-
1 Makalah disampaikan pada Workshop Pemodelan Sistem untuk
Pengembangan Kebijakan Prioritas Nasional Menuju Surplus 10 Juta
Ton Beras pada 2014, 25 Pebruari 2012 di Hotel Le Meridien
Jakarta
DAMPAK PENCAPAIAN SURPLUS PRODUKSI BERAS 10 JUTA TON TERHADAP
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN WILAYAH1)
Hermanto Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
I. PENDAHULUAN
Pangan beras merupakan salah satu pangan yang mempunyai peran
strategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan politik
nasional. Hal ini menyebabkan ketersediaan beras sangat penting
karena sekitar 95% masyarakat Indonesia masih menjadikan beras
sebagai makanan pokok. Selain itu, berdasarkan Sensus Pertanian
2003 dan Pendataan Usahatani (PUT), BPS 2009, jumlah rumah tangga
(RT) petani yang terlibat dalam usahatani padi mencapai 14,9 juta
RT petani (83,7%) dari 17,8 juta rumah tangga pertanian. Kondisi
ini menyebabkan keberadaan pangan beras menjadi sangat penting dan
selalu dipantau serta diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat,
mulai tingkat paling bawah, sampai ke tingkat tertinggi di kalangan
pemerintah dan legislatif (Kementan, 2011).
Meskipun Indonesia memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjamin
ketahanan pangan beras bagi penduduknya. Akan tetapi Indonesia saat
ini masih memiliki masalah dengan ketersediaan beras karena
permintaan beras terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
penduduk, yang pada 10 tahun terakhir mencapai sekitar 1,49% atau
4,5 juta jiwa per tahun (BPS, 2011). Dewasa ini kebutuhan beras
nasional belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri
sehingga impor masih menjadi pilihan kebijakan perberasan di
Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Juli 2011,
impor beras Indonesia mencapai 1,57 juta ton dengan nilai sekitar
Rp 7,04 triliun. Impor tersebut berasal dari Vietnam (892,9 ribu
ton), Thailand (665,8 ribu ton), Cina (1.869 ton), India (1.146
ton), Pakistan (3,2 ribu ton), dan beberapa negara lain (3,2 ribu
ton). Disisi lain konversi lahan sawah untuk penggunaan lain terus
berlanjut. Misalnya, luas lahan irigasi teknis berkurang dari 2,21
juta ha pada tahun 2000 menjadi 2,18 juta ha (2005). Total luas
lahan sawah juga kurang dari luas perkebunan sawit, yaitu kurang
dari 8 juta ha, sudah termasuk areal sawah tadah hujan,
pasang-surut dan jenis lahan sawah lainnya (Pakpahan, 2011).
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Indonesia ke depan masih
dihadapi dengan permasalahan pangan yang sangat komplek, apabila
persoalan ketahanan dan kemandirian pangan nasional tidak ditangani
bersama secara komprehensif. Pemerintah sendiri melalui sidang
kabinet paripurna 6 Januari 2011 telah menetapkan program surplus
beras sebagai program prioritas untuk mewujudkan ketahanan pangan
dan kemandirian pangan nasional. Secara implisit hal ini
menunjukkan adanya perubahan orientasi kebijakan perberasan dari
swasembada ke surplus beras minimal 10 juta ton pada tahun
2014.
Program surplus beras tersebut akan dicapai melalui beberapa
skenario antara lain; (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan
areal dan pengelolaan lahan, serta (3) penurunan konsumsi beras.
Namun, pada tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada
skenario
-
2
peningkatan produktivitas dan perluasan areal, karena dianggap
memiliki dampak langsung terhadap perubahan optimalisasi pada
sektor padi dan sektor lain, sehingga akan mempengaruhi permintaan
faktor produksi dan input antara (intermediate input), serta output
dari sektor tersebut. Perubahan permintaan input juga akan
mempengaruhi harga faktor produksi, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi pendapatan rumahtangga dan tingkat kemiskinan. Kesemua
interaksi ini akan membawa dampak terhadap aktivitas ekonomi
nasional dan wilayah.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis seberapa besar dampak
program surplus produksi beras yang akan dilakukan melalui
peningkatan produktivitas dan perluasan areal terhadap kinerja
ekonomi makro dan sektoral, pendapatan dan tingkat kemiskinan, baik
pada tingkat nasional maupun wilayah dengan menggunakan model
IRSA-Indonesia5 (Resosudarmo, et al., 2009). Model ini merupakan
model Inter-Regional CGE (IRCGE) yang dapat menganalisis interaksi
antar agen-agen (pelaku-pelaku ekonomi) dan keterkaitan antar
sektor yang berbeda di dalam suatu negara dan wilayah serta antar
wilayah. Dengan dilakukannya analisis dampak, maka saran-saran
kebijakan pencapaian surplus produksi beras dapat dirumuskan secara
terstruktur dan komprehensif.
II. KERANGKA TEORI
Struktur perekonomian dalam teori mikroekonomi mengandung
berbagai macam pasar yang saling berinteraksi satu sama lain,
sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan mempengaruhi
pasar lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila permintaan dan
penawaran pada masing-masing pasar berada dalam keseimbangan.
Keadaan ini disebut dengan pendekatan ekonomi keseimbangan umum
atau Computable General Equilibrium/CGE (Shoven dan Walley, 1992;
Pindyck dan Rubinfeld, 1995; Petersen, T., W. 1997; Oktaviani,
2011). Beberapa pakar ekonomi seperti Dervis, de Melo dan Robinson
(1982), Shoven dan Whalley (1984), Lewis, Jeffrey D, (1991), Dixon,
et al., (1992), Bergman (1990), serta Ginsburgh dan Keyzer (1997)
mengklasifikasikan model CGE sebagai pendekatan analisis yang
melihat ekonomi sebagai sistem yang komprehensif dengan
komponen-komponennya yang saling terkait satu sama lain (industri,
rumah tangga, investors, pemerintah, importir dan eksportir).
Dalam konteks menganalisis dampak surplus beras tidak secara
langsung dapat dianalisis dengan menggunakan CGE model karena tidak
terpenuhinya salah satu asumsi yang digunakan dalam model tersebut,
yaitu hukum Walras (Shoven dan Walley, 1992). Untuk memenuhi hukum
Walras, maka jumlah kelebihan permintaan di seluruh pasar harus
sama dengan nol untuk setiap tingkat harga. Dengan kata lain semua
pasar dalam kondisi equilibrium atau disebut dengan istilah market
clearing. Untuk itu, pada analisis ini diasumsikan bahwa surplus
produksi beras hanya terjadi dalam jangka pendek (short term),
sehingga dalam jangka panjang (long term) semua pasar akan
melakukan penyesuaian (adjustment) untuk mencapai keseimbangan umum
sehingga hukum Walras terpenuhi.
