Top Banner
PENGANTAR PSIKOANALISIS SASTRA Oleh Aprinus Salam Fakultas Ilmu Budaya UGM 1.Latar Belakang Masalah terbesar umat manusia yang hingga hari ini tidak akan pernah selesai dibicarakan, direnungkan, didiskusikan, dan dikaji dalam berbagai perspektif adalah upaya manusia memahami hakikat diri dan alam-kehidupannya. Manusialah problem terbesar berbagai bidang disiplin keilmuan, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Studi kesusastraan sebagai bagian dari ilmu-ilmu humaniora meletakkan masalah manusia dan kemanusiaan sebagai fokus utama kajiannya. Dalam mengkaji masalah manusia dan kemanusiaan tersebut, dalam proses perkembangannya, tidak ada disiplin keilmuan yang berdiri sendiri. Hampir dapat dipastikan setiap disiplin keilmuan memerlukan disiplin keilmuan lain, disiplin keilmuan tersebut saling membutuhkan, saling
86

PSIKO-sastra

Jan 20, 2016

Download

Documents

psikologi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PSIKO-sastra

PENGANTAR

PSIKOANALISIS SASTRA

Oleh Aprinus Salam

Fakultas Ilmu Budaya UGM

1.Latar Belakang

Masalah terbesar umat manusia yang hingga hari ini tidak akan

pernah selesai dibicarakan, direnungkan, didiskusikan, dan dikaji dalam

berbagai perspektif adalah upaya manusia memahami hakikat diri dan alam-

kehidupannya. Manusialah problem terbesar berbagai bidang disiplin

keilmuan, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Studi kesusastraan

sebagai bagian dari ilmu-ilmu humaniora meletakkan masalah manusia dan

kemanusiaan sebagai fokus utama kajiannya.

Dalam mengkaji masalah manusia dan kemanusiaan tersebut, dalam

proses perkembangannya, tidak ada disiplin keilmuan yang berdiri sendiri.

Hampir dapat dipastikan setiap disiplin keilmuan memerlukan disiplin

keilmuan lain, disiplin keilmuan tersebut saling membutuhkan, saling

mengisi, saling melengkapi. Tidak terkecuali ilmu kesusastraan, studi

kesusatraan membutuhkan sosiologi, psikologi, filsafat, linguistik, sejarah,

ilmu-ilmu alam, dan sebagainya (Bdk. Wellek dan Warren 1993: 5-6).

Dalam hal ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa psikologi dalam

sejarahnya telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ilmu

kesusastraan, khususnya dalam menjelaskan proses kreativitas sastrawan,

dan yang lebih kemudian adalah proses hermeneutik dan resepsi pembaca

terhadap teks kesusastraan.

Seperti halnya kesusastraan, psikologi adalah disiplin keilmuan yang

sepenuhnya berkutat dengan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan.

Page 2: PSIKO-sastra

Di dalam psikologi memang belum ada kesepakatan resmi yang dapat

dijadikan acuan bersama untuk semua paradigma psikologi. Hal tersebut

terjadi karena disiplin psikologi berkembang sesuai dengan paradigmanya

sendiri-sendiri yang secara umum dibagi ke dalam empat paradigma yang

paling dominan yaitu psikologi-psikoanalisis (untuk seterusnya disebut

psikoanalisis), psikologi-behaviorisme, psikologi-kognitif, dan psikologi-

humanistis. Setiap paradigma memiliki rumusan tersendiri tentang manusia.

Namun begitu, apapun paradigma dalam psikologi tersebut semuanya

terfokus pada manusia. Hal itu tampak dari sebuah definisi umum yang

ditawarkan oleh Miller (1974: 4) bahwa psikologi adalah ilmu yang

mencoba menjelaskan, meramal, mengontrol mental dan tingkah laku

manusia.

Psikoanalisis pada mulanya dikembangkan bukan dari seorang

psikolog, tetapi justru oleh seorang dokter atau lebih tepatnya dari disiplin

psikiatri yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Akan tetapi, dalam prosesnya

psikoanalisis berintegrasi dalam paradigma psikologi. Persoalannya

mengapa justru psikoanalisis yang dianggap justru paling dekat dengan

studi kesusastraan? Karena, seperti diterangkan oleh Asch (1959: 17), dari

berbagai paradigma psikologi tersebut di atas, psikoanalisislah yang paling

tegas dan sistematis menjelaskan struktur jiwa manusia. Sigmund Freud

dianggap orang pertama yang merumuskan psikologi manusia secara

komprehensif tentang kepribadian manusia. Konsep ini tentu saja akan

memiliki relevansi dengan studi kesusastraan khususnya ketika karya sastra

dianggap sebagai struktur yang bermakna dari hasil kreativitas dan ekpresi

(struktur jiwa) manusia (sastrawan).

Pemikiran Freud hingga hari ini tidak pernah dilupakan dan

disepelekan. Sebagian besar buku-buku ilmiah masih membahas dan

mengutip pemikirannya. Dalam buku yang disunting Alexander Grinstein

(1975) disebutkan bahwa buku atau artikel yang membicarakan masalah

2

Page 3: PSIKO-sastra

psikoanalisis sudah lebih dari 100.000 nomor, dalam 21 bahasa. Kita dapat

membayangkan berapa judul buku/artikel ditulis orang setelah 25 tahun

kemudian. Seorang yang biasanya menyerang Freud dengan keras, H.J.

Eysenck (1977: 221) secara sportif mengakui bahwa boleh dikata tidak ada

orang lain sebagai perorangan yang mampu memberi pengaruh demikian

besar atas pemikiran abad kita ini seperti Sigmund Freud. Fritjof Capra

(1997: 282), seorang filsuf fisika kenamaan, mengakui selain Marx, Freud

mempunyai kehidupan intelektual yang panjang dan kaya, dengan banyak

wawasan kreatif yang secara meyakinkan telah membentuk zaman kita.

Bertens (1979: ix-x) juga mengatakan bahwa teori psikoanalisis yang

dikembangkan Freud mempengaruhi seluruh kultur modern, dan di antara

para inovator lain barangkali pengaruh Freud termasuk yang paling besar

dalam membentuk kita sebagai orang modern.

Di dalam Apsanti Ds, Sri Widaningsih, dan Laksmi (1992: V;) dan

Apsanti (2000: 32-33) disebutkan bahwa psikoanalisis merupakan salah

satu bidang ilmu sosial yang berperan besar dalam perkembangan teori-

teori sastra modern, dan telah menghasilkan berbagai pendekatan yang

menarik seperti psikokritik yang dipelopori oleh Charles Mauron, pengikut

setia Freud, kajian arketip dan konsep ketaksadaran kolektif yang

dikembangkan Jung, pendekatan struktur ketaksadaran-bahasa Lacan,

pendekatan tematik, psikobiografi, psikoanalisis eksistensial, dan

sebagainya. Psikoanalisis juga telah bergabung dengan strukturalisme,

semiotik, feminisme, dan sosiologi sastra, dan telah menghasilkan aneka

ramuan pendekatan baru yang menarik dan penting, yang menjawab

tantangan keragaman bentuk karya sasta dewasa ini. I. A. Richards, seperti

dikutip Wellek dan Warren (1993: 5) secara tidak sengaja pernah

mengatakan bahwa ilmu-syaraf (disiplin awal Freud dalam

mengembangkan teori psikoanalisis) yang akan mendominasi di masa

depan dalam mengatasi persoalan-persoalan kesusastraan.

3

Page 4: PSIKO-sastra

Hingga hari ini uraian masalah teori dan kritik psikoanalisis sastra

dalam bahasa Indonesia masih amat jarang dilakukan. Hal senada dikatakan

oleh Apsanti Ds. dkk. (1992:V) psikonalisis di bidang seni, khususnya

sastra, masih asing untuk sebagian besar ahli sastra kita. Pada tahun 1981,

Andre Hardjana pernah menulis "Psikologi dalam Kritik Sastra" sebagai

salah satu judul bab pada buku tersebut. Secara ringkas tulisan tersebut

membicarakan "asal-usul" teori psikologi masuk ke dalam studi sastra.

Hardjana juga membicarakan pengaruh teori interpretasi ala Freud dan

Jung. Akan tetapi, karena ditulis secara ringkas, tulisan Hardjana belum

cukup memadai untuk dijadikan acuan dalam memahami teori psikoanalisis

secara lebih komprehensif.

Berdasarkan uraian di atas, tampaknya keperluan untuk menulis

sebuah karya dalam orientasi psikoanalisis bukan suatu keinginan yang

tanpa alasan. Dengan demikian, walaupun dalam beberapa hal apa yang

dapat ditulis dalam pembicaraan ini mungkin bukan sesuatu yang lengkap

untuk keseluruhan teori psikoanalisis, tetapi paling tidak upaya ke arah itu

perlu dilakukan secara lebih serius. Namun demikian, tulisan apapun

tentang psikoanalisis dengan berbagai implikasi yang menyertainya

terhadap berbagai bidang keilmuan, tentu tidak dapat terhindar dari

kemungkinan keberpihakan atau hanya mengambil bagian-bagian tertentu

yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan. Dalam hal ini, penulis

mengambil "resiko" hanya membicarakan teori psikoanalisis yang relevan

dengan studi kesusastraan.

Sejak awal abad ke-20 ini, paling tidak ada empat teori sastra yang

menonjol yaitu strukturalisme-formalisme, sosiologisme, estetika resepsi,

dan semiotik, seperti dapat dilihat dari pembagian bab-bab dalam buku

Fokkema dan Ibsch (1998). Melihat pembagian bab-bab dalam Fokkema

dan Ibsch, tampaknya psikoanalisis sastra tidak mendapat tempat secara

eksplisit. Padahal dalam buku tersebut Fokkema dan Ibsch secara tidak

4

Page 5: PSIKO-sastra

langsung menyebutkan peran psikoanalisis dalam studi sastra. Suleiman

(1980) secara lebih rinci mengedepankan enam pendekatan (teori) yang

dominan dalam kesusastraan kontemprer yaitu retorik, semiotik dan

struktural, fenomenologi, subjektif dan psikologis, sosiologi dan sejarah,

serta hermeneutik. Itulah sebabnya, Selden (1990) memasukkan pendekatan

psikoanalisis (Selden menggunakan istilah unconcious processes) dalam

kelompok pendekatan teori kritik subjektif.

Keterangan di atas ingin mengantarkan posisi psikoanalisis dalam

studi sastra. Seperti akan diuraikan lebih jauh, psikoanalisis ternyata sangat

membantu perkembangan teori sastra khususnya teori ekspresif, resepsi,

semiotik, dan sosiologi sastra, demikian pun sebaliknya. Pelitian ini

berjudul Prinsip-Prisip Dasar Psikoanalisis Sastra, tetapi dalam beberapa

kesempatan di dalam tesis ini menggunakan istilah psikoanalisis. Istilah

tersebut dipakai "dalam rangka" memayungi berbagai perbedaan yang

muncul berkaitan dengan terjadinya perbedaan konsep psikoanalisis dalam

perkembangan kemudian.

Berdasarkan judul penelitian, tesis ini tidak berambisi mencari

temuan yang orisinal dalam mengembangkan teori psikoanalisis sastra,

tetapi lebih-lebih suatu keinginan untuk menggaris-bawahi, dan jika

mungkin "mensintesiskan" secara lebih sistematis dan terpadu tentang

kemungkinan-kemungkinan teori psikoanalisis untuk keperluan studi sastra.

Berdasarkan hal tersebut persoalannya adalah sampai seberapa jauh

psikoanalisis, seperti yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Freud

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap studi kesusastraan.

Bagaimana psikoanalisis melihat, memahami, dan menempatkan fenomena

kesastraan, baik sebagai ciptaan pengarang, sebagai teks, maupun dalam

hubungannya dengan pembaca? Namun demikian, tesis ini membatasi diri

hanya mendiskusikan, di samping terutama Freud, adalah para psikoanalis

yang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap teori tersebut yaitu

5

Page 6: PSIKO-sastra

Jung, Lacan, dan Derrida. Beberapa pakar lain hanya disinggung sejauh

relevan dengan pembicaraan.

3. Tujuan Penelitian Psikoanalisis Sastra

Seperti layaknya sebuah penelitian, penelitian selalu dituntut untuk

memiliki tujuan tertentu yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tujuan yang paling sederhana untuk dijawab tentulah tujuan praktis. Seperti

diketahui, sebagian besar tesis, khususnya di UGM, bersifat terapan teori

tertentu atau sesuatu yang bersifat analisis terhadap data kesastraan tertentu.

Itulah sebabnya, menurut penulis tidak ada salahnya penulis mencoba

hanya berbicara tentang teori sastra, khususnya teori sastra psikoanalisis

dalam perspektif teoretiknya saja. Tujuan praktis lainnya, seperti juga telah

disinggung, tesis ini ingin menelusurulang teori psikoanalisis dalam

kaitannya dengan studi sastra. Dari penjelajahan ulang tersebut penelitian

ini diharapkan bermanfaat bagi mereka yang tertarik mendekati karya sastra

berdasarkan teori psikoanalisis, bahkan jika mungkin mengembangkannya

lebih jauh.

Untuk tujuan teoretik, uraian ini tidak memberikan suatu janji yang

muluk- muluk. Akan tetapi, paling tidak penelitian ini mencoba

mendeskripsikan prinsip- prinsip dasar teori psikoanalisis dari yang klasik

seperti yang dikembangkan oleh Freud hingga teori psikoanalisis

posstruktural dan catatan yang terkait dengan persoalan tersebut.

Bagaimanapun pembicaraan psikoanalisis yang membahas masalah tersebut

secara "lebih terapadu" dalam bahasa Indonesia masih amat terbatas.

Dengan demikian, pembicaraan ini diharapkan dapat menambah khazanah

teoretik studi sastra, khususnya teori psikoanalisis dalam bahasa Indonesia.

4. Tinjauan Pustaka

6

Page 7: PSIKO-sastra

Seperti telah disinggung, penulis hanya membicarakan beberapa

tulisan psikoanalisis yang hanya berkaitan dengan kesusastraan. Dapat

diperkirakan bahwa orang pertama yang menganjurkan pendekatan

psikologis terhadap studi kesusastraan adalah I. A. Richards (1970, Cet. I,

1924). I. A Richards (1970: 17-23) memperkenalkan teori psikologi gestalt

dan teori psikoanalisis dalam studi sastra. Secara sekilas Richards

menjelaskan bahwa teori psikologi dapat membantu menjelaskan proses

kreatif seniman. Dengan teori psikoanalisis Richards telah mencoba

mengenalkan teori motif-motif ketaksadaran Freud khususnya dalam

menjelaskan proses kreatif dan bahasa puisi Coleridge. Dalam tulisan ini,

Richards masih dipengaruhi oleh wacara teoretik sastra pada waktu itu yaitu

teori sastra yang masih berorientasi pada maksud pengarang.

Tidak jauh berbeda dengan Richards, Daiches (1974, Cet. I, 1956)

dalam salah satu babnya berjudul "Criticism and Psychology" (340-357)

menyinggung perlunya psikologi dalam kritik sastra. Daiches mengatakan

bahwa psikologi masuk ke kritik sastra melalui dua cara yaitu teori yang

menjelaskan proses kreatif seniman, dan yang kedua upaya penjelaskan

hubungan prilaku seniman dengan kualitas karyanya. Dalam tulisan itu,

Daiches juga mengulas secara amat ringkas bahasan Freud tentang Hamlet

yakni uraian karakter tokoh Hamlet dalam roman karya Shakespeare,

sebuah penjelasan mengapa Hamlet dalam cerita tersebut memiliki

karakater ganda. Di bagian akhir tulisannya Daiches menyinggung secara

sekilas teori Jung. Akan tetapi, yang pasti, Daiches tidak bermaksud

membicarakan teori psikonalisis secara khusus dan terperinci. Daiches

hanya menyinggung serba sedikit teori psikologi dan psikoanalisis.

Pada tahun 1940-an, Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 90-

108)1 menyebutkan bahwa "psikologi sastra" paling tidak memiliki empat

1Buku Rene Wallek dan Austin Warren yang berjudul Theory of Literature untuk pertama kalinya terbit pada tahun 1948 di Amerika Serikat. Buku

7

Page 8: PSIKO-sastra

kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai

tipe atau atau pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga

studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra,

dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi

pembaca). Wellek dan Warren mengatakan bahwa pengertian yang paling

relevan dengan studi sastra adalah pengertian yang ketiga, sedangkan

pengertian pertama dan kedua merupakan bagian dari psikologi seni.

Alasan Wellek dan Warren adalah bahwa psikologi pengarang dan proses

kreatif memang sering dipakai dalam pengajaan sastra, tetapi sebaiknya

asal-usul dan proses penciptaan sastra tidak dijadikan pegangan untuk

memberikan penilaian.

Dalam penjelasan berikutnya Wellek dan Warren justru lebih banyak

membahas sejarah kedudukan dan proses kreatif sastrawan. Memang,

Wellek dan Warren menyinggung teori psikoanalisis yang dikembangkan

oleh Freud dan beberapa keberatan terhadap teori tersebut dengan alasan

banyak sastrawan atau penyair tidak bersedia "disembuhkan" atau

menyesuaikan diri dengan norma masyarakat. Alasan yang dikemukan oleh

para penyair dan sastrawan jika harus menyesuaikan diri dengan norma

masyarakat akan mematikan kreativitas. Sebagai contoh W.H. Auden

bahkan mengatakan bahwa seniman boleh tetap menjadi neorotik untuk

memperta hankan dorongan-dorongan kreatifnya.

Lebih lanjut Wellek dan Warren menyebutkan beberapa tokoh yang

mencoba memperbaiki teori Freud seperti Horney, Fromm, dan Kardiner.

Nama-nama yang disebut terakhir ini mencoba memperbaiki dan

mengintegrasikan teori Freud dengan teori Marxisme dan teori-teori

antropologi. Akan tetapi, Wellek dan Warren tidak menjelaskan lebih lanjut

perbaikan teoretik yang dimaksud oleh para neofreudian tersebut. Di

tersebut merupakan kumpulan tulisan dari kedua pengarang tersebut yang ditulis antara tahun 1941 hingga 1946.

8

Page 9: PSIKO-sastra

samping itu, tulisan mereka belum sampai menjelaskan perkembangan lebih

jauh teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Lacan dan Derrida.

Namun demikian, Wellek dan Warren sempat menjelaskan lebih jauh

pengaruh C.G Jung yang mengembangkan teori psikoanalitis, yang dalam

hal ini disebut sebagai teori ketaksadaran kolektif yang bermuatan arketip,

dan sebagainya.

Di dalam salah satu karya Terry Eagleton (1983), terdapat sebuah

bab berjudul "Psychoanalysis" (151-193). Seperti dapat dilihat, Eagleton

secara eksplisit hanya menggunakan kata psikoanalisis, karena ada

perbedaan yang cukup mendasar dengan psikologi sastra. Dalam beberapa

hal psikologi sastra lebih dimaksudkan sebagai teori yang menjelaskan

perkembangan karakter tokoh yang mempengaruhi perkembangan plot

sebuah cerita. Sementara itu, psikoanalisis merupakan teori yang secara

khas yang bukan semata-mata mempersoalkan perkembangan psikologis

tokoh cerita. Dengan keterangan yang cukup ringkas dan padat Eagleton

menjelaskan teori psikoanalisis Freud, Lacan, dan Derrida. Akan tetapi,

Eagleton tidak secara khusus mempersoalkan resepsi yaitu hubungan antara

teks dan pembaca. Dalam keterangan yang tidak jauh berbeda, sebuah buku

yang disunting oleh Ann Jefferson dan David Robey (1987), Elizabeth

Wright menyumbang sebuah tulisan berjudul "Modern Psychoanalysis

Criticism" (1987: 145-165). Secara umum tulisan Wright tidak jauh berbeda

dengan tulisan Eagleton. Akan tetapi, Wright secara lebih luas

membicarakan beberapa gagasan Lacan tentang psikoanalisis struktur

ketaksadaran-bahasa dan juga menyinggung masalah-masalah yang

berkaitan dengan hubungan pembaca dan teks.

Karya psikoanalisis yang membicarakan kaitan pembaca dan teks

adalah karya Norman Holland yang terbit tahun 1975 (Wright, 1987: 148-

149; Selden, 1991: 129-130). Dalam buku ini Holland menjelaskan dalam

perspektif psikologi-id dan ego yang sebelumnya telah dikembangkan oleh

9

Page 10: PSIKO-sastra

Ernst Kris yang ditulisnya pada tahun 1964 (Wright, 1987: 148). Dalam hal

ini Holland melihat hubungan imajinasi- id dan pertahanan-ego sebagai

makna terpenting dari kesusastraan yakni terjadinya transformasi keinginan

dan kebimbangan pembaca yang tidak disadari oleh pembaca terhadap

makna-makna yang dapat diterima oleh kebudayaan si pembaca.

Buku lain yang secara khusus membicarakan masalah psikoanalisis

dan sastra adalah karya Max Milner yang berjudul Freud et l'interpretation

de la litterature (1980) (terjemahan dalam bahasa Indonesia Freud dan

Interpretasi Sastra, oleh Apsanti Ds, dkk. 1992). Seperti segera diketahui

dari judul buku, buku Milner secara rinci hanya membicarakan teori

psikoanalisis Freud. Buku ini sama sekali tidak menyinggung

perkembangan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh para pengikut

Freud seperti Lacan atau Derrida.

Ada beberapa ahli sastra lain yang mengembangkan teorinya lebih

karena pengaruh teori Freud. Contoh yang paling menonjol yang perlu

disebutkan adalah J. Kristeva (1980, 1986). Sebagai seorang psikoanalis

Kristeva mengembangkan beberapa gagasan teori feminisme yang

bersumber dari Freud dan Lacan. Kristeva banyak mengadopsi teori Freud

yang berkaitan dengan filsafat feminis untuk keperluan-keperluan yang

sifatnya ideologis dan politis. Memang ada persoalan tersendiri ketika

Kristeva mengembangkan teori Freud yang patriakal tersebut. Akan tetapi,

walaupun penting dan menarik teori Kristeva tentang feminisme tidak

dibicarakan secara khusus dalam kajian ini. Teori Kristeva hanya akan

disinggung sebagian saja khususnya teori-teori intertekstual yang secara

langsung berhubungan dengan teori- teori psikoanalisis.

Beberapa buku lain yang sepantasnya perlu disinggung adalah karya

Holland dan Bleich (Selden, 1990: 218-221; 1991: 129-132). Kedua orang

ahli sastra ini mencoba menerapkan pendekatan psikologi sastra dalam

proses pembacaan. Dalam buku itu Holland menerapkan beberapa teori

10

Page 11: PSIKO-sastra

psikoanalisis Freud terutama konsep "identitas pertama", khususnya ketika

anak-anak membaca karya sastra. Dalam hal ini Holland menekankan

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara identitas pembaca

dengan teks sastra. Berbeda dengan Holland, Bleich berargumen tentang

terjadinya pergeseran antara paradigma objektif ke paradigma subjektif

dalam menempatkan pemaknaan karya sastra. Yang dimaksud oleh Bleich

tentang pergeseran paradigma tersebut adalah bahwa pada dasarnya

pengetahuan itu bukan ditemukan, tetapi dibuat oleh manusia. Objek

pengamatan bisa berubah bukan karena objek itu sendiri, tetapi lebih-lebih

oleh laku pengamatan, oleh keperluan komunitas manusia itu sendiri.

Walaupun Bleich tidak secara ketat berpegang pada teori psikoanalisis,

tetapi dalam banyak hal ada kesenadaan khusus antara teori yang

dikembangkannya dengan psikoanalisis.

Tulisan Jauss (1974, 1982), Iser (1987, Cet I 1978), dalam batas-

batas tertentu dapat dikatakan buku/tulisan yang membicarakan psikologi

resepsi. Jauss membangun teori perubahan "selera pembaca" berdasarkan

konteks perubahan sejarah. Di samping itu, teori Jauss yang terkenal adalah

teori tentang horison harapan. Dalam hal ini Jauss menjelaskan adanya

perbedaan horison harapan pembaca yang dikondisikan dan disesuaikan

oleh situasi sosial, politik, dan budaya zaman orang yang membaca karya

sastra. Iser membangun teori yang dikenal dengan teori jenis-jenis

pembaca. Dalam hal ini, Iser membedakan pembaca implisit dan pembaca

nyata. Yang lebih penting dari itu adalah bahwa teori yang ditawarkan oleh

Jauss maupun Iser mengandaikan suatu konteks subjektivitas pembaca.

Walaupun tidak secara eksplisit buku tersebut dapat mengarah pada

pembicaraan psikoanalisis karena konteks subjektivitas pembaca sangat

berhubungan dengan teori-teori psikologi, psikoanalisis khususnya.

Pada tahun 1985 Darmanto Jatman mengeluarkan buku berjudul

Psikologi, Sastra, dan Masyarakat. Dari judul buku segera diketahui bahwa

11

Page 12: PSIKO-sastra

buku ini membicarakan psikologi dan sastra secara agak "terpisah". Jatman

tidak membicarakan secara khusus kemungkinan psikologi sastra sebagai

satu acuan tersendiri yang utuh dan komprehensif. Buku ini membicarakan

kedudukan psikologi dalam sastra di tengah masyarakat, dan sebaliknya.

Ada tesis yang memakai teori psikoanalisis yaitu tesis I Nyoman

Suarjana yang berjudul Analisis Unsur-Unsur Bawah Sadar Novel Pabrik

Berdasarkan Teori Psikoanalisis (1998). Akan tetapi, dari judul tesis

tersebut dapat dipahami bahwa tesis tersebut tidak membicarakan

psikoanalisis sastra sebagai pembicaraan khusus, tetapi lebih pada praktik

teori psikoanalisis dalam mengkaji karya sastra. Tesis ini bergerak

sepenuhnya dalam teori psikoanalisis Freud, walaupun ada beberapa

kelemahan mendasar. Pertama, sesungguhnya istilah baku yang dipakai

dalam teori psikoanalisis bukan bawah sadar (the subconscious), tetapi

taksadar, ketaksadaran (unconcious). Memang, pada awalnya Freud sendiri

pernah beberapa kali memakai istilah subconcious sebagai pengaruh

psikologi yang berkembang pada abad ke-19. Akan tetapi, sejak Freud

menulis The Interpretation of Dreams pada tahun 1890 (diterbitkan pada

tahun 1900), Freud telah menggunakan kata unconcious (1983). Kedua,

tesis ini tanpa penjelasan dan analisis yang memadai hanya menjaring

unsur- unsur "bawah sadar" dalam novel Pabrik dengan cara mencocok-

cocokkan tanda- tanda yang secara eksplisit ditunjukkan oleh novel

tersebut.

