BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terjadi tuntutan reformasi pada tahun 1998 yang dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat, antara lain para politikus, birokrat, mahasiswa dan masyarakat umum. Tuntutan reformasi, antara lain amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, otonomi daerah, kebebasan Pers, serta mewujudkan kehidupan demokrasi Sebelum perubahan, di dalam UUD 1945 terdapat Pembukaan, Batang Tubuh 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, 2 ayat Aturan Tambahan, serta Penjelasan. Latar belakang perubahan UUD 1945, antara lain kekuasaan tertinggi di tangan MPR, kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, pasal-pasal yang terlalu ”luwes” sehingga dapat menimbulkan multitafsir, kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang, dan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD 1945, antara lain menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia terjadi tuntutan reformasi pada tahun
1998 yang dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat,
antara lain para politikus, birokrat, mahasiswa dan
masyarakat umum. Tuntutan reformasi, antara lain
amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi
ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN,
otonomi daerah, kebebasan Pers, serta mewujudkan
kehidupan demokrasi
Sebelum perubahan, di dalam UUD 1945 terdapat
Pembukaan, Batang Tubuh 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4
pasal Aturan Peralihan, 2 ayat Aturan Tambahan, serta
Penjelasan. Latar belakang perubahan UUD 1945, antara
lain kekuasaan tertinggi di tangan MPR, kekuasaan yang
sangat besar pada Presiden, pasal-pasal yang terlalu
”luwes” sehingga dapat menimbulkan multitafsir,
kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting
dengan undang-undang, dan rumusan UUD 1945 tentang
semangat penyelenggara negara belum cukup didukung
ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945, antara lain
menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara,
kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan,
kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan
1
negara hukum, serta hal-hal lain sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan negara. Dasar
yuridis perubahan UUD 1945, antara lain pasal 3 UUD
1945, pasal 37 UUD 1945, TAP MPR No.IX/MPR/1999, TAP
MPR No.IX/MPR/2000, dan TAP MPR No.XI/MPR/2001.
Kesepakatan dasar perubahan UUD 1945, antara lain
tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem
presidensiil, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal
normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal,
perubahan dilakukan dengan cara ”adendum”. Sidang MPR
dalam perubahan UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali,
antara lain Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober
1999, Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus
2000, Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November
2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus
2002. Dalam sidang MPR tersebut menghasilkan perubahan
UUD 1945, antara lain Pembukaan, Pasal-pasal 21 bab, 73
pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 Pasal
aturan Tambahan (MPR RI, 2002: 1).
Dengan terjadinya perubahan UUD 1945, kedudukan
dan fungsi lembaga-lembaga negara menjadi berubah.
Berdasarkan penjabaran sebelumnya, di sini penulis
tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai kedudukan
dan fungsi lembaga-lembaga negara sesuai UUD 1945 yang
telah diamandemen.
1.2 Rumusan Masalah
2
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dijabarkan sebelumnya, maka rumusan masalah dari karya
tulis ini, antara lain:
1. Bagaimana perubahan kedudukan lembaga-lembaga
negara dari sebelum sampai setelah UUD 1945
diamandemen?
2. Bagaimana fungsi masing-masing lembaga-lembaga
negara dari sebelum sampai setelah UUD 1945
diamandemen?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya, maka tujuan penulisan dari karya tulis ini,
antara lain:
1. Lembaga-lembaga negara mampu melaksanakan tugasnya
sesuai UUD 1945 yang telah diamandemen.
2. Masyarakat mengatahui dan memahami kedudukan dan
fungsi lembaga-lembaga negara baik sebelum maupun
setelah UUD 1945 diamandemen.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dari
Sebelum sampai Setelah UUD 1945 diamandemen
2.1.1 Sebelum UUD 1945 Diamandemen
UUD 1945 telah mengalami amandemen sebanyak empat
kali tepatnya, antara lain Sidang Umum MPR 1999 tanggal
14-21 Oktober 1999, Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-
18 Agustus 2000, Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9
November 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11
Agustus 2002. Hal tersebut telah merubah kedudukan dan
fungsi lembaga-lembaga negara di Indonesia baik MPR,
DPR, Presiden, BPK, DPA maupun MA.
