Penyebab sesak napas, yaitu :a. Kardiak dispneu, yakni dispneu
yang disebabkan oleh adanya kelainan pada jantung, misalnya :
1) infark jantung akut (IMA), dimana dispneu serangannya terjadi
bersama-sama dengan nyeri dada yang hebat.
2) Fibrilasi atrium, dispneu timbul secara tiba-tiba, dimana
sudah terdapat penyakit katub jantung sebelumnya.
3) Kegagalan jantung kiri (Infark miokard akut dengan
komplikasi, example : edema paru kardiogenik) dimana dispneu
terjadi dengan mendadak pada malam hari pada waktu penderita sedang
tidur; disebut Paroxysmal nocturnal dyspnoe. Pada keadaan ini
biasanya disertai otopneu dimana dispneu akan berkurang bila si
pasien mengambil posisi duduk.
b. Pulmonal dispneu, misalnya :1) Pneumotoraks, penderita
menjadi sesak dengan tiba-tiba, sesak nafas tidak akan berkurang
dengan perubahan posisi.2) Asma bronchiale, yang khas disini adalah
terdapatnya pemanjangan dari ekspirasi dan wheezing ( mengi ). 3)
COPD, sesak bersifat kronik dimana dispneu mempunyai hubungan
dengan exertional (latihan).4) Edema paru yang akut, sebab dan tipe
dari dispneu disini adalah sama dengan dispneu yang terjadi pada
penyakit jantung.c. Hematogenous dispneuDisebabkan oleh karena
adanya asidosis, anemia atau anoksia, biasanya berhubungan dengan
exertional ( latihan ).d. Neurogenik dispneuContohnya : psikogenik
dispneu yang terjadi misalnya oleh karena emosi dan organik dispneu
yang terjadi akibat kerusakan jaringan otak atau karena paralisis
dari otot-otot pernafasan.2. Patomekanisme gejala pada scenarioa.
Patomekanisme sesak napas (dispneu)Terdapat beberapa patofisiologi
daripada dispneu :1) Kekurangan oksigen ( O2 )a) Gangguan konduksi
maupun difusi gas keparu-paru Obstruksi dari jalan nafas, misalnya
pada bronchospasme & adanya benda asing Berkurangnya alveoli
ventilasi, misalnya pada edema paru, radang paru, emfisema dsb
Fungsi restriksi yang berkurang, misalnya pada. pneumotoraks, efusi
pleura dan barrel chest. Penekanan pada pusat respirasib) Gangguan
pertukaran gas dan hipoventilasi Gangguan neuro muskular- Gangguan
pusat respirasi, misal karena pengaruh sedatif- Gangguan medulla
spinalis misalnya sindrom guillain-barre- Gangguan saraf prenikus,
misalnya pada poliomielitis- Gangguan diafragma, misalnya tetanus-
Gangguan rongga dada, misalnya kifiskoliosis Gangguan obstruksi
jalan nafas- Obstruksi jalan nafas atas, misal laringitis/udem
laring- Obstruksi jalan nafas bawah, misal asma brochiale dalam hal
ini status asmatikus sebagai kasus emergency
Gangguan pada parenkim paru, misalnya emfisema dan pneumonia
Gangguan yang sirkulasi oksigen dalam darah, misalnya pada keadaan
ARDS dan keadaan kurang darah.c) Pertukaran gas di paru-paru normal
tapi kadar oksigen di dalam paru-paru berkurang. Kejadian ini oleh
karena 3 hal, yaitu : Kadar Hb yang berkurang Kadar Hb yang tinggi,
tapi mengikat gas yang afinitasnya lebih tinggi misalnya CO ( pada
kasus keracunan ketika inhalasi gas) Perubahan pada inti Hb,
misalnya terbentuknya met-Hb yang mempunyai inti Fe 3+.d) Stagnasi
dari aliran darah, dapat dibagi atas : Sentral, yang disebabkan
oleh karena kelemahan jantung. Gangguan aliran darah perifer yang
disebabkan oleh renjatan (shock), contoh syok hipovolemik akibat
hemototaks. Lokal, disebabkan oleh karena terdapat vasokontriksi
lokal Dapat pula disebabkan oleh karena jaringan tidak dapat
mengikat O2 , terdapat contohnya pada intoksikasi sianida.2)
Kelebihan carbon dioksida ( CO2 ) Karena terdapatnya shunting pada
COPD sehingga menyebabkan terjadinya aliran dari kanan ke kiri (
right to the left ).3) Hiperaktivasi refleks pernafasan
Pada beberapa keadaan refleks Hearing-Breuer dapat menjadi
aktif. Hal ini disebabkan olek karena refleks pulmonary stretch.4)
Emosi5) Asidosis Banyak hubungannya dengan kadar CO2 dalam darah
dan juga karena kompensasi metabolik.6) Penambahan kecepatan
metabolisme
Pada umumnya tidak menyebabkan dispneu kecuali bila terdapat
penyakit penyerta seperti COPD dan payah jantung (dekomensasi
kordis). Penanganan awal pada pasiena. Airway + Cervical Spine
Control
Look
: Melihat adanya darah/cairan di sekitar mulut
Melihat adanya obstruksi baik oleh benda asing/cairan.
