REFERAT
DEMAM TIFOID
Disusun oleh:
Aruma Adi Sutrisno
Irwienny Tria Pujiastuti(106103003456)
(106103003543)
Pembimbing :
Dr. Ifael M, Sp. PDKEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN LMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
KATA PENGANTARPuji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Demam Tifoid ini.
Sebagai negara berkemabng, Indonesia menjadi salah satu negara
dengan angka kejadian demam tifoid yang cukup tinggi. Hal ini
memang sangat berhubungan dengan pola hidup bersih masyarakatnya.
Demam tifoid yang diinfeksi oleh S. Typhi masuk melalui makanan
yang terkontaminasi di dalamnya. Makalah referat ini membahas
sekelumit tentang demam tifoid. Harapannya dengan mengetahui
bagaiamana patogenesesis demam tifoid, para klinisi dapat
menegakkan diagnosis secara cepat dan tepat dan memberikan
pengobatan yang efektif sehingga dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya berbagai komplikasi dari demam tifoid ini.
Penulis mengakui bahwasaannya banyak kekurangan dalam penulisan
makalah referat ini. Untuk itu, kami mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembimbing dan siapapun yang membaca makalah
ini guna kesuksesaan kami di masa yang akan datang.Jakarta, 13
Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR1
DAFTAR ISI2DEMAM TIFOID 4
I.PENDAHULUAN4II.EPIDEMIOLOGI4III.ETIOLOGI4IV.PATOGENESIS5V.DIAGNOSIS8MANIFESTASI
KLINIS8PEMERIKSAAN LABORATORIUM8a.Pemeriksaan rutin8b.Uji
widal8c.Kultur darah9d.TUBEX9VI.TATA LAKSANA DEMAM
TIFOID10Istirahat dan perawatan1011Diet dan Terapi Penunjang
11Pemberian Antibiotik
12Pengobatan Demam Tifoid pada Ibu Hamil
12Tata Laksana Komplikasi Demam Tifoid
13Komplikasi Intestinal
13Komplikasi Ekstra-Intestinal
15Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik
15Penatalaksanaan Pada Pengidap Tifoid (Karier)
17VII.PENCEGAHAN DEMAM TIFOID
17Preventif dan Kontrol Penularan
17Identifikasi dan Eradikasi S. Typhi pada Pasien Tifoid
Asimtomatik, karier, dan Akut
18Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita terinfeksi S.
Typhi Akut maupun Karier
18Proteksi pada Orang yang Berisiko Tinggi Tertular dan
terinfeksi
Vaksinasi18DAFTAR PUSTAKA18
DEMAM TIFOIDI. PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah penyakit sistemik dengan ciri demam dan
nyeri perut yang disebabkan oleh infeksi bakteri S. typhi atau S.
paratyphi. Penyakit ini disebut demam tifoid karena manifestasi
klinisnya serupa dengan typhus. Namun, dari segi patologi, demam
tifoid memiliki keunikan tersendiri yaitu adanya pembesaran plak
Peyeri dan nodus limfatikus mesenteric. II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid endemik pada sebagian besar negara berkembang,
terutama India, Amerika Tengah dan Selatan, serta Asia. Hal ini
berhubungan dengan pertumbuhan populasi yang cepat, arus
urbanisasi, dan penanganan limbah manusia yang tidak adekuat,
kekurangan suplai air bersih, serta keterbatasan pelayanan
kesehatan.
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia.
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid
di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994
terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.
Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981
sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita
sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya
terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat)
157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan
760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai
serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Resistensi antibiotik merupakan hal yang diperhatikan dalam
pengobatan dan berhubungan dengan antibiotik yang sering
ditambahkan pada hewan ternak. Banyak strain yang resisten terhadap
chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim. Sebagai tambahan,
resistensi terhadap ciprofloxacin telah ditemukan di Asia.
III. ETIOLOGI
Salmonela tergabung dalam sebuah genus besar dari basil
gram-negatif dalam famili Enterobacteria. Pada tahun 1983, lebih
dari 200 bakteri memiliki kesamaan DNA pada genomnya yang
dikelompokkan ke dalam satu spesies, S. choleraesuis. Spesies ini
lebih jauh jauh lagi terbagi ke dalam 7 subgrup berdasarkan
spesifitas dan persamaan pada tambahan DNA. Hampir semua strain
yang patogenik bagi manusia terdapat pada subgrup 1(enterica or
choleraesuis) kecuali untuk infeksi yang jarang subgroups 3a (S.
arizonae) and 3b. Penamaan dari spesies yang besar ini sangat
kompleks. Sebagai contoh nama taksonomik yang benar untuk organisme
yang menyebabkan demam enterik adalah Salmonella choleraesuis ssp.
choleraesuis (atau subgroup 1), serovar typhi. A sistem penamaan
yang sederhana yang biasa digunakan pada nama spesies yang bisa
menerima reklasifikasi.sebagai contoh S.choleraesuis ssp.
choleraesuis, serovar typhi, yang merujuk nama yang biasa adalah S.
typhi.Identifikasi awal Salmonella pada laboratorium klinis
mikrobiologi berdasarkan pada karkateristik pertumbuhan.
