Kemerdekaan Itu, Apa Artinya? Oleh : Ahmad Syafii Maarif Bahwa bangsa ini punya watak anti penjajahan asing, bukti historisnya berjibun. Perkataan ‘jibun’ tidak semata menunjukkan utang banyak, tetapi teman dari Kepulauan Natuna, juga menggunakannya dalam arti bertumpuk. Jadi, perasaan dan sikap anti penjajahan asing dimiliki seluruh suku bangsa yang kemudian tahun 1920-an mulai menggagas untuk mengikatkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Alangkah dahsyatnya gagasan itu yang dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dirinci dalam format: satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, Indonesia! Sumbangan Riau yang terbesar untuk kebudayaan kita adalah bahasa Indonesia, yang semula disebut bahasa Melayu. Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan kurun, tetapi sebagai bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin: “Nation and character building,” pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Bangsa ini masih perlu dirawat oleh semua lapisan rakyat, bukan diruwat, sebagai kebiasaan paranormal menghadapi malapetaka. Rawatan inilah yang sering terabaikan setelah kita merdeka dalam rentang waktu 62 tahun.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Kemerdekaan Itu, Apa Artinya?
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Bahwa bangsa ini punya watak anti penjajahan asing, bukti historisnya berjibun.
Perkataan ‘jibun’ tidak semata menunjukkan utang banyak, tetapi teman dari Kepulauan Natuna,
juga menggunakannya dalam arti bertumpuk. Jadi, perasaan dan sikap anti penjajahan asing
dimiliki seluruh suku bangsa yang kemudian tahun 1920-an mulai menggagas untuk
mengikatkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Alangkah dahsyatnya gagasan itu yang dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dirinci dalam format: satu bangsa, satu tanah air, dan satu
bahasa, Indonesia! Sumbangan Riau yang terbesar untuk kebudayaan kita adalah bahasa
Indonesia, yang semula disebut bahasa Melayu.
Dalam bentuk suku-suku bangsa, usianya memang sudah puluhan kurun, tetapi sebagai
bangsa Indonesia, belum sampai satu abad. Itulah alasannya mengapa Bung Karno dan para
pemimpin yang lain perlu mengulang-ulang doktrin: “Nation and character building,”
pembangunan bangsa dan karakter, karena memang belum kuat benar. Bangsa ini masih perlu
dirawat oleh semua lapisan rakyat, bukan diruwat, sebagai kebiasaan paranormal menghadapi
malapetaka. Rawatan inilah yang sering terabaikan setelah kita merdeka dalam rentang waktu 62
tahun.
Akibatnya bisa macam-macam, dari protes yang paling sederhana sampai pada keinginan
memisahkan diri dari jiwa dan batang tubuh Republik Indonesia. Semuanya ini telah memakan
korban, juga dari bentuk yang paling sederhana berupa bentrokan rakyat dengan aparat sampai
perang saudara yang berkuah darah. Akar-umbinya adalah kebelumberhasilan kita
menerjemahkan doktrin “pembangunan bangsa dan karakter” dalam cakupannya yang luas.
Apa itu? Tidak lain dari pengejawantahan Pancasila dalam format yang konkret, bukan
sebatas wacana dan retorika. Termasuk perlu diintensifkan ‘budaya saling menyapa’ antaranak
suku bangsa yang sangat beragam itu. Termasuk pemerataan keadilan dan kemakmuran,
membongkar struktur kesenjangan, karena kemakmuran melimpah baru dinikmati oleh segelintir
orang yang bertengger di pucuk piramida, sementara lautan kemiskinan dibiarkan terbentang
luas, menghimpit mereka yang tak berdaya. Golongan ini terhenyak di dasar piramida yang
jumlahnya masih sekitar 40 juta. Bagi si papa ini, merdeka atau terjajah tidak banyak bedanya.
Pembangunan bangsa dan karakter tidak saja menjadi agenda politik, tetapi dimensi
sosial-ekonomi menjadi sangat mustahak. Konflik mendatar dan konflik menaik dapat ditelusuri
musababnya pada kesenjangan sosial yang masih menganga. Makin jauh dari Jakarta makin
terasa betapa rupiah kita menjadi barang langka karena sekitar 70 persen beredar di ibu kota
yang penduduknya kurang dari lima persen dari 225 juta rakyat Indonesia.
