1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan industri sagu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat. Dampak positif yaitu meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan dampak negatif yaitu menimbulkan limbah. Limbah sagu merupakan ampas empulur sagu yang telah diambil patinya. Pada proses pengolahan sagu dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat sagu berupa ampas sagu, yang terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu, sedangkan limbah cair sagu umumnya bersifat asam, berbau busuk dan konsentrasi padatan tinggi (Banu et al, 2006). Apabila limbah cair tersebut langsung dibuang ke perairan sangat berpotensi mencemari lingkungan. Oleh karena itu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan industri sagu mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak
negatif bagi masyarakat. Dampak positif yaitu meningkatkan devisa negara dan
kesejahteraan masyarakat, sedangkan dampak negatif yaitu menimbulkan limbah.
Limbah sagu merupakan ampas empulur sagu yang telah diambil patinya. Pada
proses pengolahan sagu dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat sagu
berupa ampas sagu, yang terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari hasil
pemarutan/pemerasan isi batang sagu, sedangkan limbah cair sagu umumnya bersifat
asam, berbau busuk dan konsentrasi padatan tinggi (Banu et al, 2006). Apabila
limbah cair tersebut langsung dibuang ke perairan sangat berpotensi mencemari
lingkungan. Oleh karena itu dilakukan pengolahan limbah cair sebelum limbah cair
tersebut dibuang ke perairan (Ahmad, 1992).
Karakteristik padatan dalam limbah cair pabrik sagu memiliki padatan
tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) senilai 1,405 gr/L yang melebihi kadar
maksimum baku mutu limbah yang ditentukan oleh pemerintah RI melalui KEPMEN
Lingkungan Hidup No.51 Tahun 1995 untuk TSS senilai 0,1 gr/L. TSS yang cukup
tinggi tersebut mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi
penetrasi matahari kedalam badan air, meningkatnya kekeruhan air dan dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme dan kelarutan oksigen di dalam
perairan (Huda, 2009).
2
Tingginya jumlah limbah yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara optimal
dan hanya dibiarkan menumpuk di tempat pengolahan tepung sagu. Sampai saat ini
pemanfaatan ampas sagu masih sebagai pakan ternak, selain itu ampas atau limbah
sagu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar (bioetanol).
Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel atau biomassa yang hadir
sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang
terbarukan yang merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang
memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%,
dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti minyak bumi (Anonim, 2007a).
Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi gula bahan-bahan
berkarbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol yang disebut juga
sebagi etil alkohol, mempunyai sifat berupa cairan yang tidak stabil, mudah terbakar
dan tidak berwarna dan merupakan alkohol rantai lurus dengan rumus molekul
C2H5OH. Etanol adalah salah satu bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui,
ramah lingkungan, serta menghasilkan gas emisi karbon yang rendah dibandingkan
dengan bensin atau sejenisnya (sampai 85% lebih rendah). Oleh karena itu, ampas
sagu bisa menjadi salah satu alternatif dalam pemanfaatannya pada pembuatan bahan
bakar (bioetanol).
Ampas sagu (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari
pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. Pemanfaatannya
masih terbatas dan biasanya dibuang begitu saja ketempat penampungan atau
kesungai yang ada disekitar daerah penghasil. Oleh karena itu ampas sagu berpotensi
menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Ampas sagu terdiri dari serat-serat
3
empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu. Ampas sagu
dapat digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai pakan ternak. Ampas
sagu merupakan limbah padat hasil industri pertanian pengolahan pati sagu yang
tersedia cukup banyak sepanjang tahun, murah dan mudah didapat. Dalam
pengolahan empulur sagu diperoleh 18,5% pati sagu dan 81,5% berupa ampas sagu
(Kiat, 2006).
Ampas sagu (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari
pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. Pemanfaatannya
masih terbatas dan biasanya dibuang begitu saja ketempat penampungan atau
kesungai yang ada disekitar daerah penghasil. Oleh karena itu ampas sagu berpotensi
menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Ampas sagu terdiri dari serat-serat
empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu.
