Studi Komparatif Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Denda Dalam KUHP dan RKUHP Oleh Emilia Susanti, SH., M.H. 1 Email: [email protected]Abstrak Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban bagi seseorang dalam rangka mengembalikan keseimbangan hukum. Penjatuhan pidana denda sebagai alternatif pidana belum mempunyai fungsi dan peran yang optimal diantaranya karena penegak hukum cenderung memilih pidana penjara atau kurungan dari pada pidana denda Serta peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya pidana denda. Diperlukan konstruksi kebijakan formulasi pidana denda dalam konsep RKUHP untuk menemukan kelebihan dan kekurangannya.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Narasumber terdiri dari ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan Hakim pada pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh simpulan penelitian. Berdasarkan Kajian tersebut dapat diketahui rumusan pidana denda dalam KUHP sebagian besar dirumuskan sebagai pidana alternatif. Hakim berpendapat bahwa pidana denda selama ini kurang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat sehingga diperlikan kebijakan formulasi dalam konsep RKUHP dengan sanksi pidana denda.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Pengaturan sanksi pidana denda dalam KUHP masih terdapat banyak kelemahan sehingga dalam implementasinya hakim lebih memilih sanksi pidana penjara dalam putusannya. Jika dilihat dari tujuan dan fungsi pemidanaan pemberian sanksi pidana denda dalam KUHP belum sesuai dengan azas keadilan (2)sanksi denda dalam RKUHP dapat mendekati rasa keadilan tetapi jika dilihat dari tujuan dan fungsi pemidanaan Konsep RKUHP tidak memberikan batasan jangka waktu sampai kapan pidana denda itu harus dicicil oleh terpidana. Lamanya jangka waktu untuk mencicil itu diserahkan oleh hakim lewat putusannya.Rekomendasi dalam penelitian ini adalah : (1) Dalam perspektif pembaharuan pengaturan sanksi pidana denda harus dapat mengakomodir pola pemidanaan yang sesuai dengan prinsip dasar pemidanaan. (2) Pengaturan sanksi pidana dalam pembaharuan harus melihat korban sebagai pihak yang paing dirugikan sehingga perlu dirumuskan kebijkan pemberian sanksi pidana yang berpihak pada korban dengan pembayaran denda oleh pelaku tindak pidana kepada korban. (3) Konsep pembaharuan hukum pidana progresif melalui teori restoratif justice dapat menggunakan sistem pidana khususnya dalam mengantisipasi kesulitan melaksanakan eksekusi pidana denda. Kata Kunci: Kebijakan Formlasi, Pidana Denda, KUHP dan RU KUHP 1 Penulis adalah Dosen Tetap Bagian Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Lampung.
13
Embed
Studi Komparatif Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Denda ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Studi Komparatif Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Denda
Sistem KUHP” Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. Hlm. 34
3 A. Budivaja dan Y. Bandrio, “Eksistensi Pidana Denda di dalam Penerapannya”, Jurnal Hukum, vol. XIX, No. 19, 2010, hlm. 78
paling lama delapan bulan.4
Penjatuhan pidana denda
sebagai alternatif pidana perampasan
kemerdekaan dalam praktek peradilan
pidana di Indonesia jarang sekali
digunakan oleh hakim. Dalam
implementasinya ada beberapa faktor
yang menyebabkan pidana denda belum
mempunyai fungsi dan peran yang
optimal diantaranya karena penegak
hukum cenderung memilih pidana
penjara atau kurungan daripada pidana
denda. Selain itu, peraturan perundang-
undangan yang ada kurang memberikan
dorongan dilaksanakannya penjatuhan
pidana denda yang cenderung
dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana penjara (kumulatif). Sebaliknya
faktor kemampuan masyarakat juga
menyebabkan belum berfungsinya
pidana denda jika suatu undang-undang
memberikan ancaman pidana denda
yang relatif tinggi5.
Sehubungan dengan
manfaat, keuntungan, dan rasa keadilan
tentang penerapan pidana denda dapat
diikuti pandangan Sutherland dan
Cressey, yakni, pembayaran denda
mudah dilaksanakan dan dapat direvisi
apabila ada kesalahan, dipandang
dengan jenis hukuman lainnya. Pidana
denda adalah jenis hukuman yang
menguntungkan pemerintah, karena
pemerintah tidak banyak mengeluarkan
biaya, bila tanpa disetai dengan
kerugian subsidair. Hukuman denda
tidak membawa atau tidak
mengakibatkan tercelanya nama baik
4Ibid, hlm. 15. 5Suhariyono, Pembaruan Pidana Denda Di Indonesia Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2012, hlm. 9.
atau kehormatan seperti yang dialami
terpidana. Pidana denda akan membuat
lega dunia perikemanusiaan. Hukuman
denda akan menjadi penghasilan bagi
daerah/kota dan negara6.
