Top Banner
BLOK SISTEM RESPIRASI SESAK NAPAS WRAP UP KELOMPOK B5 KETUA : Olivia Oktaviani P 1102011204 SEKRETARIS : Safitri Ambar 1102011251 ANGGOTA : Raras Mayang K 1102010231 Titis Nur Indah S 1102011282 Mazaya Indah B A 1102013165 Mochamad Alif A 1102013174 Muhammad Ansori B 1102013178 Siti Arafah N 1102013275 1
52

SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Dec 22, 2015

Download

Documents

yokkk
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

BLOK SISTEM RESPIRASI

SESAK NAPAS

WRAP UP

KELOMPOK B5

KETUA : Olivia Oktaviani P 1102011204

SEKRETARIS : Safitri Ambar 1102011251

ANGGOTA : Raras Mayang K 1102010231

Titis Nur Indah S 1102011282

Mazaya Indah B A 1102013165

Mochamad Alif A 1102013174

Muhammad Ansori B 1102013178

Siti Arafah N 1102013275

Velda Amalia A 1102013295

Widya Wira P 1102013303

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

Jakarta

2015/2016

1

Page 2: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

SKENARIO 3

SESAK NAPAS

Anak perempuan berusia 7 tahun dibawa ibunya ke klinik YARSI dengan keluhan sulit bernafas. Pasien 3 hari sebelum ke klinik demam, batuk dan pilek. Sudah minum obat namun tidak ada perubahan. Menurut ibu, pasien menderita alergi makanan terutama ikan laut. Ayah pasien juga mempunyai riwayat alergi.

Pada inspeksi terlihat pernafasan cepat dan sukar. Frekwensi nafas 48x/menit, disertai batuk-batuk paroksismal, terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraclavikula, suprasternal, epigastrium, dan sela iga. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks. Pada auskultasi bunyi napas kasar/ mengeras. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender dan wheezing. Pasien di diagnosis sebagai Asma amut episodic sering.

Penanganan yang dilakukan pemberian β-agonis secara nebulisasi. Pasien diobservasi

selama 1-2 jam, respon baik pasien dipulangkan dengan dibekali obat bronkodilator. Pasien kemudian dianjurkan control ke klinik rawat jalan untuk reevaluasi tatalaksananya.

2

Page 3: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Sasaran Belajar :

LO 1. Memahami dan mengetahui tentang asma pada anak1. 1 Definisi1. 2 Epidemiologi1. 3 Etiologi 1. 4 Klasifikasi1. 5 Patogenesis dan Patofisiologi1. 6 Manifestasi Klinis1. 7 Diagnosis dan Diagnosis Banding1. 8 Tatalaksana1. 9 Komplikasi1.10 Prognosis1.11 Pencegahan

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Inhalasi Asma Pada Anak

3

Page 4: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

LO 1. Memahami dan Menjelaskan tentang asma pada anak

1. Definisi

Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada kebanyakan orang.

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic, cenderung pada malam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwyat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.

2. Epidemiologi

Terdapat kesulitan dalam mengetahui sebab dan cara mengontrol asma. Pertama, timbul akibat perbedaan perspektif mengenai definisi asma serta metode dan data penelitiannya. Kedua, diagnosis asma biasanya berdasarkan hasil kuesioner tentang adanya serangan asma dan mengi saja tanpa disertai hasil tes faal paru untuk mengetahui adanya hiper reaksi bronkus (HRB). Ketiga, untuk penelitian dipakai definisi asma berbeda-beda. Woodcock (1994) menyebut asma akut (current asthma) bila telah ada serangan dalam 12 bulan terakhir dan terdapat HRB: asma persisten, bila terus menerus terdapat gejala dan HRB: sedangkan asma episodik bila secara episodik dijumpai gejala asma tanpa adanya HRB pada tes provokasi. Keempat, angka kejadian dari penelitian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan objek penelitian yaitu faktor lokasi (negara, daerah, kota atau desa), populasi pasien (masyarakat atau sekolah / rumah sakit, rawat inap atau rawat jalan), usia (anak, dewasa) cuaca (kering atau lembab), predisposisi (atopi, pekerjaan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu dingin, kegiatan fisik), dan tingkat berat serangan asma.

