Preparasi Protein Kedelai Ftalat Suksinat sebagai Matriks pada Tablet Enterik Asetosal Novia Ayu Fajarningrum, Effionora Anwar, dan Juheini Amin Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia E-mail: [email protected]Abstrak Sediaan enterik merupakan sediaan yang dapat melewati lambung kemudian obat akan hancur dan diabsorpsi di usus. Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi protein kedelai dengan ftalatasi kemudian suksinilasi dan memformulasikan sediaan tablet matriks enterik menggunakan protein kedelai ftalat suksinat (PKFtS) dimana asetosal digunakan sebagai model obat. Konsentrat protein kedelai (PK) diftalatasi dengan anhidrida ftalat dengan perbandingan 1:2 (PKFt), kemudian disuksinilasi dengan anhidrida suksinat dengan perbandingan 1:2,5 (PKFtS) pada pH 8,0-8,5. PKFtS diformulasikan sebagai eksipien matriks tablet enterik dimana dibuat 3 formulasi PKFtS (F1), PKFtS:HPMCP (Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat) (F2), dan HPMCP (F3) sebagai pembanding. Tablet enterik yang dihasilkan dievaluasi dan dilihat pelepasan obatnya. Hasil penelitian menunjukkan F1 memiliki kemampuan mengembang 154,79 ± 1,69% dalam HCl pH 1,2 dan sebesar 242,16 ± 3,55% dalam dapar fosfat pH 6,8. Pengujian kadar dari F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, dan 97,91 ± 1,49%. Pelepasan asetosal dari tablet matriks enterik F1, F2, dan F3 terdisolusi sebanyak 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% dan 1,10 ± 0,15% pada HCl pH 1,2 dan 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% dan 19,88 ± 1,49% pada dapar fosfat pH 6,8. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa PKFtS yang dibuat pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai matriks tunggal pada sediaan lepas tunda. Preparation of Soybean Protein Phthalate Succinate as Matrix for Enteric Tablet Containing Acetylsalicylic Acid Abstract Enteric solid dosage forms are intended to pass through the stomach intact to disintegrate and release their drug content fot absorption along the intestines. The aim of this study was to modified soybean protein with phthalated then succinylated and to formulate matrix enteric dosage form using soybean protein phthalate succinate (SPPS) with acetylsalicylic acid as model drug. Soybean protein (SP) was phthalated using phthalic anhydride 1:2 (SPP), then succinylated using succinic anhydride 1:2,5 (SPPS) in pH 8,0-8,5. SPPS were formulated as matrix in enteric tablet, there 3 formulations SPPS (F1), SPPS:HPMCP (Hydroxy Propyl Methyl Celullose Phthalate) (F2), and HPMCP (F3) as comparator. Enteric dosage forms were evaluated and the drug release profile were studied. Result of study showed that F1 had swelling index 154,79 ± 1,69% in medium HCl pH 1,2 and 242,16 ± 3,55% in medium buffer phosphate pH 6,8. Assay of F1, F2, and F3 were 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, and 97,97 ± 1,49%. Drug release profil of acetylsalicylic acid from matrix enteric tablet F1, F2 and F3 were dissoluted with 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% and 1,10 ± 0,15% in medium HCl pH 1,2 then 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% and 19,88 ± 1,49% in medium buffer phosphate pH 6,8. Based on the research result, it can be concluded that SPPS that made in this study hasn’t yet applicated as matrix in delay release. Keywords: enteric; matrix; phthalate; soybean protein; succinylation Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
20
Embed
Preparasi Protein Kedelai Ftalat Suksinat sebagai Matriks ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Preparasi Protein Kedelai Ftalat Suksinat sebagai Matriks pada Tablet Enterik Asetosal
Novia Ayu Fajarningrum, Effionora Anwar, dan Juheini Amin
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
Sediaan enterik merupakan sediaan yang dapat melewati lambung kemudian obat akan hancur dan diabsorpsi di usus. Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi protein kedelai dengan ftalatasi kemudian suksinilasi dan memformulasikan sediaan tablet matriks enterik menggunakan protein kedelai ftalat suksinat (PKFtS) dimana asetosal digunakan sebagai model obat. Konsentrat protein kedelai (PK) diftalatasi dengan anhidrida ftalat dengan perbandingan 1:2 (PKFt), kemudian disuksinilasi dengan anhidrida suksinat dengan perbandingan 1:2,5 (PKFtS) pada pH 8,0-8,5. PKFtS diformulasikan sebagai eksipien matriks tablet enterik dimana dibuat 3 formulasi PKFtS (F1), PKFtS:HPMCP (Hidroksi Propil Metil Selulosa Ftalat) (F2), dan HPMCP (F3) sebagai pembanding. Tablet enterik yang dihasilkan dievaluasi dan dilihat pelepasan obatnya. Hasil penelitian menunjukkan F1 memiliki kemampuan mengembang 154,79 ± 1,69% dalam HCl pH 1,2 dan sebesar 242,16 ± 3,55% dalam dapar fosfat pH 6,8. Pengujian kadar dari F1, F2 dan F3 berturut-turut adalah 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, dan 97,91 ± 1,49%. Pelepasan asetosal dari tablet matriks enterik F1, F2, dan F3 terdisolusi sebanyak 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% dan 1,10 ± 0,15% pada HCl pH 1,2 dan 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% dan 19,88 ± 1,49% pada dapar fosfat pH 6,8. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa PKFtS yang dibuat pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai matriks tunggal pada sediaan lepas tunda.
