BAB IPENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus
Hansen merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih
dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari
bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit
kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal
dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan
nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada
tahun 1874.2 Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang
terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf
perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab
baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan
penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun
1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat,
tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara
adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu
disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala
tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat
timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.3 Meskipun 25 tahun
terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan
mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra
masih terus diteliti.3BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. DEFINISI Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen. Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit
infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat
juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat 1,22.2
ETIOLOGIPenyebabKuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae.
Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan
secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8 m x
0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol2. Waktu pembelahan
Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat
bereproduksi optimal pada suhu 27C 30C secara in vivo, tumbuh
dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf
perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran
napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat
(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1
Gambar 2.1 Mycobacterium leprae Sumber penularanManusia adalah
satu-satunya sumber penularan.2Cara penularanMycobacterium leprae
mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
berlangsung hingga 40 tahun. Penularan dapat terjadi apabila M.
leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan masuk ke
dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan pasien, akan tetapi pasien yang
sudah mengkonsumsi MDT tidak menjadi sumber penularan.1,2Cara masuk
ke dalam pejamuCara masuk M. leprae adalah melalui saluran
pernafasan bagian atas atau melalui kontak kulit.1,2PejamuHanya
sedikit orang yang terjangkit lepra setelah kontak dengan pasien
lepra, hal ini disebabkan oleh adanya kekebalan tubuh seluler.
Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta
faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit lepra.12.3. EPIDEMIOLOGI
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni
jumlah atau keganasan Microbacterium leprae dan daya tahan tubuh
penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam
penularan ini adalah:1- Usia: anak-anak lebih peka dari pada orang
dewasa
- Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras: bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial: umumnya negara-negara endemis kusta adalah
negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
- Lingkungan: fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.Di
Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan
13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta
terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial
ekonominya rendah.1
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang
berbeda-beda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di
dunia, Indonesia menduduki urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta
dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Di seluruh
dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.
India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh
Brasil dan Myanmar. Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di
dunia yang terlapor di WHO, diketahui jumlah kasus baru kusta pada
tahun 2011 adalah sekitar 219.075 dengan jumlah terbanyak di Asia
Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kasus.11 Kelompok berisiko
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur
yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk,
dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan
sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih
tinggi dari wanita.12.4 KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINISMenurut
WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler
(indeterminate dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan
lepromatous). Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO2PB
(Pausibasilar)MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi, infiltrate,
plak eritem, nocus)1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris>5 lesi
Distribusi lebih simetris
Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf yang terkenaHilangnya sensasi yang
jelasHanya satu cabang sarafHilangnya sensasi kurang jelasBanyak
cabang saraf
BTANegatifPositif
TipeIndeterminate (I), Tuberkuloid (T), Borderline tuberkuloid
(BT)Lepromatosa (LL), Borderline lepromatous (BL), Mid borderline
(BB)
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta
dibagi menjadi:3
a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang
makula eritema. Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75%
penderita mengalami kesembuhan spontan, sedangkan pada yang lainnya
akan tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka
akan berubah menjadi bentuk yang lain.b. Tuberculoid leprosy (TT):
lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem dengan
bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas,
intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan
tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami
anestesi.c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan
tipe tuberculoid, namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula
anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya.
Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas.
Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia
dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap,
namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju
bentuk lepromatosa.d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang
paling tidak stabil, disebut juga dimorfik dan jarang dijumpai.
Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat
bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa
didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada
bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun
asimetris. Dapat terjadi adenopati regional.e. Borderline
lepromatous leprosy (BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi
tidak terjadi.f. Lepromatous leprosy (LL): lesi awal berupa makula
yang pucat. Makula kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi
pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya
rangsang saraf lambat dan progresif.Tabel 2.2 Gambaran klinis,
Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB2KarakteristikTuberculoid
Leprosy (TT)Borderline Tuberkuloid (BT)Indeterminate Leprosy
(I)
Lesi
BentukMakula atau makula dibatasi infiltratMakula dibatasi
infiltrat; infiltrat sajaHanya infiltrat
Jumlah Satu atau beberapaSatu dengan lesi satelitSatu atau
beberapa
Distribusi Terlokasi dan asimetrisAsimetrisBervariasi
Permukaan Kering,skuamaKering, skuamaHalus agak berkilat
AnestesiaJelasJelasTidak ada sampai tidak jelas
BatasJelasJelasDapat jelas atau tidak jelas
BTA
Pada lesi kulitNegatifNegatif, atau 1+Biasanya negatif
Tes LeprominPositif kuat (3+)Positif lemahDapat positif lemah
atau negatif
*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya
baru dapat diketahui setelah 3 mingguTabel 2.3 Gambaran klinis,
Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB2KarakteristikLepromatosa
Leprosy (LL)Borderline Lepromatosa (BL)Mid-borderline (BB)
Lesi
BentukMakula, infiltrat difus, papul, nodusMakula, plak,
papulPlak, lesi bentuk kubah, lesi punched out
JumlahBanyak distribusi luas, praktis tidak ada kulit
sehatBanyak tapi kulit sehat masih adaBeberapa, kulit sehat (+)
DistribusiSimetrisCenderung simetrisAsimetris
Permukaan Halus berkilatHalus berkilatSedikit berkilap, beberapa
lesi kering
AnestesiaTidak jelasTidak jelasLebih jelas
BatasTidak jelasAgak jelasAgak jelas
BTA
Pada lesi kulitBanyakBanyakAgak banyak
Sekret hidungBanyakBiasanya tidak adaTidak ada
Tes LeprominNegatifNegatifBiasanya negatif
TTBTI
LLBLBB
Gambar 2.2 Tipe Kusta
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah
2.5. PATOGENESIS M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh
yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya
lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada
intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh, M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan
nontoksis.3Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh
APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua sinyal yaitu sinyal
pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama adalah tergantung pada
TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan
oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan sinyal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan
berdifferensiasi menjadi Th 1 dan Th 2. Adanya TNF dan IL 12 akan
membantu differensiasi To menjadi Th 1.3Th 1 akan menghasilkan IL 2
dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat
glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1, CR3, CR4 pada permukaannya lalu
akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga
akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat
glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif
oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka
sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak
jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan
sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel
epitelioid ini akan membentuk granuloma.3Th 2 akan menghasilkan IL
4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4
dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi
sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL 10, dan IL 13 akan
mengaktifasi sel mast.3Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan
menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara
lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th 2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th 2 sedangkan pada Lepromatous Leprosy, Th 2
akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th 1.32.6. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis,
bakterioskopis, dan histopatologis, dan serologis. Diantara
ketiganya, diagnosis secara klinis lah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit
15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau
memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu
penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat
hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Secara
inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini
dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa
nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu,
yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai
dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi.2,4Mengenai saraf perifer yang perlu
diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa,
yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris,
N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior.
Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.2,4Deformitas pada kusta,
sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya
deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan
saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:2,4
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan
jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan
otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.2. N. medianus:
anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar
dan kedua otot lumbrikalis lateral.3. N. radialis: anestesia dorsum
manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist
drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.4. N.
poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot
peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes,
paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis.6. N.
fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,
mandibular dan servikal).7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah,
kornea dan konjungtiva mata.Pemeriksaan Fungsi Sarafa. Tes
sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan
dingin.
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit
pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat,
kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata
terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan
dengan mata pasien tertutup. Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya,
kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan
seperti pemeriksaan rasa raba. Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air
dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat
secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin.b. Tes
Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis, yaitu:1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris,
n.medianus, n.radialis, dan n. peroneus
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG2,41. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik
negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil M. leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di
kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih
dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. leprae.2Kepadatan BTA tanpa membedakan
solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks
bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak
ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LPIndeks morfologi adalah
persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non
solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA
harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan.22. Pemeriksaan
histopatologiMakrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di
dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit
disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang
harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid
yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi
sel datia Langhans.2,3Adanya massa epiteloid yang berlebihan
dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi
penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.
leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat
berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau
sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.2,3Gambaran
histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid.
Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal
clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel Virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut.2,33. Pemeriksaan serologikDidasarkan terbentuk antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.2,3Kegunaan pemeriksaan
serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination),
uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick
(Mycobacterium Leprae dipstick).2,34. Tes lepromin Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan
dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu
(reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.
leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test
(PPD) pada tuberkolosis.32.8 DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo,
ptiriasis versikolor, ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi
papul, granuloma annulare, lichen planus. Pada lesi plak, tinea
korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada lesi nodul, acne
vulgaris, neurofibromatosis. Pada lesi saraf, amyloidosis,
diabetes, trachoma.32.9 PENATALAKSANAANTujuan utama yaitu
memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit,
untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan
didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.2Pengobatan
kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan
kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh
WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus
obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita.2Obat antikusta
yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan
rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain
untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan
klaritomisin.2DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson
bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks
morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya
menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.2Dosis: dosis tunggal yaitu
50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk
anak-anak.2Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.