Gambar 1 mengilustrasikan suatu perekonomian negara atau wilayah
yang terdiri dari beberapa pelaku ekonomi, yaitu produsen membeli
input dan menjual output dan rumah tangga membeli output dan
menjual faktor-faktor produksi (primary inputs) seperti tenaga
kerja,
-
3
modal dan lahan. Demikian pula pemerintah, investor dan rest of
the world (ekportir dan importir) membeli output. Di samping itu,
ada dua pasar, yaitu pasar faktor produksi dan pasar komoditi
(market product). Di pasar komoditi, produsen tidak hanya menjual
outputnya kepada rumah tangga, pemerintah, investor dan rest of the
world tetapi juga membeli input antara (intermediate inputs) untuk
kegiatan produksi.
Gambar 1. Dampak surplus produksi beras terhadap sistem
perekonomian
Mengigat program surplus beras 10 juta ton ditujukan untuk
peningkatan kemampuan wilayah dalam penyediaan pasokan atau
cadangan beras, maka peningkatan produktivitas, dan perluasan areal
dan pengelolaan lahan merupakan pilihan yang dapat dilakukan.
Peningkatan produktivitas dapat ditempuh antara lain melalui
perubahan teknologi (technological change). Perubahan teknologi
mencakup seluruh perubahan teknik produksi yang ada.
Pengalaman di negara-negara industri menunjukkan bahwa science
dan technology merupakan sumber utama dan faktor pengerak dalam
pembangunan ekonomi, khususnya dari sudut pertumbuhan dengan tolak
ukur hasil produksi perkapita. Sebaliknya implementasi teknologi
pada system produksi di negara berkembang mengarah kepada dualism
ekonomi, yaitu menggunakan sektor modern dan padat modal (capital
intensive) yang efisien di satu sisi, dan disisi lain menggunakan
sektor tradisional dan padat karya (labor intensive) yang tidak
-
4
efisien. Kombinasi dan interaksi antara ke dua faktor dinamika
tersebut akan membawa dampak yang luas terhadap kegiatan ekonomi
masyarakat (Seed, 1994).
Dalam konteks pengembangan program surplus beras 10 juta ton,
maka upaya peningkatan produktivitas akan mempengaruhi realokasi
sumberdaya dan jumlah permintaan akhir, sehingga akan mempengaruhi
pasar lainnya. Secara teoritis dampak tersebut dapat diidentifikasi
sebagai berikut (Armstrong dan Taylor, 1993; Bendavid-Val, 1991;
Edgar, 1971):
(1) Dampak langsung (direct effects) terhadap ekonomi, berupa
perubahan pendapatan, lapangan kerja dan upah sebagai konsekuensi
dari peningkatan output dari berbagai sektor.
(2) Dampak tidak langsung (indirect effects), peningkatan jumlah
output yang menyebabkan perubahan pembelian atau penjualan output
kepada perusahaan lokal. Karena terbentuknya permintaan baru,
memungkinkan bagi industri lokal untuk meningkatkan penyerapan
tenaga kerja, upah dan keuntungan. Hal ini kemudian akan membawa
dampak terhadap peningkatan kegiatan-kegiatan ekonomi
nasional/wilayah.
(3) Induced effect adalah dampak khusus yang berkaitan dengan
prilaku dari angkatan kerja dimana peningkatan penyerapan lapangan
kerja menyebabkan peningkatan kegiatan ekonomi berupa peningkatan
dalam jumlah konsumsi makanan, penggunaan transportasi dan lain
sebagainya yang kemudian akan membawa pada dampak terhadap
keseluruhan aktivitas ekonomi nasional dan wilayah.
III. METODOLOGI
Pendekatan yang digunakan dalam model IRSA-Indonesia5 adalah
bottom-up, dimana optimasi diselesaikan pada tingkat region yang
kemudian diaggregasi ke tingkat nasional, dengan menggunakan
agregat fungsi Constant elasticity of substitution (CES) dan fungsi
Leontief. Pendekatan bottom-up ini memungkinkan harga serta
kuantitas bervariasi secara independen antar region. Ini berarti
bahwa variasi harga serta kuantitas di tiap wilayah dapat diamati
dengan menggunakan model ini.
3.1. Struktur Model
Model IRSA-Indonesia5 merupakan model dengan banyak persamaan,
yang solusinya menggambarkan keseimbangan umum. Persamaan-persamaan
tersebut menggambarkan tingkah laku mikroekonomi yang umumnya
merupakan persamaan nonlinear dengan asumsi-asumsi teoritis, antara
lain: (1) semua agen ekonomi melakukan optimisasi dalam menentukan
berbagai keputusan ekonominya; (2) terjadi equilibrium (market
clearing) baik di pasar barang maupun pasar tenaga kerja, dan
pasar-pasar tersebut adalah pasar kompetitif.
Secara ringkas persamaan model IRSA-Indonesia5 dapat diuraikan
dengan notasi sebagai berikut; c adalah komoditi, d adalah tujuan
komoditi pada domestik region, f adalah faktor produksi (tenaga
kerja dan capital, h adalah rumah tangga (households), i adalah
industri, r adalah sumber komoditi di dalam domestik region, dan s
adalah sumber komoditi composite/domestik region dan impor
(Resosudarmo, et al., 2009). Solusi sistem persamaan-
-
5
persamaan tersebut diselesaikan dengan menggunakan paket
software GAMS (General Algebraic Modelling System).
Produksi
Hubungan antara semua input dan output ( ,i dXTOT ) yang
dihasilkan untuk industri i
pada daerah tujuan d; gabungan faktor-faktor primer/composite of
primary factors ( ,i dXPRIM ) dan barang setengah jadi/intermediate
goods, ditunjukan oleh fungsi produksi Leontief sebagai
berikut:
int, , , , ,_ .c i d c i d i dXINT S XTOT= (3.1)
, , ,.prim
i d i d i dXPRIM XTOT= (3.2)
dimana int, ,c i d dan ,primi d adalah proporsi dari
masing-masing intermediate goods dan composite
primary factors yang digunakan untuk menghasilkan output.
Permintaan Faktor Primer
Permintaan tiap industri untuk primary factors ( , ,f i dXFAC )
diformulasikan sebagai berikut;
1 11 1 1,
, , ,,
. .( )f df i d i i di d
PFACXFAC XPRIM
PPRIM
+ + += (3.3)
dimana ,f dPFAC adalah harga primary factors, ,i dPPRIM is harga
composite primary factors yang dibayar oleh tiap industri i dalam
region d .
