Top Banner
REFERAT PENGELOLAAN DIABETES MELITUS TIPE 2 Pembimbing: Dr.Arif Gunawan, Sp.PD, MARS Di susun oleh: 030.08.073 Dedeh Asliah 030.08.168 Musthafa Afif Wardhana KEPANITERAAN KLINIK 1
58

Referat Interna Dm

Dec 01, 2015

Download

Documents

fitrianugrah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Interna Dm

REFERAT

PENGELOLAAN DIABETES MELITUS TIPE 2

Pembimbing:

Dr.Arif Gunawan, Sp.PD, MARS

Di susun oleh:

030.08.073 Dedeh Asliah030.08.168 Musthafa Afif Wardhana

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KARAWANG

PERIODE 03 SEPT 2012 – 09 NOV 2012

1

Page 2: Referat Interna Dm

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu

Penyakit Dalam di RSUD Karawang, mengenai “Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2”

Dalam Penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.

Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat

bantuan, dorongan, bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi

dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih

sebesar-besarnya kepada dr.Arif Gunawan, Sp. PD, MARS sebagai dokter pembimbing

dalam kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan para pembaca

pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kritik danb saran diharapkan dari para pembaca.

Karawang, Oktober 2012

Penulis

2

Page 3: Referat Interna Dm

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................................................2

Daftar Isi ................................................................................................................................ 3

BAB I Pendahuluan ................................................................................................................4

BAB II Diabetes Melitus………………………........................................................................5

1. Definisi……..…..……………………………………………………………….....5

2. Klasifikasi……….…………………………………………………………………5

3. Etiologi dan Patofisiologi………………………………………………………….6

4. Faktor Resiko…………………………………………………………………...…9

5. Manifestasi Klinis………………............................................................................9

6. Pemeriksaan ……………......................................................................................10

7. Diagnosis …......…………………..……………………………………………...11

8. Penatalaksanaan...………………………………………………………………...13

9. Penyulit……………………….………………………………………………......31

10. Pencegahan……………………………………………………………………….33

BAB III Kesimpulan………………...…………………………………………………...…..35

Daftar Pustaka ........................................................................................................................36

3

Page 4: Referat Interna Dm

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik

pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.

Pada tahun 2003, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 194 juta

jiwa atau 5.1% dari 3.8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun menderita

diabetes mellitus dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO

memprediksi bahwa di Indonesia akan terjadi peningkatan dari 8.4 juta diabetisi pada

tahun 2000 menjadi 21.3 juta diabetisi pada tahun 2030. Hal ini akan menjadikan

Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India

dalam prevalensi diabetes mellitus (Diabetes Care, 2004).

Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, menunjukkan bahwa

prevalensi DM secara nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah

1.1%, sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada

penduduk berumur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5.7%. Riset ini

juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional

berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berumur >15 tahun yang

bertempat tinggal di perkotaan adalah 10.2% 9 (Depkes, 2008).

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian

secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan

DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan

terapi obat.

4

Page 5: Referat Interna Dm

BAB II

DIABETES MELITUS

1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedang

menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu yang tidak

dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat

dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan

akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut ataupun relatif

dan gangguan fungsi insulin. WHO telah mengidentifikasi 3 macam diabetes, yaitu

diabetes melitus tipe 1 atau insuline dependent diabetes mellitus (IDDM), tipe 2 atau

non-insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM), dan diabetes mellitus gestasional.

2. Klasifikasi

Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut PERKENI (ADA,2010):

a. Diabetes melitus tipe I

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik

melalui proses imunologik maupun idiopatik.

b. Diabetes melitus tipe II

Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin bersama resistensi insulin.

c. Diabetes melitus tipe lain

1. Defek genetik fungsi sel beta

2. Defek genetik kerja insulin

3. Penyakit eksokrin pankreas

4. Endokrinopati

5. Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, lukokortikoid,

hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon-alfa, dll

6. Infeksi

7. Sebab imunologi yang jarang

8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

d. Diabetes melitus gestasional (DMG)

5

Page 6: Referat Interna Dm

3. Etiologi Dan Patofisiologi

Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,

diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan

sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula

yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,

Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi

yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic

Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD

(glutamic acid decarboxylase).

ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM

Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya.

Didalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,

keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.

ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat

dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana

diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel,

yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi

glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun

demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.

Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam

tubuh penderita DM Tipe 1 justru

merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan

akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau

Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin

lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.

Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface

Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama

seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu

Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.

6

Page 7: Referat Interna Dm

Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada

hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1.

Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama

makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-

GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko

tinggi.

Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa

otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin

Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe

1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi

insulin.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung

mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi

insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi

tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang

berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan

menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak

terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal

ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini

adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak

mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan

sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan

badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah

rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap

hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat

berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,

namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan

kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada

beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu

diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak

bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan

adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di

7

Page 8: Referat Interna Dm

jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan

lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan

menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk

merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4

(protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan

tubuh) di jaringan adiposa.

Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-

95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun,

tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak

populasinya meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap

dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam

menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah

serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor

pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada

hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen

yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada

pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam

darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM

Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran

insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim

disebut sebagai “Resistensi Insulin”.

Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,

antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan

penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun

demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana

yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada

penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam

penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β

8

Page 9: Referat Interna Dm

kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin

terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan

meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20

menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan

gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada

perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan

sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan

defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya

ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

4. Faktor Resiko

Adapun faktor resiko untuk diabetes tipe 2 yaitu:

Riwayat: Diabetes dalam keluarga, Diabetes Gestasional, Melahirkan bayi

dengan berat badan >4 kg, Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome), IFG

(Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired

glucose tolerance), Obesitas >120% berat badan ideal

Umur 20-59 tahun : 8,7%, > 65 tahun : 18%

Etnik/Ras

Hipertensi >140/90mmHg

Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl

Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl

Faktor-faktor Lain : Kurang olah raga, Pola makan rendah serat

5. Manifestasi Klinik

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa

poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan

terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,

dan pruritus vulvae pada wanita.

Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (PERKENI

2011):

9

Page 10: Referat Interna Dm

a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200mg/ dl, atau

b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl, atau

c. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram

pada TTGO

Menurut Kane et.al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau

didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa

puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas

perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila

TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM

dapat ditegakkan.

Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah

puasa secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat

dipercaya karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa. Peningkatan TTGO

pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas jaringan perifer

terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas) maupun pasca

reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun

kepekaannya terhadap insulin.

6. Pemeriksaan

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM,

sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang

tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan

dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif.

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM

sebagai berikut:

a. Usia >45 tahun

b. Berat badan lebih >110% BB ideal atau IMT >23 kg/m2

c. Hipertensi (>140/90 mmHg)

d. Riwayat DM dalam garis keturunan

e. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000

gram

10

Page 11: Referat Interna Dm

f. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥150 mg/dl

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi

glukosa oral (TTGO) standar.

Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,

pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang

berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3

tahun.

7. Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukos darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah

utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dapat tetap dipergunakan dengan

memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan

pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.

Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis

DM

Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti

DM

DM

Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200

Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200

Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126

Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110

Sumber: PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2011

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti tersebut dibawah

ini:

11

Page 12: Referat Interna Dm

a. Keluhan khas DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan tidak khas DM: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakan dengan 3 cara:

1. Gejala klasik DM + GDS ≥200mg/dl

Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir

2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/Dl

Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8jam

3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO≥200mg/dl

TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang

setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

12

Keluhan klinik diabetes

Keluhan klasik DM (+) Keluhan klasik DM (-)

GDP ≥126 ≥126GPS ≥200 ≤200

GDP ≥126 100-125 <100GDS ≥200 140-199 <140

Ulangi GDS atau GDP

GDP >126 <126GDS ≥200 <200 TTGO

GD 2 JAM

≥200 140-199 <140

NORMAL

TGT GDPT

DM

Page 13: Referat Interna Dm

Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):

a. Tiga (3) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohirat yang cukup) dan kegiatan jasmani seperti biasa.

b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgbb (anak-anak),

dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.

e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai

f. Diperiksaa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Pasien dengan Toleransi Glukosa terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu

merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok

TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.