Pidana denda dalam Konsep
RKUHP 2015, diatur dalam Pasal 80
sampai dengan Pasal 85 RKUHP. RUU
KUHP, menentukan pula kategori
terendah pidana denda (kategori I)
maksimal sebesar Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah) dan
kategori tertinggi (kategori VI) sebesar
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). Kecenderungan penentuan
pidana denda dengan merumuskannya
secara kategoris dalam Buku Pertama
RUU KUHP, sehubungan dengan pola
jenis sasnksi yang berhubungan dengan
pola pembagian jenis pidana menurut
KUHP, untuk kejahatan umumnya
diancam dengan pidana penjara atau
denda, sedangkan untuk pelanggaran
diancam dengan pidana kurungan atau
denda.7 Upaya memaksimalkan
penggunaan pidana denda dalam
RKUHP juga dilakukan melalui sistem
denda harian (day-fine).8
Hal lain yang menarik perhatian
untuk dikaji dalam kebijakan formulasi
pidana denda adalah proses pemberian
sanksi pidana denda dalam konsep
RKUHP yang menentukan bahwa
sanksi pidana denda harus diputuskan.
Menurut Sudarto pengaturan hukum
pidana merupakan pencerminan
ideology politik suatu bangsa dimana
6 Naim, Afriyandi.R., Eksistensi Pidana Denda Dalam Konteks KUHP, Makassar, 2013 7 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 171-172. 8 R.A Koesnoen, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1964, hlm 117.
hukum itu berkembang dan seluruh
bangunan hukum bertumpu pada
pandangan politik yang sehat dan
konsisten9
Berdasarkan uraian di atas maka
perlu dikaji konstruksi kebijakan
formulasi pidana denda dalam KUHP
dan konsep RKUHP untuk menemukan
kelebihan dan kekurangannya.
B. PEMBAHASAN
1....Kebijakan Formulasi Sanksi
Pidana Denda Dalam KUHP
KUHP mengatur pidana denda
sebagai pidana pokok terberat urutan
keempat setelah pidana mati, pidana
penjara dan pidana kurungan. Secara
umum pengaturan pidana denda dalam
KUHP dirumuskan sebagai berikut :
a.Disusun secara alternatif antara
pidana penjara atau kurungan atau
denda yang tersebar dalam tujuh belas
pasal dalam KUHP b.Disusun secara
alternatif antara pidana penjara atau
denda yang tersebar dalam seratus dua
puluh empat pasal c.Disusun secara
alternatif antara pidana kurungan atau
denda yang tersebar dalam empat puluh
tiga pasal d.Disusun secara mandiri,
yaitu hanya pidana denda yang tersebar
dalam empat puluh empat pasal.
Berdasarkan rumusan tersebut
dapat diketahui rumusan pidana denda
dalam KUHP sebagian besar
dirumuskan sebagai pidana alternatif
terutama pada delik-delik kejahatan
sedangkan rumusan pidana denda
sebagai pidana mandiri hanya sebagian
9Sudarto, “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat”, Sinar Baru, Bandung, 1983 hlm.63
kecil yaitu hanya ada 44 pasal yang
mayoritas terdapat pada delik-delik
pelanggaran. KUHP tidak mengenal
batas maksimum umum pidana denda,
melainkan hanya batas maksimum
khusus dalam pasal-pasalnya.
`sebaliknya dalam KUHP ditentukan
batas minimum umum pidana denda
yaitu sebesar dua puluh lima sen (250,-
). Hal ini diatur dalam Pasal 30 KUHP
yang selengkapnya dapat diuraikan
sebagai berikut :
1) Banyaknya denda sekurang-
kurangnya 25 sen (250,-)
2) Jika dijatuhkan hukuman denda
dan denda tidak dibayar, maka
diganti dengan kurungan;
3) Lamanya kurungan pengganti
itu sekurang-kurangnya satu hai
dan sellama-lamanya enam
bulan;
4) Lamanya kurungan ini
ditetapkan begitu rupa bahwa
harga setengah rupiah atau
kurungan diganti satu hari, bagi
denda yang lebih besar daripada
itu maka bagi tiap-tiap setengah
rupiah diganti tidak lebih
daripada satu hari dan sisanya
yang tidak cukup setengah hari,
lamanya pun satu hari.;
5) Jika ada pemberatan denda
karena berbarengan atau
pengulangan atau karena
ketentuan Pasal 52 dan Pasal
52a maka kurungan pengganti
paling lama delapan bulan.