Listen
: Suara pernapasanFeel
: Merasakan hembusan nafas korban.Gangguan pada Airwaya.
Obstruksi Total akibat (benda asing) Bila korban masih sadar:o
Korban memegang leher dalam keadaan sangat gelisaho Mungkin ada
kesan masih bernapas walaupun tidak ada
ventilasiPenatalaksanaan:Hemlich manuever/abdominal thrust (kontra
pada ibu hamil dan bayi) Bila tidak sadar.Tentukan dengan cepat
adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep) ke dalam
faring sampai belakang epiglotis. Jika tidak berhasil, lakukan
Abdominal Thrust dalam keadaan penderita berbaring.b. Obstruksi
ParsialObstruksi parsial bisa disebabkan berbagai hal. Biasanya
korban masih bisa bernapas sehingga timbul berbagai macam suara
pada pemeriksaan listen, tergantung penyebabnya: Cairan
(Darah/Sekret)Timbul suara gurgling (suara napas + suara cairan) ,
bisa terjai pada aspirasi akut. Penatalaksanaan : Tanpa alat:
Lakukan log roll lalu finger sweepAlat: Suction(Orofaring atau
Nasofaring) / ETT Lidah jatuh ke belakang.Bisa terjadi karena tidak
sadar. Timbul suara snoring (mendengkur) . Penatalaksanaan : Tanpa
alat: Jaw ThrustAlat: Oropharyngeal Tube. Penyempitan di laring /
trakea.Oedema dapat terjadi karena berbagai hal : Keracunan, Luka
bakar. Timbul suara crowing/stridor. Penatalaksanaan :
Trakheostomi.b. Breathing (Ventilasi)Airway (jalan napas) yang baik
tidak menjamin breathing (dan ventilasi) yang baik. Breathing
artinya pernapasan atau proses pertukaran oksigen dan karbon
dioksida. Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Ventilasi yang baik menggambarkan fungsi baik dari paru, dinding
thoraks dan diafragma. Pada saat pemeriksaan breathing dada korban
harus dibuka untuk melihat pernapasan yang baik. Dalam pemeriksaan
breathing berpedoman pada :
1) Inspeksi Inspeksi breathing berupa observasi dada, yang
dinilai :- Keadaan umum pasien tampak sesak dengan tangan menopang
pada tempat tidur dengan maksud supaya otot-otot bantu pernapasan
dapat membantu ekspirasi, pernapasan cuping hidung, tachypneu dan
sianosis. Selain itu juga mungkin dapat didengar wheezing
(ekspirasi yang memanjang) dan bentuk dada barrel chest (terjadi
pemanjangan diameter antero-posterior disertai sela iga yang
melebar dan sudut epigastrium yang tumpul). Keadaan ini bisa
dijumpai pada keadaan saluran napas yang menyempit seperti asma.
Yang dapat dilakukan memposisikan pasien pada posisi senyaman
mungkin, biasanya posisi setengah duduk dan diberi oksigen pada
asma ringan. Sedangkan pada asma berat diberi bronkhodilator. Pada
kasus trauma stabilisasi penderita dilakukan pada posisi stabil
dengan menggunakan bantuan oksigen baik itu dengan endotracheal
tube ataupun dengan ventilator. Indikasi pemberian oksigen antara
lain : Pada saat RJP. Setiap penderiat trauma berat. Setiap nyeri
prekardial. Gangguan paru seperti asma, COPD, dan sebagainya.
Gangguan jantung.- Pergerakan dada apakah simetris antara dinding
thoraks kiri dan kanan pada saat inspirasi dan ekspirasi.
Ketidaksimetrisan ini salah satunya disebabkan oleh trauma pada
thoraks sehingga terdapat udara dan darah dalam cavum pleura.