Efek samping tersebut
jarang dijumpai pada dosis lazim.2Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan
merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin
bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara
irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan
adanya resistensi.2Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15
mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa
hari.Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal dan erupsi kulit.5Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga
bekerja melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga
mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan
reaksi kusta.2Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan
untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg
juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan
II.Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).Obat alternatif
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M.
leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat
termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi.2Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada
rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek sampingnya
adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan
unsteadiness.2Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap M. leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99%
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare.2Regimen Pengobatan
Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi tunggal diberikan
ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja
langsung RFT (Release From Treatment). Obat diminum di depan
petugas. Anak-anak dan ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat
ROM belum tersedia di Puskesmas, pasien diobati dengan regimen
pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dengan pembesaran saraf
diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Penatalaksanaan kusta menggunakan MDT menurut WHO tahun 1998
adalah sebagai berikut:6Tabel 2.4 Regimen pengobatan kusta dengan
lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES
RIRifampicinOfloxacinMinocyclin
Dewasa600 mg400 mg100 mg
Anak
(5-14 th)300 mg200 mg50 mg
PB dengan lesi 2-5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa
diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini
dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat.Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler
(PB)2,3RifampicinDapson
Dewasa600 mg/bulan
Diminum di depan petugas kesehatan100 mg/hr diminum di rumah
Anak-anak
(10-14 th)450 mg/bulan
Diminum di depan petugas kesehatan50 mg/hari diminum di
rumah
MB (BB, BL, LL) dengan lesi >5. Lama pengobatan 12 dosis ini
bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12
dosis obat ini, dinyatakan RFT (Realease From Treatment) yaitu
berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.Tabel
2.6 Regimen MDT pada kusta Multibasiler
(MB)2,3RifampicinDapsonLamprene
Dewasa600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan100 mg/hari
diminum di rumah300 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
dilanjutkan dengan 50 mg/hari diminum di rumah
Anak-anak
(10-14 th)450 mg/bulan diminum di depan petugas50 mg/hari
diminum di rumah150 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan
dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari diminum di rumah
Obat morbus hansen dari WHOReaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta
yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau
reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip
antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada
reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 3Tabel
2.7 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2 3No.Gejala/tandaTipe I
(reversal)Tipe II (ENL)
1Kondisi umumBaik atau demam ringanBuruk, disertai malaise dan
febris
2Peradangan di kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang
(merah), dapat timbul bercak baruTimbul nodul kemerahan, lunak, dan
nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3Waktu terjadiAwal pengobatan MDTSetelah pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6 bulan
4Tipe kustaPB atau MBMB
5SarafSering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi
sarafDapat terjadi
6Keterkaitan organ lainHampir tidak adaTerjadi pada mata, KGB,
sendi, ginjal, testis, dll
7Faktor pencetus Melahirkan
Obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh Emosi
Kelelahan dan stress fisik lainnya
kehamilan
Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan
tipe 2 3NoGejala/tandaTipe ITipe II
RinganBeratRinganBerat
1.KulitBercak : merah, tebal, panas, nyeriBercak : merah, tebal,
panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecahNodul :
merah,panas,nyeriNodul : merah, panas, nyeri yang bertambah parah
sampai pecah
2Saraf tepiNyeri pada perbaan (-)Nyeri pada perabaan (+)Nyeri
pada perabaan (-)Nyeri pada perabaan (+)
3Keadaan umumDemam (-)Demam (+)Demam (+)Demam (+)
4Keterlibatan organ lain---+
Terjadi peradangan pada :
mata : iridocyclitis
testis : epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa : limfadenitis
gangguan pada tulang, hidung, dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat2.10 PENCEGAHAN CACAT
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat
MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf.
Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi
reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau
nyeri juga memiliki resiko tersebut.2
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang
mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan
otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit,
lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan
aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang
pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan
tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik
tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat
mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut.2
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan
syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki
yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda
yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi
matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit
sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyaki agar tidak kering dan pecah.2
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada
tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah
klasifikasi cacat pada penderita kusta:2Cacat pada tangan dan
kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan
atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
Tingkat 2: terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tingkat 0: tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk
visus).
Tingkat 1: ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak
terlihat, visus sedikit berkurang.
Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat (misalnya
lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat
terganggu.2.11 PROGNOSISBergantung pada seberapa luas lesi dan
tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan
pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami
kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.BAB
IIIKESIMPULAN
Kusta adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat dan
menyerang kulit, saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit ini
sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk
klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid.
Diagnosa pada kusta didasarkan pada diagnostik secara klinis
dimana terdapat tiga tanda kardinal yang khas yaitu lesi kulit yang
mati rasa (hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa atau
anestesi), penebalan saraf perifer dan ditemukan M. leprae
(bakteriologis positif). Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan
BTA dan menentukan indeks bakteri membantu membedakan jenis kusta
yang diderita.Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi
Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981.
Tujuan dari program MDT adalah mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan adalah
kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada
kulit. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obat kombinasi,
menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjadi lebih
sederhana.DAFTAR PUSTAKA1. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman
nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Bakti
Husada.2. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih
Menaldi. Kusta. 2010. Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;h.
73-88.3. Lewis S. Leprosy. Update 4 Februari 2010. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall4.
Siregar. 2003. Saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;.h. 124-6.5. World Health Organization. WHO model
prescribing information: drug used in leprosy. Diunduh dari:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html6. Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI. 2008. Fritzpatricks Dermatology in General
Medicine. 7th Edition. Mc Graw Hill;h. 1787-96.