Perdagangan Inter-Regional
Dengan menggunakan agregat fungsi CES, permintaan komoditi c
dengan sumber region r ke tujuan region d diformulasikan sebagai
berikut;
1 11 1 1,
, , , , , ,, ,
. _ . .( )c rc r d c d c d c r dc dom d
PDOMXTRAD XTRAD R
PQ
+ + +
= (3.4)
1 11 1 1, ,
, , , , , ,,
. _ . .( )_c s d
c s d c d c d c r dc d
PQXD XD S
PQ S
+ + += (3.5)
, , , , , ,_ ( _ ) ( _ ) _c d c i d c h d c di h
XD S XINT S XHOU S XGOR S= + +
(3.6)
-
6
dimana ,_ c dXD S adalah permintaan untuk komoditi c dari sumber
composite (domestic
regions and imported), dengan tujuan region d. , ,c s dPQ adalah
harga pembelian (purchaser
price) komoditi dari sumber region s dengan tujuan region d. ,_
c dPQ S adalah harga pembelian komoditi c dari sumber composite
dengan tujuan region d. Total permintaan komoditi c,
,_ c dXD S adalah penjumlahan dari intermediate goods ( ), ,_ c
i dXINT S , konsumsi rumah tangga ( ), ,_ c h dXHOU S dan
pemerintah ( ),_ c dXGOR S .
Market Clearing
Dalam kondisi ekuilibrium, semua output untuk komoditi c dari
region r ( ),c rXTOT harus sama dengan jumlah permintaan untuk
komoditi c di semua tujuan domestik ( ), ,c r dXTRAD , permintaan
untuk komoditi oleh lembaga-lembaga nasional ( ),c rXTRADN , dan
persediaan ( ),c rXSTCK .
, , , , ,( )c r c r d c r c rd
XTOT XTRAD XTRADN XSTCK= + + (3.7)
Permintaan komoditi
Permintaan komoditi c yang dibentuk melalui agregasi fungsi CES
dari sumber region r ke tujuan region d , adalah identik dengan
permintaan di region d untuk komoditi komposit tersebut.
Optimasinya dapat diformulasikan sebagai berikut;
1 11 1 1,
, , , , , , ,, ,
. . .( )c rc r d c d c dom d c r dc dom d
PDOMXD XD
PQ
+ + +
= (3.8)
dimana , ,c r dXD adalah permintaan untuk komoditi c dari sumber
domestik region r ke tujuan region d .
Permintaan Rumah Tangga
Optimasi rumah tangga adalah sama dengan optimasi pada industri
di mana komoditi yang diminta rumah tangga berasal dari berbagai
wilayah domestik serta impor. Dalam hal ini rumah tangga akan
memaksimalkan utilitinya berdasarkan fungsi utiity Stone-Geary
(Stone-Geary utility function) dengan sistem pengeluaran linier
(linear expenditure system). Untuk itu, permintaan komoditi rumah
tangga dengan tujuan region d dapat didefiniskan sebagai berikut;
.
, ,, , , , , , , ,
,
_ .( _ . )_
nc h d
c h d c h d h d cc d cc h di ccc d
XHOU S EH PQ SPQ S
=
= +
(3.9)
-
7
dimana c, h, d adalah elastisitas pengeluaran untuk komoditas c
untuk rumah tangga h di region d, cc, h, d adalah parameter Frisch
pada komoditas c untuk rumah tangga h di region d, dan c, h, d
adalah bagian anggaran yang dikalibrasi pada komoditas c untuk
rumah tangga h di region d, dan ,h dEH adalah disposable income
rumah tangga.
Permintaan Ekspor
Model ini memungkinkan permintaan luar negeri untuk
barang-barang produksi lokal menjadi sensitif terhadap harga. Jika
harga barang lokal naik relatif terhadap harga dunia, permintaan
ekspor akan jatuh. Dengan demikian persamaannya dapat
diilustrasikan sebagai berikut;
=
c
cc c w
c
PXEXPP
(3.10)
di mana c adalah parameter, cP adalah harga domestik, adalah
nilai tukar nominal, danc adalah elastisitas permintaan. Dengan
kata lain, ekspor barang c adalah fungsi menurun dari harga dalam
mata uang asing, relatif terhadap harga dunia.
Insiden Kemiskinan
Idealnya analisis kemiskinan dilakukan secara terintegrasi di
dalam CGE model dengan mendisagregasi pendapatan atau pengeluaran
per kapita kelompok rumah tangga, seperti yang dilakukan di dalam
Micro-simulation CGE model (Decaluw, et al.,1999; Round, 2003;
Savad, 2003; Yusup, 2006). Pada kajian ini insiden kemiskinan
(incidence of poverty) dihitung dengan menggunakan formula sebagai
berikut (Yusuf, 2006);
dimana yc adalah pengeluaran per kapita rumah tangga dari c-th
percentil (dimana = 1, , n, dan = 100). yP adalah garis kemiskinan
(poverty line). Perubahan insiden kemiskinan setelah dilakukan
simulasi di hitung sebagai berikut;
dimana
-
8
adalah persentase perubahan pengeluaran rill per kapita untuk c
percentil yang dihasilkan dari simulasi CGE model. Perubahan
pengeluaran per kapita kelompok rumah tangga akan digunakan untuk
menganalisis ex-ante distribusi (sebelum perubahan kebijakan) and
ex-post distribusi (setelah adanya perubahan kebijakan).
Closure
Closure adalah sebuah pernyataan yang menentukan variabel apa
yang sifatnya endogen dan variabel apa yang sifatnya eksogen. Ini
diperlukan agar jumlah variabel endogen dan jumlah persamaan
jumlahnya sama. Beberapa bagian dari closure yang terpenting dari
model IRSA-INDONESIA-5 adalah sebagai berikut.
Closure untuk pasar faktor bersifat flexible. Dalam closure
standard, kapital dan lahan bersifat fixed dan tidak memiliki
mobilitas. Konsekuensinya harga kapital dan lahan bisa bervariasi
antar industri dan daerah. Kapital dan lahan selalu
fully-employed.
Closure untuk pasar tenaga kerja terbagi dua. Untuk tenaga kerja
yang sifatnya informal kondisi full employment selalu terpenuhi.
Tenaga kerja bersifat fully-mobile antar industry (tidak antar
daerah) dan fully-employed. Sementara itu, untuk tenaga kerja yang
sifatnya formal, diasumsikan terjadi nominal-wage-rigidity, dimana
upah nominal bersifat exogen. Walaupun tenaga kerja formal bersifat
fully-mobile antar industri (tidak antar daerah) tetapi tidak ada
jaminan akan fully-employed.
Harga barang yang bersumber dari pasar internasional bersifat
exogenous. Secara implisit diasumsikan bahwa Indonesia adalah
sebuah small-open economy.
Saving semua institusi, kecuali foreign saving, bersifat
endogenous (tetapi saving rate-nya exogenous), sehingga investasi
ditentukan oleh saving.
Inventory bersifat exogen.
