BAB I
PENDAHULUANDemam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik
bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini
ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia
tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear
dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch. Beberapa
terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis
adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan,
penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies Salmonella
enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid
maupun demam paratifoid.1 Istilah typhoid berasal dari kata Yunani
typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam
disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang
dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling
rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak
lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi
demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKAI. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid
fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan
dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1II. EpidemiologiBesarnya
angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis
yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4
Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga
insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari
laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar
secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus
per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan
antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3 Salmonella typhi dapat hidup
didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia
yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang
sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh
manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam
air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan
tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw
sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63C).1Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan
tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu
hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah
dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman
pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman
berasal dari laboratorium penelitian.1III. EtiologiDemam Tifoid
adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C
(S. Hirschfeldii).Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain
adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul,
tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik
(O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks
yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella TyphiIV.
PatogenesisPatogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks
yang mengikuti ingesti organisme, yaitu: 1) penempelan dan invasi
sel - sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus
mesenterica, dan organ - organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah,
4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam
di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus.
Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan
infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker,
dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di
jejenum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M
merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch,
merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer
patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di
organ - organ RES ini kuman meninggalkan sel - sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi
sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan
sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare
diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi
sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-
turut.1,4Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding
usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas,
hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam
sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin
dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar,
lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah
yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel,
sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,4
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam TifoidV. Manifestasi
klinikManifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan,
lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila
hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada
penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun
tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa
masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan,
keadaan umum/status gizi serta status imunologis
penderita.1,4,5Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih
bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat
dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih. Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia,
mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/
tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah
tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal
seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik
berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39
41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang
tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas
meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering,
dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di
bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih
prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman
salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada,
kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan
konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah
dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari
ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5 Pengamatan selama 6
tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU
Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah
dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah
sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita,
didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut
: panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%),
obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah
kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali
(7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta
dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%),
nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan
kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9
Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah
disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk,
penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.6VI.
Pemeriksaan penunjangPemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok,
yaitu :1. Pemeriksaan darah tepiPada demam tifoid sering disertai
anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap
darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh
destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung
leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama
bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun,
gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.Gambaran
sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem
normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,62. Uji
serologisUji serologis digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL
yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.Metode
pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).6Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam
tifoid ini meliputi :a) Uji WidalUji serologi standar yang rutin
digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu
uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang
Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid
yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis. Faktor yang
berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi. Faktor teknik, yaitu1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah: Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika >
nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon
antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa
menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).b) Tes TUBEXTes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif
semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.Walaupun belum banyak
penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas
100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang
ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat,
mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6Ada 4
interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam
tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai
berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang
sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang
lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman
Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kumanDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum
tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.Hasil biakan yang positif
memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan
meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume
darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.Volume
10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang
ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan
sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan
yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari
sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas
hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut.Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung
dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang
telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri
dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif
setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku
emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil
positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode
ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum
tulang.5,6Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat.Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita.VII. Diagnosis Demam tifoid pada anak biasanya memberikan
gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala
klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan
(3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit
dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada
minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi.
Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat.
Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6
mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80%
penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang
namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda
dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering
terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan
gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis.4,5VIII. Diagnosis BandingPada stadium dini demam
tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi
diagnosis bandingnya yaitu paratyphi, influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan
oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,
limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1IX.
Penatalaksanaan
9.1. Non Medika Mentosaa) Tirah baringSeperti kebanyakan
penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5b) NutrisiPemberian makanan tinggi kalori dan tinggi
protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam
memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita
sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit
makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.d) Kompres air hangatMekanisme tubuh terhadap kompres
hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian
kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang
peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat
vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan
energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan
akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal
kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator)
di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan
suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.79.2. Medika
Mentosa
a) SimptomatikPanas yang merupakan gejala utama pada tifoid
dapat diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan
yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan
keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake
peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan
adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk
infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan
untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk
pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama
10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus
malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang
sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya
terjadi relaps atau kambuh, dan carier. Cotrimoxazole, merupakan
gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole
dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk
pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping
dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan
sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini
sudah dilaporkan resisten. Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki
kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan
cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat ini cenderung
lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak
100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu.
Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol. Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone,
Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya
setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole
serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam
1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila
mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.Pada demam tifoid berat kasus berat
seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat diberikan
kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan
antibiotika metronidazol.X. KomplikasiKomplikasi demam tifoid dapat
dibagi 2 bagian :41. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu
pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.2. Komplikasi diluar
usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti
oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat.
Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella
oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun
keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran
EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen
ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa
di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama
tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse
terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam
mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi
kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia
dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang
abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri
pada urinya dalam waktu yang lama.XI. Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam
tifoid:2 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci
tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama
sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan
toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah
endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng.
Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya.
Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan
untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran
kamar mandi.
Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan
mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air
yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih
segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar
sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air
untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. Pilih makanan yang
masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan
pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas.
Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata dapat
membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan
yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari
penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari
demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi
orang lain:
Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk
menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan
selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air
setidaknya sekali sehari.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter
berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di
industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali
bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan
bakteri Salmonella.
Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda
sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit
untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa
vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2Di Indonesia telah ada 3 jenis
vaksin tifoid, yakni:
Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)Vaksin yang mengandung
Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan
interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang
demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin
Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi
dilaporkan 6 tahun.
Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)Vaksin ini mengandung
sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang
lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5
mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui
suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin
ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat
demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,
mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang
pendek.
Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari
bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang
dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia
dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di
negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka
mortalitas 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis,
dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.
Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam
tifoid.1 BAB III
PENUTUPDemam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral
yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan melakukan
replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik
berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat.
Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang
malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa
terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa
didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi
yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa
Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur.
Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti
delirium, supor sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang
yang dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap,
Uji Widal, atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG
antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu:
istirahat dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi
Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang memiliki efektivitas
yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.DAFTAR
PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketahui.html.
22 Januari 2012.3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam
Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan
Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.4.
Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15.
Jakarta: EGC ; 2000.5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata
laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama;
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.6. Prasetyo,
Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.7. Mohamad, Fatmawati.
Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien
Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe
Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari:
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01_08_2012.pdf.
22 Januari 2012. 14