Berikut ini struktur ketatanegaraan sebelum perubahan
UUD 1945.
Bagan 1: Struktur Ketatanegaraan sebelum Perubahan UUD
1945
(MPR RI, 2004: 40)
MPRUUD 1945
DPR BPK DPA MAPRESIDEN
4
Berdasarkan bagan struktur ketatanegaraan sebelum
perubahan UUD 1945 di atas menunjukkan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan UUD 1945 menduduki
posisi paling tertinggi di dalam tata pemerintahan di
Indonesia. Anggota MPR terdiri dari seluruh wakil
rakyat yang terpilih yaitu DPR, Utusan Golongan yang
ada dalam masyarakat menurut ketentuan peundang-
undangan yang berlaku, Utusan daerah seluruh Indonesia
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(Rahmat Bagja, 2003: 49).
Di bawah MPR terdapat Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). DPR di ketatanegaraan dapat mengajukan rancangan
undang-undang serta memberi persetujuan rancangan
undang-undang yang dibentuk oleh Presiden. Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 (pasal
4 ayat 1). Dalam Penjelasan ditegaskan bahwa “Presiden
ialah penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah
Majelis. Dalam menjalankan pemerintahan negara,
kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden”.
Presiden dengan demikian pemegang dan mempunyai
kekuasaan riil atas pemerintahan (the real executive) dan
bukan Presiden yang sekedar memegang dan mempunyai
kekuasaan nominal (the nominal executive). Sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan (eksekutif) tertinggi, Presiden
menjalankan kekuasaan dalam bidang pemerintahan
(eksekutif), kekuasaan Presiden di bidang perundang-
undangan, dan kekuasaan di bidang kekuasaan Kehakiman
5
Selanjutnya tedapat lembaga pemeriksa keuangan
negara yaitu BPK. BPK adalah Lembaga Negara yang
diadakan “untuk memeriksa tanggung jawab tentang
keuangan negara” dan adalah badan yang merdeka lepas
dari pengaruh, dan kekuasaan pemerintah. Maksudnya,
dalam menjalankan tugasnya (memeriksa tanggung jawab
keuangan negara), BPK harus terjamin lepas dari
pengaruh dan campur tangan Pemerintah, termasuk dari
semua unsur-unsur kekuasaan negara lainnya. Tidak ada
penjelasan mengenai pengertian “keuangan negara”. Dalam
penjelasan pasal 23 ayat (5) UUD 1945 disebutkan antara
lain “Cara pemerintah mempergunakan uang belanja yang
sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, harus
sepadan dengan keputusan tersebut”. Penjelasan tersebut
menunjukkan Pertama; “tangung jawab keuangan negara”
adalah tanggung jawab keuangan sebagaimana diatur dalam
APBN. Kedua, karena yang melaksanakan APBN adalah
Pemerintah, maka yang bertanggung jawab atas keuangan
negara adalah Pemerintah.
Di dalam tata pemerintahan negara Indonesia,
terdapat dewan penasehat Presiden yaitu DPA. UUD 1945
menetapkan bahwa susunan Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
diatur dengan undang-undang. Sedangkan mengenai hak dan
kewajiban disebutkan bahwa “DPA berkewajiban memberi
jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan
usul kepada Pemerintah”. Dalam penjelasan disebutkan
bahwa DPA adalah “sebuah council of State yang berkewajiban
6
memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah. Ia
sebuah badan penasehat belaka”.
Dan yang terakhir di dalam ketatanegaraan sebelum
perubahan UUD 1945 terdapat lembaga yudikatif. Mahkamah
Agung (MA) adalah lembaga negara yang menjalankan
kekuasaan kehakiman tertinggi di negara RI. Mahkamah
Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua
badan peradilan di Indonesia. Semua badan peradilan
berpuncak pada Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman
diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan
lingkungan peradilan masing-masing. Ketentuan umum
kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No.14 Tahun 1970.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
(Penjelasan UUD 1945). Dalam UU No.14 Tahun 1970 (pasal
1), diberi batasan mengenai ruang lingkup “merdeka”
yaitu “merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
(Philipus M. Hadjon dkk, 2005: 80-89).
2.1.2 Setelah UUD 1945 Diamandemen
Setelah dijabarkan mengenai kedudukan lembaga-
lembaga negara sebelum UUD 1945 diamandemen di atas,
maka selanjutnya akan dijabarkan mengenai kedudukan
lembaga-lembaga negara setelah UUD 1945 diamandemen.
Berikut ini struktur ketatanegaraan setelah perubahan
UUD 1945.
7
Legislatif Eksekutif
Yudikatif
Bagan 2: Struktur Ketatanegaraan setelah Perubahan UUD
1945
(MPR RI, 2004: 40)
Berdasarkan bagan struktur ketatanegaraan setelah
perubahan UUD 1945 di atas menunjukkan bahwa UUD 1945
menduduki posisi paling tertinggi di dalam
ketatanegaraan di Indonesia. Jadi kedudukan tertinggi
di ketatanegaraan negara Republik Indonesia adalah UUD
1945 saja, bukan dengan MPR seperti pada struktur
ketatanegaraan sebelum UUD 1945 diamandemen.
Dibawah UUD 1945 terdapat Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Berdasarkan UUD 1945 bab VIIIA pasal 23F tentang
Badan Pemeriksa Keuangan, dijelaskan bahwa anggota
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
MPRDPD DPR
KEKUASAAAN KEHAKIMANMK MA KY
BPK
8
PRESIDENWAPRES
UUD 1945
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden,
pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dari dan oleh
anggota. Dan pasal 23G menjelaskan bahwa Badan
Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan
memiliki perwakilan di setiap provinsi (MPR RI, 2004:
16)
Selanjutnya tedapat lembaga negara Majelis
Permusyawaratan rakyat (MPR). Berdasarkan UUD 1945 bab
II pasal 2 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
dijelaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam lima tahun di ibukota negara. Segala putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara
terbanyak (MPR RI, 2004: 3).
Berdasarkan UUD 1945 bab VIIA pasal 22C tentang
Dewan Perwakilan Daerah, dijelaskan bahwa anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari
setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh
anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan
Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun. Berdasarkan UUD 1945 bab VII pasal 19 tentang
Dewan Perwakilan Rakyat, menjelaskan bahwa anggota
9
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun (MPR RI, 2004: 11-13).
Berdasarkan UUD 1945 bab III pasal 4 tentang Dewan
Kekuasaan Pemerintahan Negara, dijelaskan bahwa
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan menurut
Undang-Undang Dasar. Dalam melaksanakan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Dan
pasal 6 menjelaskan bahwa Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (MPR RI,
2004: 4)
Di dalam ketatanegaraan sesudah UUD 1945
diamandemen terdapat kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Hakim Agung harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan perwakilan
10
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan
wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim
agung. Untuk selanjutnya Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela. Anggota Komisi yudisialdiangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
perwakilan rakyat, dan tiga orang oleh presiden. Ketua
dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara (MPR RI,
2004: 16-18).
2.2 Fungsi Masing-Masing Lembaga-Lembaga Negara dari
Sebelum sampai Setelah UUD 1945 diamandemen
2.2.1 Sebelum UUD 1945 diamandemen
Pada bagian ini akan dipaparkan secara jelas
mengenai fungsi lembaga-lembaga negara sebelum UUD 1945
diamandemen. Berikut ini penjelasan fungsi masing-
masing lembaga-lembaga negara sebelum UUD 1945
diamandemen. MPR melakukan sepenuhnya
11
kedaulatan rakyat, karena itu memegang kekuasaan
tertinggi Sebagai badan yang melakukan kedaulatan
rakyat, MPR memegang kekuasaan negara tertinggi
(Penjelasan Umum UUD 1945). Bahkan dalam Penjelasan
Pasal 3 dikatakan,”Oleh karena Majelis Permusyawaratan
Rakyat memegang kedaulatan negara kekuasaannya tidak
terbatas...”.
Mengenai kekuasaan, UUD 1945 memuat 4 kekuasaan
pokok MPR yaitu menetapkan UUD, menetapkan GBHN,
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, dan
mengubah UUD. Dalam ketetapan MPR (antara lain TAP
No.I/MPR/1983) kekuasaan ini dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok tugas dan kelompok wewenang.
Yang termasuk tugas MPR adalah menetapkan UUD,
menetapkan GBHN, memilih dan mengangkat Presiden dan
Wakil Presiden. Sedangkan kekuasaan mengubah UUD
dikelompokkan sebagai wewenang. Selain mengubah UUD,
Ketetapan MPR tersebut menentukan juga wewenang lain
yang tidak diatur secara tegas dalam UUD yaitu:
1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat
dibatalkan oleh lembaga-lembaga negara yang lain
2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran
atas putusan-putusan Majelis
3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden
12
4. Meminta pertanggungjawaban Presiden/Mandataris
mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai
pertanggungjawaban tersebut
5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam
masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris
sunggu-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau
UUD
6. Menetapkan Tata Tertib Majelis
7. Menetapkan pimpinan Majelis yang dipilih dari dan
oleh anggota
8. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang
melanggar sumpah/janji
Sistem ketatanegaraan R.I berdasarkan UUD 1945
memiliki dua badan perwakilan rakyat tingkat Pusat –
MPR dan DPR. Kedua badan perwakilan ini secara
kelembagaan terpisah satu sama lain – yang satu tidak
merupakan bagian dari yang lain. Sistim perwakilan yang
unik, karena tidak dijumpai pada sistem ketatanegaraan
di negara lain. Tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan DPR. (Pasal 20 ayat 1). Ketetapan ini erat
berkaitan dengan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan DPR”.
Pasal 5 ayat (1) menunjukkan adanya kekuasaan
bersama, “Shared power”, antar Presiden dan DPR dalam
membentuk undang-undang. Demikian, persetujuan DPR
bukanlah menunjukkan bahwa Presiden mempunyai kekuasaan
13
lebih besar dari DPR dalam membentuk undang-undang. DPR
mempunyai hak inisiatif untuk mengajukan Rancangan
Undang-undang. DPR juga memberikan persetujuan dalam
hal Presiden membuat perjanjian dengan negara lain
(dalam bidang-bidang tertentu). Tugas umum lain DPR
adalah mengawasi jalannya pemerintahan. Untuk
menjalankan tugas dan kewajiabannya, DPR dilengkapi
dengan berbagai hak yaitu hak meminta keterangan kepada
Presiden, hak mengadakan penyelidikan, hak mengadakan
perubahan atas RUU, hak mengajukan pernyataan pendapat,
hak mengajukan/menganjurkan seseorang jika ditentukan
oleh suatu Peraturan Perudang-undangan, hak budget dan
hak mengajukan Rancangan Undang-undang. Sedangkan hak-
hak anggota adalah hak mengajukan pertanyaan, hak
protokol dan hak keuangan/administratif.
Selanjutnya terdapat eksekutif yaitu Presiden.
Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif)
tertinggi, Presiden menjalankan kekuasaan dalam bidang
pemerintahan (eksekutif). Sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif, Presiden beserta seluruh unsur administrasi
negara lainnya, menyelenggarakan pemerintahan sehar-
hari. Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari mencakup
semua lapangan administrasi negara, baik yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan,
ketentuan-ketentuan tidak tertulis maupun berdasarkan
kebebasan bertindak untuk mencapai tujuan pembentukan
pemerintahan seperti diamanatkan oleh Pembukaan UUD,
14
yaitu: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadialna sosial”.
Pada saat itu, menjalankan pemerintahan termasuk
menyelenggarakan pembangunan nasional secara berencana
yang dituangkan dalam REPELITA, yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. REPELITA disusun berdasarkan GBHN.
Pelaksaan tahunan REPELITA dituangkan dalam UU APBN.
Dalam rangka menyelenggarakan pembangunan, MPR
memberikan tugas dan wewenang khusus kepada Presiden
(terakhir diatur dalam TAP No.VI/MPR/1988) untuk:
1. Meneruskan pelaksanaan pembangunan lima tahun
2. Meneruskan penertiban dan pendayagunaan aparatur
negara
3. Meneruskan menata dan membina kehidupan
masyarakat agar sesuai dengan Demokrasi Pancasila
4. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan
aktif dengan orientasi pada kepentingan nasional
5. Mengambil segala langkah yang perlu demi
penyelamatan dan terpeliharanya persatuan dan
kesatuan bangsa serta mencegah dan
tertanggulanginya gejolak-gejolak sosial dan
bahaya terulangnya G-30-S/PKI dan bahaya
subversi lainnya.
15
Khusus mengenai penggunaan wewenang tersebut angka
(5), diatur pula pembatasan-pembatasanya, yaitu:
1. Mengindahkan hak warga negara serta ketentuan
hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
2. Segara diberitahukan kepada DPR dan
dipertanggungjawabkan kepada MPR
Kekuasaan Presiden dibidang perundang-undangan
menjelma dalam berbagai bentuk, yaitu pembentukan
Undang-undang, pembentukan Peraturan Pemerintah
(sebagai) Pengganti Undang-undang (Perpu), Peraturan
Pemerintah (PP), dan Keputusan Presiden (Keppres).
Kemudian kekuasaan di bidang kekuasaan kehakiman,
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi.
Di dalam ketatanegaraan di Indonesia terdapat
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tugas BPK secara jelas
diatur dalam Pasal 23 ayat (5) dan yang diatur dalam
Penjelasan, dijadikan tugas-tugas yang terpisah. Pasal
2 UU No.5 Tahun 1973 menentukan (antara lain):
1. Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa
tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara.
2. Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa
semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Dari ketentuan di atas, ada dua tugas pokok BPK,
yaitu: Pertama; memeriksa tangung jawab keuangan
negara. Kedua; memeriksa tanggung jawab pelaksanaan
16
APBN. Kedua tugas pokok tersebut diatur (ditegaskan)
dalam TAP No.VI/MPR/1973 (antara lain):
1. Badan Pemeriksa Keuangan adalah Badan yang
memerikasa tanggung jawab tentang keuangan negara,
yang dalam pelaksanaan tugasnya lepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, akan tetapi
tidak berdiri sendiri di atas Pemerintah.
2. Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa semua
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Lembaga negara di ketatanegaraan R.I terdapat
Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam rangka mengatur
susuna DPA yang lebih sesuai dengan UUD 1945,
ditetapkan UU No.3 Tahun 1967 jo.UU No.4 Tahun1978 dan
Tap No. III/MPR/1978 (Tap No.VI/MPR/1973). Tap MPR ini
sekedar menegaskan ketentuan UUD 1945 yaitu:
1. DPA adalah sebuah Badan Penasehat Pemerintah
2. DPA berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan
Presiden
3. DPA berhak mengajukan usul dan wajib memberikan
pertimbangan kepada pemerintah
Nasehat atau usuk-usukl DPA tidak mengikat (secara
hukum) Presiden atau Pemerintah.
Dan yang terakhir di dalam ketatanegaraan R..I
adalah Mahkamah Agung (MA). Pelaksanaan UU No.14 Tahun
1970, khususnya tentang Mahkamah Agung diatur dalam UU
17
No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Wewenang
Mahkamah Agung adalah:
1. Memeriksa dan memutus:
a) permohonan kasasi
b) sengketa kewenangan
c) permohonan peninjauan kembali putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
2. Menguji secara materiil peraturan perundang-
undangan yang tingkatannya lebih rendah dari
undang-undang
3. Memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal
asing dan muatannya oleh kapal perang R.I
4. Memberi nasehat hukum kepada Presiden dalam rangka
pemberian grasi
5. Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik
diminta atau tidak diminta kepada Lembaga Tinggi
Negara yang lain.
6. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan, meminta keterangan
mengenai hal-hal teknis peradilan, memberi
petunjuk, tegoran atau peringatan pada semua
lingkungan peradilan (Philipus M. Hadjon dkk,
2005: 80-89).
2.2.2 Setelah UUD 1945 diamandemen
18
Pada bagian ini akan dipaparkan secara jelas
mengenai fungsi lembaga-lembaga negara setelah UUD 1945
diamandemen. Berikut ini penjelasan fungsi masing-
masing lembaga-lembaga negara sebelum UUD 1945
diamandemen.
Di dalam ketatanegaraan negara Republik Indonesia
yang menduduki posisi tertinggi adalah UUD 1945.
Selanjutnya terdapat lembaga negara yang memeriksa
keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berdasarkan UUD 1945 bab VIIIA pasal 23E tentang Badan
Pemeriksa Keuangan, dijelaskan bahwa untuk memeriksa
keuangan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksaan Keuangan yang bebas dan
mandiri. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai
dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan tersebut
ditindak lanjuti oleh lembaga perwakilan/atau badan
sesuai dengan undang-undang (MPR RI, 2004: 15).
Lembaga negara selanjutnya adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa wewenang MPR
adalah mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
[Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37], melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden [Pasal 3 ayat (2)],
Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 3
ayat (3)], memilih Wakil Presiden dari dua calon yang
19
diusulkan oleh presiden dalam hal terjadi kekosongan
wakil Presiden [Pasal 8 ayat (2)], memilih Presiden dan
Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden
dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai
berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan [Pasal 8 ayat (3)] (MPR RI, 2002: 7).
Di dalam MPR terdapat Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan UUD 1945 bab VIIA
pasal 22D tentang Dewan Perwakilan Daerah, dijelaskan
bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dewan Perwakilan
Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan
20
Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan
dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Dewan
Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti (MPR
RI, 2004: 13-14).
Fungsi, wewenang, dan hak Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) ,antara lain memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan [Pasal 20A (1)],
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat [Pasal 20A (2), mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal
7B (1)], persetujuan dalam menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian [Pasal 11 (1) dan (2)],
pemberian pertimbangan kepada Presiden dalam menerima
penempatan duta negara lain [Pasal 13 (3)], pemberian
pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti
dan abolisi [Pasal 14 (2)], Persetujuan atas perpu
[Pasal 22 (2)], pembahasan dan persetujuan atas RAPBN
yang diajukan oleh Presiden [Pasal 23 (2) dan (3)],
pemilihan anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan
21
DPD [Pasal 23F (1)], persetujuan calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY [Pasal 24A (3)], persetujuan
pengangkatan dan pemberhentian anggota KY [Pasal 24B
(3)], pengajuan tiga orang calon hakim konstitusi
[Pasal 24C (3)] (MPR RI, 2002: 17).
Pejabat eksekutif di ketatanegaran R.I adalah
Presiden dan Wakil Presiden. Wewenang, kewajiban, dan
hak Presiden dan Wakil Presiden, antara lain memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4 (1)],
berhak mengajukan RUU kepada DPR [Pasal 5 (1)],
menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 (2)], memegang
teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa [Pasal 9 (1)], memegang kekuasaan yang tertinggi
atas AD, AL, dan AU (Pasal 10), menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
dengan persetujuan DPR [Pasal 11 (1)], membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [Pasal
11 (2)], menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12),
mengangkat duta dan konsul [Pasal 13 (1)] dalam
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
DPR [Pasal 13 (2)], menerima penempatan duta negara
lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13
22
(3)], memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan MA [Pasal 14 (1)], memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
DPR [Pasal 14 (2)], memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur dalam UU (Pasal
15), membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden
(Pasal 16), pengangkatan dan pemberhentian menteri-
menteri [Pasal 17 (2)], pembahasan dan pemberian
persetujuan atas RUU bersama DPR [Pasal 20 (2)] serta
mengesahkan RUU [Pasal 20 (4)], hak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti UU dalam
kepentingan yang memaksa [Pasal 22 (1)], pengajukan RUU
APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan