BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit mata sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, terutama yang menyebabkan kebutaan. Kelainan refraksi (0,14%) merupakan penyebab utama kebutaan ketiga setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Dari 153 juta orang di dunia yang mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang diantaranya mengalami kebutaan. Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata. Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah serius jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib dilakukan pemeriksaan visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum. Pemeriksaan visus merupakan pengukuran obyek terkecil yang dapat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit mata sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan di dunia, terutama yang menyebabkan kebutaan. Kelainan
refraksi (0,14%) merupakan penyebab utama kebutaan ketiga setelah
katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%). Dari 153 juta orang di dunia yang
mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang diantaranya mengalami
kebutaan.
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk
pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada
mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan
tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan/ atau
tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan
terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks
bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.
Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan
dievaluasi dengan pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan
refraksi menjadi masalah serius jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh
karena itu setiap pasien wajib dilakukan pemeriksaan visus sebagai
bagian dari pemeriksaan fisik mata umum. Pemeriksaan visus merupakan
pengukuran obyek terkecil yang dapat diidentifikasi terhadap seseorang
dalam jarak yang ditetapkan dari mata. Pemeriksaan visus jarak jauh juga
harus dilakukan terhadap semua anak-anak sesegera mungkin setelah
usia 3 tahun, karena penting untuk deteksi dini terhadap ambylopia.
1.2 TUJUAN
1. Tujuan umum : Untuk membahas kelainan refraksi dan penanganan
kelainan refraksi.
2. Tujuan khusus : Untuk menyelesaikan tugas laporan kasus dari
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD Dr.
Mohammad Saleh, Probolinggo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI MEDIA REFRAKSI
Sesuai dengan perannya sebagai alat optik tubuh, mata memiliki
struktur yang berfungsi untuk merefraksikan seluruh cahaya yang masuk
ke mata melalui media refraksi, sebagai berikut:2,3
Gambar 2.1. Anatomi Mata 6
2.1.1 Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang disisipkan ke sklera pada
limbus, lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65
mm di tepi, dan diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior
kornea mempunyai lima lapisan, yaitu lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma,
membran Descemet, dan lapisan endotel. Lapisan epitel mempunyai
lima atau enam lapis sel sedangkan endotel hanya satu lapis.2
Gambar 2.1.1 Lapisan-lapisan Kornea.6
Lapisan Bowman merupakan lapisan jernih aseluler, yang merupakan
bagian stroma yang berubah. Stroma kornea mencakup sekitar 90% dari
ketebalan kornea. Bagian ini tersusun dari lamella fibril-fibril kolagen dengan
lebar sekitar 1µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh
diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea dan
karena ukuran dan periodiditasnya secara optik menjadi jernih. Lamella
terletak di dalam suatu zat dasar proteoglikan hidrat bersama dengan
keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar.2
Membran Descemet merupakan suatu membran elastik yang jernih
yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elekron dan merupakan
membran basalis dari endotel kornea. Saat lahir, tebalnya sekitar 3 µm dan
terus menebal selama hidup mencapai 10-12 µm. Endotel hanya memiliki satu
lapis sel tetapi lapisan ini berperan dalam mempertahankan deturgesensi
stroma kornea. Endotel kornea cukup rentan terhadap trauma dan kehilangan
sel-selnya seiring penuaan. Reparasi endotel hanya terjadi hanya dalam
wujud pembesaran dan pergeseran sel-sel dengan sedikit pembelahan sel.2
Kornea dinutrisi oleh pembuluh-pembuluh darah limbus, humor
aqueus, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen
sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari
percabangan pertama (oftalmika) dari nervus trigeminus.Kornea
mempunyai indeksi bias 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai
kekuatan yang sebanding dengan lensa hingga 40 dioptri.2
2.1.2 Akuos Humor
Akuos humor adalah cairan jernih yang mengisi bilik mata depan
dan belakang. Volumenya sekitar 250 µl dan kecepatan pembentukan
memiliki variasi diurnal adalah 2,5 µl/menit. Komposisi serupa dengan
plasma kecuali bahwa cairan ini mengandung konsentrasi askorbut,
piruvat, dan laktat yang lebih tinggi serta protein,urea dan glukosa yang
lebih rendah. Cairan ini diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah
memasuki kamera okuli posterior, humor aqueus melalui pupil masuk
ke kamera okuli anterior dan kemudian ke perifer menuju sudut kamera
okuli anterior. Akuos humor memiliki indeks bias 1,33.2
2.1.3 Iris
Iris atau selaput pelangi merupakan bagian yang berwarna pada mata.
Iris menghalangi sinar masuk ke dalam mata dengan cara mengatur
jumlah sinar masuk ke dalam pupil melalui besarnya pupil.
2.1.4 Pupil
Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam bola mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil
diserap sempurna oleh jaringan dalam mata. Tidak ada sinar yang
keluar melalui pupil sehingga pupil akan berwarna hitam. Ukuran pupil
dapat mengatur refleks mengecil atau membesarkan untuk jumlah
masuknya sinar. Pengaturan jumlah sinar masuk ke dalam pupil diatur
secara refleks. Pada penerangan yang cerah pupil akan mengecil untuk
mengurangi rasa silau. Pada tepi pupil terdapat m.sfingter pupil yang
bila berkontraksi akan mengakibatkan mengecilnya pupil (miosis). Hal
ini terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau dan pada saat
berakomodasi. Selain itu, secara radier terdapat m.dilator pupil yang bila
berkontraksi akan mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis).
Midirasis terjadi ketika berada di tempat gelap atau pada waktu melihat
jauh.
2.1.5 Badan siliar
Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan
untuk akomodasi dan menghasilkan cairan mata. Di dalam badan siliar
didapatkan otot akomodasi dan mengatur besar ruang intertrabekula
melalui insersi otot pada skleral spur.
2.1.6 Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, tidak berwarna sehingga
hampir transparan sempurna. Permukaan posteriornya lebih konveks dari
permukaan anteriornya. Pada orang dewasa, tebalnya sekitar 4 mm
dengan diameter 9 mm. Berat suatu lensa bertambah lima kali lipat
berbanding berat lensa saat lahir.Terdapat serabut-serabut yang
dinamakan zonulla zinni (zonula fibres) di sekitar ekuator lensa yang
berfungsi untuk mengikat lensa dengan corpus siliaris. Serabut-serabut ini
memegang lensa pada posisinya dan akan berkontraksi atau mengendur
saat otot siliaris berkontraksi atau berdilatasi saat proses akomodasi.2
Gambar 2.1.3.1 Pengikatan Lensa Mata oleh Zonulla Zini.4
Lensa terbentuk dari kapsul yang elastis, epitel yang terbatas pada
permukaan anterior lensa dan serabut-serabut lensa yang dibagi lagi menjadi
nukleus dan korteks.1 Kapsul lensa merupakan suatu membran elastis yang
membungkus seluruhµm)lebihpermukaan lensa. Kapsul bagian anterior (20
tebal berbanding kapsulµm).Dibagianbawahposteriormikroskop(3 electron,
kapsul lensa terdiri dari lamela yang mengandung kolagen tipe 4. Pada
bagian ekuator lensa, terdapat zonula zinnia yang mengikat lensa pada
prosessus ciliaris. Kapsul lensa berfungsi sebagai diffusion barier dan
permeabel terhadap komponen dengan berat molekul rendah. Fungsi
utama kapsul lensa adalah untuk membentuk lensa sebagai respon dari
penarikan serabut-serabut zonula saat proses akomodasi.1,2,4
Gambar 2.1.3.2 Bagian-bagian Lensa Mata.4
Epitel lensa berbentuk kuboid dan terletak di bawah kapsul bagian
anterior. Di bagian ekuator, sel-sel ini memanjang dan membentuk kolumnar. Di
bagian ekuator ini juga sel epitel lensa berubah membentuk serabut-serabut lensa
karena di bagian ini aktivitas mitotik berada pada puncaknya. Fungsi sel epitel
lensa adalah untuk berdiferensiasi membentuk serabut lensa dan terlibat dalam
transportasi antara humor aquous dengan bagian dalamnya dan sekresi material
kapsul.9Seperti yang telah diketahui, serabut-serabut lensa terbentuk dari
multiplikasi dan diferensiasi dari sel epitel lensa di bagian ekuator. Oleh karena
pertumbuhan normal dari lensa bermula dari permukaan ke arah dalam, maka
serabut yang terbentuk terlebih dahulu dinamakan nukleus lensa dan serabut
yang baru terbentuk dinamakan korteks.5
Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 15% protein, dan
sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan
kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam
askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi.
Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah dan persarafan di lensa. Lensa
mempunyai kekuatan dioptri sekitar 20 dioptri. Kekuatan ini tidak menetap
karena pada lensa dapat terjadi akomodasi. Lensa memiliki indeks bias 1,40.
Kekuatan dioptri lensa berubah dengan meningkatnya umur, yaitu menjadi
sekitar 8 dioptri pada umur 40 tahun dan menjadi 1 atau 2 dioptri pada
umur 60 tahun.2,5
2.1.6 Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya dan terletak di belakang
pupil. Retina akan meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa
bayangan benda sebagai rangsangan elektrik ke otak sebagai
bayangan yang dikenal.
2.1.7 Saraf optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2
jenis serabut saraf, yaitu: saraf penglihat dan serabut pupilomotor.
Saraf penglihat meneruskan rangsangan listrik dari mata ke korteks
visual untuk dikenali bayangannya.
2.1.8 Korpus Vitreus
Korpus vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskuler
yang membentuk duapertiga dari volume dan berat mata. Vitreus
mengisi ruangan yang dibatasi oleh kornea, retina dan diskus optikus.
Permukaan luar vitreus (membrane hiloid) normalnya kontak dengan
struktur-struktur seperti kapsul lensa posterior, serat-serat zonulla pars
plana lapisan epitel, retina, dan kaput nervus optikus. Basis vitreus
mempertahankan penempelan yang kuat sepanjang hidup ke lapisan
epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora serata Perlekatan ke
kapsul lensa dan nervus optikus kuat pada awal kehidupan tetapi
segera hilang. Vitreus berisi 99% air dan 1% sisanya 1% kolagen dan
asam hialuronat yang memberikan bentuk dan konsistensi mirip gel
pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air.7Sebagai
media refraksi, korpus vitreus memiliki indeks bias 1,34.2
2.2 DEFINISI
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada
orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola
mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya
pada keadaan mata yang tidakmelakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.1
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk
pada retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan
sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur.1
Analisis statistik distribusi anomali/kelainan refraksi yang terjadi di
masyarakat dalam populasi penelitian menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan antara jari-jari kurvatura kornea, kedalaman bilik mata depan, kekuatan
refraksi dari lensa, panjang sumbu bola mata dengan anomali/ kelainan refraksi.2
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Punctum
Proksimum merupakan titik terdekat di mana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas. Punctum Remotum adalah titik terjauh di mana seseorang
masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang
berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. 1
2.3MEKANISME REFRAKSI, AKOMODASI DAN PENGLIHATAN
2.3.1 MEKANISME REFRAKSI
Jika kecepatan suatu berkas cahaya berubah akibat perubahan
medium optis, akan terjadi pula pembiasan (refraksi) berkas cahaya tersebut.
Efek suatu bahan optic terhadap kecepatan cahaya dinyatakan oleh indeks
refraksinya. Semakin tinggi indeks, semakin lambat kecepatan dan semakin
besar efek pembiasannya. Menurut Hukum Refleksi dan Refraksi, berkas
cahaya yang datang akan dipantulkan dan dibiaskan pada bidang datang
yang tegak lurusterhadappermukaan, sudut datang sama dengan sudut
refleksi, serta hasil kali indeks refraksi medium berkas cahaya datangdan
sinus sudut datang berkas cahaya cahaya yang datang sama dengan hasil
kali besaran-besaran yang sama pada berkas cahaya biasan.2
Lensa konveks memfokuskan berkas cahaya. Berkas cahaya yang masuk
melalui bagian tengah menembus lensa tepat tegak lurus terhadap permukaan
lensa sehingga cahaya tidak dibiaskan. Makin ke tepi lensa berkas cahaya akan
semakin dibelokkan ke arah tengah yang disebut dengan konvergensi cahaya.
Bila lensa memiliki kelengkungan yang sama cahaya sejajar yang melalui
berbagai bagian lensa akan dibelokkan sedemikian rupa sehingga semua cahaya
akan menuju suatu titik yang disebut titik fokus. Lensa konkaf menyebarkan
berkas cahaya. Berlawanan dengan lensa konveks, berkas cahaya yang
mengenai bagian pinggir lensa akan mengalami divergensi atau menyebar
menjauhi cahaya yang masuk melalui bagian tengah lensa. Lensa silindris
membiaskan cahaya pada suatu garis focus. Silindris konkav akan
menyebarkan cahaya pada satu bidang dan lensa silindris konveks
akan memusatkan berkas cahaya pada satu bidang.Ukuran daya bias
lensa disebut sebagai dioptri. Daya bias lensa konveks sama dengan
satu meter dibagi jarak fokusnya. Jadi sebuah lensa sferis mempunyai
daya bias +1 dioptri bila lensa itu memusatkan cahaya sejajar menuju
satu titik fokus 1 meter di belakang lensa.2
Sistem lensa mata terdiri atas empat perbatasan refraksi:2
a. perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara
b. perbatasan antara permukaan posterior kornea dan humor aqueus
c. perbatasan antara humor aqueus dan permukaan anterior lensa
d. perbatasan permukaan posterior lensa dengan korpus vitreus.
Sekitar dua pertiga dari daya bias mata 59 dioptri dihasilkan oleh
permukaan anterior kornea, bukan oleh lensa mata. Hal ini dikarenakan
indeks bias kornea sangat berbeda dari indeks bias udara, sementara
indeks bias lensa mata tidak jauh berbeda dengan indeks bias akuos
humor dan korpus vitreus. Lensa internal mata yang secara normal
bersinggungan dengan cairan di setiap permukaannya memiliki daya
bias total hanya 20 dioptri, namun lensa internal ini penting karena
sebagai respon terhadap sinyal saraf dari otak lengkung permukaannya
dapat mencembung sehingga memungkinkan terjadinya akomodasi.2
Gambar 2.3.1.1 Indeks Bias Media Optik.6
Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama,
pembiasan sinar/cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui perantaraan yang
berbeda kepadatannya dengan kepadatan udara, yaitu kornea, akuos humor ,
lensa, dan humor vitreus. Kedua, akomodasi lensa, yaitu proses lensa menjadi
cembung atau cekung, tergantung pada objek yang dilihat itu dekat atau jauh.
Ketiga, konstriksi pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat di
retina sehingga penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila cahaya yang
terlalu terang memasukinya atau melewatinya, dan ini penting untuk melindungi
mata dari paparan cahaya yang tiba-tiba atau terlalu terang. Keempat,
pemfokusan, yaitu pergerakan kedua bola mata sedemikian rupa sehingga kedua
bola mata terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.4
2.3.2 MEKANISME AKOMODASI
Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina,
demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi
benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi,
maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada
retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang
terjadi akibat kontraksi otot siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan
lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai
dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus
berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks
akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur
dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat. 1
Dikenal beberapa teori akomodasi, seperti:
a. teori akomodasi Hemholtz: di mana zonula zinn kendor akibat
kontraksi otot siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis
menjadi cembung dan diameter menjadi kecil
b. teori akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak
dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuka adalah bagian
lensa yang superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi
tegangan pada zonula Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian
depan nukleus akan mencembung.1
Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina.
Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan
kelainan refraksi hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi
terus menerus walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini
diperlukan akomodasi yang baik.1
Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga
memberikan kesukaranpada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi
kuat pada anak-anak dapat mencapai+12.00 sampai +18.00 D. Akibatnya
pada anak-anak yang sedang dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya
untukmelihat jauh mungkin terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi akibat
akomodasi sehingga mata tersebut memerlukanlensa negatif yang berlebihan
(koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan
sikloplegik untuk melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan
kelainannya murni, dilakukan pada mata yang beristirahat. Biasanya untuk ini
diberikan sikloplegik atau sulfat atropin bersifat parasimpatolitik, yang selain
bekerja untuk melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkanotot sfingter pupil.1
Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi
akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung.
Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia. 1
Tabel 2.3.2.1 Perubahan pada Saat Akomodasi. 6
2.3.3 MEKANISME PENGLIHATAN
Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama,
pembiasan cahaya kaetika cahaya melalui perantaraan yang berbeda
kepadatan, yaitu kornea, akuos humor, lensa, dan korpus vitreus. Kedua,
akomodasi lensa, yaitu proses lensa menjadi cembung atau cekung,
tergantung pada objek yang dilihat itu dekat atau jauh. Ketiga, konstriksi pupil,
yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat di retina sehingga
penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila cahaya yang terlalu
terang memasukinya atau melewatinya, dan ini penting untuk melindungi mata
dari paparan cahaya yang tiba-tiba atau terlalu terang. Keempat, pemfokusan,
yaitu pergerakan kedua bola mata sedemikian rupa sehingga kedua bola mata
terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.2
2.4 KELAINAN REFRAKSI
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan
yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola
mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan
panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda selalu
melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar
pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning,
tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada
satu titik yang fokus. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem
optik pada mata sihingga menghasilkan bayangan yang kabur. Kelainan
refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan presbiopia.
Kelainan refraksi ditandai dengan mengedip yang kurang dibanding
mata normal. Normalnya, seseorang akan mengedip 4-6 kali dalam 1 menit,
jika kurang mengedip maka mata akan melotot atau mulai juling. Seseorang
dengan kelainan refraksi sebaiknya sering mengedip agar tidak timbul penyulit
lain. Penderita dengan kelainan refraksi akan memberikan keluhan sebagai
berikut: sakit kepala terutama di daerah tengkuk atau dahi; mata berair; cepat
mengantuk; mata terasa pedas; pegal pada bola mata; dan penglihatan kabur.
Untuk mencegah terjadinya penyulit diusahakan memberikan istirahat pada
mata dan mencegah pupil berkontraksi. Tajam penglihatan penderita kelainan
refraksi kurang dari normal.
2.4.1 MIOPIA
2.4.1.1 DEFINISI
Miopia (nearsightedness, shortsightedness, penglihatan dekat) yaitu
seseorang tidak bisa melihat benda jauh dengan jelas tapi bisa melihat dengan
jelas benda-benda yang dekat. Hal ini terjadi apabila bayangan dari
benda yang terletak jauh berfokus di depan retina pada mata yang
tidak berakomodasi.2,6,7
Gambar 2.4.1.1. Bayangan terbentuk di depan retina pada miopia.4
2.4.1.2 EPIDEMIOLOGI
Miopia adalah gangguan mata yang tersering di seluruh dunia.
Prevalensinya dalam tiga dekade ini terus meningkat. Di Amerika Serikat
dari 25% menjadi 41% dan terus meningkat pada beberapa negara Asia
menjadi 70-90%. Angka miopia meningkat sesuai dengan pertambahan
usia. Jumlah penderita rabun jauh di Amerika Serikat berkisar 3% antara
usia 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahun
dan 25% antara usia 12-17 tahun. Pada etnis tertentu, peningkatan angka
kejadian juga terjadi. Etnis Cina memiliki insiden miopia lebih tinggi pada
seluruh usia. Studi nasional Taiwan menemukan prevalensi sebanyak 12%
pada usia 6 tahun dan 84% pada usia 16-18 tahun. Angka yang sama juga
dijumpai di Singapura dan Jepang.6
Miopia progesif (>6 dioptri) juga meningkat, yang nantinya akan
berhubungan dengan peningkatan penyakit-penyakit seperti ablasio retina,
glaukoma, dan miopia degeneratif.8Lebih dari 60% miopia muncul pada
onset awal yang disebut denganmiopia juvenil atau miopia anak sekolah,
terjadi pada usia 9-11 tahun dan mengalami progresifitas pada usia remaja
awal.9Prevalensi miopia agak menurun pada populasi diatas 45 tahun,
mencapai kira-kira 20% pada usia 65 tahunan, dan sekitar 14% pada
usia 70 tahunan. Beberapa penelitian menyatakan prevalensi miopia
lebih tinggi pada wanita dari pada pria.6
2.4.1.3 PATOFISIOLOGI
Akibat dari bola mata yang terlalu panjang, menyebabkan
bayangan jatuh di depan retina, dan akibat bertambahnya indeks
bias penglihatan karena perubahan yang terjadi pada media
pembiasan yaitu kornea dan lensa.8
Gambar 2.4.1.3 Myopia of the eye. 4
2.4.1.4 KLASIFIKASI 2,8,9
A. Berdasarkan penyebabnya, miopia dibagi menjadi:
1. Miopia refraktif (miopia bias, miopia indeks) yaitu bertambahnya indeks
bias media penglihatan, seperti terjadi pada katarak intumesen di mana
lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
2. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata,
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.Untuk
setiap milimeter tambahan panjang sumbu mata, bertambah
pula miopia sebesar 3 dioptri.
B. Berdasarkan derajat beratnya, miopia dibagi menjadi:
1. Miopia ringan, dimana miopia < 1-3 dioptri.
2. Miopia sedang, dimana miopia 3-6 dioptri.
3. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia >6 dioptri.
C. Berdasarkan usia onsetnya, miopia dibagi menjadi:
1. Miopia kongenital, muncul ketika lahir.
2. Miopia remaja, muncul ketika berusia < 20 tahun.
3. Miopia dewasa muda, muncul ketika berusia 20-40 tahun.
4. Miopia dewasa tua, muncul ketika berusia > 40 tahun.
D. Berdasarkan perjalanannya, miopia dibagi menjadi:
1. Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
2. Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia
dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.
3. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, yang
dapat mengakibatkan ablasio retina dan kebutaan atau sama
dengan miopia pernisiosa atau miopia degeneratif.
E.Menurut gambaran klinisnya, miopia dibagi menjadi:
1. Miopia simpel
Miopia simpel yaitu miopia yang disebabkan oleh pertumbuhan
normal bola mata yang sehat. Peningkatan miopia berhenti pada
maturitas dan dapat dikoreksi menjadi ketajaman penglihatan normal.
Miopia simpel adalah bentuk miopia yang paling sering dibandingkan
dengan bentuk miopia yang lainnya. Secara umum <6 dioptri, namun
kebanyakan pasien biasanya < 4 atau 5 dioptri.
Astigmat bisa terjadi bersamaan dengan simple myopi. Yang
dikenal dengan miopia astigmat, miopia simpel astigmat dan miopia
campuran astigmat. Ketika derajat miopia tidak sama antara kedua mata
maka kondisi ini disebut anisometropi miopia (anisomiopia). Namun
ketika satu mata normal (emmetropi) dan mata yang lainnya miopia,
keadaan ini dikenal sebagai miopia simpel anisometropia. Meskipun
derajat miopia yang berbeda antara kedua mata sebenarnya jarang
terjadi, anisometropia tidak akan menjadi masalah klinis sampai
perbedaan kedua mata mencapai ±1.0D.
2. Miopia nokturnal
Terjadi hanya pada pencahayaan yang kurang, miopia malam
(rabun senja) merupakan keadaan primer untuk meningkatkan respon
akomodasi yang berhubungan dengan level cahaya yang rendah.
Karena adanya suatu perbedaan yang tidak mencukupi untuk
menstimulasi akomodasi yang adekuat, maka mata lebih memilih untuk
memfokuskan posisi akomodasi terhadap keadaan yang remang-
remang dari pada memfokuskan ketajaman penglihatan jauh.Hal ini
disebut juga dengan akomodasi fokus gelap atau akomodasi tonik atau
akomodasi keadaan istirahat. Pada dasarnya, penderita miopia
nokturnal sudah memeiliki miopia ringan. Miopia nokturnal ini bisa
mencapai -4.0D, namun yang paling sering sekitar -1.0D.
3. Pseudomiopia
Pseudomiopia adalah hasil meningkatnya kekuatan refraksi
okuler akibat overstimulasi dari mekanisme akomodasi mata atau
spasme dari siliari. Kondisi ini disebut pseudomiopia karena pasien
hanya mengeluhkan miopia akibat respon akomodasi yang tidak sesuai.
4. Miopia degeneratif
Derajat berat dari miopia yang berhubungan dengan perubahan
degeneratif dari posterior segmen mata, yang dikenal dengan miopia
degeneratif atau miopia patologis. Perubahan degeneratif ini dapat
menyebabkan fungsi abnormal penglihatan, seperti penurunan
ketajaman penglihatan atau perubahan lapangan pandang. Lepasnya
retina dan glaukoma adalah sekuele yang sering terjadi.
5. Miopia terinduksi
Miopia terinduksi adalah hasil dari paparan berbagai jenis
zat farmakologi, kadar gula darah yang bervariasi, sklerosis dari
lensa mata atau kondisi-kondisi lainnya. Miopia ini bersifat
sementara dan reversibel. Tabel 2.4.1.4 Agen Farmasi yang Dapat
3. Dandona R, Dandona L, 2001. Refractive error blindness. Bulletin in The World Health Organization. 79(3): h.237-43.
4. Schlote T, 2006. Pocket Atlas of Ophtalmology.Jerman: Georg Thieme Verlag. h.20-43
5. Crick R, Khaw PT, 2003. A Textbook Of Clinical Ophthalmology. 3rd edition. London: World Scientific Publishing. 2003. h.97-135.
6. The Eye M.D. Association. Fundamentals and Principles of Ophtalmology. Section 2.San Francisco: American Academy of Ophtalmology. 2012. h.67-78.
7. Myrowitz EH, 2012. Juvenile Myopia Progression, Risk Factors and Intervention. Saudi Journal of Ophthalmology. 2012; 26: h.293-7.
8. Ilyas S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 9. David A. Goss, OD, 2006. Optometric Clinical Practice Guidline: Care of
The Patient with Myopia. American Optometric Association. 2006; h.3-31. 10. William AL, 2003. Basicand Clinical Science Course: Optics,
Refraction, and Contac Lens. Section 3. USA: American Academy of Ophtalmology. 2003; 118-9.
11. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, 2009. Basic and Clinical Science Course: Clinical Optics. Section 3. USA: American Academy of Ophtalmology. 2009; 121-64.
12. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu Penyakit Mata edisi III. 2006. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.