Dalam closure standar, indeks harga produsen adalah numeraire,
yaitu harga relatif terhadap satu barang sehingga bukan harga
absolut.
3.2. Data dan Sumber Data
Model IRSA-Indonesia5 menggunakan struktur data Inter-Regional
Neraca Sosial Ekonomi atau Inter-Regional Social Accounting Matrix
(IRSAM) tahun 2005. Untuk masing-masing region terdiri atas 35
sektor (aktivitas) produksi; 16 klasifikasi tenaga kerja yang dapat
dikelompokkan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak maupun formal
dan informal; 2 klasifikasi faktor produksi bukan tenaga kerja,
yaitu modal dan tanah; 2 kelompok rumah tangga, yaitu desa dan
kota; serta institusi lainnya berupa pemerintah daerah dan
perusahaan. Disamping itu, pada neraca nasional terdapat neraca
kapital yang terbagi atas private, daerah dan pusat; neraca
pemerintah pusat terdiri atas pajak, subsidi dan institusi
pemerintah pusat itu sendiri; neraca ekpor atau impor; serta Rest
of the World (ROW).
-
9
3.3. Skenario
Ada 3 (tiga) bentuk skenario yang akan dianalisis, yaitu (1)
pesimis, (2) moderat, dan (3) optimis. Dari ketiga skenario
tersebut, variabel yang dijadikan sebagai shock dalam pencapaian
surplus produksi beras adalah peningkatan produktivitas dan
perluasan areal sawah, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Besaran shock peningkatan produktivitas dan perluasan
areal tanam padi menuju pencapaian surplus produksi beras 10 juta
ton pada tahun 2014
Uraian Skenario (%)
Pesimis Moderate Optimis
1. Peningkatan Produktivitas padi 1.38 3.2 4.0
2. Perluasan areal Tanam padi 6.02 6.02 6.02
Pada Tabel 1, besaran shock skenario pesimis dihitung
berdasarkan eksisting rata-rata peningkatan produktivitas, yaitu
sebesar 1.38 % tahun (Kementan, 2011). Pada skenario ini
diasumsikan pemerintah tidak melakukan pengembagan inovasi
teknologi untuk meningkatkan produktivitas, namun hanya melakukan
peningkatan perluasan areal tanam sebesar 6.02% per tahun.
Tabel 2. Potensi kenaikan produktivitas padi berdasarkan expert
adjustment untuk menuju pencapaian surplus produksi beras 10 juta
ton pada tahun 2014
Uraian 2012 SL-PTT Cetak Sawah Jumlah
Sasaran cetak sawah (ha) 100,000 Sasaran luas tanam (ha)
3,500,000 81,050 3,581,050
Sasaran luas panen (ha) 3,377,500 78,213 3,455,713 Sasaran
produktivitas (ton/ha) 5.50 2.80 5.439 Produksi (ton GKG) dalam
area 18,576,250 218,997 18,795,247 Tambahan produksi (ton GKG)*
1,877,890 218,997 2,096,887 Produksi Nasional 2011 (ton GKG)
65,385,183 65,385,183 65,385,183 Produksi Nasional 2012 dugaan (ton
GKG)
67,263,073 65,604,180 67,482,070
Kenaikan prod. Nasional (%) 2.872 0.335 3.207 Sumber: Hasil
olahan tim modeling Badan Litbang Pertanian, 2012.
Pada skenario moderate, besaran shock untuk peningkatan
produktivitas padi ditentukan berdasarkan expert adjustment dengan
memperhitungkan potensi kenaikan produktivitas padi pada
pengembangan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SL-PTT) dan cetak sawah, yaitu sebesar 3,2% (Tabel 2). Pada
skenario ini total peningkatan perluasan areal tanam padi nasional
adalah sebesar 6,02% per tahun termasuk di dalamnya pencetakan
sawah baru oleh BUMN, penyiapan lahan beririgasi, optimasi lahan,
dan pengelolaan air. Selanjutnya, skenario optimis, besaran shock
untuk peningkatan produktivitas
-
10
ditentukan berdasarkan skenario pencapaian surplus produksi
beras 10 juta ton yang telah ditetapkan oleh Kementan pada tahun
2012-2014, yaitu sebesar 4,0% dengan total peningkatan perluasan
areal tanam padi sebesar 6,02% per tahun (Kementan, 2011).
IV. DAMPAK SURPLUS BERAS 4.1. Dampak Terhadap Kinerja
Makroekonomi
Dampak peningkatan surplus produksi beras terhadap
variabel-variabel makroekonomi terlihat pada Tabel 3. Hasil
analisis menunjukkan bahwa perubahan persentase GDP adalah positif
dengan nilai tertinggi ditunjukkan pada simulasi 3, yaitu 0,26%.
Peningkataan nilai GDP ini disebabkan adanya peningkatan investasi,
ekspor dan konsumsi (privat dan pemerintah) serta penurunan jumlah
import. Dengan adanya peningkatan GDP menyebabkan pengeluaran
pemerintah pusat meningkat sebesar 0.06% pada simulasi 1, 0.15%
(simulasi 2) dan 0.19% (simulasi 3).
Tabel 3. Hasil Simulasi skenario peningkatan surplus beras
terhadap peubah makroekonomi (dalam %)
No Uraian Simbol % change Sim-1 Sim-2 Sim-3
1 GDP GDPMP 0.10 0.21 0.26 2 Aggregat Investasi P_INV 0.07 0.16
0.20 3 Import IMPORT -0.10 -0.18 -0.22 4 Export EXPORT 0.06 0.15
0.19 5 Konsumsi rumah tangga PRVCON 0.09 0.17 0.21 6 Konsumsi
pemerintah GOVCON 0.04 0.10 0.12 7 Pengeluaran pemerintah pusat
P_EGC 0.06 0.15 0.19 8 Insiden kemiskinan POVIN_NAT -0.23 -0.38
-0.44
Keterangan: Sim-1 = simulasi 1; Peningkatan produktivitas padi
1,38% dan perluasan areal tanam 6,02% Sim-2 = simulasi 2;
Peningkatan produktivitas padi 3.2% dan perluasan areal tanam 6,02%
Sim-3 = simulasi 3; Peningkatan produktivitas padi 4.0% dan
perluasan areal tanam 6,02%
Dari sisi kemiskinan, hasil simulasi ketiga skenario tersebut
berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Berkurangnya
proporsi jumlah penduduk miskin masing-masing sebesar 0,23% pada
simulasi 1, 0,38% (simulasi 2), dan 0,44% (simulasi 3). Hal ini
terjadi karena adanya peningkatan pendapatan nasional (GDP)
sehingga berdampak positif terhadap penurunan tingkat
kemiskinan.