Disparitas ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama, sebab bisul keretakan bangsa bisa
meledak sewaktu-waktu. Kita tidak rela melihat bangsa ini berkeping-keping karena kegagalan
kita merawatnya.
Dalam dialog saya dan Wapres HM Jusuf Kalla selama 50 menit di istana Wapres pada 1
Agustus 2007, kita banyak membicarakan masalah-masalah bangsa dan negara secara mendasar.
JK tampaknya tetap optimistis akan kebangkitan Indonesia dengan syarat semua orang mau
bangkit dan berpikir jernih, tidak hanya pandai saling menyalahkan. Tetapi, juga harus
ditunjukkan sikap apresiatif terhadap segala usaha dan prestasi yang baik, siapa pun yang
melakukan: pemerintah atau masyarakat.
Sikap “mutual distrust” (saling tidak percaya) mesti dihilangkan jika bukti menunjukkan
bahwa cukup alasan untuk “mutual trust” (saling percaya). Tetapi jika menyangkut tragedi
Lapindo, bagi saya tentu sangat sulit untuk menunjukkan “mutual trust” karena tidak tampak
upaya yang benar-benar serius dari pihak yang terlibat untuk mengatasinya. Fakta lapangan
menunjukkan di antara korban lumpur sudah banyak yang putus asa, karena tidak melihat tanda-
tanda kapan drama kemanusiaan ini berakhir. Bukankah semuanya ini terjadi akibat kecerobohan
pengusaha? Orang boleh saja disogok agar membisu, tetapi harus segera ada solusi.
Di saat kita sibuk merayakan hari kemerdekaan, bencana Lapindo jangan sampai
terlupakan. Kemerdekaan juga mengandung makna tanggung jawab kemanusiaan untuk mereka
yang teraniaya. Tidak ada gunanya seorang presiden dikabarkan berkantor di sana, jika
tunasolusi.
Akhirnya, perlu diingatkan kembali bahwa para pendiri bangsa dulu melawan penjajahan
adalah untuk menyudahi penderitaan. Tetapi setelah kekuasaan berpindah ke tangan sendiri,
mengapa penderitaan dan kemiskinan belum juga usai? Jika demikian faktanya, jangan-jangan
penguasa baru itu masih meneruskan politik penjajahan atas teman sebangsa. Jika dulu ‘londo
tenanan’, kini ‘londo ireng’ yang susunan kimia kekuasaannya setali tiga uang dengan penjajah.
Semoga semua sadar tentang kesalahan dan dosa kita terhadap bangsa dan negara ini yang
sekarang sedang berulang tahun ke-62 untuk mensyukuri kemerdekaannya. Dirgahayu Indonesia
tercinta, semoga tetap utuh!
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/kemerdekaan-itu-apa-artinya/
Bangsa Tunailmu
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Dalam Pembukaan UUD ’45 ditegaskan bahwa di antara tugas pemerintah adalah
”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Rumusan semacam ini bukan tanpa latar belakang historis
yang sarat dengan kegetiran; ia tidak muncul secara tiba-tiba. Akarnya menjalar jauh dan dalam.
Sebagai bangsa bekas jajahan, para perumus UUD kita menyadari betul betapa gelapnya otak
bangsa ini jika tingkat buta huruf masih sangat tinggi, yaitu pada tahun 1945 sekitar 90 persen.
Tahun 2007, persentasenya, berkat kemerdekaan, memang sudah terbalik, yaitu sekitar 90
persen sudah melek huruf, sekalipun sebagian (besar?) belum tentu tamat SD. Dari sisi ini,
betapapun masih rendahnya tingkat kecerdasan rakyat, kita wajib mensyukuri kemerdekaan
bangsa ini. Tanpa kemerdekaan, kita tetap saja dalam posisi bangsa budak.
