1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI. …………………………………………………………………………………....1 BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA …. ………………………………………………..............3 A. Anatomi Sinus Paranasal ………………………………………………………………...3 B. Definisi ……….……………...…………………………………………………………..6 C. Etiologi ……….………………………………………………………………………….8 D. Epidemiologi ….…………………………………………………………………….…..10 E. Patofisiologi ….…………………………………………………………………………10 F. Gejala Klinis ….………………………………………………………………………....13 G. Diagnosis …….………………………………………………………………………….15 H. Tatalaksana ….…………………………………………………………………………..23 I. Komplikasi ….…………………………………………………………………..............27 J. Prognosis .…………………………………………………………………………. 28 BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………..…….29 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..30
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi
silia, akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.
Gambar 6. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus
13
Gambar 7. Perubahan silia pada sinusitis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir
yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi
lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis,Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang
ditemukan. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip dan kista.
14
Gambar 8. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler
darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta
migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat.
Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi
peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus.
2.6 GEJALA KLINIS
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal.Gejala sistemik ialah demam
dan rasa lesu.Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan
dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, Seringkali terdapat nyeri pipi
15
khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat
lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali
ada Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi
waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat
menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan di
pipidan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema.Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak lendir atau
nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal
drip).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen
karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik
ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk.Di samping itu, adanya
kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis
dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen.
16
Gambar 9. Pus pada meatus medius Gambar 10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi serta
pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai dengan kriteria
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS), yang mana
diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1 faktor mayor dan
2 faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan
radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang diperlukan konsultasi dengan
departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan membuat diagnosis sinusitis dentogen serta
penatalaksanaannya.
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang paling
sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai keluhan lain seperti
sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung,
batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi
(wheezing) yang meningkat pada penderita asma.
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International Consensus on
Sinus Disease, tahun 1993 dan 2004.11 Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada
wajah dan gangguan penghidu. Kriteria minornya adalah demam dan halitosis.
Penderita Gejala dan Tanda
Dewasa dan Anak
Mayor Minor
Kongesti hidung atau sumbatan
Sekret hidung/post nasal purulen
Rasa nyeri/tekanan/penuh di wajah
Gangguan penghidu (hiposmia, anosmia)
Demam
Demam
Sakit kepala
Nafas berbau
Fatique
Batuk
17
Sakit gigi
Hidung berbau
Gejala telinga
Anak-Anak Batuk
Iritabilitas/Rewel
-
Dikutip dari: Kennedy DW
Pemeriksaan Fisik
INSPEKSI
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus paranasalis,
yaitu :
Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada inspeksi
hidung & sinus paranasalis, yaitu :
Lorgnet pada abses septum nasi.
Saddle nose pada lues.
Miring pada fraktur.
Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat tersebut.
Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranalis.Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis.
PALPASI
Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis,
yaitu :
Dorsum nasi (batang hidung).
18
Ala nasi.
Regio frontalis sinus frontalis.
Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi
hidung.Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.
Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi.Tanda ini dapat kita
temukan pada furunkel vestibulum nasi.
Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu :
Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris
(besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita beri nilai bila kedua sinus
frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda.Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus
tersebut patologis.
Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan
simetris.Hindari menekan foramen supraorbitalis.Foramen supraorbitalis mengandung nervus
supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama
dengan cara pertama diatas.
Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan
penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen
infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.
PERKUSI
Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada
keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi.
Rinoskopia Anterior
19
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis, yaitu sekret
purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior tampak adanya sekret
purulen di nasofaring (post nasal drip).
Ada 3 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
Aplikator.
Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
Spekulum hidung Hartmann.
Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi cara
memegang, memasukkan dan mengeluarkan.Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann
sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang
berada di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke
dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann
yaitu mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung)
pasien.Setelah itu kita membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.
Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang
hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%.Jangan menutup mulut spekulum 100%
karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu :
Pemeriksaan vestibulum nasi.
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
Fenomena palatum mole.
Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
Pemeriksaan septum nasi.
Rinoskopia Posterior
Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding
nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
Cermin kecil.
Spatula.
Lampu spritus.
20
Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan.Sebelum memasukkan dan menempatkannya ke
dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu spritus
yang telah kita nyalakan.
Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar.Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan
digerakkan dan dikeraskan.Bernapas melalui hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah
pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah sehingga
terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien.
Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan
pasien.Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain
1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.
Pemeriksaan Transiluminasi
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang dapat
dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini
sudah jarang digunakan karena terbatas kegunaanya
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris,
yaitu :
21
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior
orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri.
Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi
dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya
yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya
dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan
sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya
normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena
tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal.
Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke
nasofaring.Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral hidung.