Dilhat secara regional, hasil simulasi juga menunjukkan dampak
positif terhadap beberapa variable makroekonomi (Gambar 3). Pada
simulasi 3, Gross Domestic Regional Product (GDRP), konsumsi privat
dan konsumsi pemerintah daerah menunjukkan peningkatan terbesar.
Peningkatan GDRP dan konsumsi pemerintah terbesar terdapat di
wilayah Sumatera, sedangkan konsumsi privat tertinggi berada di
wilayah Sulawasi.
-
11
0.130.11
0.030.08
0.050.04
0.190.24
0.43
0.26
0.160.10 0.06
0.14
0.06
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Regional Makroekonomi (% perubahan) pada SIM-2
Gross Domestic Regional Product Private Consumption Government
Consumption
0.070.06
0.020.05
0.030.02
0.100.13
0.22
0.15
0.08
0.03 0.020.06
0.010.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Regional Makroekonomi (% perubahan) untuk SIM-1
Gross Domestic Regional Product Private Consumption Government
Consumption
0.160.14
0.030.09 0.060.05
0.220.29
0.52
0.31
0.200.13 0.07
0.17
0.08
0.00
0.20
0.40
0.60
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Regional Makroekonomi (% perubahan) untuk SIM-3
Gross Domestic Regional Product Private Consumption Government
Consumption
Gambar 3. Dampak surplus produksi beras terhadap regional
makroekonomi
Secara umum pencapaian surplus produksi beras 10 juta ton
berdampak positif terhadap kinerja makroekonomi nasional maupun
wilayah/regional. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya
peningkatan produktivitas di sektor padi sehingga mendorong
peningkatan GDP yang dihitung dari sisi pengeluaran; konsumsi rumah
tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor bersih (ekspor
minus impor).Temuan ini sejalan dengan endogenous growth theory
yang menekankan pentingnya peningkatan produktivitas, dimana
produktivitas dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi
(Lucas, 1988; Rebelo, 1991; Romer, 2001). Penomena ini juga sejalan
dengan pendapat Aldeman (1984) bahwa di negara-negara yang sedang
berkembang, konsumsi domestik merupakan faktor utama pertumbuhan
ekonomi.
4.2. Dampak Terhadap Kinerja Sektoral
Secara teoritis, peningkatan surplus produksi beras melalui
peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam akan diikuti
oleh peningkatan output pada sektor yang bersangkutan dan sektor
lainnya yang terkait. Hal ini berarti terjadi pergeseran kurva
penawaran ke kanan, sebagai akibat adanya peningkatan produktivitas
dan perluasan areal tanam. Meskipun demikian pada makalah ini tidak
semua perubahan output pada berbagai sektor ekonomi
-
12
0.83
1.98 2.302.59 2.72
-4.87
-2.57
-0.45 -0.48 -1.32
-6.00
-5.00
-4.00
-3.00
-2.00
-1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Padi dalam SIM-1 (% perubahan)
Output Harga
1.49
3.614.46 4.93
5.11
-8.80
-4.74
-0.86 -0.88-2.35
-10.00
-8.00
-6.00
-4.00
-2.00
0.00
2.00
4.00
6.00
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Padi dalam SIM-2 (% perubahan)
Output Harga
1.77
4.335.45 6.00
6.22
-10.5
-5.7
-1.0 -1.1 -2.8
-12.00
-10.00
-8.00
-6.00
-4.00
-2.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Padi dalam SIM-3 (% perubahan)
Output Harga
dibahas, namun difokuskan hanya pada beberapa sektor,
diantaranya sektor padi, tanaman pangan lainnya, perkebunan, dan
sektor industri makanan dan minuman.
Sektor Padi Peningkatan surplus produksi beras berdampak positif
terhadap peningkatan output
sektor padi (Gambar 4). Peningkatan output terbesar terjadi di
wilayah Indonesia Timur; 2,27% (simulasi 1), 5,11% (simulasi 2) dan
5,22% (simulasi 3). Sebaliknya peningkatan output terendah terjadi
di wilayah Sumatera; 0,83% (smulasi 1), 1,49% (simulasi 2) dan
1,77% (simulasi 3).
Gambar 5. Dampak surplus produksi beras terhadap output dan
harga pada sektor padi
Pola perubahan output sektor padi berpengaruh langsung terhadap
tingkat harga output. Peningkatan jumlah output padi diikuti oleh
penurunan harga output padi. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi,
dimana penambahan jumlah output yang dihasilkan akan mendorong
penurunan harga jual output yang bersangkutan. Adapun penurunan
harga output terbesar terjadi di wilayah Sumatera; 4,87% (simulasi
1), 8,80% (simulasi 2) dan 10,5% (simulasi 3). Sebaliknya penurunan
harga output terendah terjadi di wilayah Kalimantan; 0,45% (smulasi
1), 0,86% (simulasi 2) dan 1,0% (simulasi 3).
-
13
0.34
-0.04-0.17
-0.32
-0.21
0.16
0.26 0.250.32 0.32
-0.40
-0.30
-0.20
-0.10
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Tanaman Pangan lain dalam SIM-1 (%
Perubahan)
Output Harga
0.69
0.09
-0.28
-0.53
-0.34
0.140.29 0.33
0.48 0.42
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Tanaman Pangan Lain dalam SIM-2 (%
Perubahan)
Output Harga
0.85
0.15
-0.33
-0.62-0.41
0.10.3 0.4
0.5 0.5
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Tanaman Pangan Lain dalam SIM-3(%
Perubahan)
Output Harga
Sektor Tanaman Pangan Lainnya Jumlah output pada sektor tanaman
pangan lainnya (selain padi) kecuali di wilayah
Sumatera dan Jawa-Bali (simulasi 2 dan 3) mengalami penurunan
(Gambar 6). Penurunan output terbesar terjadi di wilayah Sulawesi;
0,32% (simulasi 1), 0,53% (simulasi 2) dan 0,62% (simulasi 3).
Penurunan output ini diduga terkait erat dengan penurunan investasi
pada sektor tersebut. Keadaan seperti ini menyebabkan harga output
mengalami peningkatan kecuali di wilayah Sumatera dan Jawa-Bali
(simulasi 2 dan 3). Peningkatan harga output di wilayah Sumatera
dan jawa-Bali diduga karena meningkatnya jumlah permintaan.
Peningkatan jumlah permintaan terhadap output sektor ini di wilayah
Sumatera, tercatat sebesar 0,28% (simulasi 1), 0,56% (simulasi 2),
dan 0,69%, sementara di wilayah Jawa-Bali jumlah permintaan
meningkat sebasar 0,06% (simulasi 1), 0,17% (simulasi 2), dan
0,23%.