Tetapi, fokus perhatian kita kali ini bukan di situ. Yang hendak disoroti adalah kenyataan
bahwa tingkat keilmuan bangsa ini secara keseluruhan masih di bawah standar. Dengan kata lain,
dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih belakangan mendapatkan kemerdekaan, kita
jauh kedororan. Ambillah contoh Malaysia yang pada 1950-an dan 1960-an jauh tertinggal oleh
Indonesia dan kita mengirim pasukan guru ke sana, sekarang memandang kita dengan sebelah
mata. Apalagi dengan berjibunnya TKI/TKW kita mengadu nasib ke sana, negeri jiran ini telah
menganggap kita sebagai bangsa dan negara yang tidak serius mengurus dan mengisi
kemerdekaan. Kita kehilangan wibawa di depan rakyat negara itu yang sekarang sedang
menikmati kemakmurannya, seperti yang sudah disinggung dalam Resonansi sebelum ini.
Apa sebenarnya yang terjadi pada tubuh dan jiwa bangsa ini? Mengapa kita masih dalam
keadaan stagnasi dalam upaya memajukan bangsa ini agar lebih bermartabat di depan forum
dunia? Dalam perspektif perkembangan keilmuan dan teknologi dasar, kita adalah bangsa yang
masih tunailmu dan tunateknologi. Penyebab pokoknya tidak lain karena perhatian negara yang
diwakili pemerintah selama lebih 60 tahun terhadap dunia pendidikan minim sekali.
Kabinet telah jatuh-bangun berulang kali sejak proklamasi, tetapi dunia pendidikan kita
tetap saja sebagai kelinci percobaan. Seorang menteri pendidikan biasanya diangkat bukan
karena visi dan kemampuannya dalam memajukan pendidikan, tetapi pertimbangan politik
kekuasaan jauh lebih dominan.
Cara semacam ini merupakan salah satu penyebab utama mengapa politik pendidikan
nasional kita seperti kehilangan benang merah, tidak ada kesinambungan antara seorang menteri
dengan menteri yang lain dalam berbagai periode. Dengan kenyataan ini dunia pendidikan kita
menjadi terombang-ambing oleh kebijakan yang zigzag tanpa visi yang jelas dan itu semua
melelahkan kita. Korbannya adalah peserta didik yang tidak mengerti apa-apa mengapa mereka
dijadikan ”barang mainan” puluhan tahun.
Akibat jangka panjangnya sangat jelas dan tunggal: Pendidikan kehilangan perpektif
masa depan. Ini persoalan yang sangat serius. Sebuah bangsa yang tidak cerdas pasti akan
menjadi sasaran obokan pihak lain, tidak peduli apakah jumlah penduduknya besar atau kecil.
Beberapa hari yang lalu, dalam penerbangan ke Jakarta, saya kebetulan duduk
bersebelahan dengan dekan Fakultas Kedokteran UGM yang sangat prihatin pada kondisi
pendidikan di Indonesia. Ujarnya, bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi cerdas manakala
tingkat kesejahteraan guru sangat minim, termasuk guru besarnya.
Pak dekan ini suami istri adalah profesor, tetapi penghasilan gabungan keduanya berada
di bawah pendapatan seorang anggota DPRD tingkat II yang PAD-nya tidak tinggi. Untung saja
dekan ini seorang dokter yang masih berpraktik, sehingga ada tambahan penghasilan. Sebuah
ironi terlihat di sini: Seorang profesor dengan kualifiasi PhD atau doktor lulusan perguruan
tinggi dalam negeri dilecehkan oleh penghasilan seorang politikus kelas kabupaten atau kota
yang menjadi anggota DPRD.
Anda mau contoh yang lebih konkret tentang ironi ini? Adalah Profesor T Jacob yang
punya reputasi dunia dan seorang penulis prolifik, mantan rektor UGM, sekalipun sudah pensiun,
masih tinggal di rumah dinas karena tidak mampu membuat rumah untuk keluarga kecilnya.
Yang bernasib begini banyak sekali. Manusia tipe Profesor Jacob yang tidak mau bergeser
sedikit saja dari posisi seorang ilmuwan harus rela hidup tanpa rumah pribadi sampai usia
tuanya.
Begitu juga nasib sejarawan almarhum Profesor T Ibrahim Alfian yang telah mewariskan
beberapa karya tulis penting untuk bangsa ini, di saat wafatnya kita melayat ke rumah dinasnya
di lingkungan kampus UGM. Pendapatannya selama berkarier sebagai ilmuwan yang PNS tidak
mampu menolong hari tuanya untuk sekadar punya tempat berteduh.