Menurut Surono dalam
praktiknya di pengadilan hakim lebih
mengutamakan pidana perampasan
kemerdekaan yaitu kurungan dan
penjara karena, hakim berpendapat
bahwa pidana denda selama ini kurang
memenuhi rasa keadilan bagi
masyarakat mengingat sebagian
masyarakat masih memiliki pandangan
bahwa pidana denda adalah sanksi
pidana yang sangat ringan, selain itu
prosedur dan pelaksanaan pidana denda
sulit dilakukan karena terikat ketentuan
dalam Pasal 30 KUHP10.
Menurut Wirjono Projodikoro
KUHP tidak mengatur siapa yang harus
membayar denda KUHP, oleh karena
itu memungkinkan denda dibayar oleh
orang lain, sehingga sifat hukuman
yang ditujukan kepada pelaku menjadi
kabur11.
Kendala lain yang dihadapi
dalam pelaksanaan pidana denda adalah
KUHP belum mengatur batas waktu
yang pasti kapan pidana denda harus
dibayar oleh terpidana. Selain itu
KUHP juga tidak mengatur mengenai
tindakan-tindakan lain yang dapat
menjamin agar terpidana dapat dipaksa
untuk membayar dendanya, misalnya
dengan jalan merampas atau menyita
harta benda atau kekayaan terpidana12.
Apabila terpidana menyatakan sanggup
membayar denda maka terpidana bebas
dalam jangka waktu kapanpun dalam
hal ia akan mmebayarkan dendanya
karena jangka waktunya tidak dibatasi
oleh KUHP. Hal ini juga dapat dilihat
dalam putusan pengadilan yang tidak
10 Hasil wawancara penulis dengan hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Tanggal 12 Oktober 2018 11 Op Cit. Nandang Kusnandi. 12 Indung Wijayanto, “Kebijakan Pidana Denda di KUHP dalam Sistem Pemidanaan Indonesia”, Jurnal Pandecta. Volume 10. Nomor 2. December 2015. Lihat juga dalam Cecar Tarigan, F.A. dkk, “ Penerapan Pidana Denda dalam Kasus Pelanggaran Lalu Lintas di Medan (Studi Pelanggaran Lalu Lintas di Medan) Jurnal Mahupiki 1(1) 2013.
pernah menentukan batasan tenggang
waktu kapan denda harus dibayar.13
Semua pendapatan yang
diperoleh dari penjatuhan sanksi pidana
denda saat ini baik yang diatur dalam
KUHP maupun undang-undang khusus
di luar KUHP disetorkan ke kas negara
dan menjadi milik negara14. Menurut
penulis hal ini bertentangan dengan
rasa keadilan karena korban tindak
pidana seharusnya menjadi pihak yang
paling kompeten terhadap pidana denda
yang dibayarkan pelaku tindak pidana.
Hal ini dikarenakan pihak yang paling
dirugikan oleh pelaku tindak pidana
adalah korban yang telah mengalami
kerugian materiil maupun immaterial
akibat perbuatan pelaku tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31
Ayat (3) KUHP apabila terpidana yang
dijatuhi pidana denda merasa dirinya
tidak mampu membayar denda, ia dapat
segera menjalani kurungan pengganti
denda tanpa harus menunggu batas
waktu membayar denda. apabila
dikemudian hari terpidana merasa
mampu membayar denda maka setiap
waktu terpidana dapat dilepaskan dari
kurungan.
Pembayaran sebagian dari
pidana denda baik sebelum maupun
sesudah menjalani pidana kurungan
pengganti, membebaskan pidana
kurungan pengganti, membebaskan
terpidana dari sebagian pidana
kurungan yang seimbang dengan
bagian yang dibayarnya. Pengaturan
yang terdapat di Pasal 31 Ayat (3)
13 Ibid, lihat juga Muladi dan Barda Nawawi Arief, “ Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”. Alumni. Bandung 1992. 14 Wirdjono Prodjodikoro, “Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia” PT Refika Aditama. Bandung, 2011.
sangat sulit diterapkan karena untuk
mengetahui berapa lama kurungan
pengganti yang terbebaskan dari
pembayaran denda tersebut atau berapa
lama kurungan pengganti denda yang
harus dijalani orang tersebut setelah
membayar dendanya sebagian. Hal ini
karena kurungan pengganti dalam
KUHP diatur setiap satu hari kurungan
menggantikan denda sebesar 7.500.
