8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
1/34
1
TUGAS REFERAT BLOK DMS
TINEA KAPITIS
Pembimbing:
dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc
Oleh
Kelompok 4
Faishal Hanif G1A012034Miranti Probosini G1A012035
Arvin Lutfiani G1A012036
Nugraha Ramadhan G1A012037
Firyal Maulia G1A012038
Nadia Hanifah G1A012039
Dzicky Rifqi Fuady G1A012040
Masayu Athifah Fitriahani G1A012041
Astri Dewi Wardhani G1A012042
M. Benni Kadapih G1A012043
Hazar Arfita Audina G1A012044
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
2/34
2
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS REFERAT BLOK DMS
TINEA KAPITIS
Oleh
Kelompok 4:
Faishal Hanif G1A012034
Miranti Probosini G1A012035
Arvin Lutfiani G1A012036
Nugraha Ramadhan G1A012037
Firyal Maulia G1A012038
Nadia Hanifah G1A012039
Dzicky Rifqi Fuady G1A012040
Masayu Athifah Fitriahani G1A012041Astri Dewi Wardhani G1A012042
M. Benni Kadapih G1A012043
Hazar Arfita Audina G1A012044
Disusun untuk memenuhi tugas blok Dermatomuskuloskeletal pada
Jurusan Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Diterima dan disahkan,
Purwokerto, 20 November 2013
Dosen Pembimbing,
dr. Evy Sulistyoningrum, M.Sc
NIP 19800413.200501.2.001
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
3/34
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ 1HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
4/34
4
I. PENDAHULUAN
Tinea kapitis adalah salah satu kelainan di sistem dermatologi yang
menyerang rambut. Penyakit ini digolongkan sebagai mikosis superfisialis atau
dermatofitosis dan disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala,
alis dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang batang rambut dan akar
folikel rambut. Kelainan ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan,
alopesia, bahkan kadang-kadang ditandai gejala yang lebih berat, yaitu kerion
(Djuanda, 2010).
Tinea kapitis telah menjadi masalah serius di Indonesia dan di dunia. Didunia, prevalensi tinea kapitis tertinggi terjadi di Afrika, Asia dan Eropa Tenggara.
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat insidennya rendah. Di Amerika serikat,
jumlah penderita tinea kapitis 3-8 % dari populasi anak-anak (Richardson, 2003).
Sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa penduduk etnis Arab paling
sering terkena tinea kapitis (42%), disusul etnis Nuer dan Dinka (22%) dan
Afganistan (14%) (McPherson et al., 2005). Sementara itu, penelitian tinea kapitis
di India didapatkan bahwa terdapat 4,9 % orang dewasa terkena tinea kapitis
(Kumarh et al., 2003).
Di Medan, pasien tinea kapitis didapatkan sekitar 0,4% (tahun 1996-1998)
dari kasus dermatofitosis dan biasanya terjadi secara musiman. Di FKUI/RSCM,
tinea kapitis (tahun 1989-1992) jumlahnya 0,61-0,87% dari kasus jamur kulit. Di
Manado (tahun 1990-1991) insiden tinea kapitis mencapai 1,2-6,0% dari kasus
dermatofitosis sedangkan di Semarang sebesar 0,2%. Di Surabaya, kasus baru
tinea kapitis antara tahun 2001-2006 insidensinya antara 0,31%-1,55% dengan
tipe kerion adalah yang tersering (62,5%), disusul tipe Grey Patch (37,5%),
sementara tipe Black dot tidak ditemukan (0%). Penderita anak laki-laki lebih
banyak (54,5%) dibanding anak perempuan (45,5%) (Kumarh et al., 2003).
Walaupun terlihat ringan dan jarang menimbulkan kematian, akan tetapi salah satu
jenis infeksinya, yaitu infeksi endotriks, bisa menyebabkan penyakit sistemik
yang menyebar (disseminated systemic disease) yang memerlukan penanganan
yang lebih sulit lagi. Dengan demikian, mahasiswa perlu memahami penyakit
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
5/34
5
lebih dalam lagi untuk kepentingan klinis (Kao, 2013).
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tinea Kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang menyerang
kulit kepala dan rambut (Siregar, 2005). Tinea Kapitis disebabkan oleh
infeksi jamur superfisial pada kulit kepala, alis dan bulu mata dengan
kecenderungan menyerang batang rambut dan akar folikel rambut.
Penyakit ini termasuk ke dalam mikosis superfisialis atau dermatofitosis
(Kao, 2013).
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan morfologi
Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan morfologinya menjadi
jenis ektotrik, endotrik dan favus. Jenis ektotrik ditandai dengan
adanya hifa jamur dan selubung artrokondria di luar rambut hingga ke
zona keratinisasi rambut dan bisa merusak kutikula (Rudnicka et al.,
2012). Rambut yang terinfeksi memancarkan pendaran kuning
kehijauan cerah pada pemeriksaan dengan lampu Wood.
Penyebabnya antara lain Microsporum canis, Microsporum gypseum,
Trichophyton equinum,dan Trichophyton verrucosum(Kao, 2013).
Gambar 2.1 Hifa dan spora jamur di luar rambut (panah merah)
pada tinea kapitis jenis ektotrik (JRM, 2013).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
6/34
6
Jenis endotrik ditandai dengan pengisian batang rambut dengan
hifa jamur dan artrokondria sehingga semua elemen rambut bisa
dilemahkan oleh jamur (Rudnicka et al., 2012). Kutikula rambut
masih intak dan rambut yang terinfeksi tidak memancarkan pendaran
cahaya dengan lampu Wood. Penyebabnya antara lain Trichophyton
tonsuransdan Trichophyton violaceum(Kao, 2013).
Gambar 2.2 Hifa dan spora jamur di dalam rambut (panah merah)
pada tinea kapitis jenis endotrik (JRM, 2013).
Jenis favus (endotrik favosa) biasanya disebabkan oleh
Trichophyton schoenleinii dengan ciri khas adanya rongga udara di
dalam rambut yang terinfeksi (Rudnicka et al., 2012).
2. Berdasarkan penampakan klinis
Tinea kapitis diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinisnya
menjadi tiga jenis, yaitu inflamatori, non-inflamatori dan favus. Jenis
noninflamatori (epidemik) sering disebabkan oleh jamur antropofilik
dan sering menyerang anak-anak dan ditandai dengan adanya rambut
pendek dengan panjang bervariasi, jaringan parut sedikit dan adanya
black dot. Tinea kapitis jenis ini biasanya disebabkan oleh
Microsporum canis(Rudnicka et al., 2012).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
7/34
7
Gambar 2.3 Rambut yang pendek dengan panjang bervariasi
(panah merah) pada tinea kapitis noninflamatori
(Habif et al., 2004)
Tinea kapitis inflamatori sering disebabkan jamur zoofilik atau
geofilik dan ditandai dengan adanya pustul. Tinea kapitis favus (tinea
kapitis favosa) biasanya ditandai dengan adanya krusta, dan material
amorfik yang mengandung sisa rambut, hifa jamur dan debris keratin
sedangkan batang rambutnya normal. Pada fase kronisnya, tinea
kapitis favosa bisa menyebabkan kerontokan rambut (Rudnicka et al.,
2012).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
8/34
8
Gambar 2.4 Pustul pada tinea kapitis inflamatori (panah biru) pada
tinea kapitis inflamatori (Habif et al., 2004)
Gambar 2.5 Krusta (panah merah) pada tinea kapitis favosa
(doctorfungus, 2013)
C. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Tinea kapitis umumnya disebabkan spesies dermatofit, kecuali E.
floccosum, T. concentricum dan T. mentagrophytes var. interdigitale
(T. interdigitale) yang semuanya jamur antropofilik tidak
menyebabkan tinea kapitis dan T. rubrum jarang. Setiap negara dan
daerah berbeda-beda untuk spesies penyebab tinea kapitis. Perubahan
waktu juga dapat menyebabkan adanya spesies baru karena penduduk
migrasi. Spesies antropofilik (yang hidup di manusia) adalah
penyebab yang predominan (Clayton & Moore, 2006). Sebuah studi
terbaru pada tahun 2012 di maroko menunjukkan bahwa penyebab
terbesar tinea kapitis didominasi oleh dua spesies, yaitu Trichophyton
violaceum (60.8%) dan Microsporum canis (21.6%) (Elmaataoui et
al., 2012).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
9/34
9
Trichophyton violaceum memiliki badan nodular, mikrokonidia
berbentuk piriform, makrokonidia yang berbentuk ireguler dan jarang
terlihat serta adanya klamidiospora asimetris (Mihali et al., 2012).
Gambar 2.6 Trichophyton violaceum dengan kepala (panah biru),
badan nodular (panah merah), dan mikrokonida (panahhijau)(Murray et al., 2005)
Microsporum canismemiliki struktur makrokonidia yang panjang,
berdinding tebal, kepala asimetris di ujung dengan sedikit
mikrokonidia di bagian lateral. M. canis memiliki hifa berbentuk
seperti raket, badan nodular, dan dapat memiliki klamidiospora
(Mihali et al., 2012).
Gambar 2.7 Microsporum canis dengan kepala asimetris (panah
hitam) dan badan nodular (panah merah) (Murray et al.,
2005)
Epidermophyton floccosum memiliki struktur dinding yang tumpul,
makrokonidia berbentuk stik bergerombol. E. floccosum tidak
memiliki mikrokonidia, akan tetapi memiliki banyak klamidiospora
(Al-Janabi, 2009).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
10/34
10
Gambar 2.8 Epidermophyton floccosumdengan makrokonidia (panah
biru) dan klamidiospora (panah merah) (Murray et al.,
2005)
2. Predisposisi
Infeksi tinea kapitis akan meningkat pada keadaan berikut ini
(Elewski et al., 2012):
a. Lingkungan yang hangat dan lembab
b.
Terdapat luka kecil pada kulit terutama kulit kepala
c. Jarang membersihkan rambut dan kulit kepala
d. Permukaan kepala yang lembab dalam waktu lama
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang dapat
terinfeksi tinea kapitis antara lain (Shannon, 2013):
a. Usia dibawah 10 tahun
b. Ras Afrika lebih beresiko daripada ras lain
c.
Pajanan terhadap binatang yang terinfeksi
d. Higenitas yang buruk
e. Pemakaian sisir dan topi bergantian
f. Diabetes Melitus
g.
Kelainan sistem imun seperti pada penyakit AIDS
Menurut Wolff et al., (2008), Faktor-faktor predisposisi yang
dihubungkan dengan meningkatnya insidensi tinea antara lain:
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
11/34
11
a. Faktor nutrisi, seperti avitaminosis, defisiensi besi, defisiensi
folat, dan malnutrisi generalis.
b.
Penyakit sistemik seperti Downs Syndrome, Diabetes mellitus,
penyakit Cushing, uremia, keganasan hematologi, timoma, dan
penyakit imunodefisiensi.
c.
Penyebab iatrogenik, antara lain pemberian kortikosteroid,
imunosupresi, dan antibiotik spektrum luas seperti metronidazole
yang akan memudahkan terjadinya infeksi.
D. Patofisiologi
Microsporum canis dan T.tonsurans ditularkan melalui kontak
antara anak dengan anak dan mengakibatkan terbentuknya pitak berbentuk
oval. Rambut patah dengan panjang yang berbeda-beda dan permukaan
kulit kepala bersisik dan berkrusta dengan papula yang diskret. M. canis
biasanya ditularkan dari anak kucing ke anak-anak dan menimbulkan
pitak-pitak radang purulen. Pitak tersebut biasanya berkrusta dengan
banyak pustula dan dapat menimbulkan alopesia permanen. Lesi yang
meradang dapat membentuk massa besar, lunak, dan yang disebut kerion
(Stawiski & Price, 2006).