Terdapatnya udara dalam cavum pleura disebut pneumothorax dan
gejalanya disertai dengan nyeri dada, sesak napas dan dugaan
diperkuat lagi jika terdapat luka terbuka di daerah dada (dx :
Pneumothorax terbuka). Jika terdapat darah pada cavum pleura
disebut hemothorax dan gejalanya pun disertai sesak napas dan nyeri
dada. Pada kedua kasus tersebut kadang dijumpai deviasi trachea dan
pergeseran mediastinum pada stadium yang berat. Untuk pneumothorax
terbuka bisa memasang kasa tiga sisi.- Frekwensi napas dan
iramanya.2) PalpasiPalpasi dilakukan untuk memperlihatkan kelainan
dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi berupa adanya
ekspansi dada dan posisi apex jantung. Apex jantung berubah dapat
disebabkan dorongan oleh kelainan mediastinum, efusi pleura dan
lain-lain. Yang dinilai pada palpasi :- Nyeri Tekan dan
Krepitasi
Hal ini mungkin mengarah pada fraktur kosta. Nyeri timbul akibat
penekanan kosta ke pleura parietalis sedang krepitasi adalah bunyi
tulang kosta yang patah. - Vocal Fremitus atau Tctil Fremitus
Hal ini dilakukan untuk mengetahui perambatan suara ke dinding
dada yang dirasakan oleh kedua tangan yang dirapatkan, tepatnya di
sela-sela kosta. Peningkatan fremitus menandakan adanya konsolidasi
paru misalnya pada Pneumonia (kelainan infiltrat) Penurunan
fremitus hampir selalu disebabkan oleh kelainan non infiltrat.
Misalnya Pneumothorax, Hemotrax. - Deviasi Trachea Artinya terjadi
penyimpangan trachea akibat pendorongan di dalam mediastinum. Pada
pneumothorax misalnya : deviasi trachea akan mengarah ke arah
sehat. Hal ini akan membantu dalam melakukan NTS (Needle
Thoracocintesis) jika tidak ada foto. NTS dilakukan pada ICS dengan
menggunakan ABBOCATH.
- DVS (Desakan Vena Sentralis)
Peningkatan DVS yang menyertai sesak biasanya mengarah pada
sesak yang disebabkan oleh kelainan jantung.
3) Perkusi Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Suara perkusi yang normal adalah sonor.
Suara perkusi redup, pekak, hipersonor atau timpani menandakan
adanya kelainan pleura atau paru. Perkusi yang pekak (dullness
percussion, stone dullness) misalnya pada hemothorax. Penanganannya
dengan WSD (Water Seal Drainage) pada ICS V atau VI. Perkusi yang
hipersonor ditemukan misalnya pada Pneumothorax.Perkusi inilah yang
biasanya membantu membedakan Pneumothorax dan Hemotrax selain foto
thorax. Dalam melakukan perkusi hendaknya selalu membandingkan
tempat yang sehat dan lesi (dari atas ke bawah; dari medial ke
lateral).4) AuskultasiAuskulatasi dilakukan untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Pada keadaan normal didapatkan napas
bronchial pada trachea, napas bronchovesikuler di daerah
intraclaviculer, suprasternal dan interscapular. Sedangkan suara
napas vesikuler di luar lokasi diatas. Bila didapatkan suara napas
bronchial/ bronchovesikuler pada lokasi yang seharusnya vesikuler,
menandakan adanya suatu kelainan pada tempat tersebut. Suara napas
vesikuler yang melemah menandakan adanya halangan hantaran suara ke
dinding dada misalnya efusi pleura, pneumothorax dan hemotrax.
Suara wheezing, menciut (highed pitch) misalnya pada asma dan gagal
jantung. Ronchi halus dan sedang dapat disebabkan oleh cairan
misalnya pada pneumonia dan edema paru. Bunyi berkurang/menghilang
menunjukkan adanya cairan/udara dalam rongga pleura/ kolaps paru.
Bunyi napas bernada tinggi misalnya pada Tension Pneumothorax.
Bunyi rub misalnya pada peluritis, infark paru dan lain-lain.
Setelah evaluasi breathing dan hasilnya baik, harus periksa kembali
Airway sebelum melanjutkan ke Circulation. Bila tiba-tiba pasien
henti napas maka pernapasan buatan bisa dengan :1. Mouth to mouth
ventilation/Mouth to nose.