Salmonella, seperti pada enterobakteria lainnya, menghasilkan asam
pada fermentasi glukosa, pengurangan nitrat, dan tidak memproduksi
enzim oksidase sitokrom. Kelompok ini secara fakultatif anaerob dan
tidak membentuk spora. Lebih lanjut semua salmonella kecuali S.
gallinarum-pullorum dapat bergerak oleh karena adanya flagella, dan
semua kecuali S. typhi menghasilkan gas (H2S) pada fermentasi
gula.
Genus salmonella lebih jauh dibagi menjadi serovar berdasarkan
pada deteksi antigenik utama tertentu, antigen badan O
lipopolysaccharide (LPS) komponen dinding sel,antigen permukaan Vi,
dan antigen H pada flagela. Secara umum, laboratoris klinis awalnya
terbagi Salmonella menjadi serogrup (A, B, C1, C2, D, and E)
berdasarkan pada reaktivitas terhadap antisera antigen-Osomatis.
Pengelompokan awal ini menyebabkan klinis terbatas hanya informasi
sejak terhadap tingginya reaktivitas silang. Sebagai tambahan tes
biokimia dan serologi dibutuhkan untuk identifikasi serotipe yang
spesifik. Pencetkana bakteriofage, penentuan profile plasmid, dan
analisis elektroforesis pulsed field gel digunakan untuk mennetukan
apakah strain Salmonella spesifik tertentu dalam serovar
bertanggung jawab pada sebuah wabah.
Gambar 1 Salmonella typhiIV. PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel sel epitel (terutama
sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke palque peyer ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui dukstus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia yang pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ organ ini kuman
meninggalkan sel sel fagosit dan kem,udian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda tanda gejala penyakit infeksi sistemik.Di dalam
hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel sel monouklear di dinding
usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Gambar 2 Patogenesis
V. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa
diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi.
Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk
membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.
MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 14 hari. Gejala
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai
dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalh meningkat perlahan lahan dan terutama
pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
adanya infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit
dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah
pada demam pada demam tifoid dapat meningkat.SGOT dan SGPT
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.
b. Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.
Typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S. Typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu :
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagela kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggin titernya
semakin tinggi terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan
aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4 6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu :1.
Pengobatan dini dengan antibiotik
2. Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian
kortikosteroid
3. Waktu pengambilan darah
4. Daerah endemik dan atau non-endemik
5. Riwayat vaksinasi
6. Reaksi anmnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu
atau vaksinasi.
7. Faktor pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
ulang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen.
Saat ini belum ada kesepakatan pendapat mengenai titer aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang
sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan
batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium
setempat.
c. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum
dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasilnya mungkin negatif.
2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc
darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasilnya biakan bisa
negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke medai cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan
kuman.
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.
d. TUBEXBerdasarkan prinsip deteksi antibodi IgM spesifik
Salmonella typhi dalam serum dengan cara Inhibition Magnetic
Binding Immunnoassay (IMBI) menggunakan V-shape Reaction Wells,
TUBEX TF memberikan alternatif solusi deteksi dini demam tifoid
dengan klinisi terutama menghadapi masalah kecepatan, kehandalan
dan kenyamanan diagnosis.
Definisi dan Prinsip Tubex
TUBEX adalah suatu tes diagnostic in vitro semi kuantitatif 10
menit untuk deteksi demam tifoid akut yang disebabkan oleh S.
Typhi, melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi IgM tersebut
dalam menghambat reaksi antara antigen berlabel partikel latex
magnetic dan monoclonal antibody berlabel lates warna, selanjutnya
ikatan inhibisi tersebut diseparasikan oleh suatu daya magnetic.
Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan tingkat
konsentrasi antibody IgM S. typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara
visual dengan membandingkan warna awal dan akhir reaksi terhadap
skala warna.
