BAB IPENDAHULUAN
A. EPIDEMIOLOGITuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk
terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
penddudukDiperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap
hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004
menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang
muncul.Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah
kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000
kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia
tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular
dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
BAB IIA. DEFINISITuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit
infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
(MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah
saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada
kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui
terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel
dari seseorang yang terinfeksi.B. ETIOLOGIMycobacterium
tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. MTB memiliki dinding yang
sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian eptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan
ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat
hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan
bertahun - tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan
dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikanpenyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.Kuman hidup
sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag didalm
jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob.
Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis .C.
PATOGENESISa. Tuberkulosis PrimerKuman tuberkulosis yang masuk
melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan
terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau
afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit
bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran
di hilus3. Menyebar dengan cara :Perkontinuitatum, menyebar ke
sekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu
kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke
lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran secara hematogen dan
limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada
alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia
dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan : Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan
tuberkulosis primer.b. Tuberkulosis Pasca PrimerDari tuberkulosis
primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis
post-primer, biasanya pada usia 15 - 40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik
kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan
sebagai berikut :1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan
tidak meninggalkan cacat2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi
segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan
fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan
keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya
jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian
dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini
:Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas Dapat pula memadat dan membungkus diri
(encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur
dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh
yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).D. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
PARUTuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura.1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak
(BTA)TB paru dibagi atas:a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) Hasil pemeriksaan
dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif Hasil pemeriksaan dahak 3
kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif
2. Berdasarkan tipe pasienTipe pasien ditentukan berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :a.
Kasus baruAdalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.b.
Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif
atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif
/ perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan : Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis
dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu,
kemudian dievaluasi. Infeksi jamurc. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.d. Kasus gagal Adalah
pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil
pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
kategori 2 dengan pengawasan yang baikf. Kasus pindahan (transfer
in): Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.g. Kasus
Bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak
aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan
gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2
bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran
radiologic
E. DIAGNOSA TUBERKULOSISa. Gejala Klinis TB Paru DemamBiasanya
subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang kadang panas badan
dapat mencapai 40 41o C. Serangan demam pertama dapat sembuh
sementara, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi
terus menerus, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang masuk.Batuk
atau batuk darahGejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena
ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
keluar produk produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu minggu atau
berbulan bulan sejak awal peradangan. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.Sesak
nafas Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan.
Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru.Nyeri dada Hal
ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan
nafasnya.Malaise Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (
tidak ada nafsu makan), badan makin kurus, berat badan turun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
F. PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARUa. Pengobatan TB ParuSejak
1995, program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami
perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global
yang direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk
menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National
Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program
ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan
penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan
serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB di masyarakat. Program
ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat
setiap hari, terutama pada fase awal pengobatan.
b. Cara Pemberian OAT Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu :1. Tahap IntensifPada
tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT,
terutama rifampisin. Bila pengobatan intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya penderita yang tadinya menular, menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita
TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan
intensif.2. Tahap LanjutanPada tahap lanjutan, penderita mendapat
jumlah obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih
lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman dormant, sehingga
dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Dari hasil percobaan pada
binatang dan pengobatan pada manusia ternyata hampir semua obat
antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan
tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan
untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat.
Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang
baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih
bawah. Dalam aktivitas bakterisid Rifampisin dan INH disebut
bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena
kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat
ini masing-masing mendapat nilai satu. Pirazinamid dan streptomisin
masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena pirazinamid
hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam
lingkungan basa. Etambutol mendapat nilai setengah 2.c. Prinsip
Pengobatan TB paru Pengobatan TB memiliki 2 prinsip dasar, yaitu:
Bahwa terapi yang berhasil, memerlukan minimal 2 macam obat yang
basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satunya harus
bakterisid. Karena suatu resistensi obat dapat timbul spontan pada
sejumlah kecil basil, monoterapi memakai obat bakterisid yang
terkuat pun dapat menimbulkan kegagalan pengobatan dengan
terjadinya pertumbuhan basil yang resisten.Keadaan ini lebih banyak
dijumpai pada pasien dengan populasi basil yang besar, misalnya
pada TB paru dengan kavitas, oleh karena dapat terjadi mutasi 1
basil resisten dari 106 basil yang ada. Kemungkinan terjadinya
resistensi spontan terhadap 2 macam obat merupakan hasil
probabilitas masing-masing obat, sehingga penggunaan 2 macam obat
yang aktif umumnya dapat mencegah perkembangan resistensi sekunder.