Pada tahun 1998, Wright kembali mengeluarkan buku dengan judul

Psychoanalytic Criticism A Reappraisal. Walaupun pada dasarnya Wrigth

telah menulis masalah kritikisme psikoanalisis jauh sebelumnya dalam

berbagai tulisan (dalam Jeferson dan Robey, 1982; dan Wright, 1992),

namun tampaknya buku ini merupakan elaborasi dari berbagai tulisan

Wright yang relatif paling lengkap. Wright mengulas penerapan

perkembangan teori psikoanalisis terhadap karya sastra mulai dari periode

12

Page 13: PSIKO-sastra

klasik (akhir abad ke-19) yang identik dengan teori psikoanalisis Freud,

kemudian psikologi-id ala Bonaparte, kritik psikonalisis posfreudian

(psikologi-ego) seperti yang diperlihatkan oleh Kris, Lesser dan Holland.

Setelah itu, Wright menjelaskan konsepsi psikoanalisis Jungian (psikologi

analitis) yang secara khusus dikenal dengan teori ketaksadaran kolektif.

Dalam bab-bab berikutnya Wright menjelaskan apa yang dimaksud dengan

teori psikoanalisis struktural, psikonalisis posstruktural, hubungan

psikoanalisis dengan ideologi dan feminisme (kritik psikoanalisis feminis).

Walaupun tidak secara khusus, dalam beberapa penjelasannya Wright

mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan konteks resepsi pembacaan

karya sastra.

5. Kerangka Teori

Dalam sebuah tulisannya Culler ( 1983: 178) mengatakan bahwa pada

dasarnya sebuah penelitian psikoanalisis biasanya memilih sebuah cerita

sebagai model penjelasannya. Berdasarnya cerita yang akan dijelaskan

tersebut, kerangka teori yang relevan dimanfaatkan sejauh dapat

menjelaskan cerita yang akan diteliti tersebut. Namun demikian, kajian ini

secara khusus tidak membicarakan sebuah model cerita yang

mengeksplanasi teori psikoanalisis. Kajian ini hanya membicarakan

perkembangan teori psikoanalisis. Penyebutkan contoh sejauh pernah

dibicarakan oleh para pakar dalam menjelaslan praktik teori

psikoanalisisnya.

Tegasnya, penelitian ini justru bermaksud "merangkai", atau jika

mungkin "mensintesiskan" kerangka teori psikoanalisis sastra secara lebih

terpadu. Dengan demikian, secara keseluruhan tesis ini seperti "menulis

ulang" kerangka teori psikoanalisis untuk keperluan studi sastra. Dalam

subbab ini perlu dijelaskan "alur" fokus kerangka teori yang akan dibangun

tersebut.

13

Page 14: PSIKO-sastra

Seperti telah disinggung pada penjelaskan sebelumnya, beberapa

buku awal yang mencoba memakai teori psikoanalisis lebih memfokuskan

dirinya pada penjelasan psikologis proses penciptaan karya sastra. Yang

dimaksud dengan psikoanalisis klasik adalah teori psikonalisis yang

sepenuhnya identik dengan teori yang dikembangkan oleh Freud,

khususnya yang berkaitan dengan teori id, ego, dan superego, konsep

represi, neorosis, teori mimpi, asosiasi bebas, insting seksual, maupun teori

kesadaran dan ketaksadaran. Dalam hal ini, perlu dijelaskan bahwa pada

periode pembentukan teori psikoanalisis hingga sampai pada bentuk yang

definitif, proses penemuan teori tersebut secara internal melalui tiga periode

yaitu periode pertama (1895-1905) yang disebut periode terbentuknya teori

psikoanalisis; periode kedua (1905-1920) yakni periode pendalaman teori

psikoanalisis; dan periode ketiga (1920- 1937) periode revisi teori

psikoanalisis (Bertens, 1979: xvi-xxxvii). Beberapa pengikut setia Freud,

seperti Kris memakai kerangka teori Freud walau dengan beberapa

"rumusan" baru yakni dengan mengembangkan teori psikologi-ego. (Lebih

rinci akan dibicarakan pada bab II dan III).

Pada periode internal kedua (1905-1920), teori psikoanalisis

menghadapi tantangan yang signifikan terutama teori yang dikembangkan

Jung. Dalam hal ini Jung memperkenalkan apa yang dimaksud dengan

ketaksadaran kolektif, amplifikasi, dan archetypal images. Dalam hal ini

sebetulnya Jung lebih layak untuk ditempatkan secara tersendiri mengingat

beberapa hal dari teori yang dikembangkannya sudah bergeser dari teori

Freud, bahkan dalam beberapa hal justru bertentangan. Akan tetapi, kajian

ini untuk sementara mengabaikan perbedaan tersebut dengan mencoba

melihat beberapa titik kesamaan yang masih dimungkinkan, khususnya

berkaitan dengan teori ketaksadaran.

Karya tahap berikut yang memberikan sumbangan berharga pada teori

psikoanalisis Freud adalah karya Lacan dan Derrida. Lacan

14

Page 15: PSIKO-sastra

mengembangkan teori psikoanalisis karena pengaruh teori linguistik

struktural Saussure (1857-1913) dan struktur alisme Levi Strauss. Seperti

dijelaskan kemudian Lacan mengembangkan teori ketaksadaran bahasa, dan

secara "filosofis" masih termasuk dalam psikoanalisis struktural, seperti

dapat dilihat dalam buku Lacan. Sumbangan terpenting dari Lacan adalah

konsep hubungan bahasa dan ketaksadaran yaitu bahwa ketaksadaran

merupakan realitas yang terstruktur, atau ketidaksadaran itu terstruktur

seperti bahasa yang dapat ditemukan dalam karya seni maupun dalam

kehidupan sehari-hari (Lacan, 1977: 49,59). Dalam banyak hal teori yang

dikembangkan oleh Lacan menampakkan dirinya bahwa pada dasarnya

teori psikoanalisis, dari awalnya, telah memberi tanda- tanda ke arah teori-

teori posstruktural.

Sementara itu, sumbangan terpenting dari Derrida, yang secara tidak

langsung berguru kepada Lacan, adalah konsep tentang dekonstruksi yang

sebagian besar teori tersebut berangkat dari teori psikoanalisis. Seperti

diakui sendiri oleh Derrida, yang diperoleh Derrida dari pembacaannya atas

Freud tidak hanya dekonstruksi terhadap teks-teks Freud melainkan juga

suatu refleksi-diri atas aktivitas dekontruksi itu sendiri. Temuan Freud atas

ketaksadaranlah yang telah memberi jalan kepada penemuan teori

dekonstruksi tekstual maupun bagi dekonstruksi mode penemuan tersebut.

(Wright, 1998: 121). Dengan teori dekontruksi, Derrida memasuki satu

tahap tersendiri apa yang biasa disebut sebagai psikoanalisis posstruktural.

Istilah (psikoanalisis) posstruktural, dan dalam sisi lain pos-

modernisme, tentu tidak harus semata-mata dikaitkan dan berkat jasa

Derrida. Karena Ritzer (1997: 26), misalnya, mengakui bahwa teori yang

dikembangkan oleh Freud menjadi instrumen penting bagi tumbuhnya

posstrukturalisme, dan dalam banyak tema-tema posmodernisme kita akan

banyak menemukan teori Freud. Di antara teori-teori yang dikembangkan

Freud, yang membawa kita pada pemahaman posmodernis, karenanya telah

15

Page 16: PSIKO-sastra

membuktikan kepada kita bahwa posmodernisme melihat kegagalan

masyarakat modern dalam memenuhi janji-janjinya, karena memarginalkan

fenomena- fenomena yang dalam perhatian dan interpretasi Freud justru

dianggap penting. Sebagai konsekuensi dari pernyataan tersebut teori

psikoanlisis tidak hanya mampu menjelaskan fenomena kegagalan

masyarakat modern beserta kesusastraannya, tetapi lebih jauh teori

psikoanalisis sangat antisipatif terhadap kecenderungan masyarakat

posmodern maupun fenomena kesusastraannya.

Pada sisi lain, penegasan Lowenthal penting dikemukakan.

Lowenthal mengatakan bahwa psikologi memberikan ikatan yang

memungkinkan estetika menjadi disiplin. Secara tegas Lowenthal

mengatakan bahwa "without a psychology of art, without the study of the

uncounscious stimulans that are involved in the psychological triangle of

writer, literature, and recipient, there is no poetic aesthetics" (dicatat

Holub, 1984: 46). Menurut Lowenthal, psikologi Freudian menjadi

penolong yang penting sekali untuk menangani sosiologi resepsi, untuk

mengkaji "the problem of the relationship between work and recipient, a

problem that until now has been repeatedly pushed into the backgroud."

Kajian ini tentu tidak membicarakan semua pasikologi resepsi yang

dikembangkan oleh para ahli tersebut. Dalam kesempatan ini hanya diambil

beberapa hal yang secara langsung berhubungan dengan teori psikoanalisis.

Berbagai kritik sastra, seperti dikatakan Culler (1983: 16) pada

akhirnya adalah suatu proyek yang secara keseluruhan meliputi penafsiran,

karena memilih fakta yang memerlukan penjelasan saja sudah termasuk

kegiatan penafsiran, sebab kegiatan itu sudah memperlihatkan

pengelompokan deskriptif dan pengorganisasian menjadi teori. Demikian

pula psikoanalisis, ujung-ujung dari pemahaman psikoanalisis terhadap

karya sastra adalah upaya-upaya memberi makna dalam berbagai konteks

dan relasinya, apakah dalam konteks karya sasra sebagai mimetik, sebagai

16

Page 17: PSIKO-sastra

olah kreativitas sastrawan, makna karya sastra itu sendiri, maupun dalam

hubungannya dengan pembaca. Itu artinya, bagaimanapun juga

psikoanalisis menempatkan karya sastra sebagai satu satuan sistem tanda.

Bagi psikoanalisis karya sastra adalah sesuatu yang menandakan dan

sekaligus menyimbolkan sesuatu. Dalam tataran ini bagaimanapun juga

teori semiotik merupakan bagian yang inheren dan integratif dengan teori

psikoanalisis yang akan dibicarakan dalam kajian ini.

Berdasarkan pertimbangan praktis, kajian ini tentu tidak bermaksud

membahas berbagai polemik yang terjadi seputar beberapa perbedaan

semiotik seperti perbedaan perspektif antara konsep semiotik struktural

yang dibangun oleh Saussure dengan konsep semiologi pragmatis Peirce

(1839-1914). Kajian ini hanya mengambil titik-titik kesamaan teori

semiotik yang dikembangkan oleh kedua pelopor semiotik tersebut, yaitu

suatu teori yang menjelaskan bahwa pada dasarnya "kata-kata adalah tanda-

tanda", suatu teori yang menjelaskan bahwa sesuatu hal mewakili sesuatu

hal yang lain.

Dalam sebuah penjelasannya Freud (1979) mengatakan bahwa

sesungguhnya teori psikoanalisis lebih sebagai seni interpretasi. Itulah

sebabnya, Freud mengatakan bahwa psikoanalisis dapat dipahami dalam

tiga cara. Pertama, pada awalnya psikoanalisis memang merupakan sebuah

terapi atau suatu metode psikoterapeutik. Dalam hal ini, psikoanalsis

dipakai untuk mengobati pasien neorotis. Kata mengobati memang ada

kesan kata yang digunakan dalam pengertian medis, obat-obatan. Akan

tetapi, sebetulnya kata itu sepenuhnya digunakan dalam cakrawala bahasa,

yaitu percakapan analis dengan pasien.

Kedua, psikoanalisis dipahami sebagai metapsikologi. Sebagai

metapsikologi, psikoanalisis adalah suatu teori dinamis tentang naluri-naluri

yang didasarkan atas suatu topografi dan suatu pandangan ekonomis. Akan

tetapi, yang perlu digarisbawahi dalam konteks ini adalah "kerjasama" atau

17

Page 18: PSIKO-sastra

dinamika antara naluri-naluri tapografis dan ekonomis melahirkan

"sublimasi" tertentu yaitu pemindahan energi psikis yang bersifat seksual ke

tujuan-tujuan yang lebih mulia, seperti kesenian, kesusastran, atau kegiatan-

kegiatan intelektual

Ketiga, bagaimanapun psikoanalisis adalah suatu cara penafsiran,

suatu herme neutika. Pemahaman ini dikembangkan oleh Freud terutama

berkaitan dengan tafsir mimpi. Psikoanalisis sebagai seni penafsiran inilah

yang membuka kemungkinan untuk menemukan makna baru yang

sebelumnya tidak disadari. (Lebih lanjut akan dijelaskan pada bab II). Dari

ketiga cara memahami psikoanalsis tersebut, Freud menegaskan bahwa

dalam pratiknya ketiga cara pandang tersebut berkerja bersama- sama,

sebagai satu kesatuan.

Psikoanalisis sangat berhubungan dengan fenomena kebahasaan

sebagai sistem tanda yang harus diinterpretasikan lebih lanjut. Seperti

diketahui, walaupun Freud (1953a) tidak secara eksplisit menyebut metode

tafsirnya adalah semiotik, tetapi cara kerjanya dalam menafsirkan mimpi,

misalnya, persis sama dengan cara kerja semiotik. Freud yakin bahwa

fenomena mimpi adalah suatu tanda yang menandakan sesuatu yang lain.

Secara panjang lebar Freud membuktikan teorinya tersebut bukan saja

terhadap mimpi sendiri dan para pasiennya, tetapi terhadap cerita Jensen

yang berjudul Gradiva.