Gambar 3 Kit Uji TUBEXVI. TATA LAKSANA DEMAM TIFOID
Sampai saat ini masih dianut trilogi pentalaksanaan demam
tifoid, yaitu :
Istirahat dan Perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Diet dan Terapi Penunjang (simptomatik dan
suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan
menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.Istirahat dan
perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil/besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diperhatikan untuk mencegah dekubitus
dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
Diet dan Terapi Penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
akan semakin lama.Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet
bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan
akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan
dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian makan
padat dini yaitu nasi dengan dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari semnetara sayuran yang berserat) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam tifoid.Pemberian AntibiotikObat obat
antimikroba yang sering digunakan untuk mengobatai demam tifoid
adalah sebagai berikut :
Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat
pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan
adalah 4 X 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata rata 7,2
hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata
rata hari ke-5.
Tiamfenikol. dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 X 500
mg, demam rata rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama
dengan klormafenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 X 2 tablet
(1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetropin)
diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang
dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2
minggu. Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan
sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam tifoid
adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc diberikan selam jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3 5 hari.
Golongan Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan dan
aturan pemberiannya :
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.
Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang
hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada
penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang
memiliki bioavabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
Kombinasi Obat Antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau lebih
diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik
tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik,yang pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella. Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya
diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami
syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
Pengobatan Demam Tifoid pada Ibu Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan
karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus
intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan digunakan pada trimester pertama kehamilan karena
kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum
dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat
digunakan. Demikian juga obat fluorokuinolon maupun kotrimoksazol
tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid. Obat yang
dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.Tata
Laksana Komplikasi Demam TifoidSebagai suatu penyakit sistemik
hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai
komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi serius yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :
Komplikasi intestinal. Perdarahan usus, perforasi usus, ileus
paralitik, pankreatitis.
Komplikasi ekstra-intestinal:
Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer,
miokarditis, tromboflebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID,
trombosis.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis.
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolelistisis.
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis,
perinefritis.
Komplikasi tulang : osteomielitis, periosteitis, spondilitis,
artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
Komplikasi IntestinalPerdarahan intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah maka terjadai perdarahan. Selanjutnya bila
tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga terjadi karena kegagalan
koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25%
penderita tifoid dapat menglami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderota mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam
dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan
terlambat, mortaliitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang
melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak
mengimbnangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.
Perforasi Usus
Terjadi sekitar 3% pada penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat terjadi pula pada minggu pertama.
Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita
demam tifoid dengan perforasi megeluh nyeri perut yang hebat
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke
seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya
adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan
udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus
pada demam tifoid. Beberapa faktor yang meningkatkan kejadian
adalah umur (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas
pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.Antibiotik
diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.
Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif
dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik
spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin
intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang
cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube.
Transfusi darah dapat diberikan jika terdapat kehilangan darah
akibat perdarahan intestinal. Komplikasi
Ekstra-IntestinalKomplikasi Hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia,
hipofibrino-genemia, peningkatan protrombin-time peningkatan
partial protrombin time, peningkatan fibrin degradation products
sampai koagulasi intra vaskular disemata KID) dapat ditemukan pada
kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering
dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi
trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikulosendotelial. Obat obatan juga
memegang peranan penting.
Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem
biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin,
prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan
endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan
mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah,
substitusi trombosit dan/atau faktor faktor koagulasi bahkan
heparin, meskipun ada yang tidak sependapat tentang pemberian
heparin pada demam tifoid.Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typhi
daripada S. Paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh
karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, paramter laboratorium, dan bila perlu
histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan
dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun
sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang terjadi pada demam tifoid.
Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi,
virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan
enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-scan dapat
membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan
pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalaha
ntibiotik intravena seperti seftriakson atau kuinolon.
Miokarditis
Miokarditis dapat terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid
sedangkan kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15%
penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala
kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung
kongestif, aritmia ata syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis
sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap
disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini
disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S. Typhi dan miokarditis
sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien
yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.Manifestasi
Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau
tanpa kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient
parkoinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindroma
Guillen-Bare, dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindroma klinis
berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut,
apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa
disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis
lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam tifoid
ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga
faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang
rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan
(adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal
tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.Semua kasus
tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat,
langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 X 400 mg
ditambah ampisilin 4 X 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.
Penatalaksanaan Pada Pengidap Tifoid (Karier)Kasus demam tifoid
karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid.