Preparation of Soybean Protein Phthalate Succinate as Matrix for Enteric Tablet Containing Acetylsalicylic Acid
Abstract
Enteric solid dosage forms are intended to pass through the stomach intact to disintegrate and release their drug content fot absorption along the intestines. The aim of this study was to modified soybean protein with phthalated then succinylated and to formulate matrix enteric dosage form using soybean protein phthalate succinate (SPPS) with acetylsalicylic acid as model drug. Soybean protein (SP) was phthalated using phthalic anhydride 1:2 (SPP), then succinylated using succinic anhydride 1:2,5 (SPPS) in pH 8,0-8,5. SPPS were formulated as matrix in enteric tablet, there 3 formulations SPPS (F1), SPPS:HPMCP (Hydroxy Propyl Methyl Celullose Phthalate) (F2), and HPMCP (F3) as comparator. Enteric dosage forms were evaluated and the drug release profile were studied. Result of study showed that F1 had swelling index 154,79 ± 1,69% in medium HCl pH 1,2 and 242,16 ± 3,55% in medium buffer phosphate pH 6,8. Assay of F1, F2, and F3 were 101,66 ± 1,63%, 101,44 ± 1,84%, and 97,97 ± 1,49%. Drug release profil of acetylsalicylic acid from matrix enteric tablet F1, F2 and F3 were dissoluted with 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39% and 1,10 ± 0,15% in medium HCl pH 1,2 then 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22% and 19,88 ± 1,49% in medium buffer phosphate pH 6,8. Based on the research result, it can be concluded that SPPS that made in this study hasn’t yet applicated as matrix in delay release.
Ciri-ciri fisik yang perlu diperhatikan antara lain bentuk, warna, tekstur dan bentuk
permukaan tablet, serta ada atau tidaknya bau dan kerusakan pada tablet tersebut.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Keseragaman Ukuran
Uji keseragaman ukuran dilakukan terhadap 20 tablet dengan mengukur diameter dan
ketebalan tablet dengan menggunakan jangka sorong. Tablet memenuhi persyaratan
keseragaman ukuran apabila diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1 ⅓
tebal tablet
Keragaman Bobot
Uji keragaman bobot dilakukan dengan menyiapkan tidak kurang dari 30 satuan tablet,
kemudian ditimbang seksama sepuluh tablet satu per satu dan hitung bobot rata-rata. Harga
simpangan baku relatif dihitung. Keseragaman bobot terletak dalam rentang 85,0%-115,0%
dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6,0%.
Jika 1 satuan sediaan terletak di luar rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket, dan
tidak ada satuan terletak diatara rentang 75,0%-125,0% dari yang tertera pada etiket, atau jika
simpangan baku relatif lebih besar dari 6,0% atau jika kedua kondisi tidak terpenuhi,
dilakukan uji 20 satuan tambahan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih dari 1 satuan dari 30
tablet terletak di luar rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket dan tidak ada satuan
di luar rentang 75,0%-125,0% dari yang tertera pada etiket, dan simpangan baku relatif dari
30 satuan sediaan tidak lebih dari 7,8%.
