits nabi. Ketiga, jika hadits/sunnah merupakan argumentasi bagi umat Islam,

    maka nabi pasti akan memerintahkan para sahabat kala itu untuk menuliskan

    hadits, dan sahabat pasti akan melakukan kodifikasi sunnah agar tidak terjadi

    distorsi dan perubahan teks hadits. Sedangkan untuk menjaga otentisitas hadits,

    satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan membukukannya.27

    Dari tiga kelompok di atas, Imam Syafii menganggap dua dari tiga

    kelompok yang berada di urutan yang pertama dan kedua sebagai kelompok yang

    tidak dapat dijadikan sandaran untuk dipegang pendapat-pendapatnya karena

    mendestruksi sunnah yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan

    untuk menyanggah kelompok ingkar sunnah, beliau mengatakan bahwa

    bagaimana mungkin umat Islam dapat melaksanakan tata cara sholat, zakat dan

    manasik haji, misalnya, jika pendapat dari kelompok pertama dan kedua

    dibenarkan, karena tata ritual peribadatan tidak dijelaskan secara terperinci dan

    lebih spesifik oleh al-Quran, dan al-Quran sendiri telah menyerahkan

    kewenangan untuk menjelaskannya kepada nabi melalui hadits-haditsnya.

    Untuk kelompok yang tidak menerima selain hadits mutawatir, Imam

    Syafii berpendapat demikian,

    Dalam seruan dan ajakan terhadap ajaran Islam, terkadang Nabi Muhamad mengirim beberapa orang utusan yang tidak sampai pada derajat

    mutawatir. Seandainya konsep mutawatir itu merupakan suatu kebutuhan

    aksioma (dloruriy), maka pasti beliau tidak akan mencukupkan untuk

    mengirimkan satu atau dua orang utusan saja. Kemudian di sisi lain dapat

    kita temukan bahwa nabi sering memutuskan persengketaan masalah harta,

    hukum qishosh dengan hanya berpegang pada dua orang saksi saja. Dan

    derajat khabar ini tidak mencapai derajat mutawatir. Atas dasar itulah

    kemudian nabi menetapkan sebuah hukum syara. Sedangkan kritik yang ketiga ialah Nabi Muhamad memperbolehkan sahabat yang mendengar

    langsung suatu hadits dari nabi untuk kemudian diajarkan kembali kepada

    sahabat lain yang belum mendengarnya, meskipun hanya satu orang.

    Dalam sebuah hadits, beliau bersabda demikian:28

    26 QS. Al-Hijr/15: 8.

    27 Dr. Mushtafa as-SibaI, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-Islamiy (Damaskus: Dar Al-Warraq, tt), hal. 176-177.

    28 As-Syafii, al-Umm, Dalam As-Syarbini, al-Iqna, hal. 14.

  • 13

    :

    29 Imam Syafii mengakui banyaknya hadits yang tidak dapat

    dipertanggungjawabkan otentisitasnya. Untuk itu, beliau menetapkan beberapa

    kaidah yang dipakai untuk mensortir hadits mana yang memang berasal dari nabi

    dan mana yang bukan. Oleh kalangan ahli hadits di kemudian hari, metode ini

    disebut dengan ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah.

    Ijma (Konsensus)

    Ijma merupakan argumen selanjutnya yang digunakan Imam Syafii dan

    para pengikutnya dalam menetapkan sebuah hukum. Ijma dalam pandangan

    Imam Syafii merupakan argumen yang sangat penting setelah al-Quran dan

    hadits dalam menetapkan sebuah hukum, jika argumen penetapan hukum tersebut

    tidak ditemukan dari keduanya. Ijma yang dimaksud Imam Syafii pada mulanya

    berasal dari kesepakatan yang terjadi di antara para sahabat30

    setelah wafatnya

    nabi, dengan mempertimbangkan ketiadaan rujukan bagi para sahabat dalam

    menetapkan hukum dari al-Quran maupun hadits.

    Pada dasarnya, ijma merupakan kesepakatan bersama para imam mujtahid

    atas sebuah hukum syariah dalam kaitannya dengan realitas yang terjadi pada

    periode setelah wafatnya Nabi Muhamad. Maksudnya ialah, jika ada satu kasus

    terjadi dalam masyarakat, kemudian dihadapkan kepada para mujtahid dan

    mereka berkonsensus atas hukum kasus tersebut, maka inilah yang kemudian

    dinamakan ijma yang dapat dijadikan salah satu sumber hukum Islam.31

    Akan tetapi terdapat tiga poin yang perlu dipertimbangkan di sini

    mengenai teori ijma yang dikemukakan oleh Imam Syafii. Pertama, ijma yang

    29 Muhamad bin Idris As-Syafii, Musnad as-Syafii (), vol. III, hal. 59, nomer hadits 1110,

    tersedia dalam www.alsunnah.com 30 As-Syafii, ar-Risalah, hal. 597.

    31 Abdul Wahab Kholaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010 M)

    hal.34.

  • 14

    dapat dijadikan sandaran argumen hanyalah ijma yang tidak menyalahi ketetapan

    yang sudah baku di dalam al-Quran dan hadits, sehingga apabila terjadi suatu

    konsensus yang menyalahi keduanya, maka tidak dikategorikan ijma. kemudian

    yang kedua adalah, Imam Syafii berbeda pandangan dengan gurunya sendiri,

    Imam Malik yang menganggap konsensus penduduk Madinah sebagai sebuah

    ijma. Meski demikian, dari persfektif praksis Imam Syafii mengakui bahwa

    penduduk Madinah tidak menyepakati suatu hal kecuali jika hal demikian telah

    disepakati oleh penduduk Islam di wilayah lain, seperti bilangan empat rokaat

    dalam sholat dzuhur, dsb. Hal ini mengindikasikan kesamaan beliau dengan Imam

    Malik dalam persfektif praksis, namun berbeda di ranah teoritis. Dan yang

    terakhir, jika terdapat seorang mujtahid yang memperselisihkan ijma yang telah

    disepakati mayoritas dan dengan tegas mujtahid tersebut menolaknya, maka ijma

    yang dikemukakan oleh mayoritas menjadi batal. Sehingga realitas ijma yang

    diharapkan oleh Imam Syafii sangat jarang sekali terjadi.32

    Meski terkesan sangat sulit untuk dilaksanakan, teori ijma yang

    dilontarkan Imam Syafii diikuti oleh pengikut madzhabnya. Meski pada dasarnya

    ijma berasal dari rasio, akan tetapi kedudukannya menjadi sangat penting bila

    dibandingkan dengan pendapat pribadi, karena pendapat mayoritas dan terjadinya

    kesepakatan bersama lebih dekat kepada kebenaran dibandingkan dengan

    pendapat personal. 33

    Qiys (Analogi) dan Ijtihad

    Qiys berasal dari kata qosa yaqisu - qoisan dan qiysan, yang berarti

    mengukur sesuatu dengan sesuatu yang sepadan.34

    Menurut terminologi filsafat

    hukum Islam, qiys adalah menyamakan suatu kejadian yang belum memiliki

    ketetapan hukumnya dari teks syari dengan kejadian lain yang sudah ada

    hukumnya, karena adanya persamaan illat di antara kedua kejadian tersebut.35

    32 Abu Zahrah, Tarikh Madzahib., vol. II, hal. 259-260.

    33 Abdul Wahab Kholaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 50. 34 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shodir, tt), vol. VI, hal. 185. 35 Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib..., vol. II, hal. 263.

  • 15

    Tidak ada sumber yang jelas tentang Imam Syafii dalam hal ini, baik yang

    menyebutkannya sebagai pencetus term qiys atau hanya mengutip pendapat

    imam lain. Hanya saja, patut diakui bahwa beliau adalah seorang mujtahid yang

    memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atas makna teks-teks syariah,

    atau melakukan tarjih (determinasi) terhadap suatu pendapat fikih para sahabat

    maupun para ulama.

    Sedangkan Imam Syafii merupakan seorang mujtahid dalam mengeluarkan

    sebuah pendapat dengan metode qiys, atau yang disebutnya sebagai ijtihad.

    Menurutnya, kedua kata tersebut memiliki esensi yang sama, sehingga Imam

    Syafii tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.

    Tak seperti para pendahulunya, Imam Syafii berbeda dalam menerapkan

    metode qiys. Ia lebih suka menjadi seorang madzhab tengah antara kubu Hanafi

    dan Maliki.36

    Teori qiys Imam Syafii didasarkan pada dua hal utama. Pertama,

    pernyataannya dalam ar-Risalah, bahwa sejatinya segala sesuatu yang terjadi

    dalam masyarakat sudah memiliki hukum pasti dan memiliki dalilnya tersendiri.

    Apabila teks berbicara secara eksplisit tentang sebuah hukum, maka hukum

    tersebut harus diikuti. Sedangkan apabila tidak ada dalil eksplisitnya, maka

    seseorang mesti mencari dalilnya dengan cara ijtihad. Dan ijtihad inilah yang

    kemudian dinamakan qiys.37

    Dari pernyataan ini, ia menyatakan syariat Islam

    memiliki dimensi yang sangat umum dan wilayah hukumnya tidak terbatas pada

    hal-hal yang dijelaskan secara eksplisit saja, akan tetapi melampaui segala sesuatu

    secara keseluruhan.

    Yang kedua ialah, ilmu syariat yang terkait dengan hukum terbagi menjadi

    dua kategori, ilmu qathi yang sudah memiliki argumentasi syari-nya dalam al-

    Quran dan hadits secara mutlak dan pasti, dan ilmu dzanniy (spekulasi) yang

    memiliki kekuatan dalil yang relatif dan nisbi. Dari sini beliau menyimpulkan

    bahwa apabila ilmu qathi terputus, maka seorang mujtahid hendaknya

    mengorientasilkan argumentasinya pada dalil-dalil relatif yang kuat.38

    Imam

    36 Muhamad Kamaluddin Imam, Nadzariyyat al-Fiqh fi al_Islam: Madkhal Manhajiy,

    kitab acuan Universitas Iskandariyah dan Beirut al-Arabiyah, tidak diterbitkan, tt, Hal. 271. 37 Imam Syafii, ar-Risalah, hal. 477.

    38 Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib., vol. II, hal. 264.

  • 16

    Syafii mentendensikan pendapatnya dari perintah nabi untuk menggali potensi

    dalil yang pasti di dalam al-Quran dan hadits untuk menjawab persoalan baru

    yang muncul kemudian.

    Namun demikian, Imam Syafii menyadari tidak semua hukum yang

    datang kemudian dapat begitu saja diqiyskan kepada hukum asal. Tentu ada

    beberapa kriteria baku yang dijadikan sebagai standar seorang mujtahid dapat

    menggunakan metode qiys untuk menetapkan sebuah hukum. Oleh sebab itulah

    Imam Syafii menyanggah istihsan yang oleh pengikut madzhab Hanafi diakui dan

    boleh dijadikan sumber hukum Islam.

    Penolakan Imam Syafii terhadap Teori Istihsan Imam Hanafi

    Terdapat pernyataan Imam Syafii yang sangat terkenal menolak

    pemakaian istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Beliau berkata:

    Barang siapa menganggap sesuatu sebagai sebuah kebaikan, maka sesungguhnya ia telah membuat syariat baru (heretik).

    Pernyataan ini menunjukkan penolakan Imam Syafii atas metode yang

    digunakan Imam Abu Hanifah yang banyak sekali mendasarkan fatwa dan

    pendapat fikihnya dengan metode istihsan. Selain itu, Imam Syafii juga

    menganggap istihsan sebagai salah satu argumen cacat yang tidak boleh dipakai

    untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini diikuti oleh sebagian besar ushuli,

    karena istihsan merupakan bentuk mengambil kesenangan dan mendasarkan

    hukum sesuai dengan keinginan sendiri.39

    Berbeda dengan klaim yang dilontarkan oleh Imam Syafii, Istihsan dalam

    pandangan penggagasnya ditekankan pada berpalingnya seorang mujtahid dari

    analogi universal (qiys kulli) menuju analogi parsial (qiys juziy) dikarenakan

    adanya illat (sebab) lain yang mengharuskan mujtahid untuk merubah qiys jaliy

    39 Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 62.

  • 17

    menuju qiys khofiy.40

    Maka sebenarnya terdapat titik temu antara penolakan

    Imam Syafii terhadap istihsan yang beliau maksud, dengan istihsan menurut

    Hanafiyah.