Dilaporkan adanya peningkatan prevalensi asma di seluruh dunia secara umum dan khususnya peningkatan frekuensi perawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi. Penyebab terjadinya hal ini diduga disebabkan peningkatan kontak dan interaksi alergen di rumah (asap, merokok pasif) dan atmosfir (debu kendaraan). Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. Prevalensi asma di Jepang dilaporkan meningkat 3 kali dibanding tahun 1960 yaitu dari 1,2% menjadi 3,14%, lebih banyak pada usia muda. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi, mengi dan HRH menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daerah lembab (Belmont) dari 4,4%(1982) menjadi 11,9% (1992). Singapura dari 3,9% (1976) menjadi 13,7%(1987), di Manila 14,2% menjadi 22.7% (1987). Data dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5%, mengi 2%, HRH 4%.

Serangan asma juga semakin berat, terlihat dari meningkatnya angka kejadian asma rawat inap dan angka kematian. Asma juga merubah kualitas hidup penderita dan menjadi sebab peningkatan absen anak sekolah dan kehilangan jam kerja. Biaya asma sebesar F. 7.000 Milyard di Perancis yaitu 1% dari biaya pemeliharaan kesehatan langsung ataupun tidak langsung meningkat terus . Penelitian di Indonesia tersering menggunakan kuesioner dan jarang dengan pemeriksaan HRB. Hampir semuanya dilakukan di lingkungan khusus misalnya di sekolah atau rumah sakit dan jarang di lingkungan masyarakat. Dilaporkan pasien asma dewasa di RS Hasan Sadikin berobat jalan tahun 1985-1989 sebanyak 12.1% dari jumlah 1.344 pasien dan 1993 sebanyak 14,2% dari 2.137 pasien. Pada perawatan inap

4

Page 5: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

4,3% pada 1984 / 1985 dan 7,5% pada 1986-1989. Pasien asma anak dan dewasa di Indonesia diperkirakan sekitar 3-8%, Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7,6%. Hasil penelitian asma pada anak sekolah berkisar antara 6,4% dari 4.865 anak (Rosmayudi, Bandung 1993), dan 15,15% dari 1.515 anak (multisenter, Jakarta).

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada juga yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antar kota. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7%.

3. Etiologi

Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor

genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawatdi rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008).

Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta

5

Page 6: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4,D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.

Faktor resiko :

a. Jenis KelaminAnak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Pada orang dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.

b. UsiaAsma pertama kali timbul pada usia muda. 25% anak asma presisten mendapat mengi pada usia <6bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun.

c. Riwayat atopiSensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama kehidupan merupakan predictor utama timbulnya asma.

d. LingkunnganAdanya alergen di lingkungan anak meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur dan kecoa

e. RasPrevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.

f. Asap rokokPrevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan.

g. Outdoor air politonDiduga adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan system imun anak terangsang melalui jejak Th1. Saat ini teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis.

h. Infeksi respiratorikInfeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik dapat memberikan anak proteksi terhadap asma.