2. Mouth to mask ventilation
Bila dipasang saluran oksigen pada fase mask maka konsentrasi
oksigen dapat mencapai 55%.3. Ambu-BagDipakai alat yang ada bag dan
mask dengan diantaranya ada katup. 4. Jackson-REES.5. Ventilator.c.
CirculationHal yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah
status hemodinamik dari pasien. Pemeriksaan tersebut dilakukan
dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan tekanan darah dan
nadi (tanda vital). Juga perhatikan ada tidak tanda-tanda syok
seperti hipotensi, pucat, berkeringat, akral dingin, dan perubahan
status mental.Bila ada tanda-tanda syok tersebut maka segera
posisikan pasien dengan posisi Trendelenberg untuk menjamin
sirukulasi ke otak. Kemudian segera pasang infus untuk memasukkan
cairan intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan
eksternal yang nyata maka segera hentikan perdarahan tersebut
dengan kompresi atau penekanan langsung di tempat perdarahan atau
bebat tekan. Kontrol perdarahan ini diperlukan agar status
hemodinamik pasien tidak semakin memburuk. Setelah tindakan
tersebut dilakukan maka evaluasi kembali keadaan pasien mulai dari
tindakan yang pertama yaitu Airway atau jalan napas, Breathing atau
pernapasan dan Circulation atau sirkulasi. Juga evaluasi tindakan
yang telah kita lakukan. Pada skenario kasus tampak nadi pasien
lemah dan pucat. Keadaan ini menunjukkan bahwa pasien mengalami
gejala awal dari syok. Untuk itu tindakan sirkulasi perlu kita
lakukan. Tindakan yang dilakukan adalah membaringkan pasien dengan
posisi kaki lebih tinggi dari kepala untuk menjamin sirkulasi ke
otak tetap baik. Kemudian masukkan cairan intravena/infus. Cairan
yang dapat diberikan adalah kristalloid dimana cairan ini relatif
mudah ditemukan di puskesmas dan relatif murah.d. Disability &
DrugsSetelah Circulasi & Bleeding Control tertangani, kita
beralih ke tahap primary survey Disability & Drugs. Cara
pemakaian obat-obatan darurat adalah dengan kanulasi vena perifer,
yaitu melakukan penusukan pada vena yang letaknya superfisial di
lengan, tungkai, leher atau kepala dengan kateter intra vena
(infusse). Selain untuk media masuknya obat-obatan darurat,
kanulasi vena perifer juga diindikasikan untuk : pemberian cairan
& elektrolit, sebagai bagian dari resusitasi, sebelum dilakukan
tindakan operasi dan untuk pemberian nutrisi perenteral perifer.
Contoh obat-obatan resusitasi antara lain : Adrenalin/efineprin,
naloxon, Na bikarbonat, dsb. Etiologi dypnea antara lain : a.
Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan paru, dan
dinding dada; dalam teori tegangan-panjang, elemen-elemen sensoris,
gelendong otot pada khususnya, berperan penting dalam membandingkan
tegangan dalam otot dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi
bila tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu panjang otot
(volume napas tercapai).
b.Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (teori
utang-oksigen).
c. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat
meningkatnya rasa sesak napas.
d. Ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas
ventilasi.
2) Patomekanisme sesak napas pada skenario di atas yaitu : jika
tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru meningkat melebihi
tekanan onkotik pembuluh darah maka akan terjadi transudasi cairan
ke dalam interstisial. Apabila kecepatannya melebihi kecepatan
drainase limfatik maka akan timbul edema interstisial. Bila terjadi
peningkatan tekanan lebih lanjut, cairan akan merembes ke alveoli
sehingga menimbulkan edema paru. Cairan yang terakumulasi di dalam
alveolus akan menyebabkan traktus respiratorius mengalami
obstruksi. Akibatnya pasien mengalami perasaan sulit bernapas,
napas menjadi pendek, dan merasa tercekik.
3) Sesak napas y ang dialami pasien seringkali terjadi di malam
hari(paroximal nocturnal dyspnea) atau pada saat pasien telentang
ketika tidur. Posisi ini meningkatkan volume darah intratorakal dan
jantung yang lemah akibat penyakit misalnya gagal jantung, tidak
dapat mengatasi peninggian beban ini. Kerja pernapasan meningkat
akibat kongesti vaskular paru oleh edema di alveoli yang mengurangi
kelenturan paru. Waktu timbulnya lebih lambat dibandingkan dengan
ortopnea (kesulitan bernapas ketika berbaring lurus) karena
mobilisasi cairan edema perifer dan peninggian volume intravaskuler
pusat.
