BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun saluran cerna. Infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1 Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan dokter. Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinis
akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri
sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang
sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan
masif di rongga perut maupun saluran cerna. Infeksi, obstruksi atau strangulasi
saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi
rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan dokter. Di Indonesia
ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia inkarserata, sedangkan ileus
paralitik sering disebabkan oleh peritonitis. Keduanya membutuhkan tindakan
operatif. 1
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Di
Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 orang menderita ileus setiap
tahunnya. Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif
tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004
menurut bank data Departemen Kesehatan Indonesia. 2
1
Dalam beberapa penelitian juga ditemukan ileus paralitik merupakan
komplikasi terbesar yang sering terjadi pasca operasi arteri koronaria yaitu
mencapai 23% dari 65 kasus dan 1% pada setelah pembedahan ginekologi. 3,4
Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar.
Keduanya memiliki cara penanganan yang agak berbeda dengan tujuan yang
berbeda pula. Obstruksi usus halus yang dibiarkan dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi usus dan memicu iskemia, nekrosis, perforasi dan kematian,
sehingga penanganan obstruksi usus halus lebih ditujukan pada dekompresi dan
menghilangkan penyebab untuk mencegah kematian. 2
Mengingat penanganan ileus dibedakan menjadi operatif dan konservatif,
maka hal ini sangat berpengaruh pada mortalitas ileus. Operasi juga sangat
ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang sesuai, skills, dan
kemampuan ekonomi pasien. Hal-hal yang dapat berpengaruh pada faktor-faktor
tersebut juga akan mempengaruhi pola manajemen pasien ileus yang akhirnya
berpengaruh pada mortalitas ileus. Faktor-faktor tersebut juga berpengaruh
dengan sangat berbeda dari satu daerah terhadap daerah lainnya sehingga menarik
untuk diteliti mortalitas ileus pada pasien yang mengalami operasi dengan pasien
yang ditangani secara konservatif. 2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah diharapkan dapat menjadi salah satu
referensi khasanah kepustakaan mengenai ileus paralitik baik dari segi definisi,
2
etiologi, patogenesis maupun penatalaksanaan yang digunakan, dengan
menitikberatkan pada aspek kefarmasian termasuk penulisan resep.
1.3 Definisi
Ileus paralitik adalah istilah gawat abdomen yang biasanya timbul
mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Menurut Frost ileus didefinisikan
sebagai hambatan fungsional dari aktivitas usus sebagai pendorong. 5
1.4 Etiologi
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya ileus paralitik
Meningkatkan sekresi prolaktin, galaktore, gejala ekstrapiramidal lebih jarang terjadi dibanding metoklopramid.
Nyeri perut, borborismi, diare, pusing, sakit kepala, somnolen, kelelahan. Gejala peningkatan prolaktin dan gejala ekstrapiramidal lebih jarang terjadi dibanding metoklopramid.
perforasi, penderita yang mendapat pengobatan dengan obat-obat yang dapat menimbulkan gangguan ekstrapiramidal, kanker payudara.
Depresi SSP, hipersensitivitas, hati-hati jika diberikan pada penderita dengan penyakit hati, reaksi diskinesia, hipokalemia, dan penyakit jantung.
Obstruksi mekanik, perdaraha saluran cerna, perforasi, wanita hamil dan menyusui, penyakit jantung
2.5. Pilihan Obat dan Alternatif Obat yang Digunakan
Injeksi, absorpsi kurang jika diberikan melalui oral, dibutuhkan dosis 30 kali lebih besar dibanding pemberian secara injeksi. Selain itu, karena pasien dirawat di rumah sakit dan memakai infus, sehingga pemberian secara injeksi lebih efektif.
Injeksi karena pasien masih mengeluh adanya muntah, sehingga pasien akan merasa lebih nyaman dan lebih efektif jika diberikan secara injeksi. Selain itu, pasien juga dipuasakan untuk sementara.
Sediaan yang tersedia hanya tablet
4. Dosis 10 mg/kali diberikan 30 menit sebelum makan dan menjelang tidur malam
2 x 10 mg/ hari
5. Dosis kasus tersebut dan alasannya
10 mg/kali alasannya diharapkan dengan dosis tersebut mampu mengurangi gejala berupa mual dan muntah.
10 mg/kali alasannya diharapkan dengan dosis tersebut mampu mengurangi gejala berupa mual dan muntah.
6. Frekuensi pemberian Jika muntah masih sering terjadi dapat diberikan 3 kali sehari.
Jika muntah masih sering terjadi dapat diberikan 3 kali sehari.
7. Cara pemberian dan alasannya
Intravena karena pasien dipuasakan untuk sementara.
Sediaan yang tersedia hanya tablet
8. Saat pemberian dan alasannya
Sebelum makan karena absorbsi lebih baik
Sebelum makan karena absorbsi lebih baik
9. Lama pemberian 3 hari selama masih ada gejala
3 hari selama masih ada gejala
13
2.6. Resep yang benar dan rasional untuk kasus tersebut
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH TINGKAT IKALIMANTAN SELATAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANJARBARU
Nama Dokter : dr. Gudeyu Tanda Tangan Dokter :NIP : 19891209UPF/Bagian : IGD
Banjarbaru, 22 Maret 2013
R/ Prostigmin amp No III Metoklopramid HCl amp No II RL No II D10 No II S i.m.m
R/ NGT 16 No I Infussion Set makro No I Surflo 18 No I Spuit 3 cc No III Spuit 5 cc No III S i.m.m
Pengendalian obat dilakukan bertujuan agar pasien benar-benar
memperoleh hasil terapi yang optimal dengan efek samping yang minimal dengan
cara memperhatikan dosis, frekuensi pemberian, cara pemberian, lama pemberian,
dan efek samping. Bila timbul efek samping, obat dapat dihentikan dan diganti
dengan obat lain yang khasiatnya sama.
Suatu aturan dosis yang dirancang dengan tepat merupakan usaha untuk :
1. Mencapai konsentrasi obat optimum pada reseptor
2. Menghasilkan respons terapeutik optimum
3. Menghasilkan efek merugikan yang minimum
Pilihan obat yang digunakan pada kasus ini ada 2 macam yaitu
antikolinesterase untuk mengembalikan motilitas usus yang diduga mengalami
kelumpuhan akibat pemberian obat antidiare sebelumnya dan antiemetik yang
diberikan jika pasien masih mengalami mual dan muntah. Pasien juga diberikan
asupan cairan intravena untuk mencegah timbulnya syok dan gangguan
keseimbangan elektrolit akibat hilangnya cairan baik melalui muntah maupun
penurunan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah akibat peningkatan
tekanan intralumen.
16
Pemilihan obat injeksi untuk terapi pada pasien ini selain karena pasien
dipuasakan untuk sementara juga karena pada pasien ini terpasang infus, sehingga
pemberian obat melalui intravena cukup efektif. Selain itu obat seperti prostigmin
diabsorpsi kurang baik melalui saluran cerna, sehingga pemberian melalui
intravena lebih baik.
Neostigmin (prostigmin) merupakan senyawa aluminium kwartener yang
merupakan penghambat kolinestrase reversible yang dapat mengantagonis
hambatan kompetitif pada sambungan saraf otot melalui preservasi asetikolin
endogen maupun efek langsungnya. Neostigmin memiliki khasiat muskarin agak
kuat, yang jauh melebihi efek nikotinnya yang sangat ringan, sehingga dapat
diindikasikan pada kasus-kasus atonia otot polos, termasuk saluran cerna23.
Pada pasien ini pemilihan neostigmin sebagai antikolinesterase untuk
mengembalikan motilitas usus dikarenakan untuk obat miostat (kharbacol) tidak
bisa diberikan secara intravena, sedangkan pasien masih dipuasakan untuk
sementara sehingga pemberian secara intravena dirasa lebih efektif dibanding
pemberian melalui saluran cerna24.
Sebagai antiemetik diberikan metoklopramid yang diberikan jika pasien
masih mengeluhkan mual dan muntah. Metoklopramid memiliki efek
antidopaminergik di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan juga dapat
meningkatkan motilitas saluran cerna. Obat ini merangsang motilitas saluran
cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi lambung, empedu, dan pankreas. Hal
ini diduga karena peningkatan pembebasan asetilkolin dan tidak bergantung pada
inervasi vagal. Selain itu, metoklopramid juga meningkatkan tekanan sfingter
17
esofagus bagian bawah dan meningkatkan kecepatan pengosongan lambung
Metoklopramid secara cepat diabsorpsi dengan baik di saluran cerna. Konsentrasi
puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Waktu paruh
eliminasi obat adalah 5-6 jam. Metabolisme obat di hati sedikit sekali dan
diekskresikan melalui ginjal serta ditemukan di urin kurang lebih 20% dari total
bersihan dalam bentuk utuh. Adanya gangguan ginjal mempengaruhi bersihan
obat ini. Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa penurunan bersihan
kreatinin erat kaitannya dengan penurunan bersihan plasma dan ginjal serta
meningkatkan waktu paruh eliminasi24.
Selain metoklopramid dapat diberikan antiemetik lain yaitu cisaprid
ataupun domperidon. Pada pasien ini pemilihan metoklopramid sebagai
antiemetik dikarenakan untuk obat cisaprid dan domperidon tidak bisa diberikan
secara intravena, sedangkan pasien masih dipuasakan untuk sementara sehingga
pemberian secara intravena dirasa lebih efektif dibanding pemberian melalui
saluran cerna.
18
Daftar pustaka
1. Sjamsuhidajat R, Dahlan M, Jusi D. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003.
2. Simade brata dkk. Gastro Enterologi dalam Pedoman Dignosis dan Terapi Dibidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI, 1999 : 32,33
3. Fanning James, DO Rod Hojat, MD. Safety and Efficacy of Immediate Postoperative Feeding and Bowel Stimulation to Prevent Ileus After Major Gynecologic Surgical Procedures. J Am Osteopath Assoc. 2011;111(8):469-472.
4. Vohra Hunaid A, Shakil Farid, Toufan Bahrami and Jullien AR Gaer. Predictors of survival after gastrointestinal complications in bypass grafting. Asian Cardiovascular & Thoracic Annals, 2011;19(1) 27–32.
5. Frost EAM. Preventing paralytic ileus: can the anesthesiologist help. M.E.J. Anesth,2009; 20(2): 159-165.
6. Johnson Michael D.,MD, R. Matthewwalsh, MD.Current therapies to shorten postoperative ileus. Clevand Clinic Jornal Of Medicine.2009;76 (1): 641-648
7. Trice and filson. Usus Kecil Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4 alih bahasa dr. Peter anugerah. Jakarta : EGC, 1995 : 402,405
8. Grace and boeley. Obstruksi Usus dalam at a glance Ilmu Bedah edisi 3. Jakrta : EMS,2005 : 116-117
9. Fiedberg B, Antillon M. Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas J, Windle WL, Li BUK, Schwarz S, and Altschuler S. http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
19
10. Basson, MD. Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, JB, Talavera F, Mechaber AJ, and Katz J. http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
11. Anonymous. Mechanical Intestinal Obstruction. http://www.Merck.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
12. Anonymous. Ileus. http://www.Merck.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
13. Leaper DJ, Peel ALG, McLatchie GR, and Kurup V. Oxford handbook of clinical surgery. Editor: McLatchie GR, Leape D. 2nd Edition. London: Oxford University Press, 2002.
14. Hebra A, Miller M. Intestinal Volvulus. Editor: DuBois JJ, Konop R, Li BUK, Schwarz S and Altschuler S. http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
15. Chahine AA. Intussusception. Editor: Nazer H, Windle ML, Li BUK, Schwarz S and Altschuler S. http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
16. Shukia PC. Volvulus. Editor: DuBois JJ, Konop R, Piccoli D, Schwarz S and Altschuler S. http://www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
17. Levine BA, Aust JB. Buku Ajar Bedah Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston DC. Alih bahasa: Andrianto P, Timan IS. Editor bahasa: Oswari J. Jakarta: EGC, 1992.
18. Trice and filson. Usus Kecil Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Alih bahasa: Anugerah P. Jakarta: EGC, 1995.
19. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.
20. Price SA. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price SA, McCarty L, Wilson. Editor: Wijaya C. Jakarta: EGC, 1994.
21. Browse, Norman L. An Introduction to the Symptoms and Signs of Surgical Disease. 3rd Edition. London: Arnold, 1997.
22. Anonym. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Lab/UPF Ilmu Bedah. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya, 1994
20
23. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obatan Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya Edisi 6. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008.
24. Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Universitas Sriwijaya. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Editor: Raharjo R. Jakarta: EGC, 2004