8. Penatalaksanaan

a. Tujuan

i. Jangka pendek

Menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman

dan sehat.

ii. Jangka panjang

Mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun

neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas mortilitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar

glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, insulin melalui

pengelolaan pasien secara holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri dan

perubahan perilaku.

13

Page 14: Referat Interna Dm

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah

belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian

obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu

OHO dapat segera diberikan sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi

metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang

menurun cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada kedua keadaan tersebut

perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan kadar

glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan

khusus.

b. Pilar Pengelolaan DM

i. Edukasi

Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan

perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang

diabetes memmerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan

masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju

perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,

dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan

motivasi.

Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:

a) Penyakit DM

b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

c) Penyulit DM

d) Intervensi farmakologis dan non farmakologis

e) Hipoglikemia

f) Masalah khusus yang dihadapi

g) Perawatan kaki pada diabetes

h) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran

keterampilan

i) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

14

Page 15: Referat Interna Dm

Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan

penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang

berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang

memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan

evaluasi. Masalah kaki yaitu borok di kaki dengan atau tanpa infeksi

terlokalisasi atau menyerang seluruh kaki adalah dan kematian

berbagai jaringan tubuh karena hilangnya suplai darah, infeksi bakteri,

dan kerusakan jaringan sekitarnya merupakan masalah utama pada

penderita diabetes.

ii. Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas

kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes

sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai

sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes

hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu

makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat

gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu

ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,

jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan

obat penurun glukosa darah atau insulin.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:

a) Karbohidrat 60-70 %

b) Protein10-15 %

c) Lemak 20-25 %

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

a) Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.

Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria

sebesar 30 kal/ kg BB.

15

Page 16: Referat Interna Dm

b) Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi

5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk

usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.

c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas

aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal

diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan

aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan

aktivitas sangat berat.

d) Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada

tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai

dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan

penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling

sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600

kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas

dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan

sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan

dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang

mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan

penyakit penyertanya.

Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB (kg) / TB (m2)

IMT Normal Wanita : 18.5 – 23.5

IMT Normal Pria : 22.5 – 25

BB kurang : < 18.5

BB lebih

16

Page 17: Referat Interna Dm

Dengan risiko : 23.0-24.9

Obes I : 2.5.0-29.9

Obes II : ≥30.0

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kalori Basal:

Laki-Laki : BB ideal (kg) X 30 kalori/kg = … Kalori

Wanita : BB ideal (kg) X 25 kalori/kg = … Kalori

Koreksi/Penyesuaian:

Umur >40 tahun : -5% X Kalori basal = ... Kalori

Aktivitas Ringan : +10% X Kalori basal = … Kalori

Sedang : +20 %

Berat : +30 %

BB Gemuk : - 20 % X Kalori basal = - / + … Kalori

Lebih : - 10 %

Kurang : +20 %

Stress metabolik: 10-30 % X Kalori basal = + ... Kalori

Hamil trimester I& II = + 300 Kalori

Hamiltrimester III / laktasi = + 500 Kalori

Total Kebutuhan = ... Kalori

Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:

a) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu

makan

b) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman

berkalori rendah lainnya pada waktu makan

c) Makanlah dengan waktu yang teratur

d) Hindari makan makanan manis dan gorengan

e) Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan

f) Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama

setiap makan

17

Page 18: Referat Interna Dm

g) Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus

h) Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil

i) Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil

iii. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar

dalam pengelolaan diabetes tipe II. Kegiatan sehari-hari seperti

berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap

dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani

yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti:

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa

ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat

dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau

bermalas-malasan.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status

kesegaran jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun tetap dilakukan tetap dilakukan. Batasi

atau jangan terlalu lama melakukan kegiatan yang kurang gerak

seperti menonton televisi.

Prinsip latihan jasmani yang dilakukan:

a) Continous

Latihan jasmani harus berkesinambungan dan dilakukan terus

menerus tanpa berhenti. Contoh: Jogging 30 menit, maka

pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa henti.

b) Rhytmical

Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot

berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contoh berlari,

berenang, jalan kaki.

18

Page 19: Referat Interna Dm

c) Interval

Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat.