Obat anti TB mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah
terjadinya resistensi terhadap obat lainnnya. Obat rifampisin dan
INH merupakan obat yang paling efektif, etambutol dan streptomisin
dengan kemampuan menengah, sedangkan pirazinamid adalah yang
efektifitasnya terkecil. Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan
pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya,
perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil
yang persisten. Basil persisten ini merupakan suatu populasi kecil
yang metabolismenya inaktif. Pengobatan yang tidak memadai akan
mengakibatkan bertambahnya kemungkinan kekambuhan, beberapa
bulan-tahun mendatang setelah seolah tampak sembuh. Regimen pada
pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-24 bulan
untuk jaminan menjadai sembuh. Dengan cara pengobatan pada masa
kini (metode DOTS) yang menggunakan paduan beberapa obat, pada
umumnya pasien TB berhasil disembuhkan secara baik dalam waktu 6
bulan. Kegagalan menyelesaikan program masa pengobatan suatu
kategori merupakan penyebab dari kekambuhan.
G. OBAT ANTI TUBERKULOSISObat-obatan TB dapat diklasifikasi
menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan lapis kedua.
Kedua lapisan obat ini di arahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dorman dan pencegahan terjadinya resistensi.
Obat-obatan lapis pertama terdiri dari H, R, Z, E, S. obat-obatan
lapis kedua mencakup rifabutin, etionamid, sikloserin, PAS,
klofazimin, aminiglikosida di luar streptomisin dan kuinolon.a.
Isoniazida (H)Setelah rifampisin, isoniazid merupakan obat
antituberkulosis yang paling efektif. Isoniazid harus diberikan
pada setiap pengobatan tuberkulosis, kecuali jika terdapat
resistensi. Isoniazid memiliki efek bakteriostatik dan juga
bakterisidal. Isoniazid dianggap obat yang aman; efek samping
utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena
interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin. Efek
samping lainnya seperti rash/kemerahan di kulit, anemia, kejang,
dan gangguan kejiwaan jarang dijumpai. Isonizid mempunyai kemampuan
bakterisidal TBC yang terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat
cell-wall biosynthecis pathway.
Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
Isoniazida 100 mg dan 300 mg / tablet Nama lain Isoniazida : Asam
Nicotinathidrazida; Isonikotinilhidrazida; INHDosis. Untuk
pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak anak 10 mg per
berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari. Untuk pengobatan TB
bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk dokter / petugas kesehatan
lainnya. Umumnya dipakai bersama dengan obat anti tuberkulosis
lainnya. Dalam kombinasi biasa dipakai 300 mg satu kali sehari,
atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan 900 mg, kadang kadang 2
kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg
berat badan. Atau 20 40 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau
3 kali seminggu. Indikasi. Obat ini diindikasikan untuk terapi
semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan
untuk profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat
digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis lain.
Kontraindikasi. Kontra indikasinya adalah riwayat
hipersensistifitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis,
cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi : kehamilan(kecuali
risiko terjamin). Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh
90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang
sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.
Dinamika/Kinetika Obat. Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai
kadar plasma puncak dalam 1 2 jam sesudah pemberian peroral dan
lebih cepat sesudah suntikan im; kadar berkurang menjadi 50 % atau
kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam jaringan tubuh, organ,
atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi bronkus dan
cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik. Metabolisme dihati,
terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi (kecepatan
asetilasi umumnya lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam
diperlama pada insufiensi hati, dan pada inaktivator lambat. Lebih
kurang 75-95 % dosis diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai
metabolit, sebagian kecil diekskresikan di liur dan tinja.
Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI. Interaksi. Isoniazid
adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, tetapi
mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide bersamaan
dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi
obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan
seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh
oleh isoniazid. Isofluran, parasetamol dan Karbamazepin,
menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan adsorben menurunkan
absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat
Metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan kadar
plasma teofilin. Efek Rifampisin lebih besar dibanding efek
isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan
rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-obatan
tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin Efek Samping. Efek
samping dalam hal neurologi: parestesia, neuritis perifer, gangguan
penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo,
ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia, amnesia, euforia,
psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi, ingatan tak
sempurna, hiperrefleksia, otot melintir, konvulsi.Hipersensitifitas
demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili,mapulo papulo,
purpura, urtikaria), limfadenitis, vaskulitis, keratitis.
Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning,
hepatitis fatal. Metaboliems dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6,
pelagra, kenekomastia, hiperglikemia, glukosuria, asetonuria,
asidosis metabolik, proteinurea. Hematologi: agranulositosis,
anemia aplastik, atau hemolisis, anemia, trambositopenia.
Eusinofilia, methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit
ulu hati,s embelit. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia,
dispenia, mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura,
sindrom seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik.
Peringatan/Perhatian Diperingatkan hati-hati jika menggunakan
Isoniazid pada sakit hati kronik, disfungsi ginjal, riwayat
gangguan konvulsi. Perlu dilakukan monitoring bagi peminum alkohol
karena menyebabkan hepatitis, penderita yang mengalami penyakit
hati kronis aktif dan gagal ginjal, penderita berusia lebih dari 35
tahun, kehamilan, pemakaian obat injeksi dan penderita dengan
seropositif HIV. Disarankan menggunakan Piridoksin 10-2 mg untuk
mencegah reaksi adversus. Overdosis. Gejala yang timbul 30 menit
sampai 3 jam setelah pemakaian berupa mual, muntah, kesulitan
berbicara, gangguan penglihatan atau halusinasi, tekanan pernafasan
dan SSP, kadang kadang asidosis, asetonurea, dan hiperglikemia pada
pemeriksaan laboratorium. Penanganan penderita asimpatomimetik
dilakukan dengan cara memberikan karbon aktif, mengosongkan
lambung, dan berikan suntikan IV piridoksin sama banyak dengan
isoniazid yang diminum, atau jika tidak diketahui, berikan 5 gram
Suntikan piridoksin selama 30-60 menit untuk dewasa, dan 80 mg / kg
berat badan untuk anak anak. Sedangkan penanganan penderita
simpatomimetik, ditangani dengan memastikan pernafasan yang cukup,
dan berikan dukungan terhadap kerja jantung. Jika jumlah Isoniazid
diketahui, berikan infus IV piridoksin dengan lambat 3 5 menit,
dengan jumlah yang seimbang dengan jumlah isoniazid. Jika tidak
diketahui jumlah isoniazid, berikan infus IV 5 gram piridoksin
untuk dewasa dan 80 mg / kg berat badan untuk anak anak.b.
RifampisinRifampisin merupakan obat semisintetik derivat dari
Stretomyces mediteranei. Rifampisin memegang peranan utama dalam
pengobatan tuberkulosis. Selain itu, rifampisin juga memiliki
spektrum yang luas, sehingga dapat mengatasi baik bakteri gram
positif, maupun bakteri gram negatif, seperti Legionella spp., M.
kasasii, dan M. marinum. Rifampisin memiliki aktiviti bakterisidal
di intraseluler dan juga ektraseluler. Rifampisin menghambat
sintesa RNA dengan mengikat dan menghambat polymerase DNA dependant
RNA. Rifampisin dapat menyebabkan urin berwarna merah kekuningan.
Selain itu, efek samping yang dapat ditimbulkan oleh rifampisin
adalah gangguan gastrointestinal, hepatitis, rash atau kemerahan
pada kulit, anemia hemolitik, trombositopenia dan juga
imunosupresi. Rifampisin dapat memicu tebentuknya enzim mikrosomal
di hepar sehingga dapat menurunkan efektivitas beberapa jenis obat,
seperti digoksin, warfarin, prednison, kontrasepsi oral, obat-obat
Zidovudine (ARV) dan juga kuinidin. Rifampisin meningkatkan
metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi
oral harus ditingkatkan. Identitas. Sediaan dasar yang ada adalah
tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, 600 mg. Dosis Untuk dewasa dan
anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari, atau 600 mg 2 3
kali seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat anti
tuberkulosis lain. Bayi dan anak anak, dosis diberikan dokter /
tenaga kesehatan lain berdasarkan atas berat badan yang diberikan
satu kali sehari maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5
15 mg per kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia
adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg, dan 300
mg untuk 20 -33 kg. Indikasi Di Indikasikan untuk obat
antituberkulosis yang dikombinasikan dengan Antituberkulosis lain
untuk terapi awal maupun ulang. Kerja Obat Bersifat bakterisid,
dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Mekanisme kerja, Berdasarkan perintangan spesifik dari
suatu enzim bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA)-polimerase
sehingga sintesis RNA terganggu.Dinamika / Kinetika Obat Obat ini
akan mencapai kadar plasma puncak (berbeda beda dalam kadar)
setelah 2-4 jam sesudah dosis 600 mg, masih terdeteksi selama 24
jam. Tersebar merata dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk
cairan serebrosfinal, dengan kadar paling tinggi dalam hati,
dinding kandung empedu, dan ginjal. Waktu paruh plasma lebih kurang
1,5- 5 jam ( lebih tinggi dan lebih lama pada disfungsi hati, dan
dapat lebih rendah pada penderita terapi INH). Cepat diasetilkan
dalam hati menjadi emtablit aktif dan tak aktif; masuk empedu
melalui sirkulasi enterohepar. Hingga 30 % dosis diekskresikan
dalam kemih, lebih kurang setengahnya sebagai obat bebas. Meransang
enzim mikrosom, sehingga dapat menginaktifkan obat terentu.
