KLASIFIKASI LEPRA I. Pendahuluan Penyakit kusta adalah penyakit menular kronis dan disebabkan oleh basil tahan asam Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular yang bermanifestasi pada kulit dan saraf tepi. 1,2,3,4 Penyakit kusta memiliki beberapa nama lain, yaitu Hansen disease, Hansenosis, Hanseniasis atau lepra (leprosy). Nama yang banyak digunakan adalah Morbus Hansen, penyakit kusta atau lepra. 2,3 Penyakit kusta merupakan salah satu masalah yang serius khususnya bagi negara-negara berkembang. Meskipun Penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, tetapi penyakit kusta dapat menyebabkan deformitas dan kecacatan. 2,3 Dari hasil pencatatan pada tahun 2007 dalam weekly epidemiology of leprosy, prevalensi terjadinya adalah sekitar 224.717 kasus dari seluruh dunia. Meskipun prevalensi terjadinya lepra ini telah mengalami penurunan dari tahun 2006 yaitu sekitar 259.017, tetapi penyakit kusta masih menjadi kekhawatiran khususnya pada negara-negara berkembang. 5 Prevalensi kejadian penyakit kusta tertinggi ditemukan pada negara-negara berkembang seperti, Asia, Afrika, Amerika tengah dan amerika selatan. Hal ini mungkin berhubungan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KLASIFIKASI LEPRA
I. Pendahuluan
Penyakit kusta adalah penyakit menular kronis dan disebabkan oleh basil tahan
asam Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular yang bermanifestasi pada
kulit dan saraf tepi.1,2,3,4
Penyakit kusta memiliki beberapa nama lain, yaitu Hansen disease, Hansenosis,
Hanseniasis atau lepra (leprosy). Nama yang banyak digunakan adalah Morbus Hansen,
penyakit kusta atau lepra. 2,3
Penyakit kusta merupakan salah satu masalah yang serius khususnya bagi negara-
negara berkembang. Meskipun Penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, tetapi
penyakit kusta dapat menyebabkan deformitas dan kecacatan. 2,3
Dari hasil pencatatan pada tahun 2007 dalam weekly epidemiology of leprosy,
prevalensi terjadinya adalah sekitar 224.717 kasus dari seluruh dunia. Meskipun
prevalensi terjadinya lepra ini telah mengalami penurunan dari tahun 2006 yaitu sekitar
259.017, tetapi penyakit kusta masih menjadi kekhawatiran khususnya pada negara-
negara berkembang. 5
Prevalensi kejadian penyakit kusta tertinggi ditemukan pada negara-negara
berkembang seperti, Asia, Afrika, Amerika tengah dan amerika selatan. Hal ini mungkin
berhubungan dengan rendahnya standar kehidupan, higiene yang rendah, serta iklim yang
tropis. 5
Gambaran klinis penyakit kusta telah ditemukan pada awal 600 SM di India dan
200 SM di Cina dan Jepang. Sekitar abad ke-19, Danielssen dan Boeck memaparkan
gambaran klinis pertama untuk penyakit kusta dan pada tahun 1870, Gerhard Handrik
Araunauer Hansen, melakukan penyelidikan mikrobiologi dan epidemiologi dari
mycobacterium leprae. 3
Pada tahun 1952, WHO mengklasifikasikan penyakit kusta. Pada tahun 1953 di
Madrid dikeluarkan international system of classification. Tahun 1966, Ridley dan
Jopling mengeluarkan klasifikasi serupa berdasarkan status imun pasien. 3
1
Penyakit kusta pertama kali diklasifikasikan pada tahun 1848 di manila yang
disebut dengan klasifikasi pre Manila. 3
Klasifikasi yang sekarang banyak digunakan yaitu klasifikasi WHO dan klasifikasi
Ridley & Jopling. Pada makalah ini, akan dibahas mengenai klasifikasi Madrid,
klasifikasi WHO, dan klasifikasi Ridley & Jopling.