Kekerasan Tablet
Masing-masing 10 tablet dari tiap batch diukur kekerasannya dengan menggunakan
alat hardness tester. Satuan kekerasan yang digunakan adalah kP. Keregasan tablet
Sebanyak 20 tablet dibersihkan dari debu dan ditimbang (W1), dimasukkan 20 tablet
tersebut ke dalam alat dan jalankan alat dengan kecepatan 25 rpm selama 4 menit (100 kali
putaran). Tablet dikeluarkan kemudian bersihkan dari debu dan ditimbang kembali (W2).
Selisih berat sebelum dan sesudah perlakuan dihitung.
(5) Daya Mengembang Tablet
Tablet masing-masing ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Masukkan 10
mL HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8. Indeks mengembang diukur berdasarkan
Keregasan = W! −W! W! ×100%
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
peningkatan bobot tablet pada menit ke 120 pada medium HCl pH 1,2 dan pada menit ke 0,
15, 30, dan 45 pada medium dapar fosfat pH 6,8, kemudian dihitung dengan rumus:
% Pengembangan = %100W
)W-(W
1
12 × (6)
Keterangan:
W2 adalah berat tablet yang telah mengembang
W1 adalah berat tablet awal (Daramola & Osanyinlusi, 2006; Na, Yuhua, &
Junhui, 2007, telah diolah kembali). Uji kadar obat
Sebanyak 20 tablet digerus halus, lalu ditimbang serbuk tablet setara dengan 100 mg
asetosal. Serbuk dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 mL dan dilarutkan dengan pelarut
yakni medium dapar fosfat pH 6,8 dan kemudian disaring. Filtrat dipipet sebanyak 10,0 mL
dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 mL kemudian dicukupkan volumenya dengan
dapar fosfat pH 6,8 dan larutan tersebut diencerkan kembali sehingga mencapai konsentasi
diantara rentang kurva kalibrasi. Serapannya diukur pada panjang gelombang 265 nm. Uji pelepasan obat in vitro
Uji ini dilakukan menggunakan metode B dengan apparatus 1 yakni disolusi keranjang
di dalam dua medium. Uji disolusi mula-mula dilakukan pada medium HCl pH 1,2.
Dimasukkan 900 mL HCl pH 1,2 ke dalam tabung, kemudian medium dibiarkan hingga
mencapai suhu 37o ± 0,5oC dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Tablet dimasukkan ke
dalam alat, kemudian alat dijalankan selama 2 jam. Medium diambil 10 mL larutan pada
menit ke 120 kemudian larutan yang diambil diganti dengan medium HCl pH 1,2. Setelah dua
jam, dilakukan perlakuan pada medium dapar fosfat pH 6,8.
Uji pada medium dapar fosfat pH 6,8 dilakukan dengan cara memindahkan tablet
tersebut ke dalam medium dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 900 mL dengan suhu 37o ± 0,5o C
dengan kecepatan pengadukan 100 rpm. Alat kemudian dijalankan selama 45 menit. Medium
diambil 10 mL dalam interval waktu 5, 10, 15, 30 dan 45 menit kemudian larutan yang
diambil diganti dengan medium dapar fosfat pH 6,8. Sampling yang dilakukan pada masing-
masing waktu pada medium asam dan dapar diukur serapannya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 untuk asetosal pada tahap asam dan
265 untuk asam salisilat pada tahap dapar.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Hasil Penelitian dan Pembahasan Penetapan Kadar Minyak Konsentrat Protein Kedelai Konsentrat protein kedelai yang telah dibuat memiliki kandungan minyak 1,52%. Derajat Suksinilasi
Metode trinitrobenzen sulfonat (TNBS) merupakan metode yang paling umum
digunakan untuk penetapan derajat substitusi protein. TNBS bereaksi dengan amin primer
pada reaksi substitusi nukleofilik aromatis menjadi gugus amino trinitrofenil terlabel
(Grotzky, Manaka, Fornera, Willeke, & Walde, 2010). Prinsip metode ini adalah reaksi yang
terjadi antara trinitrobenzen sulfonat dengan gugus amin dari asam amino lisin yang tidak
bereaksi dengan gugus karboksilat dari anhidrida ftalat maupun anhidrida suksinat selama
proses sintesis, sehingga lisin bebas tersebut akan berikatan dengan trinitrobenzen sulfonat
dan akan memberi serapan pada saat diukur secara spektrofotometri UV.