Contoh: jalan cepat diselingi jalan lambat

d) Progresive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari

intensitas ringan sampai sedang selama mencapai 30-60 menit

Sasaran HR = 75-85% dari maksimal HR

Maksimal HR = 220 – (umur)

e) Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan

kardiorespirasi. Contoh: jalan jogging dan sebagainya.

iv. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

Indikasi pemakaian obat hiperglikemik oral:

Diabetes setelah umur 40 tahun

Diabetes kurang dari 5 tahun

Memerlukan insulin dengan dosis <40 unit sehari

DM tipe II, berat normal atau lebih

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

a) OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara

bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan

sampai dosis hampir maksimal

b) Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan

c) Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan

d) Repaglinid, Nateglinid : sesaat/sebelum makan

e) Metformin : sebelum/pada saat/ esudah makan

f) Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan

pertama

g) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.17

19

Page 20: Referat Interna Dm

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama

meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,

dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan

kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk

menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada

berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal

ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit

kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan

sulfonilurea kerja panjang.

Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan

sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2

macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)

dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekskresi secara cepat melalui hati.

b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan

pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor

Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel

lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan

glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan

pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena

dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada

gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan

20

Page 21: Referat Interna Dm

tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati

secara berkala.

c) Penghambat Glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga

memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai

pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasiendengan gangguan

fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)dan hati,

serta pasien-pasien dengan kecenderunganhipoksemia

(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,renjatan,

gagal jantung). Metformin dapat memberikan

efeksamping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut

dapatdiberikan pada saat atau sesudah makan.

d) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di

usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan

efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering

ditemukan ialah kembung dan flatulens.

e) Terapi Kombinasi Sulfonilurea dan Biguanid

Pada saat-saat tertentu diperlukan terapi kombinasi/

pemakaian bersama antara obat-obat golongan sulfonilurea dan

biguanid. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang

sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk biguanid

untuk bekerja efektif. Kedua-duanya rupanya mempunyai efek

terhadap sensitivitas reseptor; jadi pemakaian kedua obat

tersebut saling menunjang. Kombinasi kedua obat efektif pada

banyak penyandang DM yag sebelumnya tidak bermanfaat bila

dipakai sendiri-sendiri.

21

Page 22: Referat Interna Dm

f) Insulin

Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel

beta pulau Langerhans kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi

pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian

meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan

penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai

bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke

dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan

membantu penyimpanan glikogen didalam sel otot dan hati.

Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas,

sedang insulin eksogen adalah insulin yang disuntikan dan

merupakan suatu produk farmasi.

Indikasi terapi dengan insulin:

Semua penyandang DM tipe I memerlukan insulin

eksogen karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada

atau hampir tidak ada

Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan

insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan

kadar glukosa darah

Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat,

tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke

DM gestasional dan penyandang DM yang hamil

membutuhkan insulin bila diet saja tidak dapat

mengendalikan kadar glukosa darah

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik

Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau

yang memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk

memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara

bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk

mempertahankan kadar glukosa darah mendekati

normal selama periode resistensi insulin atau ketika

terjadi peningkatan kebutuhan insulin

22

Page 23: Referat Interna Dm

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hiperglikemi

oral

Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan

sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu

meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin

basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin

basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada

keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial

akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk

melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu

macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja

pendek (short acting), kerja menengah (intermediate

acting), kerja panjang (long acting) atau insulin

campuran tetap (premixed insulin).

Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis

insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk

koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja

menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiensi

insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan

OHO.

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan

dengan kebutuhan pasien dan respons individu terhadap

insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah harian.

Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan

menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi

belum tercapai.

Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam,

yaitu:

23

Page 24: Referat Interna Dm

Insulin kerja singkat

Yang termasuk di sini adalah insulin regular Crystal

Zinc Insulin (CZI). Saat ini dikenal 2 macam insulin

CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang

ada antara lain: Actrapid, Velosulin , Semilente.

Insulin jenis ini diberi 30 menit sebelum makan,

mencapai puncak setelah 1-3 macam dan efeknya dapat

bertahan sampai 8 jam.

Insulin kerja menengah

Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine

Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini

awal kerjanya adalah 1.5-2.5 jam. Puncaknya tercapai

dalam 4-15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai

dengan 24 jam.

