Top Banner
PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSTIK THREE-TIER UNTUK MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA MATERI ALAT OPTIK SISWA KELAS X SMA PRA-PROPOSAL DISUSUN OLEH: RIYADLOTUL MUNAWAROH (12030184011) PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
29

Pra Proposal-Miskonsepsi

Jan 18, 2016

Download

Documents

Azzahra Riya

Berisi tentang pengembangan tes diagnostik three tier untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada materi alat optik
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pra Proposal-Miskonsepsi

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSTIK THREE-TIER UNTUK

MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA MATERI ALAT OPTIK SISWA

KELAS X SMA

PRA-PROPOSAL

DISUSUN OLEH:

RIYADLOTUL MUNAWAROH

(12030184011)

PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Page 2: Pra Proposal-Miskonsepsi

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSTIK THREE-TIER UNTUK

MENGIDENTIFIKASI MISKONSEPSI PADA MATERI ALAT OPTIK SISWA

KELAS X SMA

A. Latar Belakang

Mata pelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran yang sering dianggap

sulit oleh sebagian besar siswa. Mata pelajaran ini menuntut intelektualitas yang relatif

tinggi dan dibutuhkan suatu keterampilan berpikir untuk mempelajarinya. Dalam mata

pelajaran fisika ini, setiap konsep baru seringkali menuntut pemahaman siswa atas

konsep sebelumnya. Oleh karena itu bila terjadi kesalahpahaman konsep dalam belajar

pada salah satu materi pokok, maka akan berdampak pada jenjang pendidikan

berikutnya. Mengingat begitu pentingnya peranan ilmu fisika, sudah semestinya ilmu ini

dipahami dengan baik oleh siswa. Fakta yang sering ditemukan saat ini, para pendidik

sering menemukan bahwa siswa mempunyai konsep yang berbeda dengan konsep yang

diterima oleh para ahli. Konsep yang berbeda itu sering disebut dengan miskonsepsi.

Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak sesuai dengan

konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).

Ketika belajar materi fisika, banyak siswa yang merasa bahwa materi “Alat Optik”

merupakan materi yang sulit untuk dipelajari. Pada materi ini, konsep-konsep fisika yang

terkait di dalamnya sangat kompleks dan istilah-istilah baru juga perlu dijelaskan lebih

lanjut oleh guru agar tidak mengalami miskonsepsi. Terkadang, guru-guru yang sudah

mengajar pun masih mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi ini.

Dalam konteks hasil belajar, siswa merupakan fokus utama yang menjadi peran

dalam miskonsepsi ini. Masih banyak siswa yang pengusaan konsep dasarnya kurang

atau di bawah standar, sehingga kesalahan yang berasal dari siswa ini akan menimbulkan

miskonsepsi pada dirinya. Miskonsepsi atau kesalahan konsep yang dialami siswa bisa

juga dikarenakan kemampuan siswa dalam fisika lemah karena kurangnya latihan soal-

soal serta daya tangkap siswa yang rendah terhadap materi yang diajarkan atau diberikan.

Selain dari siswa sendiri, miskonsepsi juga dapat berasal dari guru yang mengajarnya.

Hal ini dikarenakan guru tidak menguasai konsep yang benar dari bahan ajar ataupun

jika guru menguasainya, guru tersebut menjelaskannya secara tidak tepat, sehingga

menimbulkan miskonsepsi pada siswanya. Hal ini menyebabkan kesalahan yang dimiliki

saat ini menyebar secara terus menerus kepada anak didiknya dari tahun ke tahun.

Page 3: Pra Proposal-Miskonsepsi

Miskonsepsi siswa seringkali juga disebabkan oleh tidak relevannya buku ajar yang

digunakan. Ketidakrelevanan buku ajar yang digunakan seringkali ditemukan dalam

pembahasan soal terkait dengan materi yang diberikan.

