12 Edisi 8 - 14 Juni 2016 No.3658 Tahun XLVI jelajah Inovasi Tim Jelajah Inovasi berfoto bersama petani lada Lhokseumaweh Kompleks Pemakaman Malikulssaleh, Penyebar Islam Pertama di Indonesia Goa Jepang di Blangpanjang, Lhokseumaweh Kilang Minyak Arun, Lhokseumaweh A da komoditi yang melegenda di Provinsi Nanggroe Aceh Darus- salam (NAD). Tanam- an lada namanya, ia tumbuh di Serambi Mekkah, menjadi bagian penting perjalanan perjuangan rakyatnya. Bermodal sicupak (sicupak: alat ukur masyarakat Aceh yang kira-kira sama dengan 500 gram) bisa ditukar dengan sebuah meriam dari Kesultanan Turki. Ini menandakan begitu bernilainya lada dalam per- dagangan ketika itu. Lalu sekarang bagaimana lada Aceh? Masa keemasan lada Aceh telah berlalu, produksinya menurun drastis hingga nyaris lenyap di kancah perdagangan lada dunia. Namun seperti kata petuah,”sejarah akan terulang lagi”. Semangat inilah yang dipakai oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh untuk kembali membangkitkan kejayaan itu. Pekan lalu, alhamdulillah Jelajah Inovasi berhasil berkunjung di tanah rencong itu. Hujan yang terus mengguyur sebagian besar wilayah NAD tidak melemahkan semangat untuk menguak ber- Sicupak Lada Membangun Serambi Mekkah bagai rintisan kebangkitan lada yang sedang dilaksanakan oleh BPTP Aceh. Selama tiga hari liputan ini berlangsung, Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar, MSi, setia mendampingi sekaligus memberikan berbagai informasi yang diperlukan. Daerah yang menjadi sasaran adalah Kota Lhokseumawe yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Untuk sampai ke sana, tim jelajah inovasi membutuhkan waktu sekitar 5 jam dari Banda Aceh untuk tiba di Desa Blang Manyang, Lhokseumawe. Di desa inilah kami menemukan petani yang tiada pernah menyerah untuk menangkarkan bibit dan mengembangkan lada. Dia adalah M. Yusuf (64 tahun) yang telah puluhan tahun bergelut dengan lada dan kini didukung oleh anaknya, Mulyadi Saputra. Bibit lada yang mereka perbanyak kini telah menyebar ke berbagai pelosok Aceh. Saat ini ada sekitar 70.000 bibit siap tanam tersedia di samping rumahnya. Berkolaborasi dengan BPTP Aceh, Dinas Perkebunan dan Politeknik Lhokseumawe, petani lada ini bertekad untuk kembali membangkitkan kejayaan lada. Bagi BPTP Aceh, kendati bukan komoditi prioritas, lada tetap akan menjadi kajian utama penelitian, sehingga lada akan menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat Aceh ke depan. “Kalau dulu Lhokseumawe dikenal sebagai daerah petro dollar dengan Kilang Minyak Arun yang begitu megah, ke depan sumber dollar ini akan digantikan oleh lada” ujar Basri. Optimis itu muncul setelah melihat turunnya kinerja Kilang Minyak Arun akibat cadangan minyaknya yang kian menipis. Ratusan hektar lahan yang tersebar di sekitar kilang minyak itu sangat potensial untuk pengembangan lada. Rekan-rekan jelajah perlu mengetahui bahwa Desa Blang Manyang ini berada di sekitar Kilang Minyak Arun. Setelah BPTP Aceh hadir mendampingi, petani lada di Lhokseumawe semakin yakin lada akan bangkit kembali dan tumbuh menjadi sumber ekonomi. Bermodalkan inovasi yang dibawa, Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Litbang Pertanian ini yakin bisa lebih mengembangkan lada Lhokseumawe. Apalagi Dinas Perkebunan sangat antusias untuk menggelontorkan berbagai program untuk pengembangan lada, begitu juga dengan Politeknik Lhokseumawe siap untuk mendampingi petani. Aroma kejayaan lada Aceh itu semakin terasa setelah penjelajahan ini menguak berbagai informasi dan sikap berbagai pihak yang terkait dengan pembangunan lada. Semoga, legenda lada kembali ke Serambi Mekkah. Silahkan Mampir Rekan-rekan jelajah tanah air yang sempat ke tanah rencong jangan sampai lupa untuk berkunjung ke berbagai lokasi wisata di sana. Jika masih ada yang ingat dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia, maka jangan lupa untuk ziarah ke makan Malikussaleh. Beliau merupakan sultan pertama kerajaan Islam pertama di Nusantara yakni Malikussaleh yang memerintah mulai tahun 1267 M, dengan nama aslinya adalah Meurah Silu. Setelah ziarah, rekan-rekan jelajah bisa melanjutkan pelan- congan ke Bukit Goa Jepang. Dari atas bukit inilah kita bisa menyaksikan pemandangan kawasan Kilang Minyak Arun dan masuk ke dalam Goa Jepang. Lis B alai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh sejak tahun 2001 telah melakukan serangkaian penelitian untuk komoditas lada seperti pengujian beberapa jenis mulsa terhadap pertumbuhan lada perdu, jenis tiang panjat dan pengendalian hama penyakit. Pasca tsunami tahun 2004, praktis pengkajian tentang lada mulai berkurang karena termasuk tanaman perkebunan yang memerlukan waktu lebih dari setahun ( multi year). Lada (Piper nigrum L.) bagi masyarakat Aceh merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan sejak 400 tahun lalu bahkan terkenal sampai ke Eropa (Lihat Box) . Daerah penyebarannya terutama di daerah pesisir utara - timur Aceh meliputi Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, sedangkan pesisir barat Aceh, lada banyak ditanam di Aceh Barat dan Aceh Selatan. Luas areal lada di Aceh turun drastis sejak lima puluh tahun terakhir akibat serangan hama dan penyakit terutama penyakit layu dan penyakit keriting daun. Pada tahun 1997 luas areal lada hanya tinggal 2.130 ha, sedangkan sebelum terjadi serangan hama penyakit, luas areal tanaman lada mencapai 19.932 ha. Dengan harga jual yang relatif lumayan, membuat animo masyarakat untuk menanam lada tumbuh kembali. Kini diperkirakan luas tanaman lada di Aceh sekitar 1.500 ha. Petani lada mengaku mudah sekali menjual hasil olahan lada putih dengan harga Rp 160.000 – 180.000/ kg, sedangkan lada hitam dilepas dengan harga Rp A ceh nyaris identik dengan lada, karena kalau kita buka lembaran sejarah masa lalu, Aceh dikenal sampai ke Eropa karena rempah terutama lada, pala dan cengkeh. Dikisahkan, hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Qahhar yang memerintah dari tahun 1557-1568. Pada masa itu, Sultan Salim Khan dari Turki mengikat perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Aceh dan mengirim 40 orang ahli artileri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh. Perjanjian persahabatan terus berlanjut pada masa Aceh di bawah Sultan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1586. Bahkan, pada masa itu Turki menjamin dan melindungi Kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain. Kemudian saat tahta Turki dipegang oleh Sultan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan lagi oleh sultan Aceh berikutnya yakni Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Sejarahwan H. Zainuddin menjelaskan hubungan Aceh - Turki agak merenggang pada masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda, karena lebih fokus membangun urusan dalam negeri setelah Aceh hancur dalam perang di semenanjung Malaka. Setelah rakyat Aceh benar-benar makmur, Sultan Iskandar Muda kembali membuka hubungan dengan Turki dengan menyiapkan tiga buah kapal berisi lada yang akan diserahkan ke sultan Turki sebagai hadiah dari rakyat Aceh dengan surat pengantar dalam bahasa Arab. Sultan Iskandar Muda mengutus Panglima Nyak Dum sebagai duta ke Turki bersama dua orang ahli bahasa. Singkat cerita, dalam perjalanan menuju ke Turki, ketiga kapal delegasi Aceh itu terbawa badai ke Calcuta. Beberapa lama kemudian, setelah normal kembali, mereka melanjutkan pelayaran menyusuri pantai Coromondal kemudian sampai ke Madras yang akhirnya sampai ke Turki dengan menghabiskan waktu hampir dua tahun. Akibat lamanya pelayaran, maka bekal yang dibawapun sudah habis, sehingga lada yang akan dipersembahkan untuk Sultan Turki terpaksa dijual di Bombay. Lada yang tersisa saat itu hanya sepuluh goni saja. Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada (sekitar 800 gram) dari salah satu goni itu dan membungkuskan dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada Sultan Turki dari Sultan Aceh seraya meminta maaf karena mereka mendapat musibah dalam perjalanan. Sultan Turki memaklumi hal itu, bahkan rombongan delegasi Aceh disambut dengan meriah seperti tamu agung. Saat Panglima Nyak Dum dan rombongannya pamit kembali ke Aceh, maka sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sultan Turki mengirim sebuah meriam dan alat-alat perang untuk Sultan Aceh. Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam lada sicupak. Sicupak adalah takaran umum masyarakat Aceh untuk setengah liter atau dua kai. Menurut sumber sejarah, dengan bantuan Turki, angkatan perang Aceh bertambah kuat. Senjata-senjata yang dirampas dari Portugis saat penyerangan di Pidie dan Pasai ditambah dengan bantuan Turki membuat militer Aceh menjadi kekuatan yang tangguh. Baskar/ dbs Kisah Meriam Lada Sicupak Basri A Bakar Introduksi Inovasi Bangkitkan Lada Aceh 120.000/ kg. Kepala BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar, MSi melihat tanaman lada sangat prospektif dikembangkan karena tidak menghendaki lingkungan tumbuh yang khusus dan perawatan yang rumit. Menurut Basri, lada Aceh perlu dijaga kelestariannya dari kepunahan karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas. ”Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut agar petani lada di Aceh dapat meningkatkan produksi yang lebih baik, sehingga dapat menambah pendapatan dan kesejahteraan mereka sekaligus mengangkat kembali kejayaan Aceh dalam budidaya lada”, pintanya. Untuk itu BPTP Aceh akan memperkenalkan kembali lada sebagai salah satu komoditi strategis dan bernilai ekonomis dalam even pameran terutama acara Pekan Daerah dan Pekan Nasional Kontaktani Nelayan Andalan (KTNA) dalam waktu dekat di Aceh Besar. Ia menghimbau agar lada Aceh perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait. “Jangan sampai lada Aceh hilang dari Aceh sendiri. Di Aceh ada nama Kampung Lada, tapi justru tanaman ladanya tidak lagi ditemukan,” ujarnya prihatin. Disebutkan saat ini BPTP Aceh mulai melakukan pembinaan terhadap penangkar lada, salah satunya M. Yusuf ketua kelompok tani di Desa Blang Manyang Kota Lhokseumawe yang saat ini melakukan pembibitan sekitar 70.000 bibit lada siap tanam. Guna memasyarakatkan kembali lada, pihaknya memboyong sebanyak 50 batang lada untuk ditanam di lahan visitor plot BPTP termasuk lokasi Taman Teknologi Pertanian (TTP) Kota Jantho Aceh Besar. Basri menambahkan, produktivitas lada yang saat ini relatif masih rendah dapat ditingkatkan melalui sentuhan teknologi seperti pemupukan berimbang, pemangkasan, pengendalian hama penyakit dan prosesing hasil yang lebih baik. Saat ini rata-rata perolehan hasil lada putih sekitar 1 kg per batang per tahun. “Tahun 2017, kita akan usulkan dana pengkajian lada baik APBN maupun APBA,” ujar Basri. Untuk tahun ini, BPTP Aceh mengkaji prospek penanaman lada di lahan bekas tambang. Selain itu, salah satu kerjasama yang telah dirintis BPTP adalah dengan Politeknik Lhokseumawe terutama kajian tanaman lada Aceh. Lis