Itulah sebabnya, sehubungan dengan keterangan tersebut, secara

eksplisit Zoest (1993: 140) dan Storey (1993: 85) menyebutkan bahwa dari

awalnya Freud adalah seorang semiotikus ketika untuk pertama kalinya

Freud tertarik mempelajari kesalahan ucapan (the slips of the tongue) pada

seorang manusia, yang mana kesalahan tersebut sebelumnya dianggap

kesalahan manusiawi belaka. Freud yakin bahwa apapun yang berkaitan

dengan fenomena kebahasaan manusia pastilah menandakan sesuatu yang

perlu ditafsirkan lebih jauh. Zoest secara eksplisit menyebutkan pada cara

18

Page 19: PSIKO-sastra

kerja seperti itu disebut semiotika psikologi, bahwa pada dasarnya manusia

adalah makhluk semiotik. Dengan dan dalam berbahasa setiap manusia

memiliki dorongan semiotis, bukan saja dalam rangka kehadirannya

dipahami manusia lain, tetapi juga dalam rangka ia memahami orang lain.

Secara khusus, ide Freud yang berkaitan dengan karya sastra adalah

bahwa bagi Freud (1953b) teks sastra adalah sesuatu yang menampakkan

dirinya melalui proses yang rumit, melalui pertarungan yang panjang antara

alam id dan superego dalam alam tak sadar, dan teraktualisasikan dalam

ego. Proses-proses ketaksadaran tersebut menyingkapkan dirinya sendiri

dalam aksi-aksi, kata-kata, dan imaji-imaji mental yang maknanya dapat

dipelajari berdasarkan tafsir psikoanalisis. Salah satu yang mendorong

berbagai muatan dalam alam tak sadar ke kesadaran (ego) tersebut adalah

energi dinamis, utamanya faktor-faktor seksual. Akan tetapi, karena

dorongan tersebut ditekan oleh kebudayaan menyebabkannya tersimpan

dalam ketaksadaran sehingga ada saat-saat berbagai dorongan tak sadar

tersebut menampakkan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, apakah berupa

mimpi, kelakar, atau bahkan pada sisinya yang lain adalah kerja-kerja mulia

yang menyebabkan berkembangnya peradaban, seperti karya seni,

arsitektur, kesusastraan, dan sebagainya.

6. Metode Penelitian

Kajian ini secara langsung mengarah pada satu penjelasan deskriptif

yang berkaitan dengan psikoanalisis yang sepenuhnya mengacu pada

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengisyaratkan metode kualitatif.

Bogdan dan Taylor (Moleong, 1995: 3) mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan metode kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang berdasarkan

dan menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis (atau lisan).

Secara umum seharusnya penelitian kualitatif menggunakan analisis

secara induktif. Akan tetapi, karena kajian ini tidak berangkat dari sebuah

19

Page 20: PSIKO-sastra

hipotesis, di samping juga tidak bermasud menganalisis data-data mentah

yang masih perlu diolah, maka kajian ini ditulis secara deduktif dengan

melakukan beberapa sintesis terbatas. Dalam hal ini yang dimaksud dengan

penulisan deduktif adalah tulisan lebih bersifat uraian yang tidak memfokus

pada satu titik persoalan yang mengarah pada pembuktian kebenaran

teoretik, tetapi lebih pada uraian-uraian yang menyebar dalam kerangka

persoalan inti yang coba dikembangkan. Sementara itu, yang dimaksud

dengan sintesis terbatas adalah upaya melakukan sintesis pada beberapa

konsep teoretik yang dianggap memiliki kesenadaan tertentu sesuai dengan

fokus pembica- raan secara keseluruhan.

7. Prinsip Dasar Teori Psikoanalisis Freud

Freud (lahir di Freiberg pada tahun 1856 dan meninggal di London

tahun 1939) memulai karir psikoanalitisnya pada tahun 1896, setelah

beberapa tahun Freud buka praktik dokter. Karena setelah beberapa tahun ia

menjadi dokter Freud tidak pernah merasa puas dengan cara ia mengobati

pasien, Freud berpikir untuk merubah cara pengobatan pasien. Jika selama

menjadi dokter ia mencoba melakukan terapi medis, Freud berpikir

melakukan semacam upaya psikoterapeutik untuk sebagian besar pasienya

yang ternyata lebih banyak mengalami tekanan jiwa. Terapi itu disebutnya

sebagai psikoanalisis.

Prinsip terapi yang dilakukan Freud adalah dengan cara mengajak

pasien bercakap-cakap, melakukan dialog secara terbuka dan prisip asosiasi

bebas (free association), dan itu mau tidak mau sepenuhnya dilakukan

lewat dan dalam bahasa. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan prinsip

asosiasi bebas adalah teknik memberikan beberapa kata rangsangan kepada

pasien dan pasien diharapkan memberikan reaksi spontas secara bebas

terhadap kata-kata rangsangan tersebut. Misalnya, kata "pintu" akan

menimbulkan kata reaksi "kunci", kata "ayah" akan menimbulkan kata

20

Page 21: PSIKO-sastra

reaksi "jahat" dan sebagainya. Dengan memperlajari beberapa kata reaksi

tersebut, dapat diketahui masalah pasien yang barangkali oleh si pasien

sendiri tidak disadari. Akan tetapi, dalam beberapa hal cara ini belum

memuaskan Freud karena banyak aspek ketidaksadaran yang tidak terkorek

sehingga penyembuhannya pun kurang memuaskan. Dari cara asosiasi

bebas, Freud mencoba cara hipnotis yaitu teknik tertentu untuk menjadikan

pasien setengah sadar atau berkurang kesadarannya sehingga lebih mudah

untuk melihat alam ketidaksadaran pasien. Untuk cara ini Freud belajar

kepada Charcot di Paris selama satu tahun. Dala kesempatan itu Freud juga

berguru kepada Joseph Breuer, yang kebetulan juga guru Charcot. Akan

tetapi, cara hipnotis pun ternyata tidak memuaskan Freud karena eksplorasi

ketidaksadaran pasien tidak maksimal sehingga diagnosis yang diberikan

juga tidak memuaskannya.

Dalam proses lebih lanjut dari penelitiannya itulah Freud mulai

mempelajari mimpi, yaitu sesuatu yang secara naluriah terjadi karena ada

yang ditekan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang ditekan tersebut

membutuhkan penyaluran secara "alami" sehingga Freud merasa yakin

mimpi pasti mewakili atau menandakan sesuatu. Berdasarkan kajian Freud

tentang mimpi ia menulis buku The Interpretation of Dreams (1890), yang

mana buku tersebut pada akhirnya diterbitkan pada tahun 1900.

Dalam buku tersebut, Freud memperkenalkan beberapa istilah

seperti kompleks Oidipus, insting seksual, resistensi, sehingga banyak

pembaca yang mempelajari secara serius sering salah paham dengan

penjelasan yang ditawarkan Freud tersebut. Itulah sebabnya, pada mulanya

teori psikoanalisis yang dikembangkan Freud sama sekali tidak menarik

perhatian, bahkan secara relatif tidak banyak yang membicarakannya. Freud

tidak pernah berputus asa, ia terus meneliti dan menulis.

Pengalaman Freud berhadapan dengan para pasiennya, yang sebagian besar

adalah pasien-pasien neorotis, menyebabkan Freud mengembangkan suatu

21

Page 22: PSIKO-sastra

pendekatan yang berpusat pada subjek. Pendekatan ini menekankan pada

suatu interpretasi tentang manusia. Dengan demikian, terjadi pergeseran

besar dalam diri Freud yang sebelumnya cenderung positif-objektif menjadi

hermeneutis-subjektif. Pendekatan interpretatif inilah yang sekarang sering

dinamakan dengan hermeneutik. Sayang, waktu itu jika Freud menuliskan

pemikirannya lebih dianggap seagai fiksi daripada sebuah tulisan ilmiah.

Berdasarkan renungan, penelitian, dan pemikirannya berhadapan

dengan manusia (pasien) maupun masyarakat, pada akhirnya Freud

mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan pribadi manusia. Salah

satu penemuan Freud yang terbesar adalah konsep ketidaksadaran.

Memang, bukan berarti konsep ketaksadaran yang dikembangkan oleh

Freud seperti jatuh dari langit. Karena jauh sebelumnya dunia ilmu

pengetahuan sesungguhnya sudah mengenal apa itu kesadaran yaitu suatu

kehidupan psikis manusia. Akan tetapi, di tangan Freud pengertian itu

menjadi berubah ketika ia mengatakan bahwa ketidaksadaran dalam diri

manusia seperti gunung es yang justru sebagian terbesarnya ada di bawah

permukaan laut yang tidak dapat ditangkap dengan indera. Dalam hal ini

tampaknya namanya mengandung sesuatu yang negatif, tetapi realitasnya

sungguh positif. Konsep Freud tentang ketakdaran inilah merubah

pandangan kita tentang manusia. Namun begitu, Freud bukan berarti

seorang yang steril dari wacana keilmuan yang sedang berkembang pada

abad ke-19 itu. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam tradisi positif-

objektif dengan sejumlah prasangka ilmiah, psikoanalisis Freud semakin

menambah kayakinan bahwa tidak ada perbuatan-perbuatan yang tidak

mempunyai penyebab, semua prilaku yang mempengaruhi manusia ada

penyebabnya (the principle of psychic determinism) meskipun mungkin

dilakukan secara tak sadar, segala sesuatunya ada diterminasinya (Strean,

1979: 17).

22

Page 23: PSIKO-sastra

Menurut Freud pada dasarnya pribadi/psike manusia (aparat psikis)

terdiri dari tiga segi yang penting yaitu apa yang disebutnya dengan segi

dinamis, ekonomis dan topografis (Wright: 1998: 9). Akan tetapi, Strean

(1979: 18-34) membagi ke dalam lima aparat yaitu struktural, topografis,

genetik, dinamis, dan ekonomis. Namun demikian, penulis cenderung

melihatnya ke dalam empat aparat, karena konsep struktur yang dimaksud

akan lebih sesuai jika dipahami sebagai stuktur aparat dalam konteks

topografis.

Dari segi dinamis manusia sesungguhnya mempunyai energi yang

diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu, sering kali juga tanpa disadari.

Istilah dinamis dapat pula dimaksudkan bahwa pada dasarnya psike

manusia terus berubah, melakukan dinamisasi internal dan eksternal sesuai

denga perkembangan kepribadian seseorang. Hal itu terjadi karena berbagai

perkembangan pengalaman seseorang dalam menghadapi realitas

kehidupannya. Segi dinamis ini juga mendeskripsikan konflik yang terjadi

dalam pikiran antara impulsi-impulsi tidak sadar yang berjuang mencapai

pelepasan berhadapan dengan kekuatan represi yang sedapat mungkin

memaksa dorongan tak sadar tersebut tidak muncul sebagai aktualitas

kesadaran.

Dari segi ekonomis, energi psikis itu hanya tersedia dengan kuantitas

yang sangat terbatas. Karena keterbatasan tersebut, tanpa disadari energi

psikis yang pada dasarnya bersifat dinamis tersebut mengolah sendiri untuk

mencukupi kebutuhan- kebutuhan diri manusia yang terus bertambah. Di

samping itu, segi ekonomis ini mempertimbangkan distribusi dan sirkulasi

energi atau eksitasi kejiwaan yang dihubungakan dengan ide-ide tertentu,

objek-objek tertentu, atau bagian-bagian tubuh tertentu. Cara kerjanya

melalui kompensasi dan pertukaran, persis berdasarkan perhitungan

ekonomi yang kita kenal.

23

Page 24: PSIKO-sastra

Dari segi topografis manusia terdiri dari subsistem-subsistem menurus

sebuah metafora spasial. Pertama sistem prasadar, sadar, dan tak sadar.

Subsistem prasadar adalah bidang yang berhubungan dengan memori dan

segala yang dapat dimaksukkan melalui bahasa. Subsistem sadar adalah

bidang persepsi suatu bentuk kesadaran mengenai dunia eksternal, dan

subsisten taksadar adalah bidang penyensoran yang diambil dari

pengetahuan sadar dan prasadar. Kedua, secara struktural manusia memiliki

sistem id, ego, dan super-ego (hal ini akan diuraikan secara tersendiri).

Sementara itu, istilah genetis tidak dipahami dalam pengertian keturunann

atau biologis, tetapi lebih dipahami dalam asal-usul, atau kejadian, atau

fenomena men tal, yang secara keseluruhan berupa pengalaman, yang

dialami oleh manusia, yang secara keseluruhan membentuk pribadi dan

karakter manusia.

Hal yang perlu dipahami berkaitan dengan aparat psikis ini adalah

niat Freud untuk mensejajarkan teori psikonalisis dengan ilmu pengetahuan

alam pada umumnya. Artinya, dengan teori itu diharapkan psikonalisis

mampu mencari hukum-hukum umum yang berhubungan dengan gejala

psikis manusia. Freud yakin dengan rumusan teoretik itu psikoanalisis

memiliki sarana-sarana teknis untuk membongkar represi terhadap ingatan,

misalnya. Di samping itu, dengan rumusan teoretik seperti itu psikonalisis

mampu mempergunakan sarana itu sebagaimana halnya seorang ahli fisika

bekerja dengan berbagai eksperimennya (S.E. vol. XXIII: 196-197).

8. Id, Super-ego, Ego

Teori dasar Freud yang paling penting untuk dipahami adalah

teorinya tentang sistem psike topografis manusia yang terdiri dari id, ego,

dan super-ego. Id adalah suatu energi awal yang terdapat dalam diri

manusia yang selalu menuntut untuk dipuaskan/disalurkan. Energi ini

dinamakan prinsip kesenangan (pleasure principle). Tujuan dari prinsip

24

Page 25: PSIKO-sastra

kesenangan ini adalah untuk membebaskan orang dari ketegangan, atau

paling tidak upaya-upaya mengurangi ketegangan, sehingga upaya-upaya

untuk mencapai kesenangan itu sekaligus untuk menghindari penderitaan.