Inilah di antara panorama yang tak sedap dipandang di sebuah bangsa kaya, tetapi tidak
menghargai ilmu, bangsa tunailmu. Pertanyaan pungkasannya adalah: Sampai berapa lagi
mendung tebal yang melingkupi alam pendidikan kita berangsur sirna?
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/bangsa-tunailmu/
Slavish Mentality
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Soekarno-Hatta dengan keberanian luar biasa ingin menghalau imperialisme itu, generasi
yang ahistoris berikutnya malah bangga menyerahkan batang leher kepada pihak asing padahal
bangsa ini sudah merdeka. Kata seorang penulis Aljazair, pandangan ahistoris berisiko tunggal:
Orang gagal membaca realitas.
Realitas kita sekarang adalah bahwa para elite kita yang lagi manggung kini tetap saja
merasa nyaman sekalipun rumah tangga bangsa ini sedang digarong pihak asing, tentu dengan
perjanjian-perjanjian formal sebagai layaknya bangsa merdeka. Soekarno dan Hatta yang
menyampaikan pidatonya untuk melawan sistem kapitalisme/imperialisme pada saat bangsa ini
masih terjajah, mengapa sekarang pemerintah tidak merasa tersinggung dengan penguasaan
asing terhadap aset-aset vital milik bangsa? Jawabnya karena kita sedang sama mengidap slavish
mentality (mental budak). Saya mohon pimpinan negara dari yang paling pucuk sampai tingkat II
diwajibkan membaca dua pidato itu untuk melihat secara kritikal mau ke mana negeri ini akan
dibawa, mau digadaikan, mau dijual, atau mau diapakan? Pidato Hatta berjudul ”Indonesie Vrij”
(sudah diterjemahkan menjadi ”Indonesia Merdeka”) dan pidato Bung Karno ”Indonesia
Menggugat”.
Kedua pidato itu sama bobotnya, sama pentingnya. Bedanya Hatta lebih dulu
menyampaikan di Den Haag dalam bahasa Belanda dan Bung Karno di dalam negeri dua tahun
kemudian, disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan kutipan pendapat para sarjana Belanda
dan Barat lainnya untuk mendukung posisinya sebagai pejuang nasionalis yang sedang dituduh
menghasut.
Bagi saya kedua pidato ini semestinya dijadikan pedoman kita berbangsa dan bernegara
justru pada saat kekayaan Indonesia sedang jadi rebutan pihak asing. Dengan membaca kedua
pidato itu kita akan tahu bahwa apa yang berlaku sekarang ini agak mirip dengan zaman VOC
dengan politik monopoli perdagangannya yang sangat destruktif bagi nusantara ketika itu.
Aneh bin ajaib bangsa dan negara yang mengaku merdeka telah mengundang VOC-VOC
baru untuk memberikan hak monopoli kepada pihak asing. Nanti bila kekayaan bumi dan laut
kita sudah terkuras, pengusaha asing itu akan lenggang kangkung meninggalkan arena yang
sudah kering-kerontang, dan tinggallah anak negeri menangisi nasib sebagai manusia tak
berdaya.
Bisa saja sebagian anak bangsa menjadi kaya raya karena telah membantu asing, tetapi
bagi mayoritas rakyat yang tersisa tinggal ampasnya saja. Rakyat banyak ini di era penjajahan
ditindas oleh asing secara langsung, di zaman kemerdekaan ditindas melalui ”kebaikan hati”
pemerintahnya sendiri. Oleh sebab itu, sebelum bangsa ini betul-betul menjadi bangsa kuli 100
persen, siapa tahu dengan membaca pidato Bung Karno dan Bung Hatta, kita masih bisa sadar
dan siuman dengan menyatakan: Kita sudah terlalu jauh melenceng dari jalan yang benar, kita
sudah semakin terjerat dalam tali lasso kapitalisme global yang mencekik leher bangsa ini tanpa
belas kasihan. Saya harap Menteri Nuh memperbanyak kedua pidato di atas dan membagikannya
kepada elite bangsa ini.