Proses inokulasi dapat dilakukan untuk mendapatkan hifa jamur
berbentuk sentrifugal di stratum korneum dan tumbuh mengikuti dinding
keratin folikel rambut. Zona yang terlibat meluas hingga keatas mengikuti
arah pertumbuhan rambut dan dapat diamati diatas permukaan kulit kepala
pada hari ke 12-14. Rambut yang terinfeksi menjadi rapuh dan mudah
patah. Setelah minggu ketiga, rambut yang mengalami kerusakan akan
terlihat jelas. Jika infeksi berlangsung terus menerus kira-kira hingga 8
sampai dengan 10 minggu maka akan menyebar ke bagian stratum
korneum rambut lainnya dengan diameter tempat yang terinfeksi mencapai
3,5 hingga 7 cm (Kao, 2013).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
12/34
12
a. Grey Patch Ringworm(Budimulja, 2009)
Jamur (Microsporum)
Masuk (menginfeksi)
menyerang rambut membentuk papul merah kecil
di folikel rambut
warna rambut menjadi abu-abu
melebar
mudah patah, terlepas (rontok)
bercak
alopesia setempat
pucat, bersisik
gatal
b. Black Dot Ringworm(Budimulja, 2009)
Trichophyton tonsurans, T. violaceum
Infeksi rambut (muara folikel)
Rambut patahblack dot
Sisa: ujung rambut penuh spora
c.
Kerion (Rengganis & Bratawidjaja, 2012)
Microsporum canis, M. gypseum
Aktivasi makrofag Merangsang produksi sitokin
IL-1, TNF-
Produksi sitokin TNF dan IFN
Adhesi endotel
aktivasi sel NK
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
13/34
13
Infiltrasi neutrofil
Pelepasan bahan fungisidal ROI
(Reactive Oxygen Intermediate)
dan enzim lisosom
inflamasi
menonjoljaringan parut
alopesia menetap
d. Tinea favosa
Tinea favosa adalah infeksi dermatofita yang menyebabkan
inflamasi kronis biasanya disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii.
Tinea favosa juga bisa disebabkan oleh Trichophyton violaceum,
Trichophyton mentagrophytes var quinckeanum, atau Microsporum
gypseum. Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta
yang berbentuk cawan (skutula), serta memberi bau busuk seperti bau
tikus "moussy odor". Rambut diatas skutula putus-putus dan mudah lepas
dan tidak mengkilat lagi. Bila sembuh akan meninggalkan jaringan parut
dan alopesia yang permanen (Savitri, 2010).
Pada kebanyakan pasien, favosa adalah bentuk parah dari tinea
kapitis. Rambut dapat tumbuh dan memanjang meskipun dalam keadaan
sakit. Karakteristik khas pada favosa adalah pembentukan ruang udara
antara hifa dalam rambut yang terinfeksi. Ruang udara ini terbentuk
sebagai akibat dari autolisis hifa (Savitri, 2010).
Trichophyton schoenleinii,Trichophyton violaceum
Trichophyton mentagrophytes var quinckeanum,
Microsporum gypseum
Infeksi kulit kepala
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
14/34
14
Tinea favosa
Bintik kecil, merah
Krusta cawan (spatula)
Bau busuk (moussy odor)
Rambut putus-putus, tidak mengkilat
Jaringan parut, alopesia permanen
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Penegakan diagnosis dapat dimulai dari tahap anamnesis. Secara
umum, pasien tinea kapitis datang dengan keluhan sebagai berikut(Budimulja, 2011):
a. Gatal pada kulit kepala terutama jika sedang berkeringat.
b. Pasien dengan tinea kapitis bentuk Grey Patch Ringworm akan
mengeluh gatal pada kulit kepala, rambut mudah patah dan
terlepas dari akarnya.
c. Pada bentuk kerion, muncul pembengkakan yang menyerupai
sarang lebah pada kulit kepala dan dapat menimbulkan jaringan
parut yang menonjol sehingga timbul keluhan bengkak disertai
nyeri pada kulit kepala.
d. Pada bentuk Black Dot Ringworm, terdapat kerontokan rambut
yang meninggalkan ujung rambut hitam pada kulit kepala atau
disebut black dot.
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
15/34
15
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasen tinea kapitis bentuk
Grey Patch Ringworm yaitu papul merah kecil disekitar rambut dan
akan melebar, membentuk bercak serta bersisik. Warna rambut
menjadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi. Rambut juga mudah patah
dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset
tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh
jamur, sehingga terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini
terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik
tidak menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti (Budimulja,
2011).
Gambar 2.9 Grey patch (Panah merah)pada tinea kapitis jenis Grey
Patch Ringworm (Kao, 2013).
Pada tinea kapitis bentuk kerion dapat ditemukan pembengkakan
yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang
padat disekitarnya. Kelainan ini dapat menyebabkan jaringan parut
yang menonjol dan berakibat alopesia menetap (Budimulja, 2011).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
16/34
16
Gambar 2.10 Bentuk kerion (panah merah) pada tinea kapitis jenis
kerion (panah merah) (Kao, 2013)
Pada bentukBlack Dot Ringworm, ditemukan rambut patah
akibat infeksi, tepat pada muara folikel dan yang tertinggal adalah
ujung rambut penuh spora. Jika tumbuh, ujung rambut yang patah
terkadang akan masuk ke bawah permukaan kulit (Budimulja,
2011).
Gambar 2.11 BentukBlack dotpada tinea kapitis tipeBlack Dot
Ringworm(panah merah (Oishi, 2013)
Tinea favosa Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh
Trychophiton schoenlini, Trychophithon violaceum, danMicrosporum
gypseum. Penyakit ini mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula
warna kekuningan bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi
sikatrik alopecia permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran
ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel
rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta
lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadikerontokan lebih
luas, kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen.
Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, prinsip
pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis
(Higgins, 2008). Terapi tinea favosa juga sama dengan tinea kapitis
(Drake et al., 2008).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
17/34
17
Gambar 2.12 Skutula warna kekuningan (panah merah) pada Tinea
favosa (Anane, 2013)
3. Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan Lampu Wood
Rambut yang tampak dengan jamurM. canis,M. audouinii
dan M.Ferrugineum memberikan fluoresen warna hijau terang
oleh karena adanya bahan pteridin. Jamur lain penyebab tinea
kapitis pada manusia memberikan fluoresen negatif artinya warna
tetap ungu yaituM. gypsium dan spesies Trichophyton(kecuali T.
schoenleinii penyebab tinea favosa memberi fluoresen hijau
gelap). Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur yang tumbuh aktif
di rambut yang terinfeksi (Suyoso, 2012).
b.