PND juga dapat melalui mekanisme berikut : tidur pada malam hari
akan menurunkan adrenergic supportterhadap fungsi ventrikel.
Akibatnya, aliran balik darah meningkat sehingga ventrikel kiri
kelebihan beban. Akhirnya timbul kongesti pulmonar akut yang
menyebabkan penekanan nokturnal di pusat pernapasan sehingga
timbullah dispnea.
4) Hubungan posisi tidur dengan terjadinya sesak napas adalah
dimana pasien pada skenario membutuhkan 3 bantal kepala untuk bisa
tidur dengan cukup nyaman. Posisi kepala pasien harus ditinggikan
sehingga tubuhnya tidak berada dalam keadaan telentang. Bila
tubuhnya dalam posisi telentang, maka akan memudahkan terjadinya
sesak napas atau dispnea melalui patomekanisme seperti yang
dijelaskan di atas.
5) Hubungan sesak napas berat dengan riwayat hipertensi dan
infark miokard :
Hipertensi mengacu pada peningkatan tekanan darah sistemik yang
menaikkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri
ke aorta. Akibatnya, beban kerja jantung bertambah. Sebagai
mekanisme kompensasinya, terjadilah hipertrofi ventrikel kiri untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan tetapi, lama-kelamaan terjadi
dilatasi atau payah jantung atau gagal jantung. Terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen pada miokard akibat hipertrofi ventrikel dan
peningkatan beban kerja jantung, serta diperparah oleh
aterosklerosis koroner yang menyebabkan infark miokard. Gagal
jantung menurunkan curah jantung (suplai darah menurun) sehingga
terjadi hipoksia di jaringan. Sebagai mekanisme kompensasinya,
denyut jantung dipercepat. Akan tetapi, terjadi elevasi ventrikel
kiri dan tekanan atrium yang menuju ke peningkatan tekanan kapiler
pulmonal yang menyebabkan edema paru. Edema paru dapat berimbas
pada terjadinya dispnea.
6) Sesak napas dan nyeri dada substernal tidak berhubungan
secara langsung. Keduanya melalui patomekanisme yang berbeda tetapi
dapat bersumber dari kelainan yang sama yaitu gagal jantung
kiri.
Sesak napas : Gagal jantung menurunkan curah jantung (suplai
darah menurun) sehingga terjadi hipoksia di jaringan. Sebagai
mekanisme kompensasinya, denyut jantung dipercepat. Akan tetapi,
terjadi elevasi ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri yang menuju
ke peningkatan tekanan kapiler pulmonal yang menyebabkan edema
paru. Edema paru menyebabkan ketidaksesuaian perfusi ventilasi
sehingga menurunkan tekanan oksigen. Penurunan tekanan oksigen ini
menstimulasi kemoreseptor perifer yang lalu mengirimkan impuls ke
pusat pernapasan di medula oblongata. Akhirnya terjadi peningkatan
usaha respirasi tapi tetap gagal karena adanya obstruksi cairan di
traktus respiratorius akibat edema paru.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
CARDIAC MARKERPeran cardiac marker pada diagnosis, penentu
risiko, serta pengobatan pada pasien dengan sakit dada dan
dicurigai mengidap Acute Coronary Syndrome (ACS) terus berkembang.
Evaluasi klinik dari pasien dengan kemungkinan ACS biasanya
terbatas karena gejala yang tidak spesifik. Guideline konsensus
yang terbaru dari American College of Cardiology (ACC) dan the
European Society of Cardiology (ESC) menjelaskan kembali tentang
Acute Myocardial Infarction (AMI). Cardiac marker dan cardiac
troponin, secara khusus, adalah pusat dari definisi terbaru AMI.
Guideline ini merupakan perubahan yang signifikan dari klasifikasi
original yang dikeluarkan oleh WHO tentang AMI.1
a. Cardiac Troponin Troponin adalah protein pengatur yang
ditemukan di otot rangka dan jantung. 3 subunit yang telah
diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T (TnT), dan
troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka
dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan
struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan
TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan
immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini
menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac
troponin.1Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis.