Gambar 6. Dampak surplus produksi beras terhadap output dan
harga pada sektor tanaman pangan lainnya
Sektor Perkebunan
Gambar 7 menunjukkan hampir semua wilayah kecuali di Sumatera,
peningkatan surplus produksi beras berdampak negatif terhadap
peningkatan jumlah output sektor
-
14
0.19
-0.19-0.13
-0.30
-0.16
0.09
0.22 0.21 0.180.24
-0.40
-0.30
-0.20
-0.10
0.00
0.10
0.20
0.30
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Komoditi Perkebunan dalam Sim-1 (%
perubahan)
Output Harga
0.43
-0.09-0.19
-0.44
-0.24
0.08
0.25 0.28 0.280.32
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Komoditi Perkebunan dalam Sim-2 (%
perubahan)
Output Harga
0.54
-0.04
-0.23
-0.51
-0.28
0.1
0.30.3 0.3
0.4
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Ind Timur
Output dan Harga Komoditi Perkebunan dalam Sim-3 (%
perubahan)
Output Harga
perkebunan. Penurunan output sektor perkebunan terbesar terjadi
di wilayah Sulawesi; 0,30% (simulasi 1), 0,44% (simulasi 2) dan
0,51% (simulasi 3). Sebaliknya peningkatan output sektor perkebunan
hanya terjadi di wilayah Sumatera; 0,19% (smulasi 1), 0,43%
(simulasi 2) dan 0,54% (simulasi 3).
Pola perubahan output sektor perkebunan juga berpengaruh
langsung terhadap tingkat harga output kecuali di wilayah Sumatera.
Penurunan jumlah output perkebunan di wilayah Jawa-Bali,
Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur diikuti oleh peningkatan
harga output sektor perkebunan. Peningkatan harga output terbesar
terjadi di wilayah Indonesia Timur; 0,24% (simulasi 1), 0,32%
(simulasi 2) dan 0,4% (simulasi 3).
Gambar 7. Dampak surplus produksi beras terhadap output dan
harga pada sektor perkebunan
Sektor Industri Makanan dan Minuman
Output pada sektor industri makanan dan minuman kecuali di
wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur mengalami
penurunan (Gambar 8). Penurunan output terbesar terjadi di wilayah
Sulawesi; 0,45% (simulasi 1), 0,82% (simulasi 2) dan 0,99%
(simulasi 3). Penurunan output pada sektor industri makanan dan
minuman di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur diduga
disamping terjadinya penurunan investasi juga terkait dengan masih
rendah kapasitas produksi serta belum efsiennya sektor industri
tersebut.
-
15
-0.07
0.15
0.27
0.36
0.26
0.14 0.15 0.11
0.230.15
-0.10
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Household_rural Household_urban
-0.15
0.25
0.48
0.69
0.44
0.27 0.30 0.22
0.450.27
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Household_rural Household_urban
-0.19
0.29
0.58
0.84
0.52
0.33 0.360.27
0.54
0.33
-0.40
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Household_rural Household_urban
Gambar 8. Dampak surplus produksi beras terhadap output pada
sektor industri makanan dan minuman
4.3. Dampak Terhadap Pendapatan
Peningkatan surplus produksi beras melalui peningkatan
produktivitas dan perluasan areal tanam berdampak terhadap
perubahan pendapatan rumah tangga (household) di pedesaan maupun di
perkotaan (Gambar 8).
a. Simulasi 1 (dalam % perubahan) b. Simulasi 2 (dalam %
perubahan)
c. Simulasi 3 (dalam % perubahan)
Gambar 8. Dampak surplus produksi beras terhadap pendapatan
rumahtangga di perdesaan dan perkotaan
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia TimurSIM-1 1.21
0.25 -0.35 -0.45 -0.10Sim-2 2.23 0.49 -0.63 -0.82 -0.18Sim-3 2.66
0.61 -0.75 -0.99 -0.23
-1.50-1.00-0.500.000.501.001.502.002.503.00
Output sektor industri makanan dan minuman (%)
-
16
Dari ketiga skenario, kecuali rumah tangga di pedesaan Sumatera
menunjukkan adanya peningkatan pendapatan. Hal ini memperlihatkan
bahwa peningkatan surplus produksi beras berdampak positif terhadap
peningkatan pendapatan rumah tangga, baik di perdesaan maupun di
perkotaan. Gambar 8 juga menunjukan bahwa hasil simulasi 3
memberikan dampak terbesar terhadap peningkatan pendapatan
rumahtangga, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Wilayah
Sulawesi merupakan daerah yang mengalami peningkatan pendapatan
rumahtangga terbesar, yaitu 0.54% di perdesaan dan 0.84% di
perokotaan. Sebaliknya, wilayah Sumatera merupakan satu-satunya
daerah yang mengalami penurunan pendapatan rumah tangga, khususnya
di perdesaan, yaitu sebesar 0,19%. Temuan ini mengindikasikan bahwa
kebijakan yang mengarah pada upaya peningkatan surplus produksi
beras belum dapat memperbaiki pendapatan rumah tangga di perdesaan
Sumatera.
4.4. Dampak Terhadap Kemiskinan
Analisis kemiskinan dilakukan dengan menggunakan formulasi
insiden kemiskinan (incidence of poverty) dengan garis kemiskinan
(poverty line) di perkotaan dan di perdesaan ditetapkan berdasarkan
standar BPS tahun 2008, yaitu masing-masing sebesar Rp. 204,896 dan
Rp. 161,831 per kapita per bulan. Sementara nilai head-count index
sebelum dilakukan simulasi terlihat seperti pada Tabel 4. Nilai ini
menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
terhadap total penduduk.
Tabel 4. Head-count index untuk rumahtangga di perdesaan dan
perkotaan sebelum dilakukan simulasi/Ex-ante (dalam %)
Rumah Tangga Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia
Timur
Pedesaan 18.65 20.70 13.00 20.89 31.99
Urban 14.90 12.02 8.05 7.79 22.25
Pada Tabel 4, nilai head-count index di Sumatera sekitar 18,65%
di pedesaan dan 14,90% di perkotaan, Jawa-Bali 20,70% di perdesaan,
dan 12,02% di perkotaan, Kalimantan 13% di perdesaan, dan 8.05% di
perkotaan, Sulawesi 20.89% di perdesaan, dan 7.79% di perkotaan,
dan Indonesia Timur 31.99% di perdesaan, dan 22,25% di perkotaan.
Sementara nilai head-count index secara nasional adalah sekitar
16,7%. Dari Tabel 4 tersebut terlihat bahwa tingkat kemiskinan
rumahtangga di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan.
Penomena ini selaras dengan pendapat Thorbecke dan Pluijm (1993),
bahwa sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah
perdesaan.