Pada daerah endemik dan hiperendemik penyandang kuman S. Typhi ini
jauh lebih banyak serta sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi
rendah semakin mempersulit usaha penanggulangannya. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/100.000 populasi per tahun,
insidens rata rata 62% di Asia dan 35% di afrika dengan mortalitas
rendah 2-5% dan sekitar 3% menjadi kasus karier. Diantara demam
tifoid yang sembuh klinis, pada 20% diantaranya masih ditemukan
kuman S. Typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan
ke tiga serta 3% masih ditemukan setelah satu tahun. Kasus karier
meningkat seiring peningkatan umur dan adanya penyakit kandung
empedu, serta gangguan traktus urinarius.
Definisi dan Manifestasi Tifoid Karier
Definisi pengidap tifoid (karier) adalah seseorang yang
kotorannya (fese atau urin) mengandung S. Typhi setelah satu tahun
pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasus tifoid
dengan kuman S. Typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin
selama 2-3 bulan disebut karier pasca penyembuhan. Pada penelitian
di Jakarta dilaporkan bahwa 16,18% (N=68) kasus demam tifoid masih
didapatkan kuman S.Typhi pada kultur fesenya.Tifoid karier tidak
menimbulkan gejala klinis (asimptomatik) dan 25% kasus menyangkal
adanya riwayat sakit demam tifoid akut. Pada beberapa penelitian
dilaporkan pada tifoid karier sering disertai infeksi kronik
traktus urinarius serta terdapat peningkatan risiko terjadinya
karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal, karsinoma pankreas,
karsinoma paru, dan keganasan di bagian organ atau jaringan lain.
Peningkatan faktor risiko tersebut berbeda bila dibandingkan dengan
populasi pasca-ledakan kasus luar biasa demam tifoid, hal ini
diduga faktor infeksi kronis sebagai faktor risiko terjadinya
karsinoma dan bukan akibat infeksi tifoid akut.
Proses patofisiologis dan patogenesis kasus tifoid karier belum
jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap Salmonella typhi belum
jelas. Imunitas seluler diduga punya peran sangat penting. Hal ini
dibuktikan bahwa pada penderita sickle cell disease dan sistemic
lupus eritematosus (SLE) maupun penderita AIDS bila terinfeksi
Salmonella maka akan terjadi bakteremia yang berat. Pada
pemeriksaan inhibisi migrasi leukosit (LMI) dilaporkan terdapat
penurunan respons reaktivitas seluler terhadap Salmonella typhi,
meskipun tidak ditemukan penurunan imunitas seluler dan humoral.
Penelitian lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
pada sistem imunitas humoral dan seluler serta respons limfosit
terhadap Salmonella typhi antara pengidap tifoid dengan kontrol.
Pemeriksaan respons imun berdasarkan serologi antibodi IgG dan IgM
terhadap S. Typhi antara tifoid karier dibanding tifoid akut tidak
berbeda bermakna.
Diagnosis Tifoid KarierDiagnosis tifoid karier ditegakkan atas
dasar ditemukannya kuma Salmonella Typhi pada biakan feses atau
urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang
setelah 1 tahun pasca demam tifoid. Dinyatakan kemungkinan besar
bukan sebagai tifoid karier bila setelah dilakukan biakan secara
acak serial minimal 6 kali pemeriksaan tidak ditemukan kuman S.
Typhi.Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan
serologi Vi, dilaporkan bahwa sensitivitas 75% dan spesifitasnya
92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar 160. Nolam CM
dkk meneliti pengidap tifoid (karier) beserta keluarganya,
ditemukan titer 1:40 sampai 1:2560 pada 7 kasus biakan positif S.
Typhi sedangkan pada 37 kasus dengan kultur S. Typhi negatif 36
kasus tidak ditemukan antibodi Vi, 1 kasus denagn antibodi Vi
psoitif 1:10.
Penatalaksanaan Tifoid KarierKesulitan eradikasi kasus karier
berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu dan sikatrik kronik
pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seseorang
yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur,
hidronefrosis, dan tuberkulosis maupun tumor di traktus urinairus.
Oleh karena itulah insidens tifoid karier meningkat pada wanita
maupun pada usia lanjut karena adanya faktor tersebut di atas.
Penatalaksanaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya
penyulit yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Terapi Antibiotik pada Kasus Demam Tifoid Karier
Tanpa disertai Kasus Kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selam 3 bulan :
1. Ampisilin 100 mg/kgbb/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari
2. Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari
3. Trimetropin-sulfametoklsazol 2 tablet/hari
Disertai Kasus KolelitiasisKolisistektomi + regimen tersebut
diatas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kolesistektomi + salah
satu regimen terapi di bawah ini :
1. Siprofloksasin 750mg/2 kali/hari
2. Norfloksasin 400mg/2 kali/hari
Disertai infeksi Schistosoma Haematobium Pada Traktus
UrinariusPengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S.
Haematobium
1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
2. Metrifonat 7,5 10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis,
interval 2 minggu. Setelah eradikasi S. Haematobium tersebut baru
diberikan regimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.
VII. PENCEGAHAN DEMAM TIFOIDPencegahan demam tifoid melalui
gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak cukup
besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam
tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara,
mendatangkan devisa negara dari wisatawan mancanegara karena telah
hilangnya predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka
tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan
wisata.
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. Typhi,
maka setiap individu harus memperharikan kualitas makanan dan
minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati
apabila dipanasi setinggi 57oC beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan hingga suhu tersebut
dan secara merata juga dapat mematikan penurunan endemisitas suatu
negara / daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air
dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu
terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan
angka kejadian demam tifoid.
Preventif dan Kontrol Penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan
peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak
aspek, mulai dari segi kuman S. Typhi sebagai agen penyakit dan
faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan.
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella Typhi baik pada kasus
demam tifoid maupun karier tifoid.2. Pencegahan transmisi langsung
dari pasien terinfeksi S. Typhi akut maupun kronik.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.
Identifikasi dan Eradikasi S. Typhi pada Pasien Tifoid
Asimtomatik, karier, dan Akut
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. Typhi
ini cukup sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari
pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara
aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada
penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif
lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana
makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel
sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang
terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru,
petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita terinfeksi S. Typhi
Akut maupun Karier
Kegiatan ini dilakukan rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.
Typhi.
Proteksi pada Orang yang Berisiko Tinggi Tertular dan
terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran
vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat
resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan
dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko, yaitu
golongan immunokompromais maupun golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu: Daerah
non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan
makanan-minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi tifoid
Pencarian dan eliminasi sumber penularan
Pemeriksaan air minum dan MCK
Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah
tersebut.
Daerah endemik
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan) >570C, iodisasi,
dan klorinisasi)
Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah)
Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
VaksinasiVaksin pertama kali ditemukan pada tahun 1896 dan
setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan,
keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar 67%
(Universitas Mawryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak
mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian
juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila :
1. Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam
tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang.
2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
3. Petugas laboratorium/mikrobiologi
Jenis Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di
Indonesia.
Vaksin parenteral ViCPS, vaksin kapsul polisakarida
Pemilihan Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3
kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan ini
sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda
efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak > 10
tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens turun 17%.
Vaskin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan
reaksi efek samping serta tidak selektif dibandingkan dengan ViCPS
maupun Ty12a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada
di Indonesia hanya Vi CPS.
Indikasi Tindakan preventif berupa vaksin tifoid tergantung pada
faktor resiko yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan
situasi epidemiologinya:
Populasi : anak sekolah di daerah endemik, personil militer,
petugas rumah sakit, lab kes.
Individual : pengunjung wisatawan ke daerah endemik, orang yang
kontak erat dengan pengidap tifoid (karier)
Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama
dengan anak usia lebih besar.
Kontraindikasi Vaksin hidup oral Ty12a secara teoritis
dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi atau reaksi efek
samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan. Bila diberikan
bersamaan dengan obat antimalaria (klorokuin-meflokuin) dianjurkan
minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi.
Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sufonamid atau antimikroba lainnya.Efek Samping Pada vaksin Ty21a
demam timbul pada orang yang mendapat vaksinasi 0-5% sakit kepal,
sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%, malaise
5%, sakit kepala 1,5% rash 5% reaksi nyeri lokal 17%. Efek samping
terbesar pada vaksin parenteral adalah heat phenol inactivated,
yaitu demam 6,7-24% nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri dan
edema 3-35% bahkan reaksi berat hipotensi, nyeri dada, dan syok
dilaporna pernah terjadi meskipun sporadis dan sangat jarang
terjadi.
Efektivitas Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali)
setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar
15 hari ke-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan
proteksi sebesar 77% pada daerah endemik dan sebesar 60% untuk
daerah hiperendemik.DAFTAR PUSTAKA1. Sudoyo, A., dkk. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan
Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006.2. Sudarmo, S. dkk. Buku
ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi II. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 20023. Kasper, D., dkk. Harrisons principle of internal
medicine. Edisi XVI. New York: McGraw-Hill. 20054. Warrel, A. dkk.
Oxford textbook of medicine. Edisi IV. Philadelphia: Oxford
University Press. 2003 5. Anonim. TUBEX TF. Date accessed December
10, 2010. Available at www.kalbe.co.id
Referat Demam Tifoid/UIN 2010
Page 3