Melintasi plasenta dan mendifusikan obat tertentu kedalam
hati.Interaksi Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme
metadon, absorpsi dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme,
menurunkan kadar plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan
kinidin, mempercepat metabolisme kloramfenikol, nikumalon,
warfarin, estrogen,teofilin, tiroksin, anti depresan trisiklik,
antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid, tolbutamid, sulfonil
urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol, ketokonazol,
terbinafin, haloperidol, indinafir, diazepam, atofakuon,
betabloker(propanolol),diltiazem, nifedipin, verapamil,
siklosprosin, mengurangi khasiat glukosida jantung, mengurangi efek
kostikosteroid, flufastatin Rifampisin adalah suatu enzyme inducer
yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya
konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzyme
tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama
pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah Rifampisin
dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi: diantaranya : protease
inhibitor, antibiotika makrolid, levotiroksin, noretindron,
warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin,
nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam dan
beberapa obat lainnya.Efek Samping Efek samping pada Saluran cerna
; rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia,
kembung, kejang perut, diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala,
ataksia, bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada
anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian frekuensi
rendah sementara ( jarang). Hipersensitifitas: demam, pruritis,
urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia,
hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal
ginjal akut( reversibel). Hematologi: trombositopenia, leukopenia
transien, anemia, termasuk anemia hemolisis.Intoksikasi lain:
Hemoptisis, proteinurea rantai rendah, gangguan menstruasi, sindrom
hematoreal.Peringatan/Perhatian Keamanan penggunaan selama
kehamilan, dan pada anak anak usia kurang 5 tahun belum ditetapkan.
Hati hati penggunaan pada : penyakit hati, riwayat alkoholisma,
penggunaan bersamaan dengan obat hepatotoksik lain. Overdosis
Gejala yang kadang kadang timbul adalah mual, muntah, sakit perut,
pruritus, sakit kepala, peningkatan bilirubin, coklat merah pada
air seni, kulit, air liur, air mata, buang air besar, hipotensi,
aritmia ventrikular. Pemberian dosis yang berlebih pada Ibu hamil
dapat menyebabkan gangguan pada kelahiran berhubungan dengan
masalah tulang belakang ( spina bifida) Penanganan mual dan muntah
dengan memberikan karbon aktif, dan pemberian anti emetik.
Pengurangan obat dengan cepat dari tubuh diberikan diuresis dan
kalau perlu hemodialisa.c. Pirazinamida Pirazinamid merupakan
derivat asam nikotinik, yang digunakan pada pengobatan tuberkulosis
jangka pendek. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal. Efek samping
yang paling sering dijumpai pada pemberian pirazinamid adalah
hepatotoksik dan juga hiperurisemia. Pirazinamid merupakan obat
bakterisidal untuk organisme intraselular dan agen anti tuberculous
ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2
bulan pertama pengobatan. Identitas. Sediaan dasar Pirazinamid
adalah Tablet 500 mg/tablet Dosis Dewasa dan anak sebanyak 15 30 mg
per kg berat badan, satu kali sehari. Atau 50 70 mg per kg berat
badan 2 3 kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat
anti tuberkulosis lainnya. Indikasi Digunakan untuk terapi
tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis
lain.Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria,
hipersensitivitas.Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh
kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja,
berdasarkan pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal
dari basil tuberkulosa. Dinamika / Kinetika Obat Pirazinamid cepat
terserap dari saluran cerna. Kadar plasma puncak dalam darah lebih
kurang 2 jam, kemudian menurun. Waktu paro kira-kira 9 jam.
Dimetabolisme di hati. Diekskresikan lambat dalam kemih, 30%
dikeluarkan sebagai metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam.
Interaksi bereaksi dengan reagen Acetes dan Ketostix yang akan
memberikan warna ungu muda sampai coklat. Efek Samping Efek samping
hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus;
gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik,
urtikaria. Keamanan penggunaan pada anak-anak belum ditetapkan.