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/slavish-mentality/
Tengkorak dan Peradaban
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Benedetto Croce (1866-1952), sejarawan pemikir Italia, ketika mengomentari keluhan
dan kepedihan umat manusia mengapa dalam perjalanan sejarah kita sering dihadapkan kepada
peperangan, penderitaan, dan kekecewaan, ia menjawab ringan “history in the making” (sejarah
dalam proses pembentukan). Di ujung perjalanan, liberti (kebebasan) pasti akan menuai
kemenangan. Bagi Croce, liberti tidak pernah kalah, tetapi bisa tertindas pada waktu-waktu
tertentu. Keyakinan tentang kekuatan liberti ini diumumkan Croce pada 1937, dua tahun
menjelang meledaknya PD (Perang Dunia) II, sebuah optimisme yang tinggi tentang hari depan
umat manusia.
Kita boleh menyertai optimisme Croce, tetapi dengan catatan kaki. Bukankah peradaban,
negara, atau imperium yang pernah dikenal tidak jarang dibangun di atas ratusan, ribuan, dan
bahkan jutaan tengkorak manusia? Tentu Anda minta contoh, bukan? Baiklah, saya mulai dari
peradaban Islam. Imperium ‘Abbasiyah (750-1258) yang sering dibanggakan sebagai pencipta
peradaban Islam yang gemerlapan itu, bukankah dibangun di atas tengkorak lawan politiknya,
Imperium Umayyah (661-749)?
Anda tentu tahu juga proses Indianisasi Nusantara selama berabad-abad sampai
hancurnya Imperium Majapahit awal abad ke-15 dengan agama Hindu-Budha sebagai acuan
spiritualnya. Bangunan raksasa Candi Borobudur yang Budha dan Candi Prambanan yang Hindu
tentu sekarang kita saksikan dengan penuh kekaguman. Di saat dunia belum mengenal teknologi,
demi taat kepada konsep deva-raja, maka tenaga manusia dan hewan dikerahkan untuk membuat
bangunan dahsyat itu.
Berapa hitungan tengkorak manusia dan hewan yang harus dikorbankan selama puluhan
tahun untuk menyudahkannya, kita tidak tahu pasti. Kita boleh saja menilai semuanya ini sebagai
pengabdian manusia kepada penguasa, tetapi bila parameter modern yang dijadikan acuan adalah
‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, maka korban Borobudur dan Prambanan tidak lain dari
penindasan penguasa atas rakyat.
Kita pindah ke VOC dengan sistem hongi-tochten-nya di Maluku dan kerja paksa H.W.
Daendels (gubernur Hindia Belanda, 1808-1811) yang membangun jalan raya pos dari Anyer ke
Panarukan, berapa tengkorak yang harus binasa untuk itu. Kekuasaan VOC yang kemudian
diambil alih pemerintah Hindia Belanda adalah modal utama bagi bangsa dan negara Indonesia
merdeka di kemudian hari. Untuk sampai kepada tujuan itu, orang tidak boleh lupa bahwa modal
itu telah dibangun di atas tengkorak manusia yang tidak sedikit.
Kita pindah ke kawasan lain. Penghijrah dari Inggris telah membangun Australia modern
dengan mengorbankan banyak sekali anggota suku Aborigin dengan cara yang sangat kejam.
Begitu juga Amerika Serikat yang sekarang telah jadi imperium, dibangun di atas tengkorak
rakyat Indian dan budak dari Afrika dalam jumlah yang sangat besar. Contoh lain banyak sekali,
termasuk pembunuhan dalam jumlah puluhan juta yang dilakukan Joseph Stalin dengan kamp
kerja paksa Siberia yang mengerikan itu, demi membangun Imperium Uni Soviet yang sempat
bertahan selama 77 tahun.
Sebab itu marilah kita bersikap tawadhu’ untuk mengakui bahwa manusia, jenis kita ini,
pada masa-masa tertentu dalam periode sejarah sangat tidak beradab, sekalipun kita mengatakan
sedang membangun peradaban. Alquran dalam surat al-Baqarah: 11-12 menggambarkan manusia
penghancur itu dalam ungkapan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu
berbuat onar/kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:
sesungguhnya kami justru orang-orang yang membangun kebajikan. Ingatlah, sesungguhnya
merekalah yang membuat kerusakan itu, tetapi mereka tidak [mau] sadar.”