4. Klasifikasi

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA :

1. Intermiten

6

Page 7: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

gejala kurang dari 1 kali/minggu serangan singkat gejala nocturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (<2 kali)

2. Persisten ringan

Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur Gejala nocturnal >2 kali/bulan

3. Persisten sedang

Gejala terjadi setiap hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur Gejala nocturnal > 1 kali dalam seminggu

4. persisten berat

Gejala terjadi setiap hari Serangan sering terjadi Gejala asma nocturnal sering terjadi

Pembagian yang dibuat Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri Internasiolnal III tahun 1998) :

1. Asma episodic jarang

75%populasi asma pada anak Episode <1x tiap 4-6 minggu Mengi setelah aktivitas berat Tidak dibutuhkan terapi profilaksis

2. Asma episodic sering

20% populasi asma Frekuensi serangan lebih sering Mengi pada aktivitas sedang tapi bisa dicegah dengan pemberian agonis-β2 Terjadi <1x/minggu Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan

3. Asma persisten

5% anak asma Seringnya episode akut Mengi pada aktivitas ringan Diantara interval gejala dibutuhkan agonis-β2 >3x/minggu Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

Tabel 1. Klasifikasi menurut Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia

Parameter klinis, kebutuhan obat

Asma episodic jarang (Asma

Asma episodic sering (Asma

Asma Presisten (Asma berat)

7

Page 8: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

dan faal paru ringan) sedang)1. Frekuensi

serangan2. Lama serangan

3. Diantara serangan

4. Tidur dan aktivitas

5. PF diluar serangan

6. Obat pengendali

7. Uji faal paru

8. Variabilitas faal paru

<1x/bulan

<1 minggu

Tanpa gejala

Tidak terganggu

Normal

Tidak perlu

PEF/FEV1 >80%

>15%

>1x/bulan

>1 minggu

Sering ada gejala

Sering terganggu

Mungkin terganggu

Nonsteroid/steroid hirupan dosis rendahPEF/FEP1 60-80%

>30%

Sering

Hampir sepanjang tahunGejala siang dan malam

Sangat terganggu

Tidak pernah normal

Steroid hirupan/ oral

PEV/FEP1 <60% Variabilitas 20-30%>50%

5. Patogenesis dan Patofisiologi

PATOGENESISAsma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan

terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.        

INFLAMASI AKUT          Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan  yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. 

Reaksi Asma Tipe CepatAlergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

Reaksi Fase LambatReaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

  INFLAMASI KRONIK

8

Page 9: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag  , sel mast,  sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.

Limfosit TLimfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas  dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

EpitelSel epitel yang teraktivasi mengeluarkan  a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa,mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

EOSINOFILEosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi.  Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) daneosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

Sel MastSel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkanpreformed mediator seperti  histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain  prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

 

9

Page 10: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Gambar 1. Inflamasi dan remodeling pada asma 

MakrofagMerupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l  sekresigrowth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-b.

 AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan  tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui  dikenal dengan airway remodeling.  Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :•        Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas•        Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

10

Page 11: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

•        Penebalan membran reticular basal•        Pembuluh darah meningkat•        Matriks ekstraselular fungsinya meningkat•        Perubahan struktur parenkim•        Peningkatan  fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

 

Gambar 2. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis 

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding inflammation).

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahamanairway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. 

11

Page 12: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya Airway remodeling

Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan asma. Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma seperti lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi dan remodeling.

Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic growth factors terutama TGF-b dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet-derived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator tersebut, TGF-b adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial, sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF-b dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkanremodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.

Teori TH-2 dan EMTUTeori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan binatang yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma.Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-4) yang dianggap berperan penting dalamremodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi .interaksinya dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya airway remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu postulat bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik.

  

12

Page 13: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

 Gambar 3. Interaksi Th-2 dan EMTU pada patogenesis asma

PATOFISIOLOGI ASMA

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.

Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus danbronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

13

Page 14: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

6. Manifestasi Klinis

Pada serangan asma Pada serangan asma Pada serangan asma Pada serangan

14

Page 15: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

ringan sedang berat tanpa disertai ancaman henti nafas

asma berat disertai ancaman henti nafas

Anak tampak sesak saat berjalan

Anak tampak sesak saat berbicara

Anak tampak sesak saat beristirahat.

Kesadaran: kebingungan.

Pada bayi: menangis keras.

Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan

Posisi anak: duduk bertopang lengan.

Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa)

Posisi anak: bisa berbaring

Posisi anak: lebih suka duduk

Dapat berbicara dengan kata-kata.

Mengi sulit atau tidak terdengar

Dapat berbicara dengan kalimat

Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/ terputus.

Kesadaran: biasanya irritable

Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal

Kesadaran: mungkin irritable

Kesadaran: biasanya irritable.

Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa)

Retraksi dangkal/hilang.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa)

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi

Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).

Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.

Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi

Menggunakan otot bantu pernafasan.

Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).

Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.

Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung

Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

Retraksi interkostal dan dangkal.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).Frekuensi nadi: normal.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

Frekuensi nadi: cepat (takikardi).Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)

15

Page 16: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)

Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)

SaO2 % sebesar < 90 %.

SaO2 % > 95%. SaO2 % sebesar 91-95%.

PaO2 < 60 mmHg.

PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.

PaO2 > 60 mmHg. PaCO2 > 45 mmHg

PaCO2 < 45 mmHg PaCO2 < 45 mmHg Padabayi: tidak mau minum/makan.

Pedoman nilai baku frekuensi nafas pada anak sadar:Usia Frekuensi nafas normal< 2 bulan < 60 x / menit2 – 12 bulan < 50 x / menit1 – 5 tahun < 40 x / menit6 – 8 tahun < 30 x / menit Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:Usia Frekuensi nadi normal2 – 12 bulan < 160 x / menit1 – 2 tahun < 120 x / menit3– 8 tahun < 110 x / menit

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

DIAGNOSIS

Anamnesa

Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak

yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat

episodic dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau

penyakit alergi yang lain.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman

dalam posisi duduk

Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi

Paru

Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah

16

Page 17: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang

Perkusi : Hipersonor

Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik

mencakup(Muttaqin, 2008):

B1 (Breathing)

o Inspeksi

Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta

penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur

bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior,

retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.

o Palpasi

Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal

o Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma

menjadi datar dan rendah.

o Auskultasi

Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4

detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama

wheezing pada akhir ekspirasi.

B2 (Blood)

Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik

seperti nadi, tekanan darah dan CRT.

B3 (Brain)

Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria

sebagai tanda awal gejala syok.

B5 (Bowel)

17

Page 18: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang

serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan

pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal

ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.

B6 (Bone)

Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena

merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering,

kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya

bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak

danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil

Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang

bronkhus

Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus

Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid

dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

Pemeriksaan Darah

Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi

hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis

Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH

Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana

menandakan terdapatnya suatu infeksi

Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu

serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Pemeriksaan Radiologi

18

Page 19: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu

serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang

bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.

Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah

sebagai berikut:

Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah

Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan

semakin bertambah

Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru

Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal

Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,

maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat

menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi

menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema

paru, yaitu:

Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan

clock wise rotation

Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right

bundle branch block)

Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan

VES atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru

Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi

udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat

dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.

19

Page 20: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator

aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC

sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol

bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk

menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek

pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya

menunjukkan obstruksi.

DIAGNOSIS BANDING

Bronkitis Kronis

Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun

paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya

terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di

pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada

stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.

Emfisema Paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi

jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema

biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan

aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas,

hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di

dapat adanya hiperinflasi.

Gagal Jantung Kiri

Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai

paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak,

tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

adanya kardiomegali dan udem paru.

Emboli Paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis

dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat

dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi,

gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :

20

Page 21: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Rinosinusitis Refluks gastroesofageal Infeksi respiratorik bawah viral berulang Displasia bronkopulmoner Tuberkulosis Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

intratorakal Aspirasi benda asing Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun Penyakit jantung bawaan

8. TatalaksanaTujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma; Mencegah eksaserbasi akut; Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin; Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise; Menghindari efek samping obat; Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel; Mencegah kematian karena asma. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi

genetiknya.

Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah , dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.

Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah : bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)

kortikosteroid sistemikPada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya

diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.

Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari.

Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV .

21

Page 22: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.

Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).

Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.

Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran.

a. Edukasi Edukasi yang diberikan mencakup :

Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan Mengenali gejala serangan asma secara dini Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya Mengenali dan menghindari faktor pencetus Kontrol teraturAlat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi

asma (bagan 6), sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.

b. Obat asma Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat

serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.

Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain : Inhalasi kortikosteroid β2 agonis kerja panjang antileukotrien

22

Page 23: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

teofilin lepas lambat

IDT :

Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam Asma Indonesia yang teratur, asma terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan pada anak dapat menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.

Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol.Ciri-ciri Tingkatan Asma

Tingkatan Asma Terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkonrol

Sebagian

Tidak

Terkonrol

Gejala harian Tidak ada (dua kali atau kurang

Lebih dari dua kali seminggu

Tiga atau lebih gejala dalam kategori Asma Terkontrol

23

Page 24: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

perminggu) Sebagian, muncul sewaktu – waktu dalam seminggu

Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu

Gejala nokturnal/gangguan tidur (terbangun)

Tidak ada Sewaktu – waktu dalam seminggu

Kebutuhan akan reliever atau terapi rescue

Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu)

Lebih dari dua kali seminggu

Fingsi Paru (PEF atau

FEV1*)

Normal < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur)

Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih dalm setahun**)

Sekali dalam seminggu***)

Keterangan : *) Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun **) Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-benar adekwat***) Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

24

Page 25: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang

25

Catatan:

1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik

2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan

0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan

Ruang Rawat Inap oksigen teruskan atasi dehidrasi dan

asidosis jika ada steroid IV tiap 6-8 jam nebulisasi tiap 1-2 jam aminofilin IV awal,

lanjutkan rumatan jika membaik dalam 4-6x

nebulisasi, interval jadi 4-6 jam

jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang

jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul Ancaman henti napas, alih rawat ke Ruang Rawat Intensif

Ruang Rawat Sehari/observasi oksigen teruskan berikan steroid oral nebulisasi tiap 2 jam bila dalam 12 jam perbaikan

klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

Boleh pulang bekali obat -agonis

(hirupan / oral) jika sudah ada obat

pengendali, teruskan jika infeksi virus sbg.

pencetus, dapat diberi steroid oral

dalam 24-48 jam kon-

trol ke Klinik R. Jalan, untuk reevaluasi

Serangan berat

(nebulisasi 3x,

respons buruk)

sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi

pasang jalur parenteral nilai ulang klinisnya, jika sesuai

dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap

foto Rontgen toraks

Serangan ringan(nebulisasi 1-3x, respons baik, gejala hilang)

observasi 2 jam jika efek bertahan, boleh

pulang jika gejala timbul lagi,

perlakukan sebagai serangan sedang

Serangan sedang(nebulisasi 1-3x,

respons parsial)

berikan oksigen (3)

nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dgn serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasi

pasang jalur parenteral

Tatalaksana awal nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)

nebulisasi ketiga + antikolinergik jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Nilai derajat serangan(1)

(sesuai tabel 3)

Page 26: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Asma episodik jarang

3-4 minggu, obat dosis / minggu > 3x < 3x

Asma episodik sering

6-8 minggu, respons: (-) (+)

Asma persisten

6-8 minggu, respons: (-) (+)

6-8 minggu, respons: (-) (+)

*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

Agonis b2-Adrenergiki. Sebagai bronkodilator, b2-Agonis adalah obat yang paling poten dan berkerja cepat

dan paling banyak dipakai untuk mengatasi serangan asma. ii. Ada 2 golongan b2-agonis yang tersedia di Indonesia yaitu yang bekerja cepat dan

bekerja lambat, dan diberikan dalam bentuk inhalasi (metered dose inhaler), dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler).

iii. Selain bekerja sebagai bronkodilatasi, b2-agonis meningkatkan fungsi clearance daripada silia, mengurangi edema dengan menghambat kebocoran kapiler dan mungkin menghambat kerja sel mast.

iv. Efek samping b2-agonis adalah tremor, takikardia dan anak cemas, yang semuanya ini akan berkurang bila b2-agonis diberikan lewat hirupan.