Pemeriksaan sediaan KOHKepala dikerok dengan cutter, atau skalpel nomor 15 lalu
digunakan kasa basah digunakan untuk mengusap kepala. Proses
ini akan memperlihatkan ada potongan pendek patahan rambut
atau pangkal rambut dicabut yang ditaruh di object glass selain
skuama dan KOH 10% ditambahkan dan ditutup kaca penutup.
Potongan rambut pada kepala harus termasuk akar rambut, folikel
rambut dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
18/34
18
artrokonidia yang menunjukkan elemen jamur adalah artrokonidia
oleh karena rambut-rambut yang lebih panjang mungkin tidak
terinfeksi jamur. Pada pemeriksaaan mikroskop akan tampak
infeksi rambut ektotrik yaitu pecahan miselium menjadi konidia
sekitar batang rambut atau tepat dibawah kutikula rambut dengan
kerusakan kutikula. Pada infeksi endotrik, bentukan artrokonidia
yang terbentuk karena pecahan miselium didalam batang rambut
tanpa kerusakan kutikula rambut (Suyoso, 2012).
c. Kultur
Memakai swab kapas steril yang dibasahi akuades steril dan
digosokkan diatas kepala yang berskuama atau dengan sikat gigi
steril dipakai untuk menggosok rambut-rambut dan skuama dari
daerah luar di kepala, atau pangkal rambut yang dicabut langsung
ke media kultur. Spesimen yang didapat dioleskan di media
Mycosel atau Mycobiotic (Sabourraud dextrose agar +
khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test medium
(DTM) lalu ditunggu 7 - 10 hari agar mulai tumbuh jamurnya.
Penggunaan DTM dapat memperlihatkan adanya perubahan
warna merah pada hari 2-3 oleh karena ada bahan fenol di
medianya, walau belum tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit
positif (Suyoso, 2012).
4. Gold Standard Diagnosis
a. Lampu wood
Pemeriksaan dengan menggunakan lampu wood dapat
digunakan untuk melihat jamur. Prosedurnya adalah dengan
menyorotkan cahaya di ruangan yang gelap. Fluoresensi positif
pada tinea kapitis yang disebabkan genus Microsporum yang
menimbulkan warna kebiruan atau hijau kebiruan (Faradila et al.,
2009).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
19/34
19
Gambar 2.13 Flouresensi warna kebiruan (panah merah) pada
pemeriksaan dengan Lampu Wood (Faradila et al.,
2009)
b.
Kultur jamur
Selain menggunakan lampu wood, pemeriksaan penunjang
lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis tinea kapitis adalah
dengan melakukan kultur sehingga dapat diketahui jamur atau
organisme penyebab kerion (Faradila et al., 2009). Prosedurnya
antara lain adalah sebagai berikut (Faradila et al., 2009):
1) Mencabut sedikit rambut atau menusuk lesi yang berisi nanah
pada area kepala yang terkena
2) Selain itu untuk mendapatkan nanah, gosokkan cotton steril
pada lesi
3) Kirim spesimen yang didapat ke laboratorium
Hasil laboratorium ini didapatkan setelah 2-3 minggu. Pada
umumnya hasil laboratorium dapat mengidentifikasi jenis dari
dermatofita penyebab tinea kapitis dan kerion. Akan tetapi, perlu
dilakukan konfirmasi lebih lanjut untuk melihat hasil kultur
bakteri. Pembiakan dapat dilakukan pada (Faradila et al., 2009):
1)
Agar Dekstrosa Sabouraud (SDA)
SDA dapat dipakai untuk menumbuhkan jamur akan
tetapi dapat juga menumbuhkan kuman tertentu sehingga
ditambahkan antibiotik pada medium ini. Antibiotik yang
digunakan adalah kloramfenikol dan sikloheksimid.
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
20/34
20
2) Dermatophyte Test Medium (DTM)
DTM merupakan media khusus untuk menumbuhkan
jamur dermatofit. Sebagai anti kuman yaitu gentamisin dan
klortetrasiklin sedangkan sikloheksimid sebagai anti jamur
kontaminan. Positif bila adanya perubahan warna dari
kuning menjadi merah karena pengaruh metabolit
dermatofit.
Seringkali diagnosis kerion celsi dapat ditegakkan hanya
dengan melihat keadaan lesi pada pasien. Walaupun demikian,
sebaiknya untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan
pemeriksaan dengan mengambil bahan kerokan dari tempat lesi
dan diletakkan di atas slide dan diteteskan larutan KOH 10%
kemudian dilihat dibawah mikroskop (Faradila et al., 2009).
c. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mikroskop cahaya.
Preparat langsung dari kerokan kulit dengan larutan KOH 10%.
Awalnya, dilakukan pengamatan dengan pembesaran 10 x10
kemudian dilanjutkan dengan pembesaran 10 x 45 sehingga dapat
terlihat hifa atau spora dan miselium. Fungsi KOH adalah untuk
melarutkan debris dan lemak. Larutan KOH 10% dapat
melarutkan debris dan lemak dari kerokan kulit, rambut dan
mukosa. Pada sedian rambut yang dilihat adalah spora kecil
(mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di
luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-
kadang terlihat pula hifa pada sediaan rambut (Faradila et al.,
2009).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
21/34
21
Gambar 2.14 Spora (panah biru) dan pseudohifa (panah merah)
pada pememeriksaan mikroskopis Tinea Kapitis
dengan larutan KOH 10% (Faradila et al., 2009).