Menurut Freud upaya untuk mendapatkan kesenangan itu adalah suatu

kecenderungan yang universal dalam diri setiap makhluk hidup, khsusunya

manusia.

Dalam hal ini, mengapa Freud menyebutnya sebagai energi awal,

karena proses untuk belajar menghindari penderitaan, untuk mendapatkan

kesenangan, sudah dimulai sejak bayi. Ketika bayi, banyak bayi terpaksa

belajar dari berbagai kegagalannya untuk mendapatkan kesenangan, karena

kehendak dan peraturan orang tua (represi kebudayaan), sehingga bayi

secara disadari atau tidak mengalami frustasi. Penderitaan bayi yang tidak

terpenuhi rasa senangnya akan reda dengan sendirinya jika keinginannya

terpenuhi. Tahap frustasi ini oleh Freud disebut proses primer. Frustasi

dalam proses primer ini akan selalu dibawa oleh bayi hingga ia menjadi

manusia dewasa. Freud juga yakin bahwa pengalaman-pengalaman yang

terjadi sejak bayi secara umum akan menjadi simpanan-simpanan yang

tetap dalam id. Itulah sebabnya, is sering mempertahankan sifat kekanak-

kakannyanya kelak sebagai manusia.

Akan tetapi, pada dasarnya id dengan prinsip kesenagannya itu tidak

pernah terpuasi. Sebagai naluri yang selalu ingin dipuaskan id tidak

memiliki nilai, etika, moral, dan dalam bentuknya yang lain sangat

irasional, asosial, serta mementingkan diri sendiri. Yang selalu dicapai id

adalah kesenangan dan kepuasan itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang

dilakukan id, melakukan upaya-upaya untuk pemuasan maksimal, atau

menyerah kepada realitas ego. Artinya, dalam banyak hal id dapat dikontrol

oleh ego. Namun demikian, bagaimanapun juga id adalah suatu kenis

cayaan yang gelap dalam diri manusia, kita hanya dapat melihat gejala-

gejalanya saja.

25

Page 26: PSIKO-sastra

Berkebalikan dengan id, super-ego adalah potensi atau energi rohani

yang mewakili alam ideal, realitas hati nurani, sesuatu yang bercita-cita ke

arah kesempurnaan. Super-ego adalah kekuatan moralitas dalam diri

manusia. Super-ego dipelihara oleh kebudayaan, lewat peran orang tua,

yakni ketika orang tua mengajarkan kepada anak tentang kebaikan,

kesalehan, mana yang baik dan mana yang buruk. Namun demikian, tidak

begitu berbeda dengan id, super-ego juga bekerja secara irasional. Lebih

jauh dapat dikatakan pada dasarnya super-ego mewakili ukuran- ukuran dan

cita-cita tradisional yang disampaikan orang tua, guru, ulama/pendeta,

polisi, dan sebagainya, kepada anak-anak. Dengan meletakkan perintah dan

kekuasaan orang tua dalam diri seorang anak, maka anak dapat menguasai

kelakuannya sesuai dengan keinginan orang tua (kebudayaan). Dalam hal

ini, walau super-ego dapat menghukum id (lewat aktualisasi ego), tetapi

kekuatan super-ego hanya bisa menghukum secara moral, tidak lebih dari

itu.

Ego adalah aktualitas kepribadian seseorang. Egolah yang mengatur

hubungan timbal balik antara seseorang dengan dunia. Dalam hal ini, ego

berkebalikan dengan id, jika id dikuasai prinsip kesenangan, ego justru

dikuasai prinsip kenyataan (reality principle). Namun demikian, ego bukan

hanya mengontrol id, tetapi juga mengatur super-ego. Jika ego mengalah

pada kekuatan id atau super-ego, maka akan terjadi ketidakseimbangan,

ketidakharmonisan. Akan tetapi, karena selalu ada tuntutan dari id dan

super-ego, menyebabkan manusia selalu dalam ketegangan. Pada dasarnya,

ego bukan berarti menghilangkan kemauan id, tetapi hanya menunda untuk

sementara waktu sambil mencari kenyataan. Proses ini disebut proses

sekunder yaitu upaya menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan

cara-cara tertentu yang dikembangkan berdasarkan pikiran atau akal. Hal

inilah yang disebut dengan pemecahan soal atau pemikiran.

26

Page 27: PSIKO-sastra

Perlu disebutkan bahwa pemikiran berkembang berdasarkan

keterangan-keterangan yang telah disimpan dalam sistem ingatan. Ingatan

diperkuat dengan membentuk asosiasi antara kenang-kenangan dan dengan

memperkembangkan suatu sistem penandaan yang dalam hal ini disebut

bahasa. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keberadaan ego

merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungan, faktor genetis,

maupun proses-prose pertumbuhan secara wajar. Dapat disimpulkan bahwa

setiap orang memiliki potensi-potensi yang berbeda sesuai dengan

pengalaman-pengalamannya, pendidikan, maupun latihan-latihan.

Perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya tidak ada batas yang tegas di

antara ketiga sistem tersebut di atas. Nama-nama tersebut, tidak lebih hanya

sekadar nama- nama yang bisa jadi tidak berarti apa-apa jika dihadapkan

dalam diri manusia sesungguhnya. Nama-nama tersebut tidak lebih

penamaan itu sendiri berdasarkan suatu kecenderungan tentang berbagai

gejala manusia dan kemanusiaan. Dengan penamaan tersebut, paling tidak

ada upaya-upaya identifikasi agar usaha untuk memahami fenomana

manusia menjadi lebih mendekati "kepastian".

9. Dinamika Kepribadian Manusia

Menurut Freud, seluruh kegiatan dan aktivitas manusia digerakkan

oleh energi naluri (insticts). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan naluri

adalah suatu keadaan pembawaan yang menentukan arah proses-proses

rohaniah. Secara umum naluri memiliki sumber-sumber, maksud, tujuan,

dan dorongan-dorongan. Sumber-sumber naluriah antara lain bersifat

keperluan jasmaniah seperti rasa lapar, rasa haus, rasa kebutuhan seksual,

dan sebagainya. Karena kekuatan sumber naluriah ini manusia

mengarahkan aktivitasnya untuk mengatasi rasa lapar, haus, dorongan

seksual, dan sebagainya.

27

Page 28: PSIKO-sastra

Dengan demikian, tujuan akhir dari kebutuhan naluriah itu adalah

meniadakan kebubuhan jasmaniah, yaitu jika lapas manusia akan makan,

jika haus manusia akan minum, dan seterusnya. Biasanya naluri manusia itu

bersifat konservatif karena tujuannya yang selalu sama dan berulang yaitu

untuk mengembalikan keadaan seseorang menjadi tenang karena

sebelumnya ada proses penegangan karena ada kebutuhan naluriah yang

belum terpenuhi. Freud mengatakan bahwa tempat naluri ada dalam id.

Itulah sebabnya, id sering dikatakan merupakan sumber asli dari energi

rohaniah.

Dalam hal ini, tentu saja naluri id tidak sepenuhnya dapat

memuaskan kebutuhahnnya karena id selalu dikontrol oleh super-ego dan

ego. Dalam kondisi tersebutlah id selalu mencari selah-selah alternatif

untuk memuaskan kebutuhannya, yaitu dengan fantasi atau perbuatan-

perbuatan tertentu. Jika penerobosan itu berhasil, maka rasionalitas dan ego

dalam keadaan terinternvensi. Gejala yang muncul ke permukaan adalah

gangguan bicara, menulis, mengingat, atau bahkan kehilangan

kontrol/hubungan dengan kenyataan.

Berkebalikan dengan id, ego tidak memiliki energi sendiri. Fungsi

ego justru pada rasionalitas dalam memuaskan id sehingga sebagian besar

kebutuhan id seolah tersalurkan. Proses-proses rasionalisasi tersebut

biasanya melalui proses identifikasi, yakni energi naluriah disediakan untuk

mengembangkan pikiran yang realistis (proses sekunder), yang diharapkan

menduduki tempat pada pemuasan keinginan secara khayal (proses primer).

Proses rasionalisasi ini adalah suatu pristiwa dinamis yang penting dalam

perkembangan kepribadian.

Dalam proses penyaluran id ke ego, seorang selalu mendapatkan

semacam ketakutan akan mendapatkan hukuman dari super-ego. Itulah

sebabnya, seorang anak untuk mendapatkan persetujuan dengan ukuran-

ukuran moral dari orang tuanya (kebudayaan) anak melakuan identifikasi

28

Page 29: PSIKO-sastra

dengan ukuran moral tersebut. Akan tetapi, berlainan dengan identifikasi

dalam ego yang rasional dan realistis, dalam identifikasi terhadap super-ego

adalah identifikasi terhadap oarng tua yang "berkuasa". Seperti diketahui,

orang tua memiliki kekuasaan untuk menghukum dan memberikan

penghargaan kepada anak. Dalam konteks inilah super-ego juga dapat

memberikan penghargaan atau hukuman. Penghargaan dilakukan oleh ego-

ideal dan hukuman oleh hati-nurani. Dalam hal ini kekuatan ego-ideallah

yang mempu membawa manusia kekesempurnaan.

Id dan super-ego, walaupun sama-sama bekerja secara irasional,

merupakan kekuatan yang berlawanan. Jika super-ego sering memaksa ego

melihat atau memahami sesuatu bagaimana seharusnya dan bukan yang

sebenarnya, maka id memaksa ego untuk melihat dunia seperti yang

diinginkan oleh id. Itulah sebabnya, ego sering dikacaukan oleh kedua

kekuatan tersebut, sehingga tidak jarang karena dorongan yang terus

menerus ego sering bertindak irasional pula.

Dalam pelaksanaan tawar-menawar antara kekuatan id dan super-

ego, yang teraktualisasi dalam ego, tentu tidak seluruhnya berjalan dengan

lancar dan mulus. Hal tersebut terjadi karena setiap kekuatan memiliki

kateksis dan anti kateksisnnya sendiri-sendiri. Keberadaan kateksis (tenaga

pendorong) dan anti kateksis (tenaga penekan) ini ikut menentukan jalannya

proses tawar menawar di ataran dua kekuatan dalam diri manusia. Karena

pada tingkat lanjut akan berhubungan dengan sistem memori dalam diri

manusia. Artinya, mana yang perlu didorong untuk diingat-ingat dan boleh

dilakukan, dan mana yang ditekan dan harus dilupakan dalam kehidupan

manusia pada umumnya. Sebagai mana diketahui, energi ingatan manusia

pada dasarnya cukup lemah, apalagi jika berbagai ingatan selalu ditekan

dengan ingatan-ingatan baru sehingga lama-kelamaan jejak ingatan lama

semakin lemah dan terimbun-timbun. Dalam kasus ini jejak-jejak ingatan

29

Page 30: PSIKO-sastra

yang tertimbum tersebut (kita menamaknanya lupa) dapat dihidupkan

kembali dengan mengulangi pengalaman.

Dalam proses tawar-menawar yang tidak berjalan dengan mulus

itulah dalam hal ini akan terjadi apa yang biasa disebut dengan frustasi.

Dalam hal ini frustasi dibagai dalam dua pengertian yaitu frustasi dalam

(internal frustration) dan frustasi luar (external frustration). Yang

dimaksud dengan frutasi dalam adalah suatu kegagalan yang disebabkan

rintangan dari dalam diri sendiri, sedangkan frustasi luar adalah keadaan

yang mengecewakan disebabkan ada kegagalan di luar kekuasaan orang

bersangkutan. Akan tetapi, karena proses kebudayaan yang selalu

merepresi, manusia lama kelamaan terbiasa frustasi sehingga sering tidak

lagi disadarinya. Berbagai keinginan dan kemauan yang tertekan tersebut,

secara tidak disadari mengalami peredaan terutama ketika manusia tidur,

misalnya dengan mimpi.

10. Psikoanalisis Freud dan Sastra

Berbagai keterangan di atas adalah upaya menjelaskan sosok

manusia. Dengan demikian, perlu diajukan pertanyaan, dengan identifikasi

sosok atau kerpibadian atau karakter manusia seperti itu, apa hubungannya

dengan sastra. Seperti diketahui, sastra adalah hasil kerja atau kreasi

manusia. Keniscayaan apapun yang terdapat dalam karya kesastraan tidak

dapat dilepaskan dari orang yang menciptakannya. Dalam pemahamanan

psikoanalisis Freud, kepribadian atau karakter manusia ikut menentukan

sosok keberadaan karya sastra. Demikian pula implikasi selanjutnya bahwa

proses pembacaan karya sastra, secara subjektif sangat dipengaruhi oleh

karakter atau kepribadiaan pembaca, penafsir.

Dari keterangan di atas, satu hal yang dapat disimpulkan adalah

bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang penuh dengan

kontradiksi. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kontradiksi adalah

30

Page 31: PSIKO-sastra

bahwa pada dasarnya manusia adalah tempat bertarungnya dinamika id dan

super-ego dalam rangka memperebutkan kesadaran ego. Kontradiksi

tersebut terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia. Kemenangan di

antara dua dinamika tersebut akan menentukan karakter atau kepribadian

manusia. Dalam posisi tersebut, karya sastra sebagai kerja kreasi manusia

ikut ditentukan seberapa jauh psikologi kontrakdiktif tersebut

mempengaruhi bentuk, jenis, dan sifat karya sastra.

Pada bab I telah disinggung bahwa salah satu teori psikoanalisis

Freud yang paling relevan dengan karya sastra adalah teorinya tentang tafsir

mimpi. Memang, pengertian Freud tentang mimpi sangat penting terutama

bila dihubungkan dengan keinginan (manusia/kemanusiaan) yang terlanjur

direpresi. Menurut Freud mimpi terjadi karena adanya dorongan taksadar

untuk mencari solusi/pemecahan masalah karena tidak dapat dipecahkan

dalam kehidupan sehari-hari. Karena berbagai kondisi sehingga manusia

dipaksa tidak mampu melaksanakan keinginannya dalam berbagai tindakan,

dorongan-dorongan berbagai keinginan tersebut baik keinginan sehari-hari,

atau keinginan waktu dulu, bahkan keinginan semasa kecil, menyatu dalam

berbagai tumpukan dalam alam ketaksadaran.

Berbagai tumpukan dalam alam taksadar tersebut bernegosiasi

dengan harapan pikiran, dan menemukan alternatif solusinya dengan

kepuasan khayali, tetapi penyensor yang terletak di batas antara tak sadar

dan prasadar tidak membolehkan dorongan keinginan tersebut hadir.

Sebagai penggantinya dorongan keinginan tersebut muncul dalam mimpi.

Dengan demikian, mimpi merupakan bentuk kompromi antara tuntutan

keinginan dengan kekuatan sensor (kateksis).

Dalam teorinya tentang tafsir mimpi yang dituangkan Freud dalam

bukunya The Interpretations of Dreams tersebut, Freud memfokuskan

perhatiannya pada bahasa khayalan yang ia sebut sebagai karya mimpi.

Karya mimpi tersebut mentransformasikan isi mimpi yang laten, -pikiran

31

Page 32: PSIKO-sastra

mimpi yang dilarang-, ke dalam cerita mimpi yang dapat diingatnya. Isi

mimpi yang tersembunyiitu bagian demi bagian diceritakan memalui

jalinan asosiasi. Freud menjelaskan lebih jauh bahwa cara kerja mimpi

tersebut ada empat, yaitu pemadatan (condensation), penggantian

(displacement, pertimbangan perwujudan (considerilions of

representability), dan revisi sekunder (secondary revision).

Dalam hal tersebut di atas yang dimaksud dengan pemadatan adalah

bahwa pada dasarnya isi mimpi yang diceritakan lebih sedikit daripada

mimpi sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena biasanya kita tidak dapat

menceritakan keseluruhan mimpi secara detil. Yang dapat diceritakan

tentang mimpi biasanya berupa ringkasan. Yang dimaksud dengan

penggantian adalah usaha yang dilakukan orang (dalam hal ini pasien

misalnya) dalam memceritakan mimpinya kepada analis dengan

menggantikan apa yang sebenarnya terjadi dengan sesuatu yang mirip

(dekat) dengan hal itu. Tidak jarang yang diceritakan tersebut melalui

citraan-citraan tertentu. Dalam hal ini orang yang menceritakan mimpi

tersebut sering menggunakan simbol- sombol yang berasal dari berbagai

sumber budaya. Sementara itu, yang dimaksud dengan revisi sekunder

adalah aktivitas-aktivitas tertentu yang mengganggu dalam karya mimpi.

11. Semiotik dan Psikoanalisis

Kajian atau studi sastra telah berkembang demikian pesat khususnya

pada abad ke-20. Sejauh ini kajian sastra meliputi tiga bidang yaitu teori

sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra (Wellek dan Warren, 1993: 38-39).

Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang berkaitan

dengan persoalan kesusastraan. Sementara itu, kritik sastra kadang kala

juga mencakup teori sastra, tetapi kritik sastra secara kongkret berhadapan

dengan karya sastra. Wellek dan Warren menyarankan untuk membedakan

teori dan kritik sastra sesuai dengan karakteristik yang terdapat dalam

32

Page 33: PSIKO-sastra

dirinya. Sementara itu, sejarah sastra adalah upaya menempatkan karya

sastra dalam konteks dan zamannya berdasarkan teori dan kritik sastra.

Namun demikian, secara internal bidang-bidang studi sastra tersebut saling

melengkapi dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Teori sastra hanya dapat

disusun berdasarkan kritik sastra dan sejarah sastra. Demikian sebaliknya,

kritik sastra tidak akan jalan tanpa teori dan sejarah sastra. Sejarah sastra

menjadi "ahistoris" tanpa teori dan kritik sastra. Kerja sama tersebut

berjalan secara dialektis, saling mempengaruhi, dan saling melengkapi.

Abrams (1979:5-7) mengatakan bahwa sejarah perkembangan teori

tersebut paling tidak dapat dilacak berdasarkan orientasi dan situasi yang

membangun totalitas kesastraan yaitu elemen pengarang, pembaca,

semesta, dan karya sastra itu sendiri. Berdasarkan elemen dan situasi

kesastraan Abrams tersebut teori sastra berkembang berdasarkan paradigma

penekanan aspek situasi kesastraan. Teori strukturalisme-formalisme pada

umumnya dikaitkan dengan teori yang menekankan keutamaan elemen

karya sastra. Teori resepsi biasanya selalu dihubungkan dengan melihat

pentingnya pembaca. Sementara itu, teori semiotik lebih menekankan

keutamaan karya sastra dan pembaca. Teori sosiologis berkembang dengan

menekankan keutamaan kedudukan pengarang dan pembaca dalam

masyarakat. Akan tetapi, karena pada dasarnya studi yang dibicarakan

merupakan sesuatu yang saling bergantung, maka tidak tertutup

kemungkinan ada ketumpangtindihan di antara berbagai teori tersebut.

Teori strukturalisme-formalisme berkembang dengan variasi-variasi

tersendiri yang secara khusus biasa pula disebut teori strukturalisme

objektif. Demikian pula halnya teori resepsi, semiotik, dan sosiologisme

melahirkan varian-varian yang beraneka ragam. Akan tetapi, karena saling

bersentuhan dan "berintervensi" di antara teori-teori yang dikembangkan

tersebut menyebabkan pemilahan-pemilahan yang tegas dan pasti menjadi

tidak mungkin, bahkan bisa jadi tidak perlu.

33

Page 34: PSIKO-sastra

Itulah sebabnya, dalam hal ini semiotik kadang-kadang berwajah

estetika resepsi, strukturalisme-formalisme, bahkan sosiologisme (Teeuw,

1984). Dalam kesempatan yang sama Fokkema dan Ibsch (1998: 105-108)

mengatakan bahwa sosiologisme juga cenderung bernapaskan teori

ekspresif karena sosiologisme cenderung melihat determinasi materi atas

pikiran dan melacak asal-usul yang melahirkan dan mempengaruhi pikiran

subjek (pengarang). Di samping berwajah ganda, kajian atau studi sastra

tidak mungkin berdiri sendiri sabagai satu satuan ilmu yang mandiri dan

tidak saling melengkapi dengan ilmu-ilmu lain. Teori stukturalime-

formalisme banyak berutang budi pada kajian linguistik struktural,

antropologi, dan filsafat bahasa. Kajian sosiologisme sastra terutama

berkembang berdasarkan studi- studi ilmu-ilmu atau teori-teori sosial,

sejarah, dan juga filsafat sosial. Kajian resepsi sangat terbantu oleh ilmu-

ilmu psikologi dan sosiologi. Semiotik berutang budi pada linguistik,

sosiologi, psikologi, dan filsafat, dan sebagainya.

Ada titik temu lain antara studi kesusastraan dengan psikoanalisis.

Titik temu tersebut adalah bahasa. Sebagai mana diketahui, studi

kesusastraan pada dasarnya adalah juga kajian kebahasaan seperti terdapat

dalam karya sastra, dalam perspektif apapun. Sementara itu, psikoanalisis

adalah studi kajian yang sepenuhnya dalam cakrawala bahasa. Merupakan

kenyataan jika Freud (1983: 73-74) dalam mengembangkan teori

psikoanalisisnya, berangkat dari perbincangan antara pasien dan analis,

tidak lebih dari hanya berbincang-bincang saja. Pasien dibiarkan berbicara

apa saja (tanpa sensor), analis mendengarkan pasien lalu mengatakan

sesuatu kepada pasien, dan membiarkan pasien mendengarkan. Demikian

pula halnya sastra, walaupun problem terbesar di dalam dirinya adalah

memahami dan memberi makna manusia dalam hubungannya dengan karya

sastra, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa semua mediasi yang terdapat

dalam persoalan kesusastraan adalah bahasa.

34

Page 35: PSIKO-sastra

Hal penting dari semiologi Saussure adalah konsep tentang

hubungan penanda (signifie) dan petanda (signifiant). Seperti dijelaskan

oleh Saussure, hubungan penanda dan petanda tersebut tidak dapat

dipisahkan dan membentuk "tanda" itu sendiri. Hal penting dari hubungan

penanda dan petanda bersifat arbitrer (acak, bebas), baik secara kebetulan

maupun karena ditetapkan sebelumnya. Hubungan antara penanda dan

petanda tersebut tidak berhubungan secara alamiah (1996: 145- 148).

Barthes (1981: 38-39, 47-48) mengatakan bahwa tanda merupakan satuan

dasar bahasa yang tersusun berdasarkan dua relata yang tidak dapat

dipisahkan, yaitu hubungan antara citra-bunyi (citra akustik) sebagai

penanda dan konsep sebagai petanda. Penanda merupakan aspek material

tanda yang secara langsung berkaitan dengan sebuah konsep (petanda).

Namun demikian, Saussure juga menjelaskan bahwa walaupun hubungan

penanda dan petanda itu arbitrer, ada kasus-kasus tertentu yang bersifat

simbolis tidak sepenuhnya merupakan arbitraritas yang sempurna, sebagai

contoh Saussure menyebutkan gambar timbangan sebagai simbol keadilan

tidak dapat digantikan dengan gambar kereta, atau gambar apapun (1996:

149).

Berbeda dengan semiotika Peirce yang mengembangkan konsep

semiotik dengan trikotomi ikon, indeks, dan simbol (Eco, 1979: 5, 15-16).

Peirce mengatakan bahwa hubungan antara ikon dan indeks bersifat

alamiah, tetapi untuk konsep simbol memang ada kesamaan dengan

Saussure yakni kesepakatan adanya hubungan alamiah dan arbitrer. Titik

persamaan itulah yang dipakai dalam kajian ini karena, seperti nanti akan

dijelaskan, lebih relevan dengan teori psikoanalisis dalam mengungkapkan

tanda-tanda yang bermakna dalam karya sastra. Seperti dikatakan Eco

(1979: 15-17) walaupun semiotika Peirce bisa lebih luas, karena semiotika

Peirce tidak menuntut kualitas keadaan yang menghasilkan penanda, tetapi

yang penting adalah bahwa pada akhirnya peristiwa semiotis adalah suatu

35

Page 36: PSIKO-sastra

realitas dan peristiwa psikologis, suatu kejadian mental yang berhubungan

dengan pikiran manusia (Saussure), suatu peristiwa psikologis dalam

pikiran interpreter yang sebelumnya diperantarai oleh interpretan (Peirce).

Berdasarkan keterangan di atas, posisi kebahasaaan seperti apa yang

dipahami oleh psikoanalisis tersebut. Dalam hal ini Saussure (1996: 80-81)

memperkenalkan konsep langue, parole, dan langage. Langue adalah suatu

sistem tata bahasa yang praktis dalam setiap otak individu, atau lebih

tepatnya lagi di dalam otak sekumpulan individu. Karena langue tidak

lengkap dalam diri seorang individu, ia hanya hadir secara sempurna di

dalam massa. Langue hanya hadir sebagai hasil semacam kontrak di masa

lalu di antara para anggota masyarakat. Dalam hal ini hanya langue yang

dianggap fakta sosial. Menurut Saussure yang menjadi objek linguistik

adalah langue.

Langage adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan,

dan oleh karenanya dapat dibandingkan dengan tulisan abjad tuna rungu,

dengan ritus simbolis, dengan bentuk-bentuk sopan santun, dengan tanda-

tanda militer, dan lain-lain. Semenetara itu, yang dimaksud dengan parole

adalah manifestasi individu dari bahasa. Dalam perspektif Saussure parole

bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar.

Padahal fakta sosial selayaknya meliputi seluruh masyarakat dan menjadi

kendala terhadapnya dan bukan memberinya pilihan bebas. Kendala-

kendala tersebut biasanya berupa kendala gramatikal suatu bahasa. Dalam

konteks inilah biasa hadir langage. Dengan demikian, langue adalah

langage tanpa parole.

Dalam kesempatan ini penulis memberanikan diri untuk mengatakan

bahwa yang diteliti oleh psikoanalisis adalah gejala langage dan parole.

Ketika manusia mencoba mengkomunikasikan apa yang ada di dalam

dirinya, bagaimananpun juga menusia tersebut memiliki langue. Akan

tetapi, apa yang akan disampaikan tersebut, misalnya karya sastra, karena

36

Page 37: PSIKO-sastra

dia merupakan suatu manifestasi individual, ia menjadi parole. Parole, di

dalam dirinya yang selalu mengalami keterbatasan individual, selalu

mengandung langage. Artinya, pada dasarnya manusia adalah mahkluk

sosial dan sekaligus individual, dua hal yang tidak dapat dipisahkan begitu

saja. Psikologi- psikonalisis menempatkan manusia dalam posisi tersebut

sebagai satu kesatuan. Itulah sebabnya, pembicaraan psikoanalisis secara

langsung akan menempatkan berbagai persoalan sastra dalam dua tataran,

yaitu tataran individual dan tataran sosial. Dalam tataran individual,

bagaimanapun menempatkan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan,

sebagai hasil kerja seorang manusia yang bersifat individual. Sementara itu,

sastra pada tataran sosial adalah menempatkan karya sastra sebagai fakta

sosial yakni sastra yang bermediumkan bahasa.

12. Psikologi Analitis: Jung

Secara umum para teoris sastra tidak begitu memperhatikan Jung

(1875-1961) dibandingkan perhatian mereka kepada teori-teori psikonalisis

Freud. Padahal, dalam beberapa hal konsep psikologi analitis Jung sangat

menarik dan penting dalam memahami dan menafsirkan fenomena

kesastraan. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi. Pertama,

konsep ketaksadaran, yang sangat operatif dalam teori-teori kesastraan,

hampir identik dengan orisinalitas Freud sehingga teori Jung menjadi

"tenggelam" di bawah bayang-bayang Freud. Kedua, dibandingkan Freud,

Jung memang tidak intensif dalam menerapkan teori-teorinya terhadap

kesastraan sehingga buah pikiran Jung yang secara langsung berhubungan

dengan fenomena kesastraan relatif sedikit. Ketiga, Jung sendiri tampaknya

memang tidak memfokuskan proses dan pemikiran intelektualnya kepada

seni pada umumnya, atau sastra khususnya, tetapi secara umum lebih pada

eksplorasi psike dan kepribadian manusia itu sendiri dan persoalan-

persoalan religius. Di samping itu, ada kecenderungan teori-teori Jung

37

Page 38: PSIKO-sastra

dianggap terlalu mistis sehingga kurang menarik perhatian teoris- teoris

modern. Itulah sebabnya, diskusi tentang teori-teori Jung yang berkaitan

dengan sastra tidak begitu kaya dan beragam.

Pembicaraan berikut akan membicarakan beberapa garis besar teori

psikologi analitis Jung. Dalam hal ini buku Jung yang secara khusus

membicarakan masalah psikologi dan sastra adalah Psychology and

Literature (1930, dalam Selden 1990). Setelah itu penulis mencoba

memberi beberapa ulasan penerapan teori Jung khususnya seperti yang

diterapkan oleh Bodkin (1934, dalam Selden, 1990).

Hal penting yang memayungi teori Freud dan Jung adalah eksplorasi

mereka terhadap aspek (alam) ketaksadaran yang terdapat dalam diri

manusia. Dengan konsep tersebut manusia menjadi paham bahwa

sesungguhnya manusia tidak sepenuhnya berkuasa atas dirinya, tetapi ada

alam lain yang justru tersembunyi, yang dinamis dan terus menerus

membayang-bayangi kesadaran manusia, yang dalam banyak hal justru

mengatus kehidupan manusia. banyak prilaku manusia yang tidak pernah

disadarinya, tetapi pada dasarnya merupakan implikasi lebih jauh dari

"intervensi" dari ketaksadaran manusia.

Seperti halnya Freud, Jung adalah sarjana kedokteran dan psikiatri.

Artinya, memang ada kesamaan latar belakang akademis mengapa kelak

Jung dan Freud dipertemukan dalam psikoanalisis. Jung yang dibesarkan

dalam tradisi Protestasn (bapak) dan Katolik (kakek) yang cukup taat,

memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pengembangan lebih jauh

pemikiran-pemikirannya. Tidak mengherankan jika di masa tuanya, Jung

semakin tertarik dengan dimensi mistik religus. Jung memang pernah

mengatakan bahwa penememuan teoretik apapun yang berhasil dicapai

seorang manusia, pada akhirnya ditentukan pula oleh karakter dan

tempramen psikologis penyelidik, juga oleh perlawanan tipe-tipe dan

struktur kesadaran manusiawi (Cremer, 1986: 15). Dengan demikian, dapat

38

Page 39: PSIKO-sastra

diperkirakan bahwa latar belakang kehidupan (psikologis) ini pula yang

kelak memisahkan Jung dan Freud.

Boleh dikata, secara akademis dan intelektual Jung mulai mendalami

dan mengembangkan teori-teorinya pada umur 28 (tahun 1902-1903,

sebelum pertemuannya dengan Freud). Yakni ketika Jung mulai mendalami

masalah-masalah occult (kegaiban), skizoprenia, dan masalah simbol-

simbol transformasi. Khususnya masalah occult, Jung melakukan

eksperimentasi tentang tes asosiasi kata-kata secara objektif, dan melakukan

penelitian masalah skizoprenia dengan cara-cara yang lebih subjektif.

Dengan memadukan cara penelitiannya, yang penting dari penyelidikan

Jung itu adalah temuannya yang berkaitan dengan sistem-sistem khayalan

yang kelihatannya tanpa arti dan bersifat khaotis dalam konstruksi-

konstruksi fantastis khususnya dari seorang skizopren. Seperti dicatat oleh

Cremers (1986: 7) Jung berusaha mengupas cerita pribadi yang tersembunyi

dan yang mempunyai arti tertentu. Dalam hal ini Jung berkesimpulan

bahwa dalam fantasi-fantasi pribadi seorang skizopren terdapat kemiripan

yang cukup meyakinkan dengan motif-motif dari mitologi. Temuan ini

merupakan titik tolak dari teorinya tentang alam tak-sadar kolektif dan

arketip-arketip. Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa istilah tak-sadar

yang dipakai Jung adalah istilah yang dipinjamnya dari Freud. Karena Jung

sendiri mengakui bahwa pada tahun 1903 ia membaca buku Freud yang

berkaitan dengan misteri dan analisis mimpi (Jung bertemu Freud untuk

pertama kalinya pada tahun 1907).

Penemuan lebih lanjut dari kerja Jung di atas adalah temuan yang

disebutnya psikologi kompleks atau kompleks-kompleks tak-sadar yang

diwarnai emosi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kompleks-kompleks

tak-sadar yang dipengaruhi emosi adalah kenyataan-kenyataan atau

keadaan-keadaan satu set asosiasi yang dipengaruhi emosi yang dikeluarkan

atau ditolak dari wilayah kesadaran karena isinya dianggap tabu, amoral,

39

Page 40: PSIKO-sastra

dan sering bersifat seksual (Hall & Lindzey, 1970: 82). Dengan demikian,

kompleks menunjukkan satu set psikis yang diwarnai emosi dan yang

ditekan ke dalam ketaksadaran dan yang berfungsi sebagai zona tak-sadar

dari psike, dengan gaya atau daya efektif atau juga kekuatan energi yang

nampak sebagai aktivitas asimilasi dan asosiasi dan rupanya memiliki suatu

otonomi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi oleh kesadaran (Cremers,

1986: 8).

Setelah bertemu Freud, Jung berkerja sama dengan Freud dari tahun

1907 hingga 1913. Pertemuan yang pada mulanya sangat mesrah dan

emosional tersebut pada akhirnya harus berakhir dengan perpisahan yang

pilu. Banyak dari teori Freud yang ditolak oleh Jung, terutama penekanan

Freud yang berlebihan pada aspek seksualitas. Di lain pihak, Freud melihat

Jung seperti "oidipus" yang ingin mengalahkan dan membunuhnya kelak, di

samping Freud menolak teori ketaksadaran kolektif sebagai warisan

filogenetis. Akan tetapi, kedua orang besar tersebut hingga akhir hayatnya

selalu saling menghargai. Dengan demikian, walau konsep ketaksadaran

secara orisinal memang ditemukan Freud, tetapi sesungguhnya Jung dari

berbagai penyelidikannya telah mengarah pada penemuan konsep

ketaksadaran. Menurut Jung alam tak-sadar merupakan sumber kekayaan

simbolisasi-simolisasi spontas, bersifat individual, dan bukan tempat

subtitusi dari isi seksual yang ditekan.

Dari teori ketaksadaran yang dirumuskan Jung, lebih jauh Jung

menemukan teori apa yang disebutnya ketaksadaran kolektif. Di bawah

ego, di dalam psike tak-sadar, kita akan menemukan yang sesuatu yang

lebih asli. Pada tingkat tertentu ketaksadaran memang bersifat individual

(pribadi), dalam arti hal tersebut berdasarkan pengalaman yang juga

individual yang ditekan oleh individu. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih

jauh, dalam alam ketaksadaran tersebut kita akan menemukan sesuatu yang

bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan terdapat

40

Page 41: PSIKO-sastra

pada segala kebudayaan di dunia ini. Dalam alam tak-sadar kolektif itu

sudah terendap segala pengalaman psikis purba dari genus manusia, ras,

bangsa, keluarga, dan nenek moyang. Pengalaman kolektif tersebut

memperloleh bentuk pengungkapannya melalui simbol-simbol, gambaran

dan motif-motif yang diwarnai emosi, yang timbul secara sopontan dalam

mimpi-mimpi, fantasi-fantasi, khayalan-khayalan dan mite-mite/mitos-

mitos (Cremers, 1986: 12-13; Hall & Lindzey, 1970: 82-84). Walau

demikian, Jung dengan rendah hati mengatakan bahwa teorinya itu masih

berupa "hipotesis", yang akan dipertahannya hingga ada orang lain yang

memperoleh hipoteis yang lebih meyakinkan.

Berdasarkan eksplorasi terhadap ketaksadaran kolektif Jung

mengajukan teori baru dengan sebutan arketip. Yang dimaksud dengan

arketip adalah faktor strukturasi formal yaitu suatu struktur pembentuk atau

pengatur yang bersifat formal dan dinamis Hall & Lindzey, 1970: 84-85).

Secara umum arketip bersifat instingtif dan genetis, sesuatu yang dibawa

sejak lahir. Arketip merupakan satu pola apriori dari tingkah laku yang

bersifat formal, bukan suatu isi visual yang bersifat konkret material. Pola-

pola apriori tersebut bersifat univeral yang terdapat dalam diri manusia

secara potensial. Setiap saat arketip dapat diaktualkan dan diungkapkan

karena arketip merupakan sesuatu yang terendap dalam psike manusia

sebagai ahsil dari perkembangan sejarah pengalaman seluruh bangsa

manusia.

Setelah menemukan konsep arketip, Jung menemukan apa yang dia

sebuah konsep individuasi (individuation). Proses individuasi ini ditemukan

Jung setelah ia dengan berspekulasi untuk melakukan konfrontasi dengan

alam tak-sadar dirinya sendiri dan sejumlah pasiennya. Seperti telah

disinggung, Jung yakin bahwa penemuan teoretik apapun selalu diwarnai

oleh karakter psikologis penemunya. Tidak terkecuali teori-teori yang

ditemukan Jung, yang menyebabkanya menuju pada teori individuasi

41

Page 42: PSIKO-sastra

tersebut. Teori ini barakar pada adanya dua sikap dasar manusia yaitu

intreversi dan ekstraversi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan introversi

adalah adanya pengaruh dominan dari subjek itu sendiri, sedangkan

ekstraversi pengaruh dominan lebih dari objek (dunia luar). Dua jenis sikap

dasar tersebut mendapat ramuannya secara khas dari apa yang disebut

empat fungsi kesadaran. Empat fungsi kesadaran tersebut adalah fungsi

pemikiran, perasaan, pengalaman indrawi, dan intuisi. Pada setiap orang

salah satu fungsi kesadaran tersebut akan menjadi dominan dengan

dukungan yang berbeda-beda terhadap fungsi kesadaran yang lain, dan

fungsi kesadaran yang tidak demikian berfungsi akan terpendam dalam

ketaksadaran. Ramuan antara sikap dasar dan fungsi kesadaran, dengan

derajat yang berbeda-beda tersebutlah yang mengolah seseorang menjadi

indiviual-individual yang individuasi.

Dengan demikian, individuasi adalah proses menjadi diri (sendiri),

realisasi diri. Individuasi adalah proses yang terjadi secara bertahap dan

terus menerus hingga seseorang dapat mendamaikan berbagai perlawanan

kompelementer dan kompensatoris antara keadaran dan ketasadaran di

dalam kepribadian setiap manusia (Hall & Lindzey, 1970: 100-101).

Dengan demikian, individuasi bersifat dinamis sehingga dalam prosesnya

seorang manusia dapat menuju pada kepribadian yang lebih matang.

Namun demikian, bukan berarti dari fungsi kesadaran yang ditekan tersebut

menjadi hilang, karena sebagai sesuatu yang dinami, keberadaanya taka

dapat diabaikan dan akan terus menerus mengganggu kehidupan manusia.

Lebih lanjut Jung mengatakan bahwa pada dasarnya proses individusi

merupakan interelaasi dan dialetika-integratif antara dua wilayah

ketaksadaran yakni ketaksadaran individual dan ketaksadaran kolektif

(Cremer, 1986: 18). Di waktu-waktu berikutnya, Jung selalu memperkuat

dan meyakinkan teori-teoriya dengan melakukan berbagai perjalanan, ke

tempat berbagai bangsa dan kebudayaan.

42

Page 43: PSIKO-sastra

Dari berbagai perjalanannya itu pula yang semakin memantapkan

Jung terhadap teorinya tentang mimpi, yang membuatnya berbeda dengan

Freud. Jung yakin bahwa kesadaran tidak merupakan seluruh psike, karena

psike meliputi baik kesadaran dan ketaksadaran yagn sebenarnya jauh lebih

luas daripada kesadaran ego. Alam ketaksadaran bukan sekadar tong besar

bagi hal-hal pribadi yang ditekan, tetapi merupakan sahabat, penasihat,

pengantar, dan penunjuk bagi manusia, Itulah se babnya, Jung mengatakan

bahwa mimpi, melalui lambang-lambang (simbol-simbol), merupakan

reaksi spontan dari sistem psikis yang mengatur diri dan oleh karenanya

alam tak sadar dapat mengimbangi tekanan-tekanan sepihak yang berat

sebelah dari kesadaran (Cremers, 1986: 28; Hall & Lindzey, 1970: 107).

Berdasarkan teori tersebut Jung beranggapan bahwa karya sastra

sebagai akutalisasi ketaktasadaran manusia (melalui kesadaran) menjadi

penting karena secara taksadar mengakomodasi primordial images dan

archetypical images yang telah terbentuk lewat pengalaman-pengalaman

manusia terdahulu dan diwariskan secara tak-sadar kolektif terus menerus

yang menjiwai umat manusia dalam bentuk mitos- mitos, agama, mimpi,

fantasi, angan-angan, dan sastra. Dalam konteks inilah bentuk karya sastra

menjadi terus menerus juga diturunkan secara taksadar kolektif, misalnya

berkaitan dengan perwatakan tokoh-tokoh cerita, tema, plot dan pola jalinan

cerita, maupun berbagai deskripsi yang berkaitan dengan

cerita-cerita/motif-motif yang secara sadar atau tidak terjadi secara

berulang-ulang dalam berbagai bentuknya (semacam interteks). Sebagai

contoh adalah cerita-cerita tentang kematian, kelahiran, pengembaraan,

sorga dan neraka, keberadaan Tuhan atau para dewa, setan, perempuan

pembawa sial, laki-laki yang bengis, dan sebagainya. Kadang-kadang

seperti tak sadar pula pemaca seolah telah menganal bacaan sastra yang

sedang dihadapinya, karena berbagai cerita yang dihadapinya secara tak-

sadar telah ada mengendap dalam alam takasadarnya.

43

Page 44: PSIKO-sastra

13. Psikoanalisis Struktural

Seperti telah disinggung pada pembicaraan awal (bab I), salah

seorang teoris yang telah memberikan sumbangan penting bagi teori

psikoanalisis adalah Jacques Lacan (1901-1981). Seperti halnya Freud,

Lacan adalah seorang yang mendalami ilmu kedokteran dan psikiatri. Akan

tetapi, secara khusus ia sesungguhnya amat tertarik dengan psikoanalisis

Freud yang pada waktu itu mulai menggejala di Prancis. Dalam

perkembangannya, psikoanalsis yang berkembangan di Prancis bagi Lacan

terlalu mengarah pada prinsip neorobiologis dan kecenderungan

medikalisasi, dan mengabaikan dimensi bahasa dan komunikasi verbal,

suatu hal yang menurut Lacan justru amat penting. Dalam hal ini sumber

isnpirasi penting bagi Lacan adalah tulisan Freud Masalah Analisa Awam

(1927), dan berangkat dari pemahaman itulah Lacan meneriakkan

pentingnya kembali pada psikoanalisis Freud.

Terkondisi situasi pemikiran Prancis pada waktu itu, Lacan

mengembangkan teori psikoanalisis dalam perspektif strukturalistis,

khususnya dari linguistik modern. Artinya, Lacan mencoba

mengembangkan suatu perspektif psikoanalisisi dengan

mengintegrasikannya dengan teori-teori linguistik strukrural. Menurut

Lacan penemuan Freud yang paling penting adalah terjadinya decentring

pada manusia. Di mata Lacan konsep Freud membuat manusia bergeser

dari pusatnya. Artinya, aspek kesadaran yang dimiliki manusia tidak lagi

dapat dilihat sebagai pusat manusia yang mutal dan otonom. Keberadaan

kesadaran yang tidak mutlak dan otonom itu membuat perubahan penting

dalam cara manusia memandang dirinya.

Bagi Lacan konsep ketidaksadaran Freud memperlihatkan kepada

kita suatu lapisan yang lebih dalam yang tidak terbayangkan sebelumnya,

suatu realitas tak- sadar yang anonim. Berdasarkan upaya integratif Lacan

44

Page 45: PSIKO-sastra

antara psikoanlisis Freud dengan teori Saussure hubungan pendanda dan

petanda dan terutama kedudukan yang tidak disadaran terhadap kekuasaan

langue terhadap sistem komunikasi manusia, maka Lacan berkesimpulan

bahwa kekuasaan langue juga berlaku bagi ketaksadaran. Ketidaksadaran

merupakan logos yang mendahului manusia perseorangan. Manusia sadar

atau tidak sadar menyesuaikan diri dan patuh terhadap kekausaan langue.

Itulah sebabnya, akhirnya Lacan berksimpulan bahwa pada dasarnya

ketidaksadaran itu merupakan struktur dan manusia tidak mampu

menguasai struktur itu. Aspek terpenting dari ketidaksadaran yang

terstruktur adalah hasil dari bahasa itu sendiri.

Berangkat dari konsep tersebut Lacan percaya bahwa pada dasarnya

realitas ketaksadaran menguasai manusia (manusia telah tergeser dari

pusatnya). Dengan demikian, sesungguhnya ketika manusia berbicara,

menurut Lacan bukan manusia yang berbicara, tetapi justru manusia yang

dibicarakan karena karena ada sesuatu yang berbicara dalam diri manusia.

Konsep ini dapat diperkirakan bahwa Lacan secara tidak langsung

terpengaruh oleh pemikiran Levi-Strauss. Seperti diketahui, Levi-Strauss

dalam mengembangkan teori antropologi strukturalnya juga dipengaruhi

Saussure dan Freud. Dalam hal ini Strauss berkesimpulan bahwa hukum-

hukum linguistik memperlihatkan suatu taraf tak sadar. Manusia berbicara

dengan tidak pernah ragu-ragu, padahal manusia tidak pernah mengenal

hukum-hukum kebahasaan itu secara sadar. Dengan demikian, pada

daarnya ketika manusia berbicara ia dikuasi oleh sesuatu yang tidak sadar.

14. Psikoanalisis Pos-Struktural

Orang yang dianggap memberi kontribusi penting bagi teori

psikoanalisis, dan oleh karenanya kemudian disebut psikoanlisis pos-

struktural adalah J. Derrida. Tidak jauh berbeda dengan Lacan, memahami

konsep dan pemikiran Derrida sering terasa sulit dan membingungkan. Hal

45

Page 46: PSIKO-sastra

tersebut disebabkan bukan saja Derrida sering menggunakan kata-kata yang

samar dan ambigu, tetapi lebih dari itu Derrida memang tidak

memaksudkan tulisannya agar dapat dibaca semua orang yang tidak secara

intensif memperlajari bidang yang sedang dibicarakan oleh Derrida. Itulah

sebabnya, kadang-kadang memahami Derrida tidak jarang merupakan suatu

penafsrian tersendiri yang tidak mustahil tidak persis seperti apa yang

dimaksudkan Derrida. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup

kemungkinan ada beberapa garis besar pemikirannya yang dapat dipahami

bersama, khususnya berkaitan seberapa jauh Derrida memberikan

sumbangan konseptual berkaitan dengan psikoanalisis pada umumnya.

Untuk sampai pada pembicaraan tersebut ada baiknya disampaikan

beberapa pokok pekiran Derrida.

Secara umum kerja Derrida dalam menuliskan pemikirannya, pada

mulanya, lebih banyak dalam rangka mengomentari tulisan-tulisan karya-

karya lain semisal Plato, Aristoteles, Kant, Hegel, Nietzsche, Husserl, F.

Saussure, Freud, Heidegger, maupun Levi-Strauss. Dalam rangka

mengomentari berbagai pikiran para pakar terebutlah Derrida tahap demi

setahap mencoba mengembangkan pemikirannya hingga pada satu tahap

penemuan pemikirannya sendiri yang khas. Dalam hal ini secara umum

pemikiran Derrida sering dikaitkan secara khas dengan konsep apa yang

biasa disebut dengan dekonstruksi. Proses penemuan dekonstruksi oleh

Derrida, seperti telah disinggung, dengan membongkar teks-teks para pakar

yang telah disebutkan tersebut, dengan mencoba menjelaskan atau

mengatakan apa yang tidak disebut oleh teks-teks yang diperlajarinya itu.

Derrida dapat dikatakan murid Lacan. Dalam hal ini, seperti

gurunya, Derrida secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh Heidegger.

Bahkan dalam beberapa hal pemikiran Derrida merupakan upaya

radikalisasi pemikiran Heidegger, walaupun bukan berarti Derrida

melanjutkan tradisi Heidegger karena dalam perkembangan lebih lanjut

46

Page 47: PSIKO-sastra

pemikiran Derrida justru mengirik Heidegger khususnya berkiatan konsep

Heidegger tentang "kehadiran". Berbeda dengan "kehadiran" Heidegger,

bagi Derrida pandangan tentang kehadiran dapat dipahami dengan

mempelajari metafisika tentang tanda. Dala hal ini, tradisi metafisika tanda

menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak

hadir (Bertens, 1985: 494).

Berangkat dari keyakinan tersebut, Derrida mengatakan bahwa,

dengan demikian, kehadiran tidak merupakan suatu instansi yang

independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang

kita pakai. Kata-kata menunjukkan kepada kata-kata lain.

Posisi intelektual Derrida memang "rancu", dalam pengertian bahwa

ia sering menolak untuk digolong-golongkan apakah ia seorang strukturalis

atau pos-strukturalis. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan tersebut ada

baiknya penjelas Sarup perihal keterpisahan Derrida dengan strukturalisme.

Sarup (1981: 43) menjelaskan kritik Derrida berhadap dengan

strukturalisme. Pertama, Derrida sangsi apakah hukum umum (bahasa)

tersbut memang ada. Kedua, Derrida mempertanyakan oposisi antara subjek

dan objek, yang mendasari kemungkinan adanya deskripsi yang objektif.

Bagi Derrida, deskripsi tentang suatu objek akan terkontaminasi oleh pola

keinginan subjek. Ketiga, Derrida mempertanyakan struktur oposisi duaan.

Derrida mengajak kita untuk tidak lagi berpikir tentang adanya persamaan

yang seimbang, dengan yang satu melengkapi yang lain. Dapat dipahami

argumen inilah yang memisalah Derrida dengan strukturalisme.

47

Page 48: PSIKO-sastra

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London-New York: Oxford University Press.

Apsanti Djokosujatno. 2000. "Kedudukan Psikoanalisis dalam Pendekatan Sastra Modern". Dalam Rahayu S. Hidayat (penyunting) Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Asch, S.E. 1959. Social Psychology. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.

Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang.Bertens, Kees. 1979. "Psikoanalisa dan Lingkup Pengaruhnya". Dalam kata

pengantarnya untuk buku Sigmund Freud Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: Gramedia.

Capra, Firtjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyibi. Yogyakarta: Bentang.

48

Page 49: PSIKO-sastra

Culler, Jonathan. 1983. The Pursuit of Signs Semiotics, Literature, Decontruction. London: Routlege & Kegan Paul.

Daiches, David. 1974. (Cet. I, 1956). Critical Approaches to Literature. London: Longman.

Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Eysenck, H.J. 1977. Uses and Abuses of Psychology. Harmondsorth: Penguins Books.

Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia.

Freud, Sigmund. 1953a. The Interpretation of Dreams (1900). Sebagai bagian dari Standard Edition of the Complete Psychological Works (24 vols) (S.E). IV- V. London: Hogart Press and Institute of Psycho-Analysis.

Freud, Sigmund. 1953b. Civilization and its Discontents (1930). (S.E). XXI. London: Hogart Press and Institute of Psycho-Analysis.

Freud, Sigmund. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

Freud, Sigmund. 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.

Grinstein, Alexander. (ed.). 1975. The Index to Psychoanalysis Writing. New York.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Holub, Robert C. 1984. Reception Theory A Critical Introduction. London and New York: Methuen.

49

Page 50: PSIKO-sastra

Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response. London: The Johns Hopkins University Press.

Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni.

Jauss, Hans Robert. 1974. "Literary History as Challenge to Literary

Theory" dalam Ralp Cohen, (ed.) New Directions in Literary History. London: Routledge & Kegan Paul.

Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception Brighton: Harverter Press.

Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language A Semiotic Approach to Literature and Art. Ed. Leon S. Roudiez. Oxford: Basil Blackwell.

Kristeva, Julia. 1986. Ed. Toril Moi. The Kristeva Reader. Oxford: Basil.

Lacan, Jacques. 1977. Ecrits: A Selection. London: Tavistock.

Miller, George A. 1974. Psychology and Comunnication. Washington, D.C.: Voice of America, USA.

Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Diterjemahkan oleh Apsanti Ds, Sri Widaningsih, Laksmi. Jakarta: Intermasa.

Moleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Richards, I. A. 1970. (Cet. I. 1924). Principles of Literary Criticism. London: Routledge and Kegan Paul.

Ritzer, George. 1997. Postmodern Social Theory. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter De Ridder Press.

Selden, Raman. 1990. The Theory of Criticism From Plato to the Present A Reader. London and New York: Longman.

50

Page 51: PSIKO-sastra

Selden, Raman. 1991. Paduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo, Penyunting Imran T. Abdullah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. London: Harvester Wheatsheaf.

Suarjana, I Nyoman. 1998. Analisis Unsur-Unsur Bawah Sadar Novel Pabrik Berdasarkan Teori Psikoanalisis. Yogyakarta: Tesis S-2 Pasca Sarjana UGM Program Studi Sastra.

Suleiman, Susan R. and Crosman, Inge. (eds.). 1980. The Reader in the Text: Essays on Audience and Interpretation. Priceton: Princeton University Press.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Wright, Elizabeth. "Modern Psychoanalysis Criticism". Dalam Ann Jefferson and David Robey. 1987. Modern Literary Theory A Comparative Introduction. London: B.T. Batsford Ltd.

Wright, Elizabeth. 1992. Feminism and Psychoanalysis: A Critical Dictionary. Oxford: Blackwell.

Wright, Elizabeth. 1998. Psychoanalytic Criticism A Reappraisal. Cambridge: Polity Press.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Diterjemahkan oleh Ani Soekowati. Jakarta: Sumber Agung.

51