Miskonsepsi yang seringkali dialami oleh siswa terkait materi “Alat Optik” yaitu

mengenai konsep dasar, misalnya terjadinya pembiasan pada lensa. Menurut siswa, sinar

datang pada lensa cembung atau cekung tidak dibiaskan pada permukaan lensa tetapi

pada tengah lensa. Dengan kata lain, permukaan lensa dan ketebalan lensa tidak

berpengaruh pada proses pembiasan cahaya. Hal ini menimbulkan miskonsepsi pada

siswa, karena kenyataannya cahaya itu dibiaskan justru pada permukaan lensa

disebabkan adanya perbedaan indeks bias dari dua medium yaitu udara dan kaca atau

kaca dan udara.

Adanya miskonsepsi yang dimiliki siswa akan sangat menghambat pada proses

penerimaan dan asimilasi pengetahuan-pengetahuan baru dalam diri siswa, sehingga

akan menghalangi keberhasilan siswa dalam proses belajar lebih lanjut. Ini merupakan

masalah besar dalam pengajaran fisika yang tidak bisa dibiarkan. Seiring dengan

tumbuhnya kesadaran akan hal tersebut, maka berbagai upaya untuk menanggulangi

masalah miskonsepsi ini terus dikembangkan, meskipun hasilnya belum begitu

menggembirakan. Upaya yang diterapkan guru saat ini untuk meminimalisir miskonsepsi

tersebut adalah dengan memberikan tugas-tugas yang biasanya diberikan secara spontan

dalam kelas. Selain itu guru juga melakukan tes lisan pada masing-masing individu

untuk mengetahui letak kelemahan siswa dalam memahami konsep materi yang

diajarkan.

Akan tetapi sebenarnya permasalahan yang ada saat ini tidak terletak pada upaya

penanggulangan miskonsepsi yang dialami siswa, namun terdapat persoalan yang lebih

mendasar dan sangat penting dalam masalah miskonsepsi ini, yaitu masalah

pengidentifikasian terjadinya miskonsepsi. Hingga saat ini masih terdapat kesulitan

dalam membedakan antara siswa-siswa yang miskonsepsi dan yang tidak tahu konsep.

Tanpa dapat membedakan keduanya, akan sulit untuk menentukan langkah

penanggulangannya, sebab cara penanggulangan untuk siswa yang mengalami

miskonsepsi akan berbeda dengan siswa yang tidak tahu konsep. Kesalahan

pengidentifikasian akan menyebabkan kesalahan dalam cara penanggulangannya dan

hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh

pada upaya penanggulangannya, terlebih dahulu para pendidik harus memiliki

Page 4: Pra Proposal-Miskonsepsi

pengetahuan dan kemampuan mengidentifikasi miskonsepsi secara tepat, yang setiap saat

dapat digunakan pada proses belajar mengajarnya.

Sebagai salah satu alternatif yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi

adalah Certainty of Response Index (CRI) yang dikembangkan oleh Saleem Hasan dan

Keith Adams (2002). Cara mengetahui kemampuan siswa adalah dengan memberikan tes

pilihan ganda yang bersifat pemahaman konsep yang disertai dengan alasan kepastian

jawaban. Instrumen diagnostik three-tier merupakan salah satu instrumen yang

digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi. Instrumen diagnostik three-tier ini

berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama merupakan soal pilihan ganda

biasa, tier kedua merupakan alasan dari pilihan jawaban, dan tier ketiga merupakan

derajat keyakinan untuk meyakinkan respon siswa, sehingga peneliti memperoleh

informasi lebih banyak tentang miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa

yang kurang memahami konsep atau tidak tahu konsep.

Berdasarkan uraian di atas mengenai kesulitan yang dihadapi siswa dalam

pembelajaran fisika terutama pada materi “Alat Optik” dan miskonsepsi yang

dialaminya, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Pengembangan Instrumen

Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi pada Materi Alat Optik Siswa

Kelas X SMA”. Dengan harapan agar hasil dari pendidikan yang bermutu menjadikan

siswa yang cerdas, mandiri, beretos kerja tinggi, berpengetahuan luas, dan menguasai

teknologi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimana mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk

mengidentifikasi miskonsepsi pada materi Alat Optik?