Meskipun demikian Pasal 30 Ayat (3)
membatasi berapapun denda yang
dijatuhkan maka kurungan pengganti
denda paling banyak enam bulan atau
seratus dua puluh hari. Apabila ada
pemberatan, maksimal kurungan
pengganti adalah delapan bulan atau
seratus empat puluh hari. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan
besarnya nilai denda dalam KUHP
tidak banyak memiliki arti apabila tidak
disertai dengan perubahan sistem
pelaksanaan pidana denda15.
Secara umum terdapat beberapa
kelemahan pengaturan sanksi pidana
denda dalam KUHP, adapun kelemahan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa pidana denda dapat
dibayarkan atau ditanggung oleh
pihak ketiga (majikan, suami atau
istri, orang tua, teman/kenalan baik
dan lainnya) sehingga pidana yang
dijatuhkan tidak secara langsung
dirasakan oleh si terpidana sendiri.
perbuatannya;
2. Bahwa pidana denda juga dapat
membebani pihak ketiga yang tidak
bersalah, dalam arti pihak ketiga
dipaksa turut merasakan pidana
tersebut, misalnya uang yang
dialokasikan bagi pembayaran
pidana denda yang dijatuhkan pada
kepala rumah tangga yang
15 ibid
melakukan kesalahan mengemudi
karena mabuk, akan menciutkan
anggaran rumah tangga yang
bersangkutan.
3. Bahwa pidana denda lebih
menguntungkan bagi orang-orang
yang mampu, karena bagi mereka
yang tidak mampu pembayaran
denda akan menjadi masalah karena
sehingga mereka cenderung
menerima sanksi pidana lain yaitu
perampasan kemerdekaan;
4. Bahwa terdapat kesulitan dalam
penagihan uang denda oleh jaksa
selaku eksekutor, terutama bagi
terpidana yang tidak ditahan atau
tidak berada dalam penjara.
2. Konstruksi Sanksi Pidana Denda
dalam RKUHP
Permasalahan pidana denda
dalam perumusan RKUHP pada
hakikatnya merupakan permasalahan
untuk mencari pemecahan atau jalan
keluar terhadap adanya keseimbangan
diantara bentuk atau jenis pidana
lainnya. Sebagai akibat logis bahwa
pidana denda dirasakan kurang populer
dalam implementasinya maupun dalam
penegakan hukum dewasa ini. Salah
satu kebijakan formulasi dalam konsep
RKUHP tidak terlepas dari pemikiran
bahwa nilai pidana denda tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan
perumusan tentang maksimum umum
pidana denda tidak dapat dilepaskan
dari perubahan nilai uang dan
kemungkinan terjadinya perubahan
undang-undang16.
Rancangan KUHP Tahun 2015
mengatur empat tujuan pemidanaan
dalam Pasal 54 yaitu untuk (1)
16 Ibid hlm. 68
mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat; (2)
memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguana;
(3) menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan (4) membebaskan rasa
bersalah pada terpidana17.
Selanjutnya berdasarkan Pasal
55 RKUHP mengatur tentang pedoman
pemidanaan, yaitu hakim dalam
menjatuhkan putusan harus
memperhatikan (1) kesalahan pelaku
tindak pidana; (2) motif dan tujuan
melakukan tindak pidana; (3) sikap
batin pelaku tindak pidana; (4) apakah
tindak pidana dilakukan dengan
berencana; (5) cara melakukan tindak
pidana; (6) sikap dan tindakan pelaku
sesudah melakukan tindak pidana; (7)
riwayat hidup dan keadaan sosial
ekonomi pelaku tindak pidana; (8)
pengaruh pidana terhadap masa depan
pelaku tindak pidana; (9) pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau
keluarga korban (10) pemaafan dari
korban dan/atau keluarga dan (11)
pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan. Tujuan dan
pedoman pemidanaan ini merupakan
implementasi ide individualisasi pidana
yang belum diatur di dalam KUHP18.
Sitem pemidanan dalam
17 Syaiful Bakhri, “ Penggunaan Pidana Denda dalam Perundang-Undangan” Jurnal Hukum No.21. Vol.9. 2008. Hlm 87-96. 18 Badan Pembinaan Hukum Nasional “Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)” Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. 2015
22 Op Cit Nandang Kusndi, Lihat juga pada Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni. 1992. 23 Ibid 24 Opcit Indung Wijayanto. 25 ibid