Pada pemeriksaan fisik, anak-anak bisa didiagnosis tinea kapitis
jika datang dengan kepala berskuama, eritema, alopesia, limfadenopati
servikal posterior atau limfadenopati aurikuler posterior atau kerion,
juga termasuk pustul atau abses, dissecting cellulitis atau black dot
(Suyoso, 2012).
d. Pemeriksan bentuk comma hairs, corkscrew hairs, dan broken
dystrophic hairs
Pada pasien dengan warna kulit gelap, seringkali sulit untuk
menemukan tanda-tanda di atas. Masalah ini telah diselesaikan dalampenelitian tahun 2011 yang berisi tentang pengamatan bentuk residu
rambut yang terlihat dengan pengamatan tanpa mikroskop untuk
menentukan adanya mikroorganisme penyebab tinea kapitis. Bentuk
residu rambut yang dapat diamati adalah comma hairs, corkscrew
hairs, dan broken dystrophic hairs(Hughes, Chiaverini, Bahadoran, &
Lacour, 2011). Pada tahun 2013 kembali dilakukan penelitian dan
hasilnya adalah bahwa metode ini juga bisa digunakan untuk pasien
berkulit putih (Neri et al., 2013).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
22/34
22
Gambar 2.15 Pengamatan bentuk comma hairs (panah merah),
corkscrew hairs (panah biru), and broken
dystrophic hairs (panah kuning) (Hughes et al.,
2011).
F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a.
Terapi lama
Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan sejak
tahun 1958. Gentles (1958) dan Martin (1958) secara terpisah
melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat menyembuhkan
dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan.
Sebelum zaman griseofulvin, pengobatan dermatofitosis hanya
dilakukan secara topikal dengan zat-zat keratolitik dan fungistatik
(Budimulija, 2010).
Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum
audouini misalnya, dilakukan pengobatan topikal dan disertai
penyinaran dengan sinar X untuk merontokkan rambut di bagian
yang sakit. Cara penyinaran ini, yang diberi dengan dosis tunggal
memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan untuk
melindungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu, efek
samping penyinaran yang mungkin timbul pada masa akan datang
cukup berbahaya (Budimulija, 2010).
Anak-anak yang telah mendapat penyinaran ternyata di
masa akan datang mendapat kemungkinan menderita keganasan
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
23/34
23
10 kali lebih besar daripada anak-anak yang tidak mengalami
penyinaran untuk pengobatan tinea kapitis. Pada masa sekarang,
dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian
griseofulvin yang bersifat fungistatik (Budimulija, 2010).
b.
Terapi baru
Obat tinea kapitis lebih manjur jika menggunakan obat
sistemik dibandingkan obat topikal karena obat topikal tidak
menembus folikel rambut. Obat topical lebih ditujukan untuk
menjadi tambahan dari obat sistemik (Richardson & David,
2012).
Griseofulvin merupakan obat jamur dan berperan dalam
menghambat mitosis dermatofit dan telah menjadi gold standard
terapi tinea kapitis. Obat ini sudah tersedia lebih dari 40 tahun dan
terbukti aman. Tersedia dalam dua sediaan, yaitu microsize dan
ultramicrosize (Bennasar & Ramon, 2010). Untuk sediaan
microsize dosis yang direkomendasikan adalah 20-25 mg/kgBB
dan untuk sediaan ultramicrosize sebanyak 10-15 mg/kgBB.
Griseofulvin diberikan selama 6-8 minggu, namun akan
memerlukan waktu lebih lama pada infeksi M. canis
dibandingkan T. tonsurans(Richardson & David, 2012).
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet. Untuk orang
dewasa diberi dosis 250 mg/hari. Untuk anak-anak
direkomendasikan dosis sebanyak 62,5 mg/hari untuk anak
dengan berat badan di bawah 20 kg, 125 mg/hari untuk anakdengan berat badan 20-40 kg, 250 mg/hari untuk anak dengan
berat badan di atas 40 kg. Pengobatan ini dilakukan selama 4
minggu. Untuk pemberian dosis lebih tinggi atau pengobatan
lebih lama ditujukan pada infeksiM. canis(Richardson & David,
2012).
Itraconazole bersifat lipofilik dan memiliki afinitas tinggi
terhadap keratin. Obat ini menempel pada sitoplasma lipofilik
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
24/34
24
keratinosit di dasar kuku dan mempertahankan kekokohan kuku.
Keberadaan sitoplasma dalam stratum korneum akan bertahan
selama 4 minggu setelah terapi. Kadar itraconazole dalam sebum
5 kali lebih tinggi dibandingkan dalam plasma dan bertahan
hingga 1 minggu setelah terapi (Bennasar & Ramon, 2010).
Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul atau oral solution.
Itraconazole dalam bentuk kapsul lebih baik dicerna saat makn,
sedangkan oral solution lebih baik dicerna setelah berpuasa untuk
mendapatkan bioavailibilitas maksimal. Respons yang diberikan
sama saja dan tidak tergantung pada bentuk sediaan. Dosis yang
direkomendasikan oleh dokter anak adalah 5 mg/kgBB/ hari dan
diberikan sejara kontinyu. Jika diberikan bersama sediaan oral
solution maka dosis akan dikurangi 3 mg/kgBB/hari (Bennasar &
Ramon, 2010).
Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, gangguan
pencernaan, ruam-ruam, dan terkadang terjadi abnormalitas enzim
hati. Obat ini juga dapat meningkatkan konsentrasi cyclosporine,
digoksin, dan cisapride. Jika digunakan bersama phenytoin,
isoniazid, dan rifampin, maka obat-obatan tersebut akan
menurunkan konsentasi itraconazole. Kontraindikasi dari obat ini
ialah pada penderita, gagal jantung, orang dengan enzim hati yang
tidak normal, dan yang pernah mengalami toksisitas dari obat
jamur lainnya (Bennasar & Ramon, 2010).
Sebuah penelitian pada tahun 2013 berusaha untuk
membandingkan efiksai obat Griseofulvin dan Terbinafin.Penelitian ini dilakukan dengan metode meta-analisis. Meta-
analisis dilakukan terhadap beberapa Random Clinical Trial
(RCT) berbahasa inggris dari situs Pubmed pada tahun 2011.
Beberapa RCT yand digunakan sebagai acuan tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
25/34
25
Tabel 2.1 Daftar RCT yang digunakan dalam meta-analisis
(Gupta & Drummond-Main, 2013).
Analisis terhadap beberapa RCT tersebut kemudian
dilanjutkan dengan membandingkan efikasi masing-masing obat
tersebut terhadap Microsporum sp. dan Trichophyton sp.
Kesimpulan yang didapatkan yaitu bahwa Griseofulvin memiliki
efikasi lebih tinggi untuk mengatasi tinea kapitis akibat
Microsporum sp., sedangkan Terbinafin memiliki efikasi lebih
sebagai terapi tinea kapitis akibat Trichophyton sp. (Gupta &
Drummond-Main, 2013).
c. Terapi kausatif
1) Antifungal Sistemik
Pada dasarnya, terapi antifungal sistemik sama dengan
terapi yang terdapat dalam bagian terapi baru yang telah
dijelaskan sebelumnya, yaitu antara lain adalah sebagai
berikut:
a) Golongan Griseofulvin (Richardson & David, 2012).
b)
Golongan alilamin, contohnyaTerbinafin (Richardson
& David, 2012).
c) Golongan azole, contohnya Itraconazole (Bennasar &
Ramon, 2010).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
26/34
26
d) Golongan polyene, contohnya amfoterisin B, nistatin,
natamisin (Neal, 2006).
e)
Golongan flusitosin (Neal, 2006).
2)
Antifungal Topikal
Terapi antifungal topikal pada tinea kapitis dapat
berupa sampo selenium sulfida, zink pyrithion, povidon
iodida atau sampo ketokonazol. Selain menggunakan
sampo, dapat pula diberikan krim atau lotion yang
mengurangi spora yang dapat hidup. Spora menyebabkan
penularan penyakit dan reinfeksi, serta menurunkan angka
kesembuhan dari terapi antifungal oral. Larutan terbinafin
0,01% dapat membunuh arthroconidia dari lima spesies
Trichophyton setelah waktu paparan 15-30 menit (Bennasar
& Ramon, 2010).
Krim atau lotion fungisidal diaplikasikan pada lesi
sekali sehari selama 1 minggu. Sampo digunakan pada kulit
kepala dan rambut yang terinfeksi dan didiamkan selama 5
menit 2 kali atau 3 kali per minggu selama 2-4 minggu
sampai pasien sembuh (Bennasar & Ramon, 2010).
d. Terapi Suportif
Terapi suportif pada pasien dengan tinea kapitis meliputi
edukasi pasien mengenai transmisi tinea kapitis. Jika agen aktif
yang diderita pasien adalah ektotriks antropofilik, maka pasien
dapat diizinkan kembali sekolah atau bekerja setelah seminggudari terapi antifungal dimulai. Pada kasus lain, pasien dapat
tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Sangat ditekankan
pada pasien untuk tidak menggunakan sisir, topi, helm, handuk
bersama dengan orang lain karena penggunaan barang-barang
yang kontak dengan lesi dapat berperan dalam transmisi
penyakit. Pada semua kasus tinea kapitis yang disebabkan
dermatofita antropofilik, pihak sekolah harus diberitahu bahwa
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
27/34
27
kegiatan olahraga yang membutuhkan kontak fisik lama, seperti
bergulat, harus dihindari sampai risiko infeksi benar-benar
hilang (Bennasar & Ramon, 2010).
Pemeriksaan klinis dan serta mikroskopis pada anggota
keluarga sangat disarankan. Sampel mikologis diambil terutama
pada anggota keluarga yang sudah menunjukkan gejala
terinfeksi. Organisme zoofilik, seperti M. canis menyebabkan
respon inflamasi hampir di semua host yang terinfeksi. Pada
organisme antopofilik, seperti T.tonsurans atau T.violaceum,
timbul respon ringan atau tanpa inflamasi, oleh karena itu
infeksi dari spesies antropofilik bersifat asymptomatic.Keluarga
yang berada satu atap atau teman bermain yang sangat dekat
harus turut diperiksa dan diberikan terapi antifungal topikal,
seperti sampo selenium sulfide atau sampo ketokonazol 2%
selama 12 minggu. Hewan peliharaan juga harus diperiksa dan
jika perlu diterapi untuk mencegah adanya spora yang mungkin
melekat pada bulu-bulu hewan peliharaan (Bennasar & Ramon,
2010).
Peralatan rumah, seperti pakaian, karpet, bagian-bagian
sofa, kasur, bantal, tirai, sisir, gunting, dan barang-barang rumah
tangga yang meliputi penggunaan bersama harus dicuci dengan
disinfektan kuat. Barang-barang yang dapat direbus, seperti sisir
dan pakaian, dianjurkan untuk direbus dalam air mendidih
selama 5 menit untuk mematikan spora-spora yang mungkin
melekat pada barang-barang tersebut (Bennasar & Ramon,2010).
e. Terapi Simptomatik
1)
Antipruritus
Antihistamin generasi 2 dapat digunakan sebagai
agen antipruritus, contohnya adalah ketofilen, terfenadin,
astemizol, loratazin, setirizin, akrivastin, dan azelastin.
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
28/34
28
Mekanisme obat ini adalah blokade reseptor antihistamin
dan menghambat degranulasi sel mast. Efek samping yang
dapat terjadi adalah mengantuk ringan dan mulut kering
(Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI,
Doxepin, sebuah bentuk dibenzoxepin tricyclic,
yakni sebuah obat antihistamin yang sangat aktif. Obat ini
bekerja dengan menekan kerja reseptor saraf di kulit. Dosis
awalnya ialah 25-50 mg diberikan secara oral sebelum
tidur. Untuk doxepin dalam bentuk krim, diberikan
sebanyak 5% secara q.i.d. Obat ini menyebabkan efek
samping, seperti mengantuk dan rasa menyengat (Vender &
Lovell, 2007).
f. Terapi profilaksis
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2011
menunjukkan bahwa penggunaan sampo antifungal
ketoconazole sebagai profilaksis efektif untuk mencegah
terjadinya infeksi tinea capitis pada populasi yang berisiko
tinggi. Terapi profilaksis lainya adalah secara
nonmedikamentisa dengan cara meningkatkan higienitas, dan
mencegah adanya mikroorganisme penyebab tinea kapitis
(Bookstaver et al., 2011).
2. Non-medikamentosa
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani tinea kapitisantara lain adalah sebagai berikut (Berman, 2012):
a. Mencuci handuk di dalam air hangat yang diberi sabun dan
dikeringkan sebelum digunakan oleh penderita.
b.
Merendam sisir selama satu jam per hari dalam larutan campuran
pemutih dan air dengan perbandingan 1:1. Lakukan selama 3 hari.
c. Penderita tidak boleh menggunakan sisir, topi, handuk, sarung
bantal, atau helm bersama dengan orang lain.