Insulin kerja panjang

Merupakan campuran dari insulin dan protamine,

diabsorsi dengan lambat dari tempat penyuntikan

sehingga efek yang dirasakan cukup lama, yaitu sekitar

24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin (PZI),

Ultratard

Insulin infasik (campuran)

Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan

menengah. Preparatnya: Mixtard 30/40. Pemberian

insulin secara sliding scale dimaksudkan agar

pemberiannya lebih efisien dan tepat karena

didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu.

Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali. Adapun cara

dan dosis pemberiaannya sebagai berikut:

- Gula darah <60 mg % → 0 IU

- <200 mg % → 5 – 8 IU

- 200-250 mg% → 10 – 12 IU

- 250-300 mg% → 15 – 16 IU

- 300-350 mg% → 20 IU

- >350 mg% → 20 – 24 IU

24

Page 25: Referat Interna Dm

Cara penyuntikan insulin:

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah

kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus

terhadap cubitan permukaan kulit.

Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau

intravena secara bolus atau drip.

Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin)

antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan

perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak

terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau

diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat

dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis

insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat

dalam buku panduan tentang insulin.

Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara

penyimpanan insulin harus dilakukan dengan benar,

demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan

terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai

lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang

sama.

25

Page 26: Referat Interna Dm

Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin

(jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah

unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi

yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100

Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen

yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha bagian

atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular

dalam maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan

masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang

dilakukan segera setelah penyuntikan akan

mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa

kerja

Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia

seperti pada non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi

ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi (stress),

dll. Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang

dicampur dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan satu

atau dua kali sehari.

Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia

ialah karena pasien tidak mau menyuntik sendiri karena

persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik yang

terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini

tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya

Efek samping penggunaan insulin:

Hipoglikemia

26

Page 27: Referat Interna Dm

Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling

berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat

ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan

jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang diberikan

insulin konvensional dapat terjadi lipoatrofi yaitu terjadi

lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi

jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi

imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda

terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak

begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan

jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat

lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara

yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin

tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.

Alergi sistemik atau lokal

Reaksi alergi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada

reaksi sistemik terutama pada penggunaan sediaan

yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritema dan

indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberpa

menit atau jam dan berlagsung selama beberapa hari.

Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah

pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi

mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik,

penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi

atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan

hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa

urtikaria, erupsi kulit, angioedema, gangguan

gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat

jarang ialah hipotensi dan syok yang di akhiri kematian.

Peningkatan berat badan

Edema insulin

g) Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan

dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai

27

Page 28: Referat Interna Dm

dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan

pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak

dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam

obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja

berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,

dapat pula diberikan kombinasi tiga OHOdari kelompok yang

berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang

disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi

tiga OHO.

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak

dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin

kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada

malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut

pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang

baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin

kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam

22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan

menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.

Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik

oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

Penilaian Hasil Terapi

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau

secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani

dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

adalah:

a) Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai

sasaran terapi

28

Page 29: Referat Interna Dm

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala

sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa

hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam

posprandial.

b) Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai

A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek

perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.

Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam

setahun.

c) Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah

kapiler.Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa

darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah

dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat

tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik

dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang

dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen

kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.

PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau

pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,

tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat

sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal

glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko

hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya

hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika

mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

d) Pemeriksaan Glukosa Urin

Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak

langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak

mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal

29

Page 30: Referat Interna Dm

rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien,

bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil

pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat

dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

e) Penentuan Benda Keton

Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup

penting terutama pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali

buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dL). Pemeriksaan benda

keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang

hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara

benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini

telah dapatdilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat

dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus.

Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/L dianggap

normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0

mmol/L indikasi adanya KAD.

Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri,

dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya

KAD.

c. Kriteria Pengendalian

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan

pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali baik tidak berarti

hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh

kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid, dan HbA1c seperti

tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria pengendalian DM

Baik Sedang Buruk

Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-139 >140

Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-159 160-199 >200

30

Page 31: Referat Interna Dm

HbA1c (%) 4-5,9 6-8 >8

Kolesterol total (mg/dl)

LDL (mg/dl) tanpa PJK

LDL (mg/dl) dengan PJK

HDL (mg/dl)

Trigeliserida (mg/dl) tanpa PJK

Trigliserida (mg/dl) dengan PJK

<200

<130

<100

>45

<200

<150

200-239

130-159

100-129

35-45

200-249

150-199

>240

>160

>130

<35

>250

>200

BMI (IMT) wanita (kg/m2)

BMI (IMT) pria (kg/m2)

18,5-22,9

20,0-24,9

23-25

25-27

>25 atau <18,5

>27 atau <20,0

Tekanan darah (mmHg) <140/90 140-160/90-95 >160/95

9. Penyulit

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun

a. Penyulit akut

i. Ketoasidosis diabetik

ii. Hiperosmolar non ketotik

iii. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa

darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang

diabetes harus selalu n dipikirkakemungkinan terjadinya hipoglikemia.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea

dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,

sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja

obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk

pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan

gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu

hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau

terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan

kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan

pengawasan yang lebih lama.

31

Page 32: Referat Interna Dm

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar,

banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik

(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang

memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau

minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g

melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah

15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien

dengan hipoglikemia berat.

Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat

diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan

darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

b. Penyulit menahun:

i. Makroangiopati :

a) Pembuluh darah jantung

b) Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.

Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,

meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki

merupakan kelainan yang pertama muncul.

c) Pembuluh darah otak

ii. Mikroangiopati:

A. Retinopati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi

risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak

mencegah timbulnya retinopati.

B. Nefropati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi

risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8

g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati

C. Neuropati

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,

berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk

terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering

32

Page 33: Referat Interna Dm

dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih

terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan,

pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi

adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi

sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya

setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal,

perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko

amputasi.

10. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang

yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita,

tetapi berpotensi untuk menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer

ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan

upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.

Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.

Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial

lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran

terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu

memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan

pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditnamkan

pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis

makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko

merokok bagi kesehatan.

b. Pencegahan Sekunder

Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan

memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan

pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar.

Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sudah harus diwaspadai dan

sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun.

33

Page 34: Referat Interna Dm

Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peranan penting

untuk meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat.

Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan

primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-

langkah yang disebutkan di atas diharapkan dapat diperoleh hasil yang

optimal, apalagi bila ditunjang pula dengan adanya tata cara pengaobatan baku

yang akan menjadi pegangan bagi para pengelola.

c. Pencegahan Tersier

Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka

pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan

merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.

Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk

diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit

makroangiopati.

Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait

sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli

sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli

dari disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,

radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri, dan lain sebagainya.

BAB III

KESIMPULAN

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai

macam komplikasi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu

mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Diabetes mellitus dapat dikendalikan dengan

diet, olahraga, dan menggunakan obat-obatan antidiabteik. Pada setiap penanganan

34

Page 35: Referat Interna Dm

penyandang diabetes mellitus, harus selalu di tentukan target yang akan dicapai sebelum

memulai pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes Melitus Clinical

Practice Guidelines Task Force. AACE Medical Guidelines for clinical practice for

the management of diabetes mellitus. Endo Pract. 2007;13 (Supl 1)

2. America Diabetes Association. Position statement; Standards of Medical Care in

Diabetes 2010. Diab Care.2012;33(Suppl.1)

35

Page 36: Referat Interna Dm

3. American Diabetes Association. Medical Management of Type 2 Diabetes. ADA

Clinical Sereies. American Diabetes Association.1998.

4. Asdie AH. Patogenesis dan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2. Medika FK UGM,

Yogyakarta.2000

5. Asia-Pasific Type 2 Diabetes Policy Group Type 2 Diabetes Practical Target

Treatments. Health Communication Australia.2002.

6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di

Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 1998.

7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di

Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2002

8. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di

Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2008.

9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus

Tipe 2. PB PERKENI Jakarta. Editor: S. Soegondo, P.Soewondo, I.Subekti dkk. PB

PERKENI. Jakarta 2002.

10. Pramono LA, Setiati S, Soewondo P, Subketi I, Adisasmita A, Kodim N, Sutrisna B.

Prevalence and predictors of undiagnosed diabetes mellitus in Indonesia. Acta Med

Indones. 2010 Oct;42(4):216-23.

36