Hati-hati penggunaan pada: penderita dengan encok atau riwayat
encok keluarga atau diabetes melitus; dan penderita dengan fungsi
ginjal tak sempurna; penderita dengan riwayat tukak peptik.
Peringatan/Perhatian Hanya dipakai pada terapi kombinasi anti
tuberculosis dengan pirazinamid , namun dapat dipakai secara
tunggal mengobati penderita yang telah resisten terhadap obat
kombinasi. Obat ini dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal
sehingga menimbulkan hiperurikemia. Jadi penderita yang diobati
pirazinamid harus dimonitor asam uratnya. Overdosis Data mengenai
over dosis terbatas, namun pernah dilaporkan adanya fungsi abnormal
dari hati, walaupun akan hilang jika obat dihentikan.Obat Anti
Tuberkulosis Tambahan (first-line supplemental drugs)Selain
pemberian OAT golongan 1 tersebut, diberikan pula obat-obatan
tambahan (first-line supplemental drugs) yang juga memiliki
efektivitas tinggi, namun jarang menimbulkan efek toksik, seperti
etambutol dan streptomisin. Pada beberapa sumber menggolongkan
kedua obat-obatan ini ke dalam OAT golongan.d. Etambutol Etambutol
memiliki efek bakteriostatik terhadap MTB . Efek samping yang
paling berat dari etambutol adalah neuritis optic retrobulbar, yang
biasanya muncul setelah beberapa bulan mengkonsumsi etambutol. Efek
samping ini muncul tergantung dari dosis dan juga durasi pemberian
obat. Kadang-kadang dapat pula dijumpai hiperurisemia, namun
asimtomatik. Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang
mempunyai efek bakeriostatik tetapi bila dikombinasikan dengan INH
dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resisten obat
Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet. Dosis. Untuk dewasa dan anak
berumur diatas 13 tahun, 15 -25 mg mg per kg berat badan, satu kali
sehari. Untuk pengobatan awal diberikan 15 mg / kg berat badan, dan
pengobatan lanjutan 25 mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter
juga memberikan 50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua
kali seminggu. Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti
tuberculosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13 tahun
dan bayi. Indikasi. Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi
tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika
diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat
ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang
6 tahun, neuritis optik, gangguan visual. Kontraindikasi.
Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik. Kerja
Obat. Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB
yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme
kerja, berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding
sel. Dinamika/Kinetika Obat. Obat ini diserap dari saluran cerna.
Kadar plasma puncak 2-4 jam; ketersediaan hayati 77+ 8%. Lebih
kurang 40% terikat protein plasma. Diekskresikan terutama dalam
kemih. Hanya 10% berubah menjadi metabolit tak aktif. Klearaesi
8,6% + 0,8 % ml/menit/kg BB dan waktu paro eliminasi 3.1 + 0,4 jam.
Tidak penetrasi meninge secara utuh, tetapi dapat dideteksi dalam
cairan serebrospina pada penderita dengan meningitis tuberkulosa
Interaksi. Garam Aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda
dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika dieprlukan garam alumunium
agar diberikan dengan jarak beberapa jam. Efek Samping Efek samping
yang muncul antara lain gangguan penglihatan dengan penurunan
visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal
penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol
harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi
penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala,
disorientasi, mual, muntah dan sakit perut. Peringatan/Perhatian.
Jika Etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan fungsi mata
sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal;
usia lanjut; kehamilan; ingatkan penderita untuk melaporkan
gangguan penglihatan Etambutol tidak diberikan kepada penderita
anak berumur dibawah umur 6 tahun, karena tidak dapat menyampaikan
reaksi yang mungkin timbul seperti gangguan penglihatan.
e. StreptomisinStreptomisin merupakan salah satu obat anti
tuberculosis pertama yang ditemukan. Streptomisin ini merupakan
suatu antibiotic golongan aminiglikosida yang harus diberikan
secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme
ekstraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara intramuskular.
Streptomisin memiliki efek bakterisidal. Efek samping streptomisin
muncul pada 10-20% pasien yang mendapat streptomisin. Kekurangan
obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial kedelapan
yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya
pendengaran. Selain itu yang berbahaya dari streptomosin adalah
sifatnya yang toksik bagi ginjal (gagal ginjal non-oliguri).
Identitas Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk Injeksi
1,5 gram / vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama
dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit. Dosis Obat ini hanya digunakan
melalui suntikan intra muskular, setelah dilakukan uji
sensitifitas.Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg
per kg berat badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25 30 mg per
kg berat badan, maksimum 1,5 gram 2 3 kali seminggu. Untuk anak 20
40 mg per kg berat badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 25
30 mg per kg berat badan 2 3 kali seminggu. Jumlah total pengobatan
tidak lebih dari 120 gram. Indikasi. Sebagai kombinasi pada
pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau
untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat
kombinasi tersebut. Kontraindikasi hipersensitifitas terhadap
streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya. Kerja Obat
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah.
Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman
dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal. Dinamika / Kinetika
Obat Absorpsi dan nasib Streptomisn adalah kadar plasma dicapai
sesudah suntikan im 1 2 jam, sebanyak 5 20 mcg/ml pada dosis
tunggal 500 mg, dan 25 50 mcg/ml pada dosis 1. Didistribusikan
kedalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan akan dieliminasi dengan
waktu paruh 2 3 jam kalau ginjal normal, namun 110 jam jika ada
gangguan ginjal. Interaksi Interaksi dari Streptomisin adalah
dengan kolistin, siklosporin, Sisplatin menaikkan risiko
nefrotoksisitas, kapreomisin, dan vankomisin menaikkan
ototoksisitas dan nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko
hipokalsemia, toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler,
diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas, meningkatkan efek
relaksan otot yang non depolarising, melawan efek
parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin. Efek Samping
Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang
hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus.
Peringatan/Perhatian Peringatan untuk penggunaan Streptomisin :
hati hati pada penderita gangguan ginjal, Lakukan pemeriksaan
bakteri tahan asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah
beberapa bulan. Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat
dalam plasma terutama untuk penderita dengan gangguan fungsi
ginjal
Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (second-line antituberculosis
drugs)Obat anti-tuberkulosis golongan 2 digunakan jika terdapat
resistensi obat atau jika OAT golongan 1 tidak tersedia. Dari
sebuah penelitian pada pasien yang resisten terhadap OAT golongan 1
atau terdapat keadaan multi-drug resistant, dapat diatasi dengan
pemberian rifabutin, obat-obat golongan quinolon,
para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, amikacin
dan capreomycin. Obat-obat antituberkulosis golongan 2 kurang
efektif jika dibandingkan dengan OAT golongan 1 dan dapat
menimbulkan efek samping yang berat. Obat-obat ini jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis. a. Quinolon Obat-obat golongan
quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT golongan 1
atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan
1. Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin,
levofloxacin, ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin. Efek
samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa gangguan
gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala.
Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis
interstitial, vaskulitis, dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat
diberikan secara intravena 7.b. Capreomycin Capreomycin merupakan
suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifat dari
Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian
dosis, cara kerja, farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin.
Capreomycin diberikan secara intramuskular dalam dosis
10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal per-hari
1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan
menjadi 1 g dalam 2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan
obat injeksi pilihan terhadap tuberculosis setelah streptomisiin.
c. Rifabutin Rifabutin memiliki beberapa kemiripan karakteristik
dengan rifampisin, namun rifabutin ini juga dapat digunakan pada
pasien-pasien yang resisten terhadap rifampisin dan juga lebih
efektif mengatasi M. avium complex dan nontuberculosis
mycobacterium lainnya. Pada pengobatan HIV dengan TB paru, akan
lebih baik jika menggunakan rifabutin dari pada rifampisin, karena
efek interaksi obat antara rifampisin dan Anti Retro Virus (ARV)
yaitu nevirapin. Efek samping rifabutin baru muncul jika pemberian
dosis > 300 mg/hari. Efek samping yang paling sering muncul
adalah gangguan gastrointestinal. Selain itu, dapat muncul gejala
lain seperti kemerahan pada kulit, nyeri dada, myalgia, dan
insomnia. Sama seperti rifampisin, pemakaian rifabutin juga dapat
menyebabkan perubahan warna urin menjadi berwarna merah kekuningan.
Dari pemeriksaan laboratorium, akan dijumpai neutropeni,
trombositopeni dan peningkatan enzim hati. Namun efek samping-efek
samping tersebut akan hilang jika pemberian rifabutin dihentikan.d.
Amikacin Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di
ekstraseluler. Amikacin ini efektif terhadap MTB, M. lepra, M.
avium complex, dan lainlain. Dosis yang diberikan biasanya
7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu.e. Ethionamide
Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti
isoniazid dan pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik.
Namun penggunaannya terbatas karena efek toksisitas dan banyaknya
efek samping, seperti gangguan gastrointestinal berat (mual,
muntah, anoreksia, disgesia), gangguan neurologis berat, hepatitis,
reaksi hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme.f.
Para-Aminosalicylic Acid (PAS) Para-Aminosalicylic Acid dapat
menghambat pertumbuhan MTB dengan cara menghambat sintesa asam
folat. Para-Aminosalicylic Acid jarang menjadi pilihan pengobatan
tuberkulosis karena rendahnya efektivitas dan juga karena
menyebabkan timbulnya gangguan gastrointestinal (mual, muntah,
diare).
H. EFEK SAMPING DAN IMBAS OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA HEPAR
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek-samping,
oleh karena itu pemantuan kemungkinan terjadinya efek-samping
sangat penting dilakukan selama pengobatan. Walaupun sudah
diuraikan diatas, namun berikut ini dikutipkan beberapa efek
samping yang sering muncul dan cara mengatasinya. Berdasarkan
derajat keseriusannya, efek samping OAT dibagi menjadi: Efek
samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius.
Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita
harus segera dirujuk ke UPK spesialistik. Efek samping ringan yaitu
hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala-gejala
ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik atau
obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu
selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat diteruskan.
a. Isoniazid (INH) Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi ikterus,
hentikan pengobatan sampai ikterus membaik. Bila tanda-tanda
hepatitis-nya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK
spesialistik. Efek samping INH yang ringan dapat berupa: Tanda
tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot atau
gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin (vitamin B6 dengan dosis 5 - 10 mg per hari atau dengan
vitamin B kompleks) Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin
(syndroma pellagra) Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain
gatal-gatal. Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat
diteruskan sesuai dosis.b. Pirazinamid Efek samping utama dari
penggunaan Pirazinamid adalah hepatitis. Juga dapat terjadi nyeri
sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout
yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
c. Rifampisin Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang
dianjurkan, jarang menyebabkan efek samping, terutama pada
pemakaian terus-menerus setiap hari. Salah satu efek samping berat
dari Rifampisin adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang
terjadi. Alkoholisme, penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian
obat-obat hepatotoksis yang lain secara bersamaan akan meningkatkan
risiko terjadinya hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka
pengobatan perlu dihentikan. Bila hepatitisnya sudah hilang/sembuh
pemberian Rifampisin dapat diulang lagi. Efek samping Rifampisin
yang berat tapi jarang terjadi adalah : Sindrom respirasi yang
ditandai dengan sesak napas, kadang-kadang disertai dengan kolaps
atau renjatan (syok). Penderita ini perlu dirujuk ke UPK
spesialistik karena memerlukan perawatan darurat. Purpura, anemia
haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi meskipun gejalanya sudah menghilang. Sebaiknya
segera dirujuk ke UPK spesialistik.
Efek samping Rifampisin yang ringan adalah: Sindrom kulit
seperti gatal-gatal kemerahan Sindrom flu berupa demam, menggigil,
nyeri tulang Sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah,
kadang-kadang diare.Efek samping ringan sering terjadi pada saat
pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan
pengobatan simtomatik. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah
pada air seni, keringat, air mata, air liur. Hal ini harus
diberitahukan kepada penderita agar penderita tidak jadi khawatir.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya.d. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan
penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna
untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian, keracunan okuler
tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek samping jarang
terjadi bila dosisnya 15 - 25 mg/Kg BB per hari atau 30 mg/Kg BB
yang diberikan 3 kali seminggu. Setiap penderita yang menerima
Etambutol harus diingatkan bahwa bila terjadi gejala-gejala
gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan mata.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler sulit
dideteksi pada anak-anak, maka Etambutol sebaiknya tidak diberikan
pada anak.
e. Streptomisin Efek samping utama dari Streptomisin adalah
kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan
pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.
Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama
dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr. Jika
pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini terutama
akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Reaksi hipersensitas kadang-kadang terjadi berupa demam
yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan
eritema pada kulit. Hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita
ke UPK spesialistik.Efek samping sementara dan ringan misalnya
reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar
mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis
dapat dikurangi dengan 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barrier
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab
dapat merusak saraf pendengaran janin.Pasien TB dengan hepatitis
akutPemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau
klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan
dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan
sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R)
dan Isoniasid (H) selama 6 bulan 3.Pasien TB dengan kelainan hati
kronikBila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan
pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT
meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang
dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z)
tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HEI. PANDUAN PEMBERIAN OBAT Cara pemberian
OAT dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu :a. Panduan Obat untuk
Kategori I Fase Intensif 2 RHZE Bila setelah 2 bulan dahak menjadi
negatif, fase lanjutan dapat dimulai Bila setelah 2 bulan, dahak
masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi,
apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat
simulai. Namun bila masih positif, dilanjutkan ke kategori 2 3.
Fase Lanjutan 4 RH / 4 R3H3 Pada pasien dengan meningitis,
tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase lanjutan
diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9
bulan Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE Dilakukan
pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan
pada akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan
dinyatakan gagal dan diganti dengan kategori II 3Obat ini diberikan
untuk : Penderita baru TB paru BTA positif Penderita TB paru BTA
negatif Rontgen positif, lesi luas Penderita TB ekstra-paru
berat.
b. Panduan Obat untuk Kategori II Fase Intensif 2 RHZES / 1 RHZE
Bila setelah fase intensif BTA menjadi (-) pengobatan dilanjutkan
dengan fase lanjutan Bila setelah 3 bulan dahak masih tetap (+),
fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi dengan RHZE. Bila setelah 4
bulan dahak masih tetap (+), pengobatan dihentikan 2-3 hari, lalu
diperiksa biakan dan tes resistensi kemudian fase lanjutan
diteruskan tanpa menunggu hasil tes. Bila hasil tes menunjukkan
resisten terhadap H dan R ini menunjukkan MDR, bila memungkinkan
penderita dirujuk ke unit pelayanan spesialistik untuk
dipertimbangkan pengobatan dengan obat sekunder 3. Bila pasien
mempunyai data resistensi sebelumnya dan ternyata kuman masih
sensitif terhadap semua obat dan setelah fase intensif dahak
menjadi (-), fase lanjutan dapat diubah seperti kategori I dengan
pengawasan yang ketat. Fase Lanjutan 5 R3H3E3 / 5 RHE Dilakukan
pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir bulan pengobatan
(bulan ketujuh), bila (-) teruskan pengobatan. Bila (+) menjadi
kasus kronik Pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan bila (-)
penderita sembuh, bila (+) menjadi kasus kronik 3.Obat ini
diberikan untuk : Kasus kambuh Kasus gagal obat Kasus putus
obat
c. Panduan Obat untuk Kategori III Fase Intensif 2 RHZE Bila
setelah 2 bulan dahak menjadi tetap (-), fase lanjutan dapat
dimulai Bila setelah 2 bulan dahak menjadi (+), ubah panduan
pengobatan menjadi kategori II. Fase Lanjutan 4 RH / 4 R3H3 / 6 HE
Tidak ada pemeriksaan ulang dahak sebulan sebelum akhir pengobatan
atau di akhir pengobatanObat ini diberikan untuk : Penderita baru
BTA negatif, Rontgen positif, lesi minimal TB Ekstra-paru
ringan
d. Panduan Obat untuk Kategori IV Obat ini diberikan pada
penderita TB kronik dan TB multiresisten. Prioritas pengobatan
rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali
Untuk pasien yang kurang mampu dapat diberikan INH saja seumur
hidup Untuk pasien yang mampu, pemberian obat dicoba berdasarkan
hasil uji resistensinya dan obat-obat sekunder.
VISIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA68Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru1.Price.
A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep
KlinisProses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 :
852-64.2.Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I ,Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.3.NN.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 27 Juli 2009.
Available
fromhttp://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf4.Chandra P,
Evelyn P. Tuberculosis. 22 Juli 2009. Available from h
ttp://www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis5.Roebiono PS.
Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih MerupakanMasalah
Dalam Masyarakat. 17 Juli 2009. Available
fromhttp://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf6.Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
PenatalaksanaanTuberkulosis di Indonesia, Jakarta : Indah Offset
Citra Grafika, 2006.7.Djohan PA. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22
Juli 2009. Available from http://www.tbci ndonesia_Or_Id.htm
l8.Aditama, T.Y. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi & Masalahnya.
Edisi IV. Jakarta :Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 2002.9.Zevitz EM.
Monitoring for During Antituberculosis Treatment. 25 Juli
2009.Available From: www.chp.gov.hk/files/pdf/grp-monitoring - for
- hepatotoxicit - during -antituberculosis -0
treatm-en-2004052100.pdf10.Kabo P. Pengobatan TBC. 17 Juli 2009.
Available fromhttp://www.medicastore.com/med/index.php