Penambahan natrium dodesil sulfat dalam pengujian untuk meningkatkan kelarutan
dari trinitrofenil yang terlabel, selain itu penambahan HCl 1 N dimaksudkan untuk
PKFtS 7,19 ± 0,05 10,34 ± 0,02 Penampilan fisik Penampilan fisik ketiga formula tablet yaitu berbentuk bulat pipih dengan satu garis
tengah, tidak berbau dan juga tidak berasa. Perbedaan berada pada warna tablet, dimana F1
berwarna kecoklatan karena mengandung PKFtS yang merupakan serbuk berwarna coklat, F2
berwarna kecoklatan dengan bintik putih dimana warna coklat berasal dari PKFtS dan bintik
putih berasal dari granul HPMCP yang sudah tidak dapat diperkecil ukuran partikelnya, dan
F3 berwarna putih karena merupakan pembanding yang mengandung HPMCP. Keseragaman Ukuran Keseragaman ukuran yang dihasilkan dari pengukuran secara acak 20 tablet
menunjukkan bahwa seluruh formula telah memenuhi syarat Farmakope Indonesia edisi III.
F1 memiliki diameter rata-rata 2,77 kali tebal tablet, F2 memiliki diameter rata-rata 2,71 kali
tebal tablet, dan F3 memiliki diameter rata-rata 2,56 kali tebal tablet.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Tabel 3. Hasil evaluasi umum tablet matriks enterik F1, F2, dan F3
Gambar 4. Grafik daya mengembang tablet F1 ( ♦ ), F2 ( ■ ), dan F3 ( ▲ ) dalam medium dapar fosfat pH 6,8 selama 45 menit
050100150200250300
0 15 30 45DayaM
engemba
ng(%
)
Waktu(menit)
F1
F2
F3
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
Uji kadar obat
Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3. Penetapan kadar zat aktif tablet dilakukan
untuk menentukan apakah zat aktif berada pada rentang yang ditentukan atau tidak dan untuk
memastikan di dalam setiap sediaan terkandung dosis yang tepat sehingga efekstif dalam
memberikan efek terapi dan tidak berlebihan sehingga tidak menimbulkan efek toksik. Data
uji kadar obat terdapat pada Lampiran 28. Berdasarkan hasil penetapan kadar, kadar zat aktif
berada pada rentang 95,0-105,0% sehingga memenuhi persyaratan kandungan obat tunggal
pada sediaan farmasi. Uji pelepasan obat in vitro
Profil pelepasan obat asetosal dari matriks tablet pada medium asam pH 1,2 terlihat
pada Tabel 5. Pelepasan obat tablet F1 pada 120 menit adalah 22,62 ± 2,44%, F2 sebesar
16,65 ± 1,39% dan pada F3 1,10 ± 0,15% sebagai pembanding. Persyaratan sediaan enterik
yakni pelepasan obat di lambung kurang dari 10% (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Pelepasan obat asetosal di suasana asam menunjukkan bahwa hanya F3 yang memenuhi
persyaratan tablet enterik. Hal ini menunjukkan bahwa PKFtS tidak mampu menahan
pelepasan obat di asam dikarenakan substitusi yang tidak sempurna dan juga higroskopisitas.
Jika dilihat dari kekerasan tablet, F1 dan F2 memiliki kekerasan yang lebih tinggi
dibandingkan F3, akan tetapi kekerasan tersebut tidak mampu menahan pelepasan obat karena
adanya absorbsi medium yang tinggi dari PKFtS.
Tabel 5. Jumlah zat aktif terdisolusi pada medium HCl pH 1,2
Waktu (menit) F1 F2 F3 120 22,62 ± 2,44 16,65 ± 1,39 1,10 ± 0,15
Profil pelepasan obat asetosal dari matriks tablet pada pH 6,8 terlihat pada Gambat 5.
Jumlah kumulatif obat yang dilepaskan dalam formula 1 sampai 3 berturut-turut selama 45
menit di basa yaitu 60,78 ± 2,39%, 44,21 ± 2,22%, dan 19,88 ± 1,49%. F1 menunjukkan
pelepasan obat tertinggi dibandingkan dengan F2 dan F3. Jumlah zat aktif yang terdisolusi
pada F1 dan F2 paling tinggi berada pada menit ke 15, kemudian pada menit ke 30 dan 45
menurun. Hasil ini juga sesuai dengan hasil uji daya mengembang tablet pada medium basa,
dimana daya mengembang tablet F1 lebih besar dibanding F2 dan F3, selain itu hasil uji daya
mengembang F1 dan F2 menunjukkan bahwa pada menit ke 15 memiliki peningkatan indeks
mengembang yang paling signifikan, dan pada menit 30 dan 45 tidak mengembang dengan
signifikan. Sementara itu, F3 menunjukkan profil disolusi yang terus meningkat dari menit ke
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
5 sampai menit ke 45. Hal ini disebabkan karena konsentrasi HPMCP yang tinggi sehingga
HPMCP lepas sedikit demi sedikit pada medium basa dan membutuhkan waktu yang lama
agar zat aktif terdisolusi berada pada persentase yang tinggi. HPMCP merupakan eksipien
enterik yang umumya digunakan sebagai penyalut. HPMCP sangat baik menahan pelepasan
obat di asam, akan tetapi karena konsentrasi HPMCP yang digunakan sebagai matriks sangat
tinggi maka HPMCP akan melepaskan obat sedikit demi sedikit di suasana basa. Faktor lain
yang menyebabkan jumlah zat aktif terlarut pada F3 sedikit adalah kadar zat aktif pada F3
yakni 97,91 ± 1,49% sehingga lebih kecil dibandingkan F1 dan F2.
Gambar 5. Profil pelepasan asetosal dari tablet enterik F1 ( ♦ ), F2 ( ■ ), dan F3 ( ▲ )
dalam medium basa pH 6,8 selama 45 menit Kesimpulan
Eksipien konsentrat protein kedelai (PK) telah dimodifikasi melalui reaksi ftalatasi
dan suksinilasi menjadi konsentrat protein kedelai ftalat suksinat (PKFtS) pada suasana pH
8,0-8,5 dengan derajat substitusi 72,46 ± 0,29%. Kelarutan PKFtS pada medium pH 1,2
adalah 7,19 ± 0,05 mg/100 mL dan pada medium dapar fosfat pH 6,8 sebesar 10,34 ± 0,02
mg/100 mL. Daya mengembang PKFtS pada medium pH 1,2 adalah 113,80 ± 0,67% dan
pada medium dapar fosfat pH 6,8 sebesar 200,71 ±1,01%. Tablet matriks enterik F1, F2, dan
F3 mempunyai laju disolusi pada pH 1,2 sebesar 22,62 ± 2,44%, 16,65 ± 1,39%, dan 1,10 ±
0,15% sehingga modifikasi dengan menggunakan anhidrida ftalat dan anhidrida suksinat dari
protein kedelai (PKFtS) yang dibuat pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai
matriks tunggal pada sediaan lepas tunda. Saran
Disarankan untuk dilakukan koproses antara PKFtS dengan eksipien lain untuk dapat
meningkatkan karakteristik eksipien dalam menahan pelepasan obat di medium asam dan
-20
0
20
40
60
80
0 5 10 15 30 45
JumlahZatA
k8f
Terdisolusi(%)
Waktu(menit)
F1
F2
F3
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
dapat melepaskan obat dengan baik di medium basa. Disarankan pula perlu dilakukan
pembuatan formulasi yang lebih komperensif sehingga dapat menghasilkan tablet dimana zat
aktif dapat ditahan pelepasannya di dalam suasana asam dan dapat terdisolusi di suasana basa. Daftar Referensi Acton, Q. A. (2013). Dietary Protein - Advances in Research and Application. Atlanta:
Scholarly Editions. Ansel, H. C. (2008). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (4 ed.). Jakarta: UI-Press. Billmers, R. L. & Tessler, M. M. (1994). Method of preparing intermediate ds starch esters in
aqueous solution. US Patent, 2112079. Caillard, R. & Subirade, M. (2012). Protein based tablets as reversible gelling system for
delayed release application. International Journal of Pharmaceutics, 130-136.Caillard, R., Petit A., & Subirade, M. (2009). Design and evaluation of succinylated soy
protein tablet as delayed drug delivery system. International Journal of Biological Macromolecules, 414-420.
Champagne, L. M. (2008). The Synthesis of Water Soluble N-Acyl Chitosan Derivates for Characterization as Antibacterial Agent. B. S. Xavier University of Lousiana.