Apakah memang dengan tengkorak manusia sejarah itu harus dibangun? Antahlah
buyuang! Akhirnya pemimpin negara Pancasila harus bekerja ekstra hati-hati membawa bangsa
ini menuju masa depan agar daftar panjang penderitaan yang masih menghimpit sebagian rakyat
kita tidak menjadi semakin panjang. Kita benar-benar memerlukan negarawan, bukan politisi
yang rabun ayam.
Sumber : https://nuranikita.wordpress.com/2007/10/25/tengkorak-dan-peradaban/
Kepingan Neraka di Surga
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Karena perhatian disedot oleh masalah dalam negeri, nasib rakyat di beberapa negeri
Arab yang dilanda krisis berat, agak terlupakan. Artikel Bassel Oudat dari Damaskus di bawah
judul “Syria’s Impasse” dalam harian Al-Ahram, 25 Agustus 2015, telah memukul batin saya
tentang betapa parahnya krisis yang melanda Suria ini. Seakan-akan sebuah kepingan neraka
sedang diciptakan di sana oleh para aktornya: lokal, regional, dan global. Pada tingkat lokal
melibatkan rezim al-Assad, kelompok Negara Islam (ISIS), dan kelompok Islamis lainnya yang
baku hantam berebut pengaruh di negara gagal itu. Islam sebagai agama perdamaian telah
berhenti jadi rujukan dalam penyelesaian konflik, dibuang jauh entah ke mana. Para elite yang
terlibat dalam konflik berdarah-darah ini semuanya memahami dan bercakap dalam Bahasa
Arab, Bahasa Alquran, tetapi nurani mereka telah tersumbat untuk menerima petunjuk.
Pada tataran regional, Iran terus saja memasok senjata dan bantuan lainnya kepada rezim
al-Assad dengan tujuan memperkuat pengaruhnya dengan mengorbankan bangsa yang oleng itu.
Tentu saja Iran dalam berebut hegemoni politik dengan Saudi Arabia di kawasan kacau itu ingin
memperagakan taringnya dengan menguasai Suria sejauh mungkin. Perkara rakyat Suria bermain
dengan maut setiap saat tidak perlu dipertimbangkan. Inilah corak kekuasaan biadab atas nama
agama. Oudat menulis: “Ia [Iran] menyebut Suria sebagai perluasan dari tanahnya sendiri dan
sekaligus memanfaatkan konflik itu untuk mendorong posisi tawar yang keras dalam
pembicaraan nuklirnya dengan pihak Barat.” Di sini definisi kepentingan nasional tidak ada lagi
kaitannya dengan prinsip-prinsip moral Islam. Pada kutup lain Saudi Arabia merasa ringan saja
bekerja sama dengan Israel dalam menghadapi Iran. Teologi sunni-syi’ah sama-sama
dieksploitasi semata-mata bagi tujuan kekuasaan duniawi.
Apa yang disebut bangunan solidaritas Arab sudah lama runtuh. Rezim al-Assad yang
Arab, tetapi brutal itu, merasa lebih nyaman berdampingan dengan Iran, demi kelangsungan
kekuasaannya. Pergolakan rakyat yang semula damai untuk menuntut kebebasan telah berubah
menjadi konflik bersenjata yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Kota-kota di seluruh negeri yang
nahas itu telah hampir rata dengan tanah.
Di awal kolomnya, Oudat menulis: “Meskipun merupakan salah satu tragedi
kemanusiaan terburuk di abad ini, krisis Suria tampaknya telah terjerembab melalui keretakan
diplomasi internasional. Dielakkan oleh Amerika, disabotase oleh Rusia, dan dizalimi oleh Iran,
negeri itu telah jadi korban rezim brutal, milisia sektarian, pasukan upahan dan kelompok jihadis
dalam berbagai aliran, dan menjadi mangsa diplomasi pura-pura tetapi tidak ada pengaruhnya…
Ia [krisis Suria] telah jadi sumber keuntungan bagi kelompok jihad global, peluang politik bagi
Teheran dan Moskow, dan kutukan bagi rakyat jelata.” Perang saudara selama empat setengah
tahun ini telah merenggut ratusan ribu nyawa, ratusan ribu jadi pengungsi dengan segala
penderitaan dalam perjalanan ke berbagai negara. Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan
Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suria jadi puing perang daripada berdamai dengan