26

Obat pereda: -agonis atau teofilin

(hirupan atau oral) bila perlu

Tambahkan obat pengendali:Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium)

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat:

-agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

Obat diganti kortikoteroid oral

PE

NGHINDARAN

Page 27: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

v. Untuk serangan asma dipakai b2-agonis yang bekerja cepat seperti, salbutamol, terbutalin atau pirbeterol, sedangkan salmeterol dan formeterol dipergunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi dan sebaiknya b2-agonis kerja lambat tidak dipergunakan sebagai monoterapi.

Metilxantini. Yang tergolong dalam metilxantin adalah teofilin dan aminofilin.

ii. Cara kerja obat ini adalah menghambat kerja ensim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5’AMP yang tidak aktif.

iii. Obat ini dapat dipergunakan sebagai pengganti b2-agonis untuk mengatasi serangan asma atau kombinasi dengan b2-agonis oral atau inhalasi.

iv. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat diberikan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma, juga pada asma berat aminofilin masih dapat dipakai dengan memberikannya secara parenteral.

v. Untuk memperoleh fungsi paru yang baik, diperlukan konsentrasi aminofilin dalam darah antara 5-15 mg/ml dan efek samping terjadi bila kadar aminofilin dalam darah berada di atas 20 mg.

vi. Pemberian aminofilin intravena pada serangan berat/status asmatikus dipertimbangkan. Bila dengan obat-obat standar di atas belum ada perbaikan, berikan loading dose 4-5 mg/kg BB, diencerkan dengan NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,7-0,9 mg/kg BB/jam atau 5-6 mg/kg BB/8 jam.

vii. Efek samping yang sering dijumpai adalah iritasi lambung, insomia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebihan dapat terjadi konvulsi.

Kortikosteroidi. Kortikosteroid adalah obat anti-inflamasi yang paling poten untuk pengobatan

penyakit asma. ii. Kerja obat ini melalui pelbagai cara, antara lain menghambat kerja sel inflamasi,

mengambat kebocoran pembuluh darah kapiler, menurunkan produksi mukus dan meningkatkan kerja reseptor b-reseptor.

Steroid inhalasii. Walaupun pemberian steroid secara inhalasi mempunyai efek samping yang minimal

(kecuali: kandidiasis oral), pada pemberian lama dan dosis tinggi akan menghambat pertumbuhan, sekitar 1-1,5 cm/tahun untuk bulan-bulan pertama pemakaian, dan pada pemakaian jangka panjang ternyata tidak berpengaruh banyak pada pertumbuhan.

ii. Perlu dipertimbangkan untuk dikombinasi dengan b-agonis kerja lambat, teofilin kerja lambat atau leukotriene receptor antagonist, bila untuk pengendali jangka panjang pasien resisten terhadap steroid inhalasi atau dosis steroid perlu ditingkatkan.

Terapi Suportif

a. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker

atau headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur

dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

27

Page 28: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan

pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol

dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus,

meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat

memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah

aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai

alveoli.

c. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan

cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.

Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi

Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan

tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya

edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler)

dengan alat perenggang (spacer)

5-8 tahun Nebuliser

MDI dengan spacer

Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler,

Rotahaler, Turbuhaler)

>8 tahun Nebuliser

MDI (metered dose inhaler)

Alat Hirupan Bubuk

Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut

(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi

efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek

28

Page 29: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler,

Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya

bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer

(Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi

dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu

dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.

Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan mengakibatkan asma

salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini, benar dan teratur maka serangan

asma akan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:

1. Pengobatan Asma Jangka Pendek

2. Pengobatan Asma Jagka Panjang

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer. Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di klinik

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.

Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Penderita serangan berat dengan disertai dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau respons yang kurang terhadap nebulisasi beta agonis. Penderita seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. Sedangkan bila dengan sekali nebulisasi penderita menunjukkan respons yang baik, berati serangannya ringan. Penderita diobservasi selama 2 jam, jika respons tersebut bertahan, penderita dapat dipulangkan. Penderita dapat diresepkan obat beta agonis, baik hirup maupun oral, yang diberikan tiap 4 sampai 6 jam. Jika pencetus

29

Page 30: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

serngannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek, 3 sampai 5 hari. Penderita kemudian dianjurkan untuk kontrol dalam waktu 24 sampai 48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serngan penderita sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di klinik. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembal, penderita harus segera dibawa ke rumah sakit.

9. Komplikasi

o PneumothoraxKeadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru – paru kesulitan untuk mengembang.

o PneumodiastinumAdanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.

o EmfisemaPembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.

o Atelektasispengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

o BronchitisPeradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.

o Gagal nafaso Perubahan bentuk thorax

Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

10. Prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

30

Page 31: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

11. Pencegahan

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko

asma (orangtua asma), dengan cara :

a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa

perkembangan bayi/anak

b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak

mengganggu asupan janin

c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

d. Diet hipoalergenik ibu menyusui

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah

tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam

ruangan terutama tungau debu rumah.

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

LO 2. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Inhalasi Asma Pada Anak

Terapi Inhalasi

Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.

Cara memberikan obat melalui hirupan tersebut dikenal sebagai terapi inhalasi. Secara garis besar ada 3 macam alat/jenis terapi inhalasi, yaitu nebulizer, MDI (metered dose inhaler), dan DPI (dry powder inhaler). Jenis DPI yang paling sering digunakan adalah turbuhaler. Terapi inhalasi memiliki keuntungan dibandingkan dengan cara oral (diminum) atau disuntik, yaitu langsung ke organ sasaran, awitan kerja lebih singkat, dosis obat lebih kecil, dan efek samping juga lebih kecil.

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik.

31

Page 32: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

Jenis Terapi Inhalasi

Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.

Berikut beberapa alat terapi inhalasi:

Metered Dose Inhaler (MDI) MDI tanpa Spacer Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga

kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.

Dry Powder Inhaler (DPI)

Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.

Nebulizer

Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran bronkus) yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang

32

Page 33: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang

Kortikosteroid InhalasiKortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.

Contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:

Fluticasone Flixotide (flutikason propionate50 μg , 125 μg /dosis) Inhalasi aerosol Dewasa dan anak > 16 tahun: 100-250 μg, 2 kali sehariAnak 4-16 tahun; 50-100 μg, 2 kali sehari

Beclomethasone dipropionate Becloment (beclomethasone dipropionate 200μg/ dosis) Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol: 200μg , 2 kali seharianak: 50-100 μg 2 kali sehari

Budesonide Pulmicort (budesonide 100 μg, 200 μg, 400 μg / dosis)Inhalasi aerosolSerbuk inhalasi Inhalasi aerosol: 200 μg, 2 kali sehariSerbuk inhalasi: 200-1600 μg / hari dalam dosis terbagianak: 200-800 μg/ hari dalam dosis terbagi

Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis

FarmokinetikKortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara teratur.Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan mencegah gejala asma. Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid. Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan

33

Page 34: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.

Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi tinggi badan orang dewasa. Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.

Cara Penggunaan Inhaler

Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin Ambillah inhaler, kemudian kocok Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan

meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler) Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan

menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif)

Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)

Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter

Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi.Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin meningkat.