    Tentu saja dalam pandangan Hanafiyah, istihsan bukanlah bentuk

    mengambil suatu hukum berdasarkan kesenangan. Karena dengan beberapa

    contoh yang dikemukakan, semua bentuk istihsan yang dipraktekkan oleh

    Hanafiyah terjadi karena adanya kebutuhan yang mendesak. Di sinilah letak

    persamaan antara Imam Syafii dan Hanafiyah.

    Munculnya Qoul Qodim dan Qoul Hadits dalam Tradisi Madzhab Skolastik

    Imam Syafii

    Qoul qodim adalah fatwa-fatwa Imam Syafii yang beliau kemukakan

    ketika beliau berada di Baghdad. Terdapat 24 fatwa yang yang dikenal dengan

    qoul qodim. Para perawi dari qoul qodim Syafii itu ada empat, dan yang paling

    masyhur ialah Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Karobisi, Imam Zafaroni, dan juga

    Imam Abu Tsaur. Sedangkan qoul jadid ialah fatwa-fatwa Syafii yang beliau

    kemukakan di Mesir dan meralat kembali fatwa-fatwa yang telah beliau

    kemukakan di Baghdad karena beliau menemukan kelemahan dalil-dalilnya. Di

    antara para perawi qoul jadid beliau ialah Imam Al-Muzani, Imam Al-Buwaithi,

    Imam Ar-Rabi Al-Jizi, dan Imam Imam Ar-Rabi bin Sulaiman Al-Murodi,

    perawi kitab al-Ummnya Syafii.

    Riwayat menyebutkan, Syafii meralat keseluruhan qoul qodim kecuali

    pada 17 masalah, yang menurutnya masih berpegang pada dalil yang kuat. Namun

    ada juga yang berpendapat, hanya 14 qoul qodim yang tidak dirubah, namun yang

    jelas bilangannya lebih banyak dari pendapat-pendapat di atas, sesuai dengan

    keterangan dalam berbagai kitab turats.41

    Dari sinilah muncul pernyataan Imam

    Syafii yang menyebutkan:

    40 Hudlori Bik, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003 M), hal. 41 Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib., vol. II, hal. 273.

  • 18

    Artinya: apabila (terdapat) sebuah hadits shohih, maka itulah

    madzhabku.42

    Penolakan Imam Syafii terhadap Ilmu Kalm

    Di masa Imam Syafii hidup, terdapat banyak sekali diskursus dan

    perdebatan seputar persoalan ilmu kalm yang melahirkan sekte-sekte skolastik

    Islam (mutakallimin), seperti Muktazilah, Khawarij, dsb. Perdebatan mereka

    berkutat pada persoalan dasar menyangkut kalm Tuhan, apakah menjadi bagian

    dari sifat-Nya ataukah tidak, juga apakah al-Quran itu diciptakan atau tidak.

    Di ranah ini, Imam Syafii banyak mengemukakan pendapatnya, baik

    sebagai pihak yang pro maupun kontra dengan diskursus tersebut. Salah satu

    pendapatnya yang cukup kontroversial adalah penolakan Imam Syafii terhadap

    orang-orang yang banyak menghabiskan waktu dan energi untuk mempelajari

    kalm. Beliau menyebutkan demikian:

    Hindarilah oleh kalian berdebat dalam persoalan kalm, karena sesungguhnya jika seorang laki-laki yang ditanya tentang persoalan fikih,

    kemudian ia salah dalam memberikan jawaban, maka maksimalnya

    konseksuensi yang ia dapatkan adalah ditertawakan, namun jika ia ditanya

    mengenai hukum orang yang membunuh orang lain dan ia menjawab

    diyatnya orang yang membunuh adalah membayar sebuah telur. Namun

    jika ia ditanya tentang persoalan kalm dan ia keliru menjawab, maka ia

    akan terjerumus ke dalam bidah (heretik).