Uji troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala
terjadi, mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian,
mereka tetap tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI.1Cardiac
troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi
prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level
TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event
pada ACS. Mereka telah menjadi cardiac marker pilihan untuk pasien
dengan ACS.1
b. Creatine Kinase-MB isoenzymSebelum cardiac troponin dikenal,
marker biokimia yang dipilih untuk diagnosis AMI adalah isoenzim
CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan untuk diagnosis AMI
adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau hasil
tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB
lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total
CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas
CKMB tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa
keadaan klinis seperti trauma atau miopati.1CK-MB pertama muncul
pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24 jam, dan
kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan
spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac
event dan tidak mempunyai nilai prognostik.1
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CKIndeks
relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100]
dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive
peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten
dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber
otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks
relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas
elevasi CK-MB untuk MI.1Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil
jika pasien hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak
keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi
AMI dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat,
polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan.
1Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks
relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan
klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif
hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya
mengalami peningkatan. 1
d. MioglobinMioglobin telah menarik perhatian sebagai marker
awal pada MI. Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada
otot rangka dan jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan
pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam
setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan
kembali ke normal setelah 24-36 jam. 1Uji cepat mioglobin telah
tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang kardiospesifik. Uji
serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan
spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam
adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin
hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif
mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI.
Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan
definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB.
Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari
ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun. 1
e. Creatine Kinase-MB isoformsIsoenzim CK-MB terdapat dalam 2
isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2. CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan
awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah MI. Kemudian berubah di
serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala
terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis
tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya,
isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari
1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan
rasionya lebih dari 1,7. 1Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat.
CK-MB2 dapat dideteksi di serum pada 2-4 jam setelah onset dan
puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah marker awal dari AMI. Dua
penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada
6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan
79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah
relatif sulit dilakukan oleh laboratorium. 1
f. C-reactive ProteinCRP, marker inflamasi nonspesifik,
diperhitungkan terlibat secara langsung pada coronary plaque
atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an menunjukkan
bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac events,
baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk
mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru
mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator prognostik pada
pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi kematian
jantung dan AMI. 1
g. Referensi NilaiHasil normal bervariasi berdasarkan
laboratorium dan metode yang digunakan. Informasi di bawah ini
adalah dari ACC dan the American Heart Association (AHA). 21. Total
CK = 38174 units/L untuk laki-laki dan 96140 units/L untuk
perempuan.2. CKMB = 10-13 units/L. 3. Troponin T = kurang dari 0,1
ng/mL. 4. Troponin I = kurang dari 1,5 ng/mL.5. Isoform CKMB =
rasio 1,5 atau lebih.6. Mioglobin = kurang dari 110 ng/mL
UJI FUNGSI GINJAL
1. Urea ClearanceUrea clearance mengukur fungsi glomerulus
karena ureum difiltrasi melalui glomerulus tersebut. Tetapi nilai
urea clearance tidak boleh dipandang sama dengan nilai glomerular
filtration rate, karena sebagian dari ureum itu di dalam tubuli
berdifusi kembali ke dalam darah. Banyaknya ureum yang berdifusi
kembali ikut ditentukan oleh besarnya diuresis.4Nilai urea
clearance disebut dengan ml/menit. Jika diuresis sama dengan atau
melebihi 2 ml/menit, rumus yang digunakan akan berbeda dengan jika
diuresis kurang dari 2 ml/menit. Selain menyebut urea clearance
dengan ml/menit, ada juga cara lain yang lebih lazim dipakai, yaitu
menyebutnya dengan %. Apabila didapat diuresis 2 ml/menit atau
lebih, maka nilai clearance dibandingkan dengan 72 ml/menit yang
dianggap 100%. Jika diuresis kurang dari 2 ml/menit, nilai
clearance dibandingkan dengan 54 ml/menit yang dianggap 100% pula.
4Nilai normal berkisar antara 70-110%. Nilai normal tersebut
sebenarnya diperhitungkan untuk orang yang memiliki luas badan
sekitar 1,73 m2. Jika luas badan seseorang tidak mendekati nilai
tersebut, maka harus diadakan koreksi atas berat badan dan panjang
badan. 4Percobaan ini sering dilakukan selama 2 jam, tetapi bisa
juga dijadikan 4 jam atau lebih. Lamanya ini tidak mempengaruhi
hasil, tetapi 2 jam itu dianggap jangka waktu minimal. Clearance
yang diperhitungkan dengan diuresis 2 ml/menit atau lebih (maximal
clearance) lebih dapat dipercaya dari clearance yang memakai
diuresis kurang dari 2 menit (standard clearance). Apabila diuresis
rendah sekali (