2. Bagaimana kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang

telah dikembangkan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk mengidentifikasi

miskonsepsi pada materi Alat Optik.

Page 5: Pra Proposal-Miskonsepsi

2. Menguji kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang

telah dikembangkan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi Siswa

Siswa diharapkan dapat mengetahui letak kelemahan yang menyebabkan

miskonsepsi dalam memahami konsep, khususnya pada materi Alat Optik,

sehingga siswa dapat memperbaikinya dalam upaya mencapai ketuntasan.

2. Bagi Guru

Guru diharapkan dapat mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa, sehingga

guru dapat melakukan tindak lanjut terhadap informasi yang diperoleh. Tes

diagnostik ini dapat digunakan guru sebagai alat ukur alternatif untuk mengetahui

tingkat pemahaman konsep siswa.

E. Penjelasan Istilah, Asumsi dan Batasan Masalah

1. Penjelasan Istilah

a. Tes Diagnostik

Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-

kelemahan siswa, sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat

dilakukan pemberian pemberlakuan yan tepat (Arikunto,2012).

b. Instrumen Diagnostik Three-tier

Instrumen diagnostik three-tier merupakan instrumen yang paling valid,

reliabel, dan akurat untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Instrumen

diagnostik three-tier ini berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama

merupakan soal pilihan ganda biasa, tier kedua merupakan alasan dari pilihan

jawaban, dan tier ketiga merupakan derajat keyakinan untuk meyakinkan respon

siswa, sehingga peneliti memperoleh informasi lebih banyak tentang

miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa yang kurang

memahami konsep atau tidak tahu konsep (Pesman, 2010:216).

c. Miskonsepsi

Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak sesuai

dengan konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).

Page 6: Pra Proposal-Miskonsepsi

2. Asumsi

a. Hasil tes menggambarkan kemampuan siswa yang sebenarmya.

b. Validator dan responden melakukan penilaian secara obyektif, jujur dan

sungguh-sungguh terhadap perangkat tes diagnostik.

3. Batasan Masalah

a. Soal-soal pada perangkat tes diagnostik yang dikembangkan mengacu pada

kompetensi dasar dalam kurikulum 2013.

b. Tes diagnostik yang dikembangkan digunakan pada akhir pembelajaran, yakni

saat materi Alat Optik telah disampaikan.

c. Perangkat tes diagnostik yang dikembangkan hanya mengidentifikasi

miskonsepsi pada siswa, khususnya pada materi Alat Optik.

F. Tinjauan Pustaka

1. Miskonsepsi

a. Pengertian

Pada umumnya konsepsi siswa dalam memahami suatu materi fisika dapat

berbeda dengan fisikawan. Konsepsi fisikawan pada umumnya akan lebih

canggih, lebih kompleks, lebih rumit, melibatkan lebih banyak hubungan konsep

daripada konsepsi siswa. Jika konsepsi sama dengan konsepsi fisikawan yang

disederhanakan, maka hal ini tidak dikatakan salah. Namun, jika konsepsi siswa

bertentangan dengan konsepsi fisikawan, maka dikatakan siswa mengalami

miskonsepsi. Miskonsepsi atau salah konsep merupakan suatu konsep yang tidak

sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli (Suparno, 2013: 4).

b. Proses Miskonsepsi

Dalam proses pembelajaran, peserta didik akan mengelola informasi yang

masuk ke dalam otak mereka. Jika informasi yang diterima sesuai dengan struktur

konsep yang ada, informasi ini akan langsung menambah jaringan pengetahuan

mereka, proses ini disebut proses asimilasi. Jika informasi tidak sesuai, mereka

akan melakukan penyusunan ulang struktur kognitif mereka hingga informasi ini

dapat menjadi bagian dari jaringan pengetahuan mereka. Dalam proses

menyampaikan informasi baru ke dalam struktur kognitif mereka, peserta didik

seringkali mengalami kesulitan, bahkan kegagalan. Hal inilah yang kemudian

menjadi timbulnya miskonsepsi pada kognitif peserta didik. Miskonsepsi tidak

hanya terjadi pada siswa. Pada mahasiswa juga sering mengalami miskonsepsi,

karena sudah membawa konsep awal (prakonsepsi) yang keliru. Terjadinya salah

Page 7: Pra Proposal-Miskonsepsi

konsep pada siswa maupun mahasiswa, disebabkan adanya pembangunan

pengetahuan di sepanjang perjalanan hidup siswa.