MITOS TENTANG OBAT HIRUPAN PADA ASMA ANAK, 5 TIDAK DALAM TERAPI INHALASI

Tidak menyebabkan ketergantungan Orangtua sering kawatir bahwa inhalasi bisa menyebabkan ketergantungan.Obat-obat

asma termasuk yang dihirup tidak akan menimbulkan ketergantungan dalam pengertian seperti adiksi atau kecanduan akan obat psikotropika (golongan narkoba). Pengertian ketergantungan seringkali disimpulkan oleh kalangan awam, karena penghentian obat inhaler berisi obat pengendali (controller) tanpa rekomendasi dokter dapat mengakibatkan serangan asma yang tadinya sudah terkontrol menjadi timbul lagi.

Tidak harus dikerjakan dalam paket 5-7 hari berturut-turut Dalam praktek sehari-hari sering dilakukan bahwa pemberian obat inhalasi harus

dalam satu paket 5-7 hari agar asmanya sembuh. Hal ini tidak benar. Inhalasi hanya diberikan pada saat serangan ditujukan untuk meredakan serangan dalam waktu sesegera mungkin. Bila sudah membaik dan tidak sesak tidak harrus diulang,Pengulangan tindakan itu dikerjakan berdasarkan respons penguapan tadi.

34

Page 35: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

Jika responsnya baik (sesak berkurang) maka tidak perlu diulang, namun jika kurang baik, maka dapat diulang 30 menit kemudian. Jika serangan sudah reda, obat dapat dilanjutkan dengan obat minum, jadi tidak perlu harus dengan paket penguapan 5 hari berturut-turut.

Tidak berarti asmanya sudah parah bila harus menggnakan terapi inhalasi atau obat hirupan

orangtua kwatir bahwa kalau pakai hirupan asmanya sudah berat dan gawat.Terapi inhalasi pada asma bukan berarti asmanya parah. nhalasi yang berisi obat pereda seperti salbutamol atau albuterol, fenoterol dan terbutalin. Obat inhalasi menjadi pilihan  utama dibandingkan obat minum karena bekerja lebih cepat

Tidak mempunyai efek samping yang berbahaya Orangtua kawatir obat inhalasi lebih berbahaya daripada obat minum.Steroid dalam

inhaler tidak menimbulkan efek samping seperti obat steroid yang digunakan atlet-atlet sebagai alat dopping, yang bisa menimbulkan maskulinisasi, keropos tulang, pertumbuhan terhenti, dan sebagainya. Steroid dalam inhaler mengandung dosis yang sangat kecil dibandingkan dengan steroid yang diminum, dan hanya sedikit sekali yang beredar di dalam darah. Oleh sebab itu, penelitian-penelitian mendapatkan bahwa efek samping obat steroid inhalasi sangat minimal, sehingga aman digunakan dalam waktu jangka panjang.

Tidak untuk hidung buntu atau batuk keras agar lekas sembuh Terapi inhalasi biasanya diberikan hanya untuk pelegaan sauran napas bronkus

(dilatasi bronkus)  atau mengurang efek inflamasi. Pada keluhan batuk keras tanpa disertai hipereaktifitas bronkus dan sesak tidak diperlukan inhalasi. Terapi nhalasi juha tidak untuk terapi hidung buntu atau pilek.

Tidak semua napas grok-grok (hipereaktifitas bronkus) harus dilakukan terapi inhalasi Orangtua sering minta terapi inhalasi saat anaknya napas berbunyai grok-grok. Pada

kasus hipereaktifitas bronkus yang ringan dan tidak sesak terapi inhalasi tidak perlu diberikan.

35

Page 36: SESAK NAPAS Blok Respirasi Skenario 3

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1998, Buku Kedokteran Dorlan edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta

Gunawan,Sulistia Gan,DKK.2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI

PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.

Price, Shirley Lorane M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsp Klinis Proses Penyakit edisi 4. Jakarta : ECG.

Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi. Jakarta : PP IDAI

Suardi, Adi Utomo, dkk. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI

Sudoyo, Aru W,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=199741315235

http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html

http://medicastore.com/asma/pengobatan_asma.php

http://www.who.int/

36