Ampas sagu dapat digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai
pakan ternak. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan 3 jenis limbah, yaitu residu
selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu (bark), dan air buangan
(wastewater). Pada umumnya, jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu berturut-
turut sekitar 26% dan 14% berdasarkan bobot total balak sagu . Limbah ampas dan
kulit batang sagu merupakan bahan lignoselulosa yang sebagian besar tersusun atas
selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Selain sifat fisik tersebut, empulur sagu juga memiliki komponen kimia
seperti yang telah diteliti oleh Safitri et al. (2009), empulur sagu terdiri atas pati
sebanyak 57.25%, serat 31.59% dan memiliki kadar air 11.16%. Fujii et al. (1986)
4
telah meneliti komposisi kimia empulur sagu dan membaginya ke dalam tiga bagian,
yaitu empulur bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam.
Perlakuan awal (pretreatment) limbah hasil pertanian yang mengandung
lignoselulosa umumnya dilakukan untuk mempermudah terjadinya konversi
enzimatik dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Banyak metode
pretreatment yang secara terpisah dapat memisahkan dan mendegradasi ikatan dan
bahan yang mengandung lignoselulosa. Seluruh teknologi perlakuan awal yang ada
secara umum bertumpu pada pada prinsip pemanasan material dalam air pada
temperatur 100-200 oC. Perlakuan degradasi/pemecahan dengan uap panas tanpa
penam-bahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk pretreatment material
pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras. Dalam penelitian ini
dilakukan proses pretreatment untuk mengekstraksi/memisahkan pati dari ampas
sagu yang akan diperoleh pada bagian larutan hasil ekstraksi (ekstrak), dengan
mempertimbangkan selulosa dapat dibebaskan dari ikatan lignoselulosa setelah
pretreatment.
Proses ekstraksi ampas sagu untuk memisahkan bagian pati secara maksimal
dari ampas sagu dapat dilakukan dengan menggunakan panas. Rekayasa proses secara
fisik menggunakan panas (termal), yang diikuti hidrolisis enzimatik untuk jenis bahan
lignoselulosa berpati seperti ampas sagu dikenal sebagai hidrotermal-enzimatik.
Metode hidrolisis hidrotermal-enzimatik ini dilakukan untuk mendapatkan hidrolisat
mengandung gula yang tinggi dari pati ampas sagu. Proses hidrotermal merupakan
pemisahan pati yang sekaligus merupakan proses gelatinisasi pada pati ampas sagu.
Perlakuan pemisahan dan gelatinisasi pati ampas sagu dirancang dengan
5
menggunakan panas yang lebih tinggi dari proses gelatinisasi yang umumnya
dilakukan. Perlakuan panas secara fisik (termal) ini akan dapat meningkatkan
pemisahan kandungan pati yang terikat cukup kuat pada bagian lignoselulosa dalam
limbah ampas sagu.
Bagian selulosa dari hasil pretreatment ampas sagu dapat dihidrolisis menjadi
hidrolisat yang mengandung gula. Selulosa dari bagian biomassa limbah pertanian
dapat dikonversi menjadi glukosa dengan menggunakan enzim komersial, tetapi
proses ini mahal. Salah satu penginduksi sintesis selulase adalah selulosa.
Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase. Enzim
selulase yang dihasilkan dapat mengkonversi selulosa ampas sagu yang berlebih
dalam substrat menjadi glukosa. Hidrolisat ampas sagu sebagai hasil proses hidrolisis
ampas sagu baik dari konversi pati ampas sagu pada umumnya, maupun dari proses
konversi bagian selulosa dapat diproduksi menjadi bioetanol. Produksi bioetanol dari
hidrolisat dengan metode hidrolisis yang berbeda dapat memberikan
hasil/produktifitas yang berbeda. Produksi hidrolisat yang mengandung gula akan
memberi nilai tambah dari ampas sagu. Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang
terjadi karena suatu komoditias mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan
penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional).
Penelitian ini merupakan kajian rekayasa proses produksi hidrolisat yang
mengandung gula dari ampas sagu sebagai substrat produksi bioetanol. Proses
penyediaan hidrolisat dilakukan dari beberapa tahapan proses, diawali dari
6
pendekatan metode pretreatment secara fisik-kimiawi karena ampas sagu merupakan
bahan lignoselulosa berpati.
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan hidrolisat yang
mengandung gula dari ampas sagu dengan tingkat konversi pati yang tinggi dalam
produksi bioetanol. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut:
1. Memanfaatkan hemiselulosa yang terkandung pada limbah sagu sebagai
bahan baku penghasil bioetanol
2. Mendapatkan metode hidrolisis yang terbaik pada bahan berpati dari ampas
sagu untuk penyediaan hidrolisat mengandung gula maksimal sebagai substrat
produksi bioetanol.
3. Mengetahui besarnya kadar gula yang dihasilkan oleh limbah sagu melalui
preatreatment/perlakuan awal.
1.3 Perumusan Masalah
Potensi sagu di Indonesia sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia terdapat
di Indonesia yang tersebar luas di bagian timur dan barat Indonesia. Pengolahan
limbah sagu menjadi bietanol merupakan salah satu alternatif untuk pencegahan
pembuangan limbah sagu ke perairan di sekitar industri pengolahan sagu. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk pengembangan potensi
tanaman sagu, salah satunya yaitu penelitian tentang pemanfaatan ampas sagu untuk
bahan bakar nabati ( bietanol ).
7
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam
meningkatkan nilai ekonomi biomassa limbah sagu dan mengurangi dampak
pencemaran lingkungan secara keseluruhan. Adapun manfaat lain dari hidrolisis
ampas sagu adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan energi alternatif (etanol) dengan memanfaatkan ampas sagu.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan adanya proses hidrolisis bahan
lignoselulosa berpati menjadi hidrolisat yang mengandung gula dalam
produksi bioetanol.
3. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat di Kabupaten
Selat Panjang.
4. Sebagai sumber informasi dalam pembuatan bioetanol dari limbah sagu atau
ampas sagu bagi masyarakat.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Sagu (Metroxylon sagu, Rottb.)
Tanaman sagu (Metroxylon sagu, Rottb.) termasuk kedalam suku palma yang
batangnya menghasilkan pati. Tanaman sagu banyak terdapat di daerah-daerah rawa
air tawar, rawa bergambut, rawa air payau dengan kadar garam rendah, di sepanjang
aliran sungai, dan di sekitar sumber air. Tanaman sagu di Indonesia yang umumnya
hidup secara liar tersebar luas dari wilayah Barat sampai Timur yaitu di kepulauan
Riau, kepulauan Mentawai, daerah Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Barat.
Sagu mempunyai ciri-ciri dengan tinggi sedang, setelah berbunga mati, akar
berserabut yang ulet, mempunyai akar nafas, batang berdiameter hingga 60 cm,
dengan tinggi hingga 25 m. Batang merupakan tempat penimbunan utama pati yang
dihasilkan melalui proses fotosintesis. Batang terbentuk setelah ada russet berakhir
yaitu setelah berumur 45 bulan dan kemudian membesar dan memanjang dalam
waktu 54 bulan (Flach, 2005).
Sagu (Metroxylon sp.) dikenal sebagai tanaman penghasil karbohidrat.
Sebagai sumber karbohidrat, tanaman sagu memiliki keunggulan dibandingkan
dengan tanaman penghasil karbohidrat lain karena relatif sudah tersedia lahan yang
telah ditanami sehingga dapat langsung dimanfaatkan, berkembang biak dengan
anakan sehingga panen dapat berkelanjutan tanpa melakukan peremajaan ataupun
penanaman ulang, dapat dipanen dan diolah tanpa musim, resiko terkena hama
penyakit tanaman kecil, dan tingkat pemanfaatannya masih sedikit (Bustaman 2008)
9
Kandungan karbohidrat di dalam pati sagu sangat tinggi. Bintoro (1999)
menyatakan bahwa kandungan karbohidrat pati sagu lebih tinggi daripada beras.
Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa sagu sebagai makanan sudah lama
dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama di kawasan yang sawahnya
sedikit. Penduduk Maluku, terutama yang di desa-desa telah lama mengkonsumsi
sagu sebagai bahan makanan pokoknya.
Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan
bahan makanan. Pati sagu merupakan hasil ekstraksi dari empulur batang sagu
dengan bantuan air secara mekanis maupun tradisional. Pati berbentuk butiran atau
granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Pada
dasarnya pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α-glukosa. Berbagai
macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya (Haryanto
dan Pangloli, 1992). Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka
ragam, umumnya berbentuk bola atau elips. Pati sagu mengandung sekitar 27%
amilosa dan sekitar 73% amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan
mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan
bersifat kering, kurang lekat dan cendrung meresap air lebih banyak atau higroskopis
(Wirakartakusumah et al., 1986).
Karakteristik pati sagu (Metroxylon sp.) dapat dilihat pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Karakteristik Pati Sagu
Karakterisasi Komposisi (%)
Kadar Pati 82,13
Amilosa 27,75
Amilopektin 72,25
Kadar Serat 0,01
Kadar Air 5,76
Kadar Abu 0,12
Kadar Lemak 0,36
Kadar Protein 0,38
Sumber : Hartoto et al. (2005)
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri
dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut dengan
amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin memiliki cabang dengan
ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1992).
1.2. Pretreatment ( Perlakuan awal )
Perlakukan awal (pretreatment) limbah hasil pertanian yang mengandung
lignoselulosa perlu dilakukan untuk mendorong mudah terjadinya konversi enzimatik
dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Pada bahan lignoselulosa
yang mengandung komponen lain (pati), perlakuan awal disamping untuk
membebaskan bahan selulosa dari lignoselulosa juga dipertimbangkan bagian pati
tidak hilang atau rusak sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lanjut. Dalam
perlakuan awal ampas sagu yang merupakan suatu bahan lignoselulosa dengan pati
sebagai kandungan terbesarnya, perlakuan awal utamanya mempertimbangkan
11
supaya tidak merusak kandungan pati yang ada. Perlakuan awal (pretreatment) pada
ampas sagu juga mempertimbangkan kandungan selulosanya dapat dibebaskan dari
lignin yang melingkupinya dan diperoleh dalam jumlah yang dominan pada residu
ampas sagu yang dihasilkan nantinya. Pada bagian tanaman, lignin ini menjadi
penghalang hidrolisis selulosa karena lignin berperan sebagai pelindung selulosa
terhadap serangan enzim pemecah selulosa (Enari, 1983).
Saat ini teknik perlakuan awal yang dapat dilakukan meliputi: hidrolisis asam,
steam explosion, ammonia fiber expansion, proses oksidasi basah secara basa, dan
perlakuan awal dengan ozone (ozone pretreatment). Steam eksplosion adalah metode
pretreatment yang umum digunakan pada material lignoselulosa dimana suhu yang
biasa digunakan adalah 160-260 oC beberapa menit sebelum material diekspose
ketekanan atmosfir (Sun and Chen 2002). Pada kayu lunak dan jenis material yang
lebih spesifik (ampas sagu, bagas dan lainnya) dapat digunakan suhu steam yang
lebih rendah pada perlakuan. Penambahan atau meresapkan material dengan H2SO4
atau SO2 (0.3 sampai 3% w/w) untuk perlakuan awal, dapat menurunkan waktu dan
temperatur, dimana dengan penurunan temperatur pada waktu yang sama mendorong
meningkatnya recoveri, menurunkan pembentukan dari inhibitor dan memperbaiki
hidrolisis enzimatik (Ballesteros et al. 2006; Varga et al. 2004a; Sassner et al. 2006).
Seluruh teknologi perlakuan awal yang ada secara umum bertumpu pada prinsip
pemanasan material dalam temperatur 100-200 oC. Pretreatment ampas sagu pada
penelitian ini didesain dan direkayasa dengan pertimbangan metode steam explosion
yang biasa digunakan pada material yang mengandung lignoselulosa, menggunakan
12
berbagai jenis larutan kimia (akuades, asam, basa dan garam basa) pada suhu yang
diasumsikan tidak merusak pati sagu dalam autoclave.
Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4
dan HCl. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti asam oksalat, asam
trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam
proses hidrolisis pati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Pada bahan yang berpati, hidrolisis
asam merupakan proses yang dilakukan secara acak dan tidak terpengaruh dengan
adanya ikatan –1,6–glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur
dibandingkan hasil pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya adalah
campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa (Chaplin dan Bucke, 1990). Hidrolisis
lanjut ampas sagu mengunakan asam (H2SO4 0.25 M) dilakukan untuk penyediaan
hidrolisat yang mengandung gula yang dapat tersedia dan mencukupi bagi
pertumbuhan S. cerevisiae untuk produksi boetanol.
Produksi bioetanol memerlukan hidrolisat dengan kadar gula yang harus
mencukupi sebagai substrat bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba
Saccharomyces cerevisiae (S. cereviseae) sebagai agen fermentasi. Kadar gula yang
terlalu tinggi pada hidrolisat dapat menjadi substrat inhibitor bagi pertumbuhan S.
cereviseae. Menurut Frazier dan Weshoff (1978), konsentrasi gula yang dibutuhkan
untuk proses fermentasi etanol adalah 10–18%.
1.3. Selulosa
Selulosa adalah polimer dari β-glukosa dengan ikatan β-1-4 antara unit-unit
glukosa. Selulosa terdapat pada kayu, kapas, rami dan tumbuhan lainnya. Selulosa
merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β-
13
1-4-glikosidik dengan rumus C6H10O5 dan dengan n adalah derajat polimerisasanya.
Struktur kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut,
sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia ataupun mekanis. Selulosa dalam
tumbuhan terdiri atas bagian yang memiliki struktur kristalin yang teratur, dan bagian
dengan struktur amorf yang tidak terlalu teratur dengan baik. Galur-galur selulosa
tergabung bersama dan membentuk fibril-fibril selulosa. Bentuk ini sebagian besar
bebas dan berinteraksi satu sama lain melalui ikatan hidrogen (Bobleter 1994).
Bagian selulosa yang tidak larut di dalam basa kuat (misalnya, NaOH 18%)
disebut sebagai α-selulosa. Selulosa yang terlarut di dalam larutan ini terendapkan
sebagian pada medium netral, dan endapan ini disebut β- selulosa. Sisa selulosa yang
masih terlarut di dalam larutan basa kuat disebut γ-selulosa (Bobleter 1994). Selulosa
memiliki 3 fasa yaitu α-Cellulose, β-Cellulose dan γ-Cellulose. α-Cellulose adalah
selulosa berantai panjang, tidak larut dalam NaOH, larutan basa kuat dengan DP 600–
1500, dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa. β-Cellulose
merupakan selulosa berantai pendek, larut dalam NaOH atau basa kuat dan dapat
mengendap bila dinetralkan sedangkan γ-Cellulose adalah selulosa dengan derajat
polimerisasi lebih kecil dari β selulosa. Selulosa α adalah kualitas selulosa yang
paling tinggi (murni) dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku
utama pembuatan propelan dan bahan peledak. Sedangkan selulosa β dan γ digunakan
sebagai bahan baku industri kertas, dan lain sebagainya.
Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat
menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh
jumlah monomer di dalam polimer (derajat polimerisasi/DP). DP selulosa tergantung
14
pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 200-27.000 unit glukosa. Selulosa
dapat disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam
sulfat, dan asam fosfat. molekul-molekul selulosa yang terdapat pada tiap lapisan
mempunyai susunan arah melingkar yang berbeda. Dinding serat dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu dinding primer yang merupakan lapisan paling luar dari serat dan
dinding sekunder yaitu lapisan dibawah dinding primer.
Gambar 1. Skema selulosa
1.4. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa, gula
heksosa, gula pentosa. Hemiselulosa ini relatif berantai pendek dan bercabang.
Derajat polimerisasinya jarang mencapai 200. Komponen hemiselulosa pada kayu
daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Komponen monosakarida yang
menyusun hemiselulosa terdiri atas glukosa, xilosa, galaktosa, mannosa, arabinosa,
rhamnosa dan fukosa (Barnet & Jeronimidis 2003).
Menurut Fengel & Wegener (1995), perbedaan utama hemiselulosa kayu daun
jarum dengan kayu daun lebar adalah jenis dan jumlah gula penyusun
hemiselulosanya. Kayu daun jarum memiliki komponen mannan yang lebih tinggi
sedangkan kayu daun lebar komponen xilan yang lebih tinggi. Contoh hemiselulosa
15
pada kayu daun jarum adalah O-asetil-galaktoglukomanan atau biasa disebut
galaktoglukomanan. Sedangkan contoh hemiselulosa pada kayu daun lebar adalah O-
asetil-4-O-metil-glukuronoxilan atau glukuronoxilan.
Xilan tersusun dari ikatan xilosida. Xilan yang terdiri atas gugus-gugus ikatan
asam uronat dan xilosa sangat tahan terhadap hidrolisis, sedangkan gugus asetil
mudah dihidrolisis oleh asam dan sangat efektif diekstraks dengan alkali. Dalam
teknologi pulping kraft, gugus asetil ini terdegradasi bersama lignin (Sjostrom, 1995).
Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan pelarut asam maupun
basa menghasilkan gula sederhana seperti glukosa, manosa, xilosa, dan galaktosa.
Beberapa enzim yang diketahui bisa mendegradasi hemiselulosa antara lain endo-1,4-
β-D-xylanase (xilanase) dan endo-1,4-β-D-mannase (mannase). Enzim-
enzimpendegradasi hemiselulosa tersebut dihasilkan dari jamur seperti
Trichodermaspp. dan Aspergillus spp. Bakteri yang dilaporkan penghasil xilanase
adalah Bacillus spp. dan Streptomyces spp: (Saddler 1993).
16
Gambar 2. Struktur Kimia Gula Hemiselulosa ( Fengel & Wegener, 1995 )
1.5. Lignin
Lignin adalah polimer tri-dimensional phenylphropanoid yang dihubungkan
dengan beberapa ikatan berbeda antara karbon ke karbon dan beberapa ikatan lain
antara unit phenylprophane yang tidak mudah dihidrolisis. Lignin terdapat di
antara sel-sel dan dalam dinding sel serta berfungsi sebagai perekat
untuk pengikat sel-sel agar tetap bersama. Keberadaan lignin dalam
dinding sel sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi
untuk memberikan ketegaran pada sel, berpengaruh dalam
memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan air
kayu dan mengurangi degradasi terhadap selulosa. Konsentrasi lignin
tertinggi terdapat dalam lamella tengah dan akan semakin mengecil
pada lapisan dinding sekunder (Sjostrom 1995).
17
Berdasarkan strukturnya, lignin terbagi atas dua tipe yaitu lignin guaiasil dan
lignin guaiasil-siringil. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum. Kayu daun
jarum tersusun dari sekitar 90% guaiasil dan 10% p-kumaril alkohol. Lignin guaiasil-
siringil terdapat pada kayu daun lebar yang tersusun dari guaisil dan siringil dengan
prazat koniferil alcohol dan sinapil alkohol dengan nisbah 4:1 sampai 1:2 (Gullichsen
& Paulapuro 2000).
Gambar 3. Unit pembentuk Lignin ( Eaton & Hale, 1993 )
18
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Riau pada bulan Agustus sampai Desember 2013.
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Bahan
Dalam penelitian Pretreatment Dan Hidrolisis Ampas Sagu Menggunakan Asam
Sulfat Untuk Perolehan Monomer Gula Pada Produksi Bioetanol ampas sagu yang
digunakan didatangkan langsung dari Selat Panjang, Kabupaten Meranti Riau.
Aquadest yang beraasal langsung dari Laboratorium Dasar Teknik Kimia,
Universiatas Riau. H2SO4 dengan jenis yang bersal dari Laboratorium Analisis
Teknologi Hasil Pertanian. Reagen Nelson Semogyi yang digunakan untuk
menganalisa monomer gula pada hidrolisat ampas sagu. Cara pembuatan Reagen
Nelson Semogyi dan analisanya dapat dilihat pada lampiran A.1. Zat-zat Reagen
Nelson Semogyi diperoleh dari Laboratorium Dasar Teknik Kimia, kecuali
Ammuniummolibdat yang berasal dari Laboratorium Uji Pangan, Fakultas Perikanan,
Universitas Riau.
3.2.2. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini secara garis besar dapat di bagi
menjadi tiga golongan. Pertama, alat yang digunakan untuk pretreatment ampas sagu
19
yang terdiri dari reaktor hidrolisis berupa autoclave serta peralatan pendukung yang
terdiri dari pH meter, heater, thermometer digital, breaker glass, kertas saring dan
timbangan analitik. Kedua, alat yang digunakan untuk analisis yaitu Spektofotometer.
Ketiga, alat untuk menganalisa furtural yang terdiri dari labu takar (100 ml dan 50
ml), pipet volum (10 ml dan 2 ml), labu erlemeyer serta kelengkapan pendukung
lainnnya.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
variasi perlakuan Konsentrasi Asam sulfat (A) 4 taraf dan pengambilan sampel
dilakukan pada waktu (T) 4 taraf dan pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali,
sehingga unit percobaaan menjadi 4x4x3 = 48 unit percobaan.
Ampas sagu dihidrolisa pada variasi variable konsentrasi larutan H2SO4 (0.25
M, 0.3 M, 0.35 M dan 0.4 M) dan waktu reaksi 30, 60, 90, dan 120 menit. Sedangkan
variable konstan yaitu nisbah ampas sagu (padatan) dan pelarut sebesar 1 : 20 dan
temperatur hidrolisa pada titik 1100C.
3.4. Prosedur penelitian
Secara garis besar prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari
dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap penelitian.
3.4.1. Tahap Persiapan
1. Mengurangi kandungan air pada ampas sagu melalui proses pengeringan serta
menghitung kandungan air yang terdapat pada bahan baku.
2. Mencari konsentrasi dan waktu optimum terhadap perolehan kadar glukosa.
Ampas Sagu
Larutan Asam Sulfat
Padatan (Lignin)Hidrolisat (Selulosa)
Cairan
Padatan Sisa (Hemiselulosa)
Padatan
PENGENDAPAN
PENYARINGAN
PEMASAKAN
20
3.4.2. Tahap Penelitian
Tahapan penelitian pretreatment ampas sagu menggunakan pelarut H2SO4
dilakukan menurut metode yang telah dikembangkan Parajo dkk. (1993), skema
penelitian ditampilkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Skema Pretreatment Biomassa (Parajo dkk, 1993)
Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
21
1. Ampas sagu sebanyak 5 gram dan larutan H2SO4 (berdasarkan variasi
konsentrasi) dimasukkan kedalam reactor hidrolisis atau autoclave.
2. Ampas sagu yang telah diolah disaring menggunakan kertas saring. Hasil dari
penyaringan diperoleh ampas sagu/padatan sisa dan cairan hasil pemasakan.
3. Padatan sisa dibuang sedangkan cairan hasil pemasakan diendapkan selama 1
malam. Hasil dari pengendapan akan terbentuk 2 lapisan (fasa) yaitu hidrolisat
(bagian atas) dan padatan (bagian bawah)
4. Perolehan hidrolisat dianalisa konsentrasi glukosa dan furtural.
5. Penelitian diulangi untuk variasi konsetrasi H2SO4.
6. Pengambilan sampel dilakukan pada 30, 60, 90, dan 120 menit.
3.5. Analisa Data
3.5.1. Kadar glukosa
Hidrolisat merupakan hemiselulosa yang diperoleh dari cairan hasil
pemasakan. Kandungan glukosa dalam hemiselulosa dapat dianalisa dengan metode
Nelson-Semogyi dan menggunakan alat Spektofotometer Sinar Tampak pada panjang
gelombang 590 nm yang diperoleh saat penentuan panjang gelombang optimum
(lampiran B). sebelumnya dibuat terlebih dahulu kurva kalibrasi larutan standar
sehingga diperoleh perasamaan yang menghubungkan antara absorban dan
konsentrasi glukosa. Kandungan glukosa pada hidrolisat dapat diketahui dengan cara
menghubungkan persamaan yang diperoleh terhadap absorban yang tercatat
Ahmad, A., 1992, Kinerja Bioreaktor Unggun Fluidisasi Anaerobik Dua Tahap dalam Mengolah Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit, Laporan Magang Pusat Antar Universitas-Bioteknologi ITB, Bandung.
Ballesteros M, Olivia JM, Negro MJ, Manzavais P, Ballesteros I. 2006. Ethanol from Lignocellulosic Materials by A Simmultaneous Saccharification and Fermentation Process (SPS) With Kyuveromyces maxianus CECT 10875. Process BioChemystry 39 (12) 1843-1848.
Banu, J.R., S. Kaliappan dan D. Beck, 2006, Treatment of Sago Wastewater Using Hybrid Anaerobic Reactor, Chemical Engineering Journal, Volume 41, No. 1, 56-62.
Barnett JR, Jeronimidis G. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. United Kingdom: Blackwell Publishing, Ltd.
Bintoro, H. M. H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hal.
Bobleter O. 1994. Hydrothermal degradation of polymers derived from plants. Prog Polym Sci 19:797-841.
Bustaman, S. 2008. Strategi pengembangan Bio-etanol berbasis sagu di Maluku. Perspektif (7) 2, Desember 2008. Hal 65 79. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian Bogor.
Chaplin MF, Bucke C. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. New York.
Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. London: Chapman and Hall.
Fujii S, Kishihara S, Komoto M. 1986. Studies on improvement of sago starch quality. Di dalam: Protect mankind from hunger, and the earth from
devastation. Proceeding 3rdInternational sago symposium; Tokyo, 20-23 Mei 1986. Jepang: The Sago Palm Society. hlm 186-192.
24
Gullichsen J, Paulapuro H. 2000. Forest Products Chemistry. Paper Making Science and Technology. Book 3. Helsinki: Finish Paper Engineers’ Association and TAPPI.
Hartoto, L., A. Suryani dan E. Hambali. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Plastik Biodegradable. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, IPB, Bogor.
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
Haygreen JG dan JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Huda, T., 2009, Hubungan antara Total Suspended Solid dengan Turbidity dan Dissolved Oxygen, http://thorik.staff.uii.ac.id/2009/08/23/hubungan-antara-total-suspended-solid-dengan- turbidity-dan-dissolved-oxygen/,10 Oktober 2011.
Kiat, L.J., 2006., Preparation and Characterization of Carboxymethyl Sago Waste and Its Hydrogel, Universitas Putra Malaysia, (Thesis).
Komarayati,Sri Prihandana, 2007, Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar Masa Depan, Agromedia, Jakarta.
Parajo, J.C, J.L Alonso, D. Vaquez, (1993) On the behaviour of lignin and hemicellulose during acetosov processing, Bioresource Technology, 46, 233-240.
Pardosi, D. (2008). Pembutan Selulosa Bakteri dalam Medium Air Kelapa Melalui Penambahan Sukrosa, Kitosan dan Gliserol Menggunakan Acetobacter xylinum. Tesis Fakultas MIPA USU. hal. 7.
Saddler JN. 1993. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues. United Kingdom: C.A.B. International.
Safitri R, Surosos L, Supitasari NS, Suyanto, Wulandari AP, Andayaningsih P, Haska N. 2009. Pengaruh berbagai konsentrasi asam sulfat dan enzim pada hidrolisis tepung empulur batang sagu (Metroxylon sagu rottb.), kombinasi hidrolisis kimiawi dan enzimatis terhadap kandungan gula pereduksi. Di dalam: Biomass Utilization for Alternative Energy and Chemicals. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia; Bandung, 23 Apr 2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 314-321.
Sassner P, Galbe M. Zacchi G. 2006. Bioethanol Production Based on Simultaneous Saccharification and Fermentation of Steam-Pretreated Salix at High Dry-Materr Content. Enzyme Microb Technol 39: 756-762.
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi kedua. Terjemahan. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Sudarmajdji,S.,B Harrono dan Suhardi, 1997, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian, Liberty, Yogyakarta.
Tjokroadikoesoemo P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta.
25
Varga E, Reczey K, Zacchi G. 2004. Optimization of Steam Pretreatment of Corn Stover to Enhance Enzymatic Digestibility. Appl Biochem Biotechnol 113-116: 509-523.
Wirakartakusumah MA, Thenawidjaja M, Jennie BSL, Wardoyo R, Sastrodipuro D, Nuraida L, Nurtama B. 1986. Isolasi dan Karakterisasi Enzim dari Aspergillus niger serta Pemanfaatan dalam Pembangunan industry gula cair. Penelitian no. 66/PSSR/DPPM?621?1985, Direktorat pembinaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidilkan tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Winarno F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.