2. Tes Diagnostik

Pengertian tes dalam Arikunto (2012) merupakan alat atau prosedur yang

digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara

dan aturan-aturan yang sudah ditentukan, sedangkan tes diagnostik adalah tes

yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga

berdasarkan hal tersebut dapat dilakukan penanganan yang tepat. Fungsi tes

diagnostik adalah:

1. Menentukan apakah bahan prasyarat telah dikuasai atau belum;

2. Menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang dipelajari;

3. Memisahkan (mengelompokkan) siswa berdasarkan kemampuan dalam

menerima pelajaran yang akan dipelajari;

4. Menentukan kesulitan-kesulitan belajar yang dialami untuk menentukan cara

yang khusus untuk mengatasiatau memberikan bimbingan.

Tes diagnostik memiliki karakteristik:

1. Dirancang untuk mendeteksi kesulitan belajar siswa, karena itu format dan

respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik;

2. Dikembangkan berdasar analisis terhadap sumber-sumber kesalahan atau

kesulitan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah pada siswa.

Kemungkinan sumber kesulitan siswa dapat dilokalisasi pada tiga sumber

utama, yaitu: a) tidak terpenuhinya kemampuan prasyarat; b) terjadinya

miskonsepsi; dan c) rendahnya kemampuan memecahkan masalah (problem

solving);

3. Menggunakan soal-soal bentuk supply response (bentuk uraian atau jawaban

singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Bila ada

alasan tertentu, sehingga menggunakan bentuk selected response (misalnya

bentuk pilihan ganda), harus disertakan mengapa memilih jawaban tertentu,

sehingga dapat meminimalisir jawaban tebakan dan dapat ditentukan tipe

kesalahan atau masalahnya;

4. Disertai rancangan tindak lanjut (pengobatan) sesuai dengan kesulitan

(penyakit) yang teridentifikasi (Depdiknas,2007).

Page 8: Pra Proposal-Miskonsepsi

3. Prosedur Pengembangan Tes Diagnostik

Menurut Croker dan Algina (dalam Usodo, 2001) langkah-langkah untuk

menyusun tes diagnostik adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi tujuan

Tujuan tes berbeda-beda tergantung keperluan apa tes itu digunakan.

2. Mengidentifikasi sifat-sifat yang berkaitan dengan tes yang akan

dikembangkan atau definisi dominan yang berkaitan dengan tes. Untuk te-tes

psikologi, identifikasi psycological construct menjadi sangat penting untuk

menentukan butir-butir tes yang akan disusun. Untuk tes-tes yang bersifat

achievement test yang diperlukan adalah kriteria untuk menentukan

kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa untuk mata pelajaran tertentu.

Cara lain pada langkah ini adalah menentukan spesifikasi item.

a. Melakukan persiapan spesifikasi item dan penentuan proporsi dari butir-

butir tes yang memfokuskan pada masing-masing sifat atau dominan

yang disebutkan pada langkah kedua. Setelah menyusun tujuan dan

spesifikasi butir, maka diperlukan penyusunan rencana untuk menentukan

proporsi masing-masing butir tes terhadap seluruh butir tes, dalam hal ini

penyusunannya menggunakan sistem hirarki untuk mengkategorikan

operasi kognitif yang dikenal dengan ranah kognitif Bloom, yaitu :

pengetahuan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis (C4), evaluasi

(C5), dan menciptakan (C6).

b. Mengembangkan draf awal dari butir-butir tes. Langkah yang dilakