BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan tanaman
asli Indonesia dan
diyakini berasal dari Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua
dan tersebar di kepulauan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
(Lokakarya Sagu, 2007). Luas perkebunan sagu diperkirakan 1,2 juta
ha dan di Riau berkisar antara 69.916 ha (Azaly, 2008). Sagu
memiliki beberapa potensi, yakni sebagai sumber pangan dan bahan
industri (Lokakarya Sagu, 2007). Sebagai sumber pangan sagu dapat
diolah menjadi berbagai macam makanan yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat. Sedangkan sebagai sumber bahan industri sagu dapat
diolah menjadi tepung. Dari tepung sagu dapat dibuat bahan perekat
dan plastik karena mudah terurai secara alami (biodegradable).
Peningkatan jumlah produksi sagu berbanding lurus dengan
peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah yang berasal dari
pengolahan sagu terbagi menjadi limbah padat, cair, dan gas. Limbah
berbentuk padat dan cair belum diolah secara maksimal dan masih
menggunakan sistem sederhana yang langsung dialirkan ke dalam
sungai yang mengalir di sekitar kawasan kilang sagu. Hal ini dapat
menyebabkan pencemaran disekitar sungai tersebut bahkan
mengakibatkan kedangkalan sungai. Limbah yang berbentuk gas berasal
dari cerobong asap yang sangat berpotensi menyebabkan pencemaran
udara, karena mengandung gas CO, NOx,CO2
dan lainnya. Dewasa ini penanganan limbah padat berupa ampas
sagu belum dimanfaatkan
secara optimal. Ampas sagu diyakini masih memiliki komposisi
senyawa kimia karbon berupa senyawa selulosa (Flach, 1997).
Sehingga sangat mungkin untuk dijadikan keperluan lain yang lebih
bermanfaat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengomposan
ampas sagu tersebut menjadi pupuk organik.
1
Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan-bahan organik
seperti sisa tumbuhan (ampas sagu) dan hewan yang dibuat melalui
proses fermentasi. Kualitas dari pupuk juga ditentukan dari variasi
bahan dan ketersediaan unsur hara yang diperlukan bagi tanah dan
tanaman. Tapi kendala yang dihadapi pada proses pengomposan yakni
lama pengomposan atau waktu yang diperlukan untuk pengomposan. .
Sistem pengomposan alami memerlukan waktu relatif lebih lama. Tiga
bulan kadang lebih merupakan waktu yang biasanya diperlukan untuk
pengomposan bahanbahan organik tersebut. Untuk itu perlu dilakukan
upaya untuk mempercepat proses pengomposan tersebut. Upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti
penggunaan teknologi EM (Effective Microorganism) yang ditemukan
seorang ahli mikrobiologi bernama Prof. Teruo Higa di Jepang tahun
1980-an. Mikroorganisme efektif adalah suatu kultur campuran
berbagai
mikroorganisme yang bermanfaat (terutama bakteri asam
laktat,bakteri fotosintesis, actinomycetes, dan jamur peragian)
yang dapat digunakan untuk merubah senyawa kompleks menjadi bentuk
yang lebih sederhana (Myint, 2003) sehingga dapat mempertinggi
kualitas tanah, peningkatan unsur hara dan pertumbuhan serta
peningkatan hasil tanaman pangan dalam sistem pertanian (Higa,
1994). Dengan bantuan teknologi EM ini, pengomposan akan berjalan
lebih cepat. Kultur EM yang dipasarkan di Indonesia adalah EM-4
dengan komposisi mikroba berdasarkan kondisi iklim, yang
mendapatkan sinar matahari 12 jam perhari sepanjang tahun.
Sedangkan EM-5 adalah turunan dari larutan EM-4 yang digunakan
untuk biokontrol tanaman (Kato dkk, 2004). Karmiani (2007) dari
kelompok Bokashi UR juga telah membuktikan bahwa ketersedian
unsur-unsur hara (N, P, K dan rasio C/N) pada pupuk organik yang
difermentasikan dengan teknologi EM memberikan hasil yang tinggi
dan mendekati rasio C/N tanah. Hal ini menandakan bahwa penggunaan
teknologi EM untuk pengomposan bahan-bahan organik dapat mencukupi
unsur hara bagi peremajaan tanah dan tanaman.
2
Pada penelitian ini akan diuji pengaruh penambahan EM-4 (efektif
mikroorganisme) pada pembuatan kompos dari ampas sagu yang
dikombinasikan dengan bahan-bahan organik lain melalui tersedianya
unsur-unsur hara N, P, K serta menguraikan senyawa organik, melalui
analisis C/N.
1.2
Perumusan Masalah Penanganan limbah padat sagu dewasa ini belum
dimanfaatkan secara optimal
dan masih dalam skala sederhana. Biasanya limbah dialirkan ke
dalam sungai yang berakibat pada pencemaran dan kedangkalan sungai
yang berada di sekitar kilang. Dilihat dari komposisi kimianya,
ampas sagu yang merupakan limbah padat masih mengandung senyawa
karbon asam fenolik dan selulosa yang sangat mungkin dijadikan
sumber karbon untuk pembuatan kompos, sehingga dapat meningkatkan
nilai ekonomis dari limbah tersebut. Pada penelitian limbah ampas
sagu akan diolah menjadi kompos yang dicampur dengan kotoran ayam
serta serbuk kayu yang difermentasikan dengan EM-4 dan EM-5 sebagai
starternya. Kualitas dari kompos akan di uji mulai hari 0, 5, 10,
15, dan 20 hari hasil fermentasi terhadap parameter N, P, K dan
rasio C/N. Pengukuran kadar Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Rasio C/N
dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer sedangkan Kalium (K)
dengan flame fotometer. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan
penelitian ini adalah: 1. Menentukan kandungan unsur N, P, K dan
rasio C/N pada pupuk organik yang berasal dari pengomposan limbah
ampas sagu dengan bahan-bahan organik. 2. Menentukan waktu optimal
fermentasi terhadap kualitas pupuk yang dihasilkan.
3
1.4
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksankan dengan
pembuatan kompos di saung (area
perkebunan Komppos UR), dan analisis ketersediaan unsur hara di
Laboratorium Analitik dan Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Penelitian ini
dilakukan lebih kurang 6 bulan.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sagu Sagu sebagai bahan makanan sudah lama dikenal oleh sebagian
besar
masayrakat Indonesia, Semula penduduk Maluku mengkonsumsi sagu
sebagai makanan pokok. Pada tahun 1978 hanya sekitar 59% penduduk
Maluku yang makanan pokoknya sagu (Haryanto dan Pangloli,1991).
Selain Maluku penduduk Indonesia yang makanan pokoknya sagu adalah
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Mentawai, Kepulauan Riau dan
penduduk dipulau kecil. Sagu (Metroxylon spp) yang sebagian besar
tumbuh secara alami memiliki multifungsi bagi kehidupan manusia.
Pati yang dikandung dalam batang sagu dapat digunakan sebagai bahan
pangan yang potensial dan dapat juga dimanfaatkan untuk bahan baku
agroindustri. Selain itu tumbuhan sagu dapat berperan sebagai
pengaman lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi gas CO2 yang
ditransmisikan dari lahan rawa dan gambut ke udara. Emisi gas CO2
dan NH4 yang ditransmisikan ke udara bervariasi dari 25-200mg
/m2/jam. (Boss dan Plassche,2003). Adanya tegakan hutan sagu gas
yang ditransmisikan ke udara akan sangat berkurang karena gas CO 2
digunakan untuk fotosintesis. Sagu (metroxylon spp) merupakan salah
satu tanaman penghasil karbohidrat yang paling potensial di
Indonesia yang dapat digunakan untuk penganekaragaman pangan sesuai
INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu
merupakan alternatif pada saat krisis pangan dan dapat
didayagunakan bagi pengelolaan, pengendalian, dan pelestarian
lingkungan (Bintoro, 1999). Pati sagu mengandung 84,7% karbohidrat
yang terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa (Wiyono dan
Silitonga,1989). Menurut (Flach, 1997) manfaat sagu adalah daun
dapat dijadikan atap rumah sedangkan batang untuk diambil patinya
dan pakan ternak dan agroindustri lainnya.
5
2.2
Limbah Pabrik Sagu Proses pengolahan sagu menjadi bahan baku
siap pakai menghasilkan produk
sampingan berupa limbah cair, padat dan gas yang berasal dari
unit pengolahan, sterilisasi, dan klarifikasi. Limbah cair dari
sagu ini berwarna putih kekuningan yang dihasilkan langsung dari
proses pemisahan pati dan kulit ampas yang dialiri ke dalam wadah
tampungan. Lalu dari wadah tampungan langsung difilter dan terbuang
ke sungai. Walaupun sudah disaring dalam beberapa kali, limbah
cairan membuat air sungai tercemar. Berdasarkan pantauan pada tahun
2010 lalu, air sungai sudah menjadi berwarna lebih gelap daripada
biasanya. Limbah padat terbagi atas dua yakni limbah yang
tertinggal di perkebunan dan limbah hasil produksi yang berada di
pabrik sagu. Limbah yang tertinggal di perkebunan terdiri dari
daun-daun sisa dan tunggul. Daun-daun sisa tebangan itu tidak
menjadi masalah karena biasanya jauh dari pemukiman penduduk dan
seiring dengan waktu akan mengalami penguraian. Namun yang menjadi
limbah yang berbahaya yang dapat mencemari sungai adalah ampas sagu
yang berasal dari pengolahan sagu. Ampas sagu ini biasanya langsung
dibuang ke sungai tanpa ada penyaringan lebih lanjut. Dan untuk
mengurangi limbah yang terbuang ke sungai perlu adanya penelitian
tentang ampas sagu ini.. Limbah gas berasal dari pembakaran yang
berasal dari pabrik sagu. Limbah ini langsung menyatu dengan udara.
Contoh limbah gas yang berasal dari pengolahan sagu ini adalah gas
karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2). Gas ini akan
membuat kita merasa sesak napas ataupun batuk ketika berada di
dekat pabrik sagu. Dampak dari limbah gas yang terlalu lama akan
membuat udara sekitar lingkungan pabrik akan tercemar. Namun dewasa
ini pencemaran akibat limbah gas masih bisa teratasi karena adanya
tanaman sagu yang terus ditanam warga atau meregenerisasi kebun
mereka.
6
2.3
Ampas Sagu Ampas sagu adalah limbah padat yang berasal dari
pengolahan sagu. Ampas
sagu ini biasanya dibuang ke dalam sungai tanpa mengalami proses
lebih lanjut. Ampas ini berasal dari sagu yang telah diambil
ekstraknya. Penanganan limbah ampas sagu ini pada kilang Sagu
Harapan belum cukup efektif. Mereka hanya menjemur untuk makanan
ternak dan belum ada penelitian tentang ampas sagu ini dilingkungan
kilang tersebut. Ampas sagu yang tentunya masih mengandung pati
dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Horigome et al. 1990). Dan juga
dapat meningkatkan bobot daun tanaman bayam pada saat panen
(Bintoro, 1996). Di samping itu juga pati yang masih tertinggal
bersama ampas juga dapat dimanfaatkan dan dijadikan alternatif
penggunaan pupuk kandang khususnya kotoran kambing untuk tanaman
palawija dan perkebunan yakni bibit cengkeh dan kelapa sawit.
(Bintoro dan Sudarman ,1996). Tabel 1. Pengaruh Berbagai Media
terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh Umur 8 Bulan (Bintoro dan
Sudirma, 1996) Jenis Media M0 31.8 a 23.5 a 14.0 a 4.0 a M1 53.1 b
50.9 b 18.2 b 8.9 b M2 51.8 b 52.8 b 18.0 b 9.6 b M3 53.9 b 51.9 b
17.6 b 9.6 b
Variabel Tinggi (cm) Jumlah daun Luas daun(cm2) Bobot kering
tajuk (g) Bobot kering akar (g)Keterangan:
0.9 a
2.3 b
2.5 b
2.5 b
Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji BNJ 5%:M0 : 100% tanah, M1 : tanah
: ampas sagu= 2:1, M2 : tanah : kotoran kambing = 2:1M3 : tanah :
ampas sagu : kotoran ayam = 4:1:1 (sumber Bintoro1996)
7
Dari tabel dapat dilihat bahwa bibit cengkeh yang ditanam di
media yang diberi ampas sagu, kotoran kambing maupun campuran
kotoran kambing dengan ampas sagu akan memberikan hasil yang lebih
baik daripada bibit cengkeh yang ditanam pada media tanah saja. Hal
ini diperkuat bahwa kandungan organik bahan bahan yang
dikombinasikan dengan ampas sagu memberikan unsur hara yang sangat
baik bagi tanaman (Bintoro dan Sudirman, 1996). Bibit cengkeh yang
tumbuh di media yang diberi perlakuan yang tersebut diatas
perbedaanya tidak nyata pada (p