Gambar 9 menunjukkan bahwa peningkatan surplus produksi beras
melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam mampu
menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh wilayah. Adapun
penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat di wilayah Indonesia
Timur, yaitu 0.82% pada simulasi 1, 0.94% (simulasi 2), dan 1,0%
(simulasi 3). Sebaliknya, penurunan kemiskinan terkecil berada di
wilayah Kalimantan; 0,05% (simulasi 1 dan 2), dan 0,12% (simulasi
3) .
-
17
Sumatera-0.18
Jawa-Bali-0.21
Kalimantan -0.05
Sulawesi-0.37
Indonesia Timur-0.82
0.08
-0.58
-0.13
-0.93
-1.09
-0.93
-0.16
-0.04
-0.15
-0.53
-1.20
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Rural Urban
Sumatera-0.28
Jawa-Bali-0.37
Kalimantan-0.05
Sulawesi-0.71
Indonesia Timur-0.94
0.11
-0.69
-0.16
-1.09 -1.12-0.98
-0.19
-0.05
-0.18
-0.65
-1.20
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Rural Urban
Sumatera-0.28
Jawa-Bali-0.44
Kalimantan-0.12
Sulawesi-0.83
Indonesia Timur-1.00
0.02
-0.34
-0.07
-0.49
-1.02
-0.55
-0.08
-0.02
-0.07-0.29
-1.20
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.00
0.20
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi Indonesia Timur
Rural Urban
Gambar 9. Dampak surplus produksi beras terhadap penurunan
tingkat kemiskinan menurut wilayah dan
rumah tangga di perdesaan dan perkotaan (dalam %)
Apabila tingkat kemiskinan didisagregasi menurut kelompok rumah
tangga yang berada di pedesaan dan di perkotaan, nampak bahwa
penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat pada rumahtangga di
pedesaan Indonesia Timur, yaitu 1,02% (simulasi 1), 1,09% (simulasi
2), dan 1,12% (simulasi 3). Sebaliknya, penurunan kemiskinan
terbesar pada rumahtangga di perkotaan terdapat di wilayah
Sumatera; 0,55% (simulasi1), 0.93%(simulasi 2), dan 0,98% (simulasi
3). Pada analisis ini juga menunjukkan adanya peningkatan
kemiskinan pada rumahtangga di perdesaan Sumatera; 0,02% (simulasi
1), 0,08% (simulasi 2), dan 0,11% (simulasi 3).
Analisis secara nasional juga menunjukkan terjadinya penurunan
tingkat kemiskinan (Gambar 10). Adapun penurunan tingkat kemiskinan
terbesar terdapat pada simulasi 3, yaitu 0.44%. Sebaliknya,
penurunan kemiskinan terkecil terdapat pada simulasi 1 (0,23%).
Apabila
-
18
Rural-0.29
Urban-0.16
Nasional-0.23 Rural
-0.46
Urban-0.28
Nasional-0.38
Rural -0.53
Urban-0.32
Nasional-0.44
penurunan tingkat kemiskinan tersebut didisagregasi menurut
kelompok rumahtangga yang berada di pedesaan dan di perkotaan,
nampak bahwa penurunan tingkat kemiskinan terbesar terdapat pada
rumahtangga di pedesaan; 0,29% (simulasi 1), 0,46% (simulasi 2),
dan 0,53% (simulasi 3).
Gambar 10. Dampak surplus produksi beras terhadap penurunan
tingkat kemiskinan nasional (dalam %)
Berdasarkan analisis tingkat kemiskinan seperti diuraikan
sebelumnya menunjukkan bahwa penurunan tingkat kemiskinan di
perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Temuan ini selaras
dengan hasil kajian Sumedi dan Supadi (2004), bahwa tingkat
pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap
perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena
sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan memiliki tingkat
pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di
perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat
pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan adanya
perbaikan struktur perekonomian yang berhasil meningkatkan
pendapatan masyarakat, maka pengurangan jumlah penduduk miskin di
perdesaan akan lebih besar daripada di perkotaan.
-
19
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
5.1. Kesimpulan
Program pencapaian surplus produksi beras melalui skenario 3,
yaitu peningkatan produktivitas padi 4% dan perluasan areal tanam
6,02% akan memberikan dampak terbesar terhadap perekonomian
nasional dan wilayah, dengan perubahan sebagai berikut;
a. Peningkatan kinerja makroekonomi: GDP meningkat 0.26%,
investasi (0.2%), impor turun 0,22%, ekspor meningkat 0.19% dan
proporsi penduduk miskin turun sebesar 0.44%
b. Peningkatan kinerja regional makroekonomi; GDRP dan
Kemiskinan masing-masing di Sumatera (0.20% untuk GDRP dan -0.28%
untuk kemiskinan), Jawa Bali (0.13% dan -0.44%), Kalimantan (0.07%
dan -0.12%), Sulawesi (0.17% dan -0.83%) dan Indonesia Timur (0.08%
dan -1.0%)
c. Peningkatan kinerja sektoral padi; output meningkat dan harga
turun masing-masing di wilayah Sumatera sebesar 1.77% dan 10.5%,
Jawa Bali (4.33% dan 5.7%), Kalimantan (5.45% dan 1.0%), Sulawesi
(6.0% dan 1.1%) dan Indonesia Timur (6.22% dan 2.8%).
d. Perubahan pendapatan rumah tangga; di wilayah Sumatera
masing-masing meningkat 0.33% di perkotaan dan menurun 0.19% di
perdesaan, Jawa Bali meningkat 0.36% (di perkotaan) dan 0.29%
(perdesaan), Kalimantan 0.27% (perkotaan) dan 0.58% (di perdesaan),
Sulawesi 0.54% (di perkotaan), dan 0.84% (di perdesaan), serta
Indonesia Timur 0.33% (di perkotaan) dan 0.52% (di perdesaan).
e. Penurunan tingkat kemiskinan terjadi di seluruh wilayah,
dimana Indonesia Timur tercatat sebagai wilayah yang tingkat
kemiskinannya mengalami penurunan terbesar (1,0%).
5.2. Implikasi Kebijakan
Melihat pentingnya arti sosial-ekonomi beras bagi ekonomi
nasional dan wilayah, maka kebijakan pencapaian surplus produksi
beras 10 juta ton perlu disertai dengan upaya menyeimbangkan
produksi, stok dan kebutuhan beras di tiap wilayah/region. Hal ini
dapat dilakukan dengan meningkatkan keterkaitan industri primer
(padi) dengan industri pengolahan (penggilingan), dan industri
makanan yang berbahan baku beras. Hampir tidak mungkin industri
padi kokoh dan pendapatan petani meningkat secara berkelanjutan,
manakala industri penggilingan padi lemah dan kapasitas industri
makanan yang berbahan baku beras masih rendah. Selain itu,
kebijakan ekpor beras perlu diambil terutama ketika kebutuhan lokal
terpenuhi. Untuk itu, kebijakan HPP multikualitas dalam upaya
mendorong terpenuhinya kualitas beras untuk pasar ekspor perlu
diimplementasikan.