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
29/34
29
d. Apabila dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang
terinfeksi, sebaiknya anggota keluarga dalam rumah tersebut juga
menggunakan shampoo yang mengandung ketokenazol dan
selenium sulfide untuk pencegahan.
G. Prognosis
Prognosis umumnya baik jika pada penderita tinea kapitis sudah
dilakukan pengobatan dan mencapai kesembuhan, dan faktor-faktor
infeksi dapat dihindari, maka prognosis umumnya baik (Siregar, 2005).
Komplikasi dan infeksi sekunder pada jarang sekali terjadi pada penderita
tinea kapitis. Pada umumnya hal tersebut hanya terjadi pada individu
dengan sistem imun yang ditekan (Stppler, 2012).
H. Komplikasi
1) Infeksi Sekunder
Kondisis kulit yang sedang terganggu akibat infeksi tinea
menjadi rawan untuk terkena infeksi sekunder oleh mikroorganisme
lain. Pada tinea capitis, bila ada infeksi sekunder akan menyerupai
gejala-gejala pioderma (impertigenisasi) (Siregar, 2005).
2) Alopesia
Alopesia adalah kerontokan rambut atau defisiensi pertumbuhan
rambut dan kehilangan sebagian atau seluruh rambut (Davey, 2005).
Jamur adalah organisme penyebab penyakit tinea capitis yang dapat
merusak rambut dan struktur pilosebasea dan mengakibatkan rambutrontok yang parah dan mungkin permanen, pembentukan jaringan
parut alopesia pada kulit secara permanen dan menimbulkan luka yang
berisi nanah (Kao, 2013).
3)
Reaksi Id
Reaksi id adalah manifestasi alergi akibat infeksi pada bagian
distal, dan pada lesi ini tidak ditemukan organisme. Sekelompok
vesikel teraba keras, gatal dan kadang nyeri dapat ditemukan pada
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
30/34
30
bagian tubuh yang lain. Lesi pada tubuh banyak dijumpai pada tinea
kapitis, sementara jari dan telapak tangan lebih sering terkena jika lesi
primernya berupa tinea pedis. Lesi dapat berubah menjadi reaksi
eksematoid berskuama atau respon papulovesikuler folikel yang
muncul di sebagian besar permukaan tubuh dan sangat menyulitkan
dan menyebabkan rasa tidak nyaman bagi penderita (Siregar, 2005).
4) Gangguan emosi
Tinea capitis disebabkan oleh infeksi dermatofita yang paling
umum pada populasi anak di Amerika Serikat, tanpa diagnosis yang
akurat dan pengobatan yang tepat, penyakit ini merugikan baik secara
fisik dan mental anak-anak yang terkena. Pasien muda dengan kulit
kepala yang gatal dan merata atau total, kerugiannya sering diejek,
terisolasi, dan diganggu oleh teman sekelasnya atau teman bermain.
Dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan
emosi yang parah pada anak-anak dan dapat mengganggu kestabilan
hubungan keluarga (Kao, 2013).
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
31/34
31
III. KESIMPULAN
1.
Tinea kapitis adalah infeksi jamur superfisial yang cenderung menyerang
folikel dan batang rambut.
2.
Tinea kapitis disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita.
3. Risiko terjadinya tinea kapitis diperbesar oleh adanya gaya hidup tidak bersih
dan sehat, usia, genetika, nutrisi, faktor iatrogenik dan adanya penyakit dan
pengobatan tertentu.
4. Tinea kapitis menimbulkan gejala pada manusia melalui beberapa mekanisme
tertentu yang terkait dengan sistem dermatologi dan imunologi.
5.
Penegakkan diagnosis tinea kapitis harus didasari adanya hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disertai gold standard
diagnosis yang sesuai.
6.
Tinea kapitis dapat diobati dengan obat dan tindakan medikamentosa tertentu
baik secara kausatif, simtomatik, dan profilaktif serta dapat dikurangi
gejalanya dan dicegah dengan tindakan non-medikamentosa tertentu.
7.
Prognosis tinea kapitis umumnya baik jika telah didiagnosis dan diobati
dengan baik.
8. Tinea kapitis dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi sekunder,
alopesia, reaksi id dan gangguan emosi.
8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
32/34
32
DAFTAR PUSTAKA
Al-Janabi, A.A.H. 2009. Study of Characteristic Features of Pleomorphic
Epidermophyton floccosum. Global Journal of Environmental Research.3
(2): 132-134.
Anane, Sonia. 2013. Tinea capitis favosa misdiagnosed as tinea amiantacea.Medical Mycology Case Report Volume 2. Available at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2211753912000590
(diakses pada tanggal 17 November 2013).
Behrman, R. E., Kliegman, R.E., & Arvin, A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Bennasar, A., & Ramon, G. 2010. Management Tinea Kapitis in Childhood.
Clinical, Cosmetic, and Investigational Dermatology. 3: 89-98.
Berman, K. 2012. Tinea Capitis. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000878.htm (diakses padatanggal 30 Oktober 2013).
Budimulja, U. 2009. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Clayton, Y.M., & Moore, M.K. 2006. Superficial Fungal Infection dalam
Textbook of Pediatric Dermatology 2nd edition. Massachusetts: Blackwell
Publishing.
Davey, P. 2005.At a Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga
Djuanda, A. 2010.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Doctorfungus. 2013. Tinea capitis and Tinea favosa. Available at:
http://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea_capitis_favosa.ph
p (diakses pada tanggal 20 November 2013).
Drake, L. A., Dinehart, S.M., Farmer, E. R., Goltz, R. W., Graham, G. F., &
Hordinsky, M. K., et al. 2008. Guidelines of care for superficial mycotic
infections of the skin: tinea capitis and tinea barbae. American Academy of
Dermatology.Volume 34:290-4.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000878.htmhttp://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea_capitis_favosa.phphttp://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea_capitis_favosa.phphttp://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea_capitis_favosa.phphttp://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tinea_capitis_favosa.phphttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000878.htm8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
33/34
33
Elewski, B.E., Hughey, L.C, & Sobera, J.O. 2012. Fungal Disease dalam
Dermatology 3rd edition. Philadelphia : Mosby Elsevier.