    Sebagai seorang mujtahid dan salah satu orang yang paling mengetahui

    ilmu kalm, Imam Syafii boleh jadi benar dalam kaitannya dengan penolakannya

    terhadap ilmu kalm. Karena saat itu terjadi fitnah besar yang disebabkan oleh

    banyaknya kelompok Islam yang mendalami persoalan al-Quran. Di satu sisi,

    banyak di kalangan kaum bidah yang meminta suaka politik dan berlindung di

    balik kekuasaan khilafah Islam, dan mereka cenderung mendiskreditkan ulama

    yang benar. Mereka juga tidak berpaling kepada argumen yang benar. Pada saat

    42 Imam Bujairomi, Hasyiyah al-Bujairomi ala al-Khotib, Juz. 1, hal. 171, tersedia dalam: www.al-islam.com

  • 19

    Imam Syafii mengetahui bahwa pembahasan mengenai ilmu kalm tidak

    dimaksudkan untuk memperolah ridla Tuhan, akan tetapi untuk memperoleh

    dunia dan kekuasaan, maka tak salah jika beliau meninggalkan persoalan kalm

    dan berpaling dari ilmu kalm, juga mencela orang-orang yang mendalaminya.43

    Namun penolakan Imam Syafii atas ilmu kalm dapat dilihat dan dipahami

    dari berbagai sisi. Di antaranya ialah: Pertama, terjadi fitnah yang sangat besar

    kala itu karena banyak kalangan mendalami persoalan al-Quran (apakah ia hadits

    atau qadim). Pada saat yang bersamaan, kalangan heretik (ahlu bidah) meminta

    suaka kepada penguasa untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok yang benar.

    Mereka sama sekali tidak mempedulikan argumentasi-argumentasi yang kokoh.

    Melihat realitas yang terjadi dimana mempelajari kalm bukan dalam rangka

    mencari ridla Allah, melainkan untuk mencari pamor di hadapan para penguasa,

    maka tidak heran jika Imam Syafii mencela orang-orang yang banyak

    menghabiskan waktu mempelajari kalm. Yang kedua, sangkalan Imam Syafii

    terhadap ilmu kalm itu hanya ditujukan kepada para pembuat bidah saja, bukan

    untuk keseluruhan. Realitas ini sama seperti ahli fikih yang menggunakan metode

    qiys, dan di satu sisi mereka menemukan adanya kabar otentik dari sahabat dan

    tabiin yang menegasikan metode qiys, mereka berkata bahwa larangan

    menggunakan wiyas ditujukan pada qiys fasid (analogi keliru) yang menyalahi

    ketentuan nash. Sedangkan yang terakhir ialah penolakan Imam Syafii terhadap

    ilmu kalm menjadi salah satu landasan madzhabnya; menerima dalil yang

    disebutkan oleh al-Quran adalah suatu keharusan, dan menambah-nambahkan

    serta mendalami persoalan yang tidak ada ruang bagi akal untuk berijtihad

    merupakan sesuatu yang terlarang. Oleh karena itulah, mendalami ilmu kalm

    menjadi tercela dalam pandangan Imam Syafii. 44

    Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pad dasarnya ilmu kalm memiliki

    kedudukan yang terhormat dalam pemahaman Imam Syafii. Seseorang dapat

    mengenal Tuhan rasul melalui ilmu kalm. Oleh karena itu, mempelajari ilmu

    kalm harus dijauhkan dari niat mencari kekuasaan dan tidak menjerumuskan ke

    43 Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii, hal. 103. 44 Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii, hal. 103-104.

  • 20

    dalam heretisme agama, melainkan semata-mata untuk mencari kebenaran dan

    ridla Tuhan.

    Pendapat Imam Syafii terhadap Imamh (Kepemimpinan Politik)

    Persoalan yang tidak luput dari perhatian Imam Syafii adalah

    kepemimpinan (imamh) karena keterkaitannya dengan fikih, baik dekat maupun

    jauh. Setidaknya, terdapat tiga teori yang dimunculkan Imam Syafii terkait

    masalah politik, yaitu:45

    1. Imam Syafii meyakini bahwa kepemimpinan termasuk ke dalam persoalan

    agama yang patut untuk diberlakukan. Konsep im mah diaplikasikan agar

    orang mumin melakukan aktivitas di bawah naungan seorang imam atau

    pemimpin.

    2. Imam Syafii tidak berpendapat bahwa seorang imam harus berasal dari

    Quraisy. Pendapatnya ini mengacu pada hadits yang bersumber dari Umar

    bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az-Zuhri dengan sanad bersambung pada

    Nabi Muhamad.