Penerapan kebijakan HPP multikualitas di Indonesia juga
berimplikasi seperti berikut ini (Sawit, 2010). Pertama, mendorong
peningkatan volume pengadaan dalam negeri oleh Bulog yang dalam
waktu yang sama dapat meningkatkan kualitas beras pengadaan dan
penyalurannya, serta meningkatkan harga yang diterima produsen.
Kedua, industri penggilingan padi akan merespons dengan memperbaiki
kualitas beras yang dihasilkan, terjadi percepatan adopsi dryers
dan mendorong modernisasi penggilingan padi. Dalam jangka panjang
akan mempercepat perbaikan kualitas beras/gabah dan menurunkan
susut. Ketiga, petani akan terangsang untuk memperbaiki kualitas
gabah dengan menanam varietas terpilih.
-
20
Insentif pasar/harga merupakan sumber utama untuk keberlanjutan
pencapaian surplus produksi beras, karena pengambilan keputusan
petani untuk menanam padi sangat dipengaruhi oleh harga yang
berlaku dan harga yang terima sebelumnya. Untuk itu, upaya
mengembalikan fungsi kebijakan harga sebagai fungsi perlindungan
petani sangat diperlukan, karena dapat menstimulasi petani agar mau
menanam padi. Hal ini dapat dilakukan, antara lain; (1)
mengembangkan resi gudang di sentra-sentra produksi padi, (2)
memperkuat keberadaan dan peranan lembaga ekonomi lokal sebagai
mitra atau pesaing bagi pedagang pengumpul atau pedagang besar, (3)
tidak melakukan operasi pasar ketika saat harga sedang bergerak
turun, dan (4) meningkatkan peran Bulog dalam pengadaan beras
domestik sebagai upaya melindungi petani dari kejatuhan harga jual
gabah/beras di bawah ongkos produksi.
Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah meminimalkan
dampak negatif terhadap penurunan produksi pada sektor pertanian
lainnya terutama pada sektor tanaman pangan lain, dan perkebunan.
Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong pertumbuhan investasi dan
pengembangan inovasi teknologi pada sektor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong H, and Taylor J. 1993. Regional Economics and Policy
(Second edition). Harvester Wheatsheaf Publishers. New York
Aldeman,I. 1984. Beyond Eport-Led Growth. In Adelman,I. 1995.
Institution and Development Strategies. The Selected Essay of Irma
Adelman. University of California, Berkeley, US.
Bendavid-Val A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for
Practitioners (Fourth edition). Praeger Publishers, London.
Bergman, L 1990. The Development of Computable General
Equilibrium Modeling. In Bergman, L., Jorgenson D., W and Zalai.,
E. General Equilibrium Modeling and Economic Policy Analysis. Basil
Blackwell Inc.
BPS. 2011.Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi
Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Decaluw, E, B., J. C. Dumont, and L. Savard (1999). How to
measure poverty and inequality in general equilibrium framework.
CREFA Working Paper no. 9920. Laval University.
Dervis, K ., De Mello J and Robinson, S,. 1982. General
Equilibrium Model for Development Policy. Cambridge University
Press.
Dixon, P., B ., Parmenter B., R and Powell., A., A. 1992. Note
and Problem in Applied General Equilibrium Economics.
North-Holland.
Edgar M. Hoover. 1971. An Introduction to Regional Economics
(Second edition). Albert A. Knopf, New York.
Ginsburgh, V., and Keyzer, M. 1997. The Structure of Applied
General Equilibrium Models. The MIT Press
Kementerian Pertanian. 2011. Roadmap Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014.
Kementerian Pertanian.
-
21
Lewis, Jeffrey D. (1991), "A Computable General Equilibrium
(CGE) Model of Indonesia." HIID Series of Development Discussion
Papers No. 378
Lucas, Robert E. (1988): On the Mechanics of Economic
Development, Journal of Monetary Economics, 22, 342.
Oktaviani, R. 2011. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan
Aplikasinya di Indonesia. PT. IPB Press, Kampus IPB Tanam Kencana
Bogor..
Pakpahan, A. 2011. Sawit, Sawah, dan Sejarah Masa Depan
Indonesia. Koran Tempo, 9 Januari 2011.
Petersen, T., W. 1997. An Introduction to CGE-modelling and an
Illustrative Application to Eastern European Integration with the
EU. Kobenhavns Universitet Okonomisk Institut
Pindyck, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld (1995),
Microeconomics, Prentice Hall.
Rebelo, Sergio T. 1991. Long-Run Policy Analysis and Long-Run
Growth. Journal of Political Economy, 99(3), 500521
Resosudarmo, B.P., Yusuf, A.A, D. Hartono and D.A.
Nurdianto.2009. Implementation of the IR-CGE Model for Planning:
IRSA-INDONESIA 5 (Inter-Regional System of Analysis for Indonesia
in 5 Regions). Bappenas and CSIRO, University Drive, Townsville
4810 QLD, Australia
Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics. Second edition.
McGraw-Hill International. New York.
Round, J. (2003): Social Accounting Matrices and SAM-Based
Multiplier Analysis, in The impact of economic policies on poverty
and income distribution: Evaluation techniques and tools, ed. by F.
Bourguignon, P. da Silva, and L. A, Washington, DC.: World
Bank.
Sawit, M.H, 2010. Mengoptimalkan Peran Kebijakan Harga Pembelian
Pemerintah. Dalam Tim Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
(KRKP). Kebijakan Harga Beras di Asia Kajian di 5 Negara Asia.
Sekretariat KRKP Sindangbarang- Bogor.
Savard, L. (2003): Poverty and Income Distribution in a
CGE-Household Micro-Simulation Model: Top-Down/Bottom Up Approach,
Cahiers de Recherche 0343, CIRPEE, available at
http://ideas.repec.org/p/lvl/lacicr/0343.html.
Seed, Khalid. 1994. Development Planning and Policy Design. New
Castle Asigate.
Shoven., J., B and Walley, J, 1984. Applied General-Equilibrium
Models of Taxation and International Trade: An Introduction and
Survey
Shoven., J., B and Walley, J. 1992. Applying General
Equilibrium. Cambridge. University Press.
Sumedi dan Supadi. 2004. Kemiskinan di Indonesia; Suatu Fenomena
Ekonomi. ICARSERD Working Paper No.22. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litban Pertanian,
Kementerian Pertanian .
Thorbecke and T.V.D. Pluijm. 1993. Rural Indonesia:
Socioeconomic Development in a Changing Environment. IFAD. New
York. University Press, New York.
Yusuf, A. A. 2006. Constructing Indonesian Social Accounting
Matrix for Distributional Analysis in the CGE Modelling Framework.
Working Paper in Economics and Development Studies. November,
2006.