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk menentukan diagnosa yang lebih tepat dan dini. Tanda
khas ialah adanya pus di meatus media (pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior dan frontalis)
atau di meatus superior (pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid). 1,10
Foto polos sinus paranasal
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral,
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.
Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT Scan
22
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi
hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya.Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis
kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk
mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila. Kebanyakan sinusitisdisebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang
berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau
busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung.
Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini menggunakan
endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina. Dilihat apakah
ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila, serta bagaimana keadaaan
mukosanya apakah kemungkinan kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel.
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pada sinus maksilaris lainnya yang berkaitan dengan penyakit odontogenik
a. Kista yang terbentuk dari mukosa sinus termasuk pseudokista, mukokel, dan yang paling
sering yaitu kista retensi.
b. Hanya pseudokista yang berhubungan dengan penyakit periapikal/periodontal yang
disebabkan pengobatan gigi yang bisa mencapai resolusi pseudokista.
23
c. Tumor-tumor jinak atau lesi seperti tumor dapat menyebabkan penyimpangan, ekspansi,
atau erosi dinding sinus. Ini termasuk ameloblastoma, odontoma, cementoma, fibromas
ossifying, tumor epitelial odontogenik, tumor skuamosa odontogenik, dan tumor
adenomatoid.
d. Tumor ganas termasuk keganasan gingiva, kistik adenoid dan sarkoma.
Gambar 11: Foto rontgen pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal. Kista ini
timbul dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan oleh inflamasi.
2.9 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:
a. Atasi masalah gigi
b. Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya
beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan
kelembaban udara tetap.
Foto rontgen panoramamenunjukkan bagian opak
bulat pada sinus maksila kiri dengan pinggir sklerotik
(anak panah).
CT Scan aksial menunjukkan proses
perluasan dengan pinggir sklerotik (panah) pada
sinus maksilaris.
24
c. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid
dan irigasi sinus.
d. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior,
Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah
sinus endoskopik fungsional.
AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazoldan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri.Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal.
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polosatau CT Scan dan atau
nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan
oleh sumbatan.
KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberi
terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.1
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi
10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan
25
nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika
tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan
dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena.
Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan
anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan
menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1%
diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi
horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior
gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas
fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan
secara hati-hati dilindungi.1,3,11
26
Gambar 12. prosedur Caldwell Luc
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi
antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus
dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam
kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-
kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah
antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal
ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal
atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup
dimasukan kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-
1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema,
hematoma dan perasaan tidak nyaman.
Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus.Teknik
bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamm-berger dan
Kennedy.BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan
tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah
membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.7,11
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas,
rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini
meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak
respon dengan terapi medikamentosa.Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis
kronis telah dilakukan tindakan BSEF.
27
Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat KOM dan
memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (gambar 3)
Gambar 13. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah sinus endoskopi fungsional
meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan etmoidektomi, bedah resesus
frontalis, antrostomi maksila, konkotomi dan septoplasti.
Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut.
Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan, diplopia, kebocoran cairan
serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri karotis dan epifora.Komplikasi lanjut yang
dapat terjadi adalah rekurensi, mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda
asing.Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.
2.10 KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium.Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada
sinusitis rekuren, kronisatau berkomplikasi.
Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering.Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus
28
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada
kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena
ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana infeksi dari
sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, seringkali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh
nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan
otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteumsinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogenke dalam otak.
29
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan
bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan
2.11 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan
dan komplikasi penyakitnya.Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi
operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi.10% kasus sinusitis dengan sumber
odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.1,2 Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi
yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus
mengenai gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi
melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam
30
mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma
apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto
rontgen, CT-Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung
berbau.Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-obatan;
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta operatif.Beberapa
macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra
dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2008; 145-53.
2. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.
3. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-63
4. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H. Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. 2006. p. 386-92
5. Universitas Sumatera Utara. Sinusitis Maksilaris Dentogen. Tersedia dari URL http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
6. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htmEdisi April 2012. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
7. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31
8. Abdul Rachman Saragih. Rinosinusitis Dentogen.Diambil dari dentika Dental Journal, Vol 12, No 1. 2007. Hal : 81 -84. Tersedia dari URL :http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/121078184.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
9. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin. Otolaryngologic Clinic of North America. 2004. p. 347-64
10. Henny Kartika. Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal. Tersedia dari URLhttp://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/cara-pemeriksaan-hidung-dan-sinus-paranasal/. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
11. Bestary, Jaka Budiman. Rossy, Rosalinda. Bedah Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil Padang, Bagian THT Bedah Kepala Leher. Tersedia dari URLhttp://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fungsional_Revisi_pada_Rinosinusitis_Kronis.pdf Diunduh tanggal 9 Februari 2013
12. Bashiruddin J, Soetjipto D, Rifki N. Abses orbita sebagai komplikasi sinusitis maksila dan etmoid akibat infeksi gigi. Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati.