BAGIAN ILMU PSIKIATRI FEBRUARI 2014FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT:GANGGUAN KONVERSILAPSUS:GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN
DEPRESI
OLEH:Ris Ryani Syahputri C11111271
Pembimbing:dr. Yazzit Mahri
Supervisor:dr. Agus Japari, M.Kes., SpKJ
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU
PSIKIATRIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN2014LEMBAR
PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:Nama / NIM:
Ris Ryani SyahputriC11111271
Judul Referat: GANGGUAN KONVERSIJudul Laporan Kasus: GANGGUAN
CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Makassar, Februari 2014
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing
dr. Agus Japari, M.Kes., SpKJ dr. Yazzit Mahri
BAB IPENDAHULUAN
Gangguan ini disebut gangguan konversi atau disosiatif karena
dahulu dianggap terjadi hilangnya asosiasi antara berbagai proses
mental seperti identitas pribadi dan memori, sensori, dan fungsi
motorik. Ciri utamanya adalah hilangnya fungsi yang tidak dapat
dijelaskan secara medis. (1)Istilah konversi didasarkan pada teori
kuno bahwa perasaan dan anxietas dikonversikan manjadi
gejala-gejala dengan akibat terselesaikannya konflik mental
(keuntungan primer; primary gain) dimana memungkinkan pasien untuk
menghindari situasi yang tidak menyenangkan dan mengumpulkan
perhatian dari orang lain (keuntungan sekunder; secondary gain).
(1,2)Gejala konversi menunjukkan gangguan fisik tetapi merupakan
hasil dari factor psikologis. Menurut model psikodinamik, gejala
akibat konflik emosional, dengan represi konflik kea lam bawah
sadar. Pada akhir 1880-an, Freud dan Breuer menyarankan bahwa
gelaja histeris akibat intrusi kenangan yang terhubung ke trauma
psikis ke persarafan somatic. Proses pikiran-untuk-tubuh disebut
sebagai konversi.(2)Gangguan konversi, seperti yang tercantum dalam
Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edidi Keempat,
Revisi Teks (DSM-V-TR), melibatkan gejala atau deficit mempengaruhi
motorik sukarela atau fungsi sensorik yang menyarankan neurologis
atau kondisi medis umum lainnya. Namun, setelah evaluasi
menyeluruh, yang mencakup pemeriksaan neurologis rinci dan
laboratorium yang sesuai dan tes diagnostic radiografi, tidak ada
penjelasan neurologis ada untuk gejala, atau temuan pemeriksaan
tidak sesuai dengan keluhan. Dengan kata lain, gejala gangguan
medis organic atau gangguan dalam fungsi neurologis yang normal
tidak berkaitan dengan penyebab medis atau neurologis
organic.(2)
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1.DefinisiGangguan konversi (conversion disorders) menurut
DSM-IV didefinisikan sebagai suatu gangguan yang ditandai oleh
adanya satu atau lebih gejala neurologis (sebagai contohnya
paralisis, kebutaan, dan parastesia) yang tidak dapat dijelaskan
oleh gangguan neurologis atau medis yang diketahui. Disamping itu
diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan
awal atau eksaserbasi gejala. Adapun menurut PPDGJ III gangguan
konversi atau disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau
seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu, kesadaran
akan identitas dan penghayatan segera (awareness of identity and
immediate sensations), dan kendali terhadap gerakan tubuh.
(3,6)
2.2.EpidemiologiGangguan konversi bukan merupakan gangguan
psikiatri yang umum, namun tidak jarang ditemukan. Suatu komunits
melaporkan bahwa insiden tahunan gangguan konversi adalah 22 per
100.000. Di antara populasi khusu, keberadaan gangguan konversi
bahkan dapat lebih tinggi dari itu bahkan mungkin membuat gangguan
konversi menjadi gangguan somatoform yang paling lazim ditemukan
pada beberapa populasi.(3)Rasio perempuan banding laki-laki di
antara pasien dewasa adalah sedikinya 2:1 dan paling tinggi 10:1
pada anak bahkan terdapat predominasi yang lebih tinggi pada anak
perempuan. Laki-laki dengan penggunaan konversi biasanya pernah
mengalami kecelakaan kerja atau militer. Gangguan konversi dapat
memiliki awitan kapanpun dari masa kanak hingga usia tua, tetapi
lazim pada masa remaja dan dewasa muda. Data menunjukkan bahwa
gangguan konversi adalah gangguan yang paling lazim di antara
populasi pedesaan, orang dengan sedikit edukasi, orang dengan IQ
rendah, orang dalam kelompok sosioekonomi rendah, dan anggota
militer yang telah terpajang situasi perang. Gangguan konversi
lazim dikaitkan dengan diagnosismkomorbid gangguan depresi berat,
gangguan anxietas, dan skizofrenia.(3,4)
2.3.Etiologi Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik,
gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik intrapsikis yang
tidak disadari dan konversi anxietas menjadi suatu gejala fisik.
Konflik tersebut adalah antara impuls berdasarkan insting
(contohnya agresi atau seksualitas) dan larangan pengungkapan
ekspresi. Gejalanya memungkinkan ekspresi parsial keinginan atau
dorongan terlarang, tetapi menyamarkannya sehingga pasien dapat
menghindari secara sadar untuk menghadapi impuls yang tidak dapat
diterima tersebut yaitu gejala gangguan konversi memiliki hubungan
simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala gangguan
konversi juga memungkinkn pasien menyampaikan bahwa mereka
membutuhkan perhatian atau perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat
berfungsi sebagai cara nonverbal untuk mengendalikan atau
memanipulasi orang lain.(3) Factor Biologis. semakin banyak data
yang mengaitkan fakor biologis dan neuropsikologis di dalam
timbulnya gejala gangguan konversi. Studi pencitraan otak
sebelumnya menemukan adanya hipometabolisme hemisfer dominan dan
hipermetabolisme hemisfer nondominan dan mengaitkan hubungan
hemisfer yang terganggu sebagai penyebab gangguan konversi.
Gejalanya dapat disebabkan oleh bangkitan korteks berlebihan yang
mematikan lengkung umpan balik negative antara korteks serebri
dengan formasio retikularis batang otak. Selanjutnya, peningkatan
kadar keluaran kortikofugal menghambat kesadaran pasien akan
sensasi yang berkaitan dengan tubuh, yang pada sebagian pasien
dengan gangguang konversi dapat menjelaskan adanya defisit sensorik
yang dapat diamati.(3)
2.4.Gejala KlinisGejala konvesi menunjukkan gangguan neurologi
dari system sensorik atau motorik yang paling umum : paresis,
kelumpuhan, aphonia, kejang, kebutaan, dan anestesi. Gangguan
konversi mungkin paling sering disertai gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, anti social, dan histrionic. Gejala
gangguan depresif dan anxietas sering dapat meneyrtai gejala
gangguan konversi, dan pasien ini memiliki rasio bunuh diri.Gejala
sensorik. Pada gangguan konversi, anesthesia dan paresthesia adalah
gejala yang lazim ditemukan, terutama pada ekstremitas. Semua
modalitas sensorik dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya
tidak konsisten dengan distribusi gangguan pada penyakit neurologis
perifer maupun pusat. Gejala gangguan konversi dapat melibatkan
organ indera khusus dan dapat menimbulkan tuli, buta, serta
penglihatan trowongan (tunnel vision). Gejala ini dapat unilateral
atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras
sensorik yang intak.Gejala motorik. Gejala motorik meliputi gerakan
abnormal, gangguan berjalan, kelemahan, dan paralisis. Tremor
ritmis yang kasar, gerakan koreiform, tic, dan sentakan dapat ada.
Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan
mereka. Satu gangguan berjalan yang terlihat pada gangguan konversi
adalah astasia-abasia. Selain itu yang lazim ditemukan juga adalah
paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat
ekstremitas, walaupun distribusi otot terkena yang tidak sesuai
dengan jaras saraf. Reflex tetap normal yaitu pasien tidak
mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis
konversi yang berlangsung lama), temuan elektromiografi
normal.Gejala kejang. Dimana kejang semu adalah gejala lain
gangguan konversi. Selama serangan, ditandai dengan keterlibatan
otot-otot truncal dengan opistotonus dan kepala atau badan berputar
kea rah lateral. Semua ekstremitas mungkin menunjukkan gerakan
meronta-ronta, yang mungkin akan meningkatkan intensitas jika
pengekangan diterapkan. Sianosis jarang terjadi kecuali pasien
dengan sengaja menahan napas mereka. Klinisi dapat merasa sulit
membedakan kejang semu dengan kejang yang sesungguhnya hanya dengan
pengamatan klinis saja. Lebih jauh lagi, kira-kira sepertiga kejang
semua pasien memiliki gangguan epileptic. Menggigit lidah,
inkontinensia urin, dan cedera stelah jatuh dapat terjadi jika
pasien memiliki pengetahuan medis tentang penyakit. Gejala ini
berbeda dengan kejang yang sebenarnya, dimana pseudoseizure
terutama terjadi di hadapan orang lain dan bukan ketika pasien
sendirian atau tidur. Reflex pupil dan muntah tetap ada setelah
kejang semu dan konsentrasi prolactin psien tidak mengalami
peningkatan setelah kejang.Menurut PPDGJ-III, gejala utama dari
gangguan konversi adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh)
dari integritas normal (dibawah kendali kesadaran) antara : Ingatan
masa lalu Kesadaran identitas dan penginderaan segera (awareness of
identity and immediate sensations), dan Kontrol terhadap gerakan
tubuhPada gangguan konversi kemampuan kendali di bawah kesadaran
dan kendali selektif tersebut terganggu sampai ke taraf yang dapat
berlangsung dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam.Penderita
mungkin tampak acuh tak acuh akan penyakitnya (la belle
indifference). Penampilan acuh tak acuh ini mungkin juga terjadi
pada gangguan organic dan tidak spesifik untuk penyakit ini.
2.6.DiagnosisGangguan disosiatif (konversi) dibedakan atau
diklasifikasikan atas beberapa pengolongan yaitu : F444.0 Amnesia
DisosiatifF.44.1 Fugue DisosiatifF.44.2 Stupor DisosiatifF44.3
Gangguan Trans dan KesurupanF44.4-F44.7 Gangguan konversi dari
gerakan dan PenginderaanF44.4 Gangguan motorik Disosiatif F.44.5
Konvulsi DsosiatifF.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik
DisosiatifF44.7 Gangguan konversi campuranF44.8 Gangguan konversi
lainnyaF44.9 Gangguan konversi YTTUntuk diagnosis pasti maka
hal-hal berikut ini harus ada : 1. Ciri-ciri klinis yang ditentukan
untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F44. 2. Tidak ada
bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala tersebut.
3. Bukti adanya penyebab psikologis dalam bentuk hubungan waktu
yang jelas dengan problem dan peristiwa yang stressful atau
hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun disangkal pasien).
a. F444.0 Amnesia Disosiatif Ciri utama adalah hilangnya daya
ingat, biasanya mengenal kejadian penting yang baru terjadi yang
bukan disebabkan karena gangguan mental ogranik atau terlalu luas
untuk dijelaskan. Pada Amnesia disosiatif biasanya didapati
gangguan ingatan yang spesifik saja dan tidak bersifat umum.