Klasifikasi Lepra
Penyakit kusta memiliki manfestasi klinis bervariasi, hal ini bukan disebabkan
karena strain Mycobacterium leprae yang berbeda melainkan akibat perbedaab respon
jaringan host terhadap basil Mycobacterium leprae. Jika resisten host terhadap basil ini
tinggi, akan muncul gejala ringan dan lokal. Jika tidak ada resistensi host terhadap basil
mycobacterium leprae, akan muncul gejala berat dan luas. Antara kedua bentuk ini
terdapat spektrum variasi yang luas dalam resistensi yang bermanifestasi menjadi
beberapa bentuk intermediate lepra. 4,6
Dalam perkembangan terdapat beberapa klasifikasi , yaitu : klasifikasi pre Manila
(1848), klasifikasi manila (1931), klasifikasi Kairo (1938), klasifikasi PAN Amerika
(1946), klasifikasi havana (1948), klasifikasi WHO & revisi (1952) international system
of classification (Madrid, 1953), klasifikasi india original (1953) & revisi (1981),
Kutaneus Lesi 1 atau sedikit, berupa makula berbentuk anular berbatas tegas, dapat eritem atau hipopigmentasi, bersisik dan kering serta tidak berambut., lebih sering pada ekstremitas, bokong atau wajah
Lesi 1 atau sedikit, berbatas tegas, berupa makula bersisik atau plak, kadang-kadang dengan tepi yang meninggi
Lesi sedikit sampai banyak, berupa plak eritema atau hipopigmentasi dengan permukaan bersisik dan berbatas tegas kadang terdapat lesi satelit yang biasanya anular
Beberapa plak dengan area sentral berbatas tegas Dapat juga berupa infiltrasi eritematosa ireguler dengan daerah sentral yang tidak terlibat (”Swiss cheese” appearance).
Lesi banyak, simetris, berupa daerah eritematosa, berkilat. Kadang berupa makula, papul, nodul hipopigmentasi dengan tepi melandai. Bisa didapatkan (”Swiss cheese” appearance)
Lesi multipel dan simetris. Berupa makula eritematosa, berwarna seperti tembaga, kemudian mengalami indurasi diikuti pembentukan nodul pada wajah terutama telinga dan hidung, ekstremitas terutama sendi dan badan. Dapat terjadi madarosis pada alis,dan ulserasi mukosa hidung.
Perubahan neuropatik
Lesi hipestesi derajat ringan, tidak ada pembesaran saraf perifer
Lesi anestesi, kadang terdapat pembesaran saraf pada area lesi
Lesi anestesi, beberapa saraf perifer asimetris terlibat
Lesi hipestesi atau anestesi, tersebar luas, dan keterlibatan saraf perifer sering terjadi,
Biasanya tidak ada gangguan sensoris pada stadium awal, berikutnya terjadi neuropati
15
dapat simetris ataupun asimetris.
perifer simetris pada lengan dan tungkai disertai anestesia ”stocking dan glove” dan anestesia saraf wajah. Terdapat keterlibatan mata (konjunctiva, kornea dan iris)
Gambaran histopatologis
Epidermis normal atau dapat atrofi. Terdapat infiltrasi sel limfosit Tidak ada granuloma
Epidermis atrofi. Terdapat granuloma terdiri dari sel epiteloid dan sel raksasa Langhans.. Tidak ada sub epidermal clear zone.
Epidermis atrofi. Terdapat granuloma terdiri dari sel epiteloid dan sel raksasa Langhans. Terdapat sub epidermal clear zone.
Epidermis atrofi. Terdapat granuloma terdiri dari sel epiteloid, , makrofag, dan limfosit. Terdapat sub epidermal clear zone.
Epidermis atrofi. Terdapat sub epidermal clear zone. Banyak basil di dalam makrofag.
Sitoplasma makrofag foamy dan bervakuola. Hanya sedikit limfosit. Sangat banyak basil di dalam makrofag. Terdapat sub epidermal clear zone.
Bakterial indeks
Nol (pausibasilar)
Nol (pausibasilar)
Nol atau sedikit (pausibasilar atau multibasilar)
+2 - +3 (multibasilar)
+4 - +5 (multibasilar)
+6 atau lebih (multibasilar)
Tes lepromin Bervariasi Positif kuat Positif lemah Negatif Negatif Negatif
16
Klasifikasi WHO
Klasifikasi ini dikembangkan oleh kelompok ahli WHO pada tahun 1982 dan
khusus dimaksudkan untuk pengobatan pada kondisi lapangan. Dalam klasifikasi ini
seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam dua tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan
Multibasilar (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah negatif dan positifnya basil tahan
asam (BTA) dalam skin Smear.10,11
Yang dimaksud dengan Tipe Multibasiler berarti mengandung banyak basil yaitu
tipe Lepromatouse (LL), tipe Boderline Lepromatous (BL), dan Boderline (BB) pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan Tipe
Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil yaitu tipe Intermediate (I), Tuberkuloid
(TT), dan Boderline Tuberkuloid (BT) dengan indeks bakteri (IB) kurang dari 2+.12,15,10
Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah Kusta dengan BTA (Basil Tahan Asam) negativ
pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley- Jopling.
Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta
MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL dan LL atau apapun
klasifikasi klinisnya denga BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.11,15
Terkadang, pada kondisi lapangan, klasifikasi hanya didasarkan pada gambaran
klinik dari penyakit kusta yang diderita. Dalam keadaan ragu ragu untuk
mengklasifikasikan tipe penyakit kusta yang diderita, konfirmasi klasifikasi akan
dilakukan oleh Wasor Kabupaten / Propinsi, termasuk kemungkinan melakukan
pemeriksaan hapusan kulit (skin smear). Namun jika fasilitas dan perangkat laboratprium
tidak memungkinkan untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya, penyakit dapat
diklasifikasikan sebagai Tipe Multibasiler (MB).11
Dasar dari klasifikasi dari WHO ini adalah jumlah bercak yang mati rasa (bercak
kusta), adanya jumlah penebalan saraf tepi yang disertai dengan adanya gangguan fungsi
yang dapat berupa kurang / mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf
yang bersangkutan dan positif / negatifnya BTA (basil tahan asam).8,11
17
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO adalah
sebagai berikut :
Tabel I. Klasifikasi MH menurut WHO 11
Tanda utama PB MB
Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah lebih dari 5
Penebelan saraf tepi yang
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi
bisa berupa kurang / mati
rasa atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang bersangkutan)
Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
Sediaan hapusan BTA negatif BTA positif
Tabel II.Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
penyakit kusta 11
Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaan
PB MB
1. Bercak (makula) mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
b. Disstribusi Unilateral atau
bilateral asimetris
Bilateral asimetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Haus,berkilat
d. Kehilangan rasa pada
bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,jika
ada terjadi yang sudah
lanjut
e. Kehilangan kemampuan
berkeringat,bulu rontok
pada bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,jika
ada terjadi yang sudah
lanjut
f. Batas tegas Kurang tegas
2. Infiltrat
18
a. Kulit Tidak ada Ada,kadang kadang tidak
ada
b. membrana mukosa
(hidung tersumbat,
perdarahan di hidung)
Tidak pernah ada Ada,kadang kadang tidak
ada
3. ciri-ciri Central
healing(penyembuhan
si tengah)
- punched out( lesi bentuk
seperti donat)
- madarosis
- ginekomasti
- hidung pelana
- suara sengau
4. nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. deformitas Terjadi dini Biasanya simetris
Pada pertengahan tahun 1997,WHO expert Committe menganjurkan klasifikasi
kusta menjadi Pausibasiler (PB) dengan satu lesi pada kulit (single lesion), Pausibasiler
(PB) dengan 2-5 lesi kusta pada kulit dan Multibasiler (MB) dengan > 5 lesi pada kulit.3,11
19
II. KESIMPULAN
Nilai-nilai klasifikasi adalah sangat berguna untuk dapat menentukan secara
akurat posisi pasien dalam spektrum, untuk mengklasifikasi penyakitnya karena
penentuan posisi penyakit pasien yang benar dalam spektrum pada saat diagnosis akan
membantu menentukan respon yang mungkin terjadi, lamanya pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin terjadi, sehingga tindakan pencegahan yang tepat dapat
dilakukan.10
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Pardillo E, Fajardo T, Abalos R, Scorllard D, Gelber R. Methods for the classification of leprosy for treatment purposes. [Online]. 2007 [cited 2007 March]
2. Louisiana Office of Public Health. Hansen’s Disease (Leprosy). [Online]. 2004 [cited 2007 Aug]; Available from : URL : http://www.oph.dhh.state.la.us
3. Silva MR, Maria CR. Mycobacterial Infections. In: Jean LB, Joseph LJ, Ronald PR, editors. Dermatology; vol 1. London : Mosby; p.114
4. Rea TH, Robert LM. Leprosy. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine; 6th ed. New York (USA) : McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2003.p.1963-1965
5. WHO. Weekly epidemiological record (Leprosy). [Online]. 2007 [cited 2007 June]; Available from : URL : http://www.who.int/wer
ed. New York (USA): Churchill Livingstone; 1994. p.179-189.
7. Harada K. Biopsy of Skin Lesions in Leprosy; 2nd ed. Tokyo (Japan): Higashimurayama, National Sanatorium Tamazenseiyen; 2001. p11,13,20
8. Moschella SL. An Update on the Diagnosis and Treatment of Leprosy. Burlington, Massachussetts: American Academy of Dermatology, Inc.; 2004
9. Guinto RS, Rodolfo MA, Roland VC, Tranquilino TF. Atlas Kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI; 2004. p.
10. Bryceson A, Roy EP. Leprosy; 3rd ed. New York (USA) : Churchill Livingstone; 1990. p 11-23.
11. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2005.p.40.
12. Amiruddin D. Penyakit kusta. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; 2001.h.1-6.
13. The Diagnosis and Clasification of leprosy.International Journal of Leprosy and Other Mycobacterial Diseases. USA: International leprosy Association Technical Forum;2002.p.523.
14. Global Strategy for Further Reducing the Leprosy Burden and Sustaining Leprosy Control Activities 2006-2010. India: WHO Regional Office for South-East Asia;2006.p.11-2.
15. Kosasih A,I Made W,Emmy SD,Sri LM. Kusta. dalam: Djuanda A, Mochtar H, Siti A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 4. Jakarta: FKUI; 2005. h.73-5