Elmaataoui, A., Zeroual, Z., Lyagoubi, M., & Aoufi, S. 2012. Tinea capitis
etiology in Ibn Sina Hospital in Rabat (Morocco). Journal de MycologieMedicale22(3):261-264.
Faradila N, Nababan, M, & Mardhiya, W.R. 2009.Kerion Celsi. Riau : FK UNRI.
http://www.Files-of-DrsMed.tk (diakses pada tanggal 16 November 2013).
Gupta, A.K., & Drummond-Main, C. 2013. Meta-Analysis of Randomized,
Controlled Trials Comparing Particular Doses of Griseofulvin and
Terbinafine for the Treatment of Tinea Capitis. Pediatric Dermatology.
30 (1):16.
Habif, T.P., Campbell, J.L., Zug, K.A., Chapman, M.S., & Dinulos, J.G.H. Skin
Disease: Diagnosis And Treatment. Philadelphia: ElsevierHiggins, E. M., L. C. Fuller, & C. H. Smith. 2008. Guidelines for the management
of tinea capitis.British Association of Dermatology Volume143:53-58.
Hughes, R., Chiaverini, C., Bahadoran, P., & Lacour, J. 2011. Corkscrew Hair: A
New Dermoscopic Sign for Diagnosis of Tinea Kapitis in Black Children.
JAMA Dermatology. 147(3):355-356.
JRM. 2013. Endothrix En Ectothrix. Available at:
http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-
endothrix.htm (diakses pada tanggal 20 November 2013).
Kao, G.F. 2013. Tinea Kapitis. Available at:http://emedicine.medscape.com/article/1091351-followup#a2649 (diakses
pada tanggal 1 November 2013).
Kumarh L, Dugra, D., Banerjee, U., & Khanna, N. 2003. Kerion in Elderly
Woman. Available at:http://www.emedicine.com (diakses pada tangggal 16
November 2013).
McPherson, M.E., Woodgyer, A.J., Simpson, K., & Chong, A.H. 2005. High
prevalence of tinea kapitis in newly arrived migrants at an English-language
school, Melbourne. The Medical Journal of Australia. 189 (1): 13-16
Mihali, C.V., Buruiana, A., Turcus, V., Covaci, A., & Ardelean, A. 2012Morphology And Ultrastructure Aspects In Species Belongs To
Trichophyton Genus Using Light And Scanning Electron Microscopy.
Annals of RSCB. 17: 90-95.
Mihali, C.V., Buruiana, A., Turcus, V., Covaci, A., & Ardelean, A. 2012.
Comparative Studies Of Morphology And Ultrastructure In Two Common
Species Of Dermatophytes: Microsporum Canis And Microsporum
Gypseum.Annals of RSCB. 17: 85-59.
Murray, P.R., Rosenthal, K.S., & Pfaller, M.A. 2005. Medical Microbiology 6th
Edition. Philadelphia : Mosby Elsevier.
Neal, M.J. 2006.At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
http://www.files-of-drsmed.tk/http://www.files-of-drsmed.tk/http://www.files-of-drsmed.tk/http://www.files-of-drsmed.tk/http://www.files-of-drsmed.tk/http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://emedicine.medscape.com/article/1091351-followup#a2649http://www.emedicine.com/http://www.emedicine.com/http://emedicine.medscape.com/article/1091351-followup#a2649http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/etxt/ectothrix-en-endothrix.htmhttp://www.files-of-drsmed.tk/8/10/2019 Referat Kelompok 4 - Tinea Capitis FIX
34/34
Neri, Starace, M., Patrizi, A., & Balestri, R. 2013. Corkscrew Hair: A Trichoscopy
Marker of Tinea Kapitis in an Adult White Patient. JAMA Dermatology.
149(8):990-991.
Oishi, M. L. 2013. Ringworm on Scalp. Available at:http://www.emedicinehealth.com/ringworm_on_scalp/page12_em.htm
(diakses pada tanggal 1 November 2013).
Rengganis, I., & Baratawidjaja, K.G. 2012.Imunologi Dasar. Jakarta: FK UI.
Richardson, M. 2003.Fungal Infection: Diagnosis and Management. Cambridge:
Blackwell Publishers
Richardson, M.D., David, W.F. 2012. Fungal Infection: Diagnosis and
Management. New Delhi: Aptara.
Rudnicka, L., Szepietowski, J.C., Slowinska, M., Lukomska, M., & Maj, M, &
Pinheiro, A.M.C.2012. Tinea Capitis.Atlas of Trichoscopy. pp 361-369.
Savitri, F.R. 2010. Efek Antifungi Ekstrak Biji Jinten Hitam Terhadap
Pertumbuhan Microsporum gypseum Secara In Vitro. Surakarta: FK UNS.
Available at: eprints.uns.ac.id/2562/1/134530808201008471.pdf (diakses
pada tanggal 9 November 2013).
Shannon, D.W. 2013. Tinea Kapitis:Ringworm of the Scalp, Fungal Infection of
the Scalp. New York: EBSCO Publishing.
Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. 2009. Kumpulan Kuliah
Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Stawiski, M.A. & Price, S.A. 2006. Infeksi Kulit dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Stppler, M.C. 2012. Ringworm. Available At:
http://www.medicinenet.com/ringworm/page14.htm (diakses tanggal 31
November 2013).
Suyoso, S. 2012. Tinea Kapitis Pada Bayi dan Anak. Surabaya: Departemen /
SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo.
Vender, R.B., & Lovell, P. 2007. Management and Treatment of Pruritus.
Available at:http://www.medscape.com/viewarticle/554692_4 (diakses pada
17 November 2013).
Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., & Leffell, D.J.
2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th edition. New
York: McGraw-Hill.
http://www.emedicinehealth.com/ringworm_on_scalp/page12_em.htmhttp://www.medicinenet.com/ringworm/page14.htmhttp://www.medscape.com/viewarticle/554692_4http://www.medscape.com/viewarticle/554692_4http://www.medicinenet.com/ringworm/page14.htmhttp://www.emedicinehealth.com/ringworm_on_scalp/page12_em.htm