Informasi yang dilupakan biasanya tentang peristiwa yang
menegangkan atau traumatik, dalam kehidupan seseorang. Bentuk umum
dari amnesia disosiatif melibatkan amnesia untuk identitas pribadi
seseorang, tetapi daya ingat informasi umum adalah utuh. Diagnostik
pasti memerlukan : 1. Amnesia, baik total maupun persial, mengenai
kedian baru yang bersifat stress atau traumatic. 2. Tidak ada
gangguan otak egmency b. F44.1 Fugue Disosiatif Memilih semua ciri
amnesia disosiatif ditambah gejala perilaku melakukan perjalanan
meninggalkan rumah. Pada beberapa kasus, penderita mungkin
menggunakan identitas baru. Perilaku seseorang pasien dengan fugue
disosiatif adalah lebih bertujuan dan terintegrasi dengan
amnesianya dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pasien
dengan fugue disosiatif telah berjalan jalan secara fisik dari
rumah dan situasi kerjanya dan tidak dapat mengingat aspek penting
identitas mereka sebelumnya (nama, keluarga, pekerjaan). Pasien
tersebut seringkali, tetapi tidak selalu mengambil identitas dan
pekerjaan yang sepenuhnya baru, walaupun identitas baru biasanya
kurang lengkap dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada
gangguan identitas disosiatif. Untuk diagnosis pasti harus ada : 1.
Ciri-ciri amnesia disosiatif 2. Dengan sengaja melakukan perjalanan
tertentu melampaui jerak yang biasa dilakukannya sehari-hari. 3.
Tetap memepertahankan kemampuan mengurus diri yang mendasar dan
melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang yang belum
dikenalnya. c. F.44.2 Stupor Disosiatif Perilaku individu memenuhi
kriteria untuk stupor, akan tetapi dari pemeriksaan tidak
didapatkan adanya tanda penyebab fisik. Seperti juga pada
gangguan-gangguan konversi lain, didapat bukti adanya penyebab
psikogenik dalam bentuk kejadian-kejadian yang penuh stress ataupun
masalah sosial atau interpersonal yang menonjol. Stupor Disosiatif
bisa didefinisikan sebagai sangat berkurangnya atau hilangnya
gerakan gerakan voulunter dan respon normal terhadap rangsangan
luar, seperti misalnya cahaya, suara, dan perabaan ( sedangkan
kesadaran dalam artian fisiologis tidak hilang ). Untuk diagnosis
pasti harus ada : 1. Stupor, seperti yang sudah disebutkan tadi. 2.
Tidak ditemukan adanya gangguan fisik atau gangguan psikiatrik lain
yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut. 3. Adanya masalah
atau kejadian-kejadian baru yang penuh stress. d. F44.3 Gangguan
Trans dan Kesurupan Merupakan gangguan-gangguan yang menunjukkan
adanya kehilangan sementara penghayatan akan identitas diri dan
kesadaran terhadap lingkungannya; dalam beberapa kejadian, individu
tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain,
kekuatan gaib atau malaikat. Gangguan trans yang terjadi selama
suatu keadaan skizofrenik atau psikosis akut disertai halusinasi
atau waham atau kepribadian multiple tidak boleh dimasukkan dalam
kelompok ini. e. F44.4-F44.7 Gangguan Konversi dari Gerakan dan
Penginderaan Di dalam gangguan ini terdapat kehilangan atau
gangguan dari gerakan ataupun kehilangan pengideraan . oleh sebab
itu pasien biasanya mengeluh tentang adanya penyakit fisik,
meskipun tidak ada kelainan fisik yang dapat ditemukan untuk
menjelaskan keadaan-keadaan itu. Selain itu, penilaian status
mental pasien dan situasi sosialnya biasanya menunjukkan bahwa
ketidakmampuan akibat kehilangan fungsinya membantu pasien dalam
upaya untuk menghindar dari konflik yang kurang menyenangkan atau
untuk menunjukkan ketergantungan atau penolakan secara tidak
langsung. Diagnosis harus ditegakkan dengan sangat hati-hati
apabila terdapat gangguan sistem saraf atau pada individu yang
tadinya menunjukkan kemampuan penyesuaian yang baik dengan hubungan
keluraga dan sosial yang normal. Untuk diagnosis pasti : 1. Tidak
didapat adanya tanda kelainan fisik. 2. Harus diketahui secara
memadai mengenai kondisi psikologis dan sosial serta hubungan
interpersonal dari pasien, agar memungkinkan menyusun suatu
formulasi yang meyakinkan perihal sebab gangguan itu timbul. F44.4
Gangguan Motorik Disosiatif Bentuk yang paling lazim dari gangguan
ini adalah kehilangan kemampuan untuk menggerakkan seluruh atau
sebagian dari anggota gerak. Pralisis dapat bersifat parsial dengan
gerakan yang lemah atau lambat atau total. Berbagai bentuk
inkoordinasi dapat terjadi, khusussnya pada kaki dengan akibat cara
jalan yang bizarre. Dapat juga terjadi gemetar. F44.5 Konvulsi
Disosiatif Dapat menyerupai kejang epileptic dalam hal gerakannya
akan tetapi jarang disertai lidah tergigit, luka serius karena
jatuh saat serangan dan inkontinensia urin, tidak dijumpai
kehilangan kesadaran tetapi diganti dengan keadaan seperti stupor
atau trans. F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
Bagian kulit yang mengalami anestesi sering kali mempunyai batas
yang tegas yang menjelskan bahwa hal tersebut lebih berkaitan
dengan pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya daripada dengan
pengetahuan kedokterannya. Meskipun ada gangguan penglihatan,
mobilitas pasien serta kemampuan motoriknya sering kali masih baik.
Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan
dengn hilang rasa dan penglihatan. F44.7 Gangguan Konversi Campuran
Campuran dari gangguan-gangguan tersebut di atas. f. F44.8 Gangguan
Konversi lainnya Sindrom ganser Ciri-ciri dari gangguan ini adalah
jawaban kira-kira, yang biasanya disertai beberapa gejala
disosiatif lainnya, sring kali dalam keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya penyebab yang bersifat psikogenik dan harus
dimasukkan di sini. Gangguan kepribadian multiple Ciri utama adanya
dua atau lebih kerpibadian yang jelas pada satu individu dan hanya
satu yang tampil untuk setiap saatnya. Masing-masing kepribadian
tersebut adalah lengkap, dalm arti memiliki ingatan, perilaku dan
kesenangan sendiri-sendiri yang mungkin sangat berbeda dengan
kepribadian pramorbidnya. Gangguan konversi sementara terjadi pada
masa kanak dan remaja Gangguan Disosiatuf lainnya YDT g. F44.9
Gangguan konversi YTT
2.7.Komplikasi Orang-orang dengan gangguan konversi beresiko
besar mengalami komplikasi, yang terdiri dari : Mutilasi diri
Gangguan seksual Alkoholisme Depresi Gangguan saat tidur,mimpi
buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur Gangguan kecemasan
Gangguan makan Sakit kepala berat
2.8.Penatalaksanaan Penatalaksanaan dengan menggali kondisi
fisik dan neurologiknya. Bila tidak ditemukan kelainan fisik, perlu
dijelaskan pada pasien dan dilakukan pendekatan psikologik terhadap
penanganan gejala-gejala yang ada. Penanganan penyakit ini sebagai
berikut: Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan
penangan awal, walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam
menangani gangguan konversi ini. Biasanya pasien diberikan resep
berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu mengontrol
gejala mental pada gangguan konversi ini. Barbiturat kerja sedang
dan singkat, seperti tiopental, dan natrium amobarbital diberikan
secara intravena dan Benzodiazepine seperti lorazepam 0,5-1 mg tab
(bersama dengan saran bahwa gejala cenderung dikirim pada satu jam
atau lebih) dapat berguna untuk memulihkan ingatannya yang hilang.
Amobarbital atau lorazepam parentalPengobatan terpilih untuk fugue
disosiatif adalah psikoterapi psikodinamika suportif-ekspresif.
Hipnosis menciptakan keadaan relaksasi yang dalam dan tenang dalam
pikiran. Saat terhipnotis, pasien dapat berkonsentrasi lebih
intensif dan spesifik. Karena pasien lebih terbuka terhadap sugesti
saat pasien terhipnotis. Ada beberapa konsentrasi yang menyatakan
bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan memori yang salah
dalam mensugesti. Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap
gangguan konversi ini. Bentuk terapinya berupa terapi bicara,
konseling atau terapi psikososial, meliputi berbicara tentang
gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan membantu
anda mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk
gangguan konversi sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis
yang membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala
disosiatif. Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi
dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan proses kreatif untuk
membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran dan perasaan
mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran diri.
Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi.
Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk
mengidentifikasikan kelakuan yang negatif dan tidak sehat dan
menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan semua tergantung
dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang menjadi
perilaku pemeriksa.
2.9.PrognosisUmumnya prognosisnya baik. Faktor yang terkait
dengan prognosis yang baik adalah sebagai berikut: Serangan yang
akut Penyebab tekanan pada saat terjadi serangan jelas Jarak antara
serangan dengan memulai pengobatan tidak terlalu jauh Daya kognitif
dan kecerdasan baik Gejala aphonia, kelumpuhan, dan atau kebutaan
(yang bertentangan dengan kejang dan gemetaran, yang berhubungan
dengan prognosis buruk)
2.10.Pencegahan Anak- anak yang secara fisik, emosional dan
seksual mengalami gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami
gangguan mental yang dalam hal ini adalah gangguan konversi. Jika
terjadi hal yang demikian, maka bersegeralah mengobati secara
sugesti, agar penangan tidak berupa obat anti depresan ataupun obat
anti stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan sugesti yang
baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil yang
maksimal, dengan penangan yang minimal.
BAB IIIPENUTUP
3.1KesimpulanSecara umum gangguan konversi (dissociative
disorders) bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan ( sebagian
atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali sadar)
meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaan
segera (awareness of identity and immediate sensations) serta
kontrol terhadap gerak tubuh.Gangguan konversi bukanlah penyakit
yang umum ditemukan dalam masyarakat. Dalam beberapa studi,
mayoritas dari kasus gangguan konversi ini mengenai wanita 90% atau
lebih, Gangguan konversi bisa terkena oleh orang di belahan dunia
manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.Ada beberapa
penggolongan dalam gangguan konversi, antara lain adalah Amnesia
Disosiatif, Fugue Disosiatif, Stupor Disosiatif, Gangguan Trans dan
Kesurupan, Gangguan Motorik Disosiatif, Konvulsi disosiatif dan
juga Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif. Penatalaksanaan
dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Terapi obat.
sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak ada obat
yang spesifik dalam menangani gangguan konversi ini. Biasanya
pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas
untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan konversi ini.
Bila tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien
dan dilakukan pendekatan psikologik terhadap penanganan
gejala-gejala yang ada.
DAFTAR PUSTAKA1. Maramis, W.F. Gangguan Disosiatif (Konversi).
Ilmu Kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University Press2.
Marshall SA, Bienenfeid D., et all. Conversion Disorder. Medscape
Reference.
http:/emedicine.medscape.com/article/287464-overview#showall.
Updated at Jun 26, 2013.3. Sadock, B. J., & Sadock, V. A.
(2007). Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York. Lippincot
William&Wilkins4. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion
Disorder. Essential of Psychiatry. Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data. New York; 20065. Loewenstein,
Richard J. Share, Mackay MD. Convertion Disorder. Review of General
Psychiatry, 5th edition by Vishal6. Maslim, Rusdi. Buku Saku
Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III, Jakarta;
20017. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder,
Adult Psychiatry, second edition. Blackwell Publishing; 20058.
Tasman, Allan. First, B Michael. Convertion Disorder, Clinical
Guide to the Diagnosis and Treatment of Mental Disorder. New York.
Wiley; 2006