Daramola, B. & Osanyinlusi, S. A. (2006). Investigation on modification of cassava starch using active components of Ginger Roots (Zingiber officinale Roscoe). African Journal of Biotechnology, 5(10), 917-920.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Famakope Indonesia edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dulin, W. (2010). Oral Controlled Release Formulation Design and Drug Delivery Theory to Practice. (H. P. Wen, Ed.) Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons.
Feeney, R. E. & Whittaker, J. R. (1985). Chemical and Enzymatic Modification of Plant Protein. New Protein Foods, 5, 221-228.
Feeney, R. E. (1977). Chemical Modification of Food Protein. In Food Protein: Improvement Through Chemical and Enzymatic Modification, Advance in Chemistry Series 160. Washington DC: ACS Press.
Grotzky, A., Yuichi, M., Fornera, S., Willeke, M., & Waide, P. (2010). Quantification of a-polylysine: a comparison of four UV/Vis spectrophotometric methods. Royal Society of Chemistry, 2, 1448-1455.
Hettiarachchy, N. S., Sato, K., Marshall, M. R., & Kannan, A. (2012). Food Protein and Peptides Chemistry, Functionality, Interaction, and Commercialization. United States of America: CRC Press.
Hong, W. & Kinam, P. (2011). Oral Controlled Release Formulation Design and Drug Delivery Theory to Practice. Singapore: John Wiley & Sons.
Howell, R. W. (1996). Chemical and Enzymatic Modification. In Food Proteins: Properties and Characterization. New York: VCH Publisher.
Jarowenko, K. (1989). Acetylated Starch and Miscellaneous Organic Ester. Di dalam Modified Starches: Properties and Uses. (O. B. Wurzburg, Ed.) Florida: CRC Press.
Lawal, O. S. (2005). Functionality of native and succinylated Lablab Bean (Lablab purpureus) protein concentrate. Food Hydrocolloids, 19, 61-72.
L'hocine, L., Boye, J. L., & Arcand, Y. (2006). Composition and functional properties of soy protein isolates prepared using alternative defatting and extraction procedures. Journal of Food Science, 71(3), 137-145.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015
McMann, M. C. (2000). Soy Protein: What You Need to Know. New York: Penguin Putnam. Minzangi, K., Kaaya, A. N., Kansiime, F., Tabuti, J. R. S., & Samvura, B. (2011). Oil content
and physicochemical characteristics of some wild oilseed plants from Kivu Eastern Democratic Republic of Congo. Africans Journal of Biotechnology, 10(2), 189-195.
Mirmoghtadaie, L., Kadivar, M., & Shahedi, M. (2009). Effect of succinylation and deamidation on functional properties of oat protein isolate. Food Chemistry, 114, 127-131.
Na, C., Yuhua, F., & Junhui, He. (2007). Preparation and physical properties of soy protein isolate and gelatin composite films. Food Hydrocolloids, 21, 1153-1162.
Offermanns, S. & Rosenthal, W. (2008). Encyclopedia of Molecular Pharmacology (2 ed., Vol. 1). New York: Springer Science & Bussiness Media.
Rajesh, A., Bharat, C. & Sangeeta, A. (2012). Oral colon targeted drug delivery system: a review on current and novel perspectives. Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation , 6-12.
Reynolds, E. F. (Ed.). (1982). Martindale The Extra Pharmacopoeia (28 ed.). London: The Pharmaceutical Press.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., & Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients (6 ed.). United States of America: Pharmaceutical Press and American Pharmacist Association.
Shargel, L. & Andrew, B. C. Yu. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan (2 ed.). Surabaya: Airlangga University Press.
Sinha, V. R., & Kumria, R. (2002). Binder for colon specific drug delivery: an in vitro evaluation. International Journal of Pharmaceutocs, 249, 23-31.
The United States Pharmacopeial Convention. (2007). The United States Pharmacopeia 30th Edition and National Formulary 25 th Edition. Rockville (MD): The United States Pharmacopeial Convention.
Yihong, Q., Yisheng C., Geoff, G., Lirong L., & Porter, W. (2009). Developing Solid Oral Dosage Form Pharmaceutical Theory and Practice (1 ed.). San Diego: Academic Press, Elsevier.
Ying, W. (2006). Adhesive Peformance of Soy Protein Isolate Enhanced by Chemical Modificaton and Physical Treatment. Manhattan: Kansas State University.
Preparasi protein ..., Novia Ayu Fajarningrum, FFAR UI, 2015