    3. Selain itu, beliau juga menganggap sahnya kepemimpinan seorang

    khilafah yang berkuasa tanpa melalui proses pembaiatan, dan menganggap

    pembaiatan bukan bagian dari syarat sah kekhilafahan, akan tetapi sebatas

    wilayah keutamaan saja. Kemudian Syafii menambahkan, seandainya

    terdapat seorang raja yang menaklukan suatu daerah dan dia adalah

    seorang yang memiliki nasab Quraisy dan mendirikan pemerintahan di

    daerah tersebut kemudian didukung oleh rakyat, maka ia dapat dikatakan

    sebagai seorang pemimpin (imam). Prasyarat inilah yang diajukan oleh

    Imam Syafii untuk menolak prasyarat Quraisy bagi seorang khalifah yang

    tidak mengaktualisasikan nilai-nilai keadilan.

    Tampak jelas Imam Syafii bersikap moderat dalam politik. Baginya,

    sistem pemerintahan bukanlah sesuatu yang esensi dalam agama. Prinsip-prinsip

    universal seperti keadilan, persamaan dan kebebasan berpendapat menjadi

    prioritas Imam Syafii. Baginya, pemerintahan yang merealisasikan keadilan bagi

    45 As-Syarbini, al-Iqna, vol. I, hal. 11.

  • 21

    masyarakat memiliki legalitas untuk dipatuhi, sebagaimana kelaliman yang tidak

    bisa dibiarkan terus-menerus.

    D. Penutup

    Membicarakan Imam Syafii merupakan persoalan yang sangat kompleks.

    Ini dikarenakan peranannya yang sangat besar dalam memajukan khazanah

    keilmuan Islam, sehingga pembicaraannya tidak cukup berhenti sampai di sini.

    Sebagai kesimpulan, setidaknya terdapat dua poin utama yang dapat

    dipaparkan dalam makalah ini. Pertama, terlepas dari kritik yang ditujukan kepada

    Imam Syafii, beliau adalah seorang mujtahid yang memperkenalkan Islam sebagai

    agama yang solutif. Pemikirannya yang luas memberikan inspirasi dan

    sumbangsih yang sangat berharga bagi kemajuan pemikiran Islam. Madzhabnya

    banyak dianut oleh umat Islam dan madzhabnya menelurkan karya-karya besar

    yang diperhitungkan. Kedua, kehidupan Imam Syafii yang tidak terjebak pada

    ambisi kekuasaan mengajarkan umat Islam untuk mendalami ilmu-ilmu Islam

    dalam rangka mencari ridla Allah. Moralitas dan etika yang beliau terapkan dalam

    keseharian membuatnya senantiasa dikenang. Sehingga tidak berlebihan jika

    banyak pengikutnya yang senantiasa mendoakan Imam Syafii sepanjang

    hidupnya. Wallahu alam.

  • 22

    Daftar Pustaka

    Adz-Dzahabi, Syamsuddin, Siyar Alam an-Nubala (Tt: Muassisah ar-Risalah,

    1405 H)

    Al-Ghozali, Abu Hamid, Ihya Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Marifah, tt)

    Ar-Razi, Fakhruddin, Manaqib al-Imam as-Syafii, hal. 34.

    As-Sibai, Mushtafa, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-Islamiy

    (Damaskus: Dar Al-Warraq, tt)

    As-Syafii, Muhamad bin Idris, ar-Risalah, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir

    (Beirut: Dar al-Fikr, tt)

    ___________________________, Musnad as-Syafii, vol. III, tersedia dalam

    www.alsunnah.com

    ___________________________, al-Umm (Beirut: Darul Marifah, 1393 H)

    As-Syarbini, Muhamad Al-Khatib, al-Iqna fi Hall Alfadz Abi SyujaI, tahqiq Ali

    Muhamad Muawad dan Adil Ahmad Abdul Maujud (Beirut: Darul

    Kutub Ilmiah, cet. Ke-3, 2004 M)

    Bujairomi, Hasyiyah al-Bujairomi ala al-Khotib, tersedia dalam: www.al-

    islam.com

    Hudlori Bik, Muhamad, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003 M)

    Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shodir, tt)

    Imam, Muhamad Kamaluddin, Nadzariyyat al-Fiqh fi al_Islam: Madkhal

    Manhajiy, kitab acuan Universitas Iskandariyah dan Beirut al-Arabiyah,

    tidak diterbitkan

    Zahrah, Muhamad Abu, Tarikh al-Madzahib as-Siyasiyyah fi as-Siyasah wa al-

    Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Beirut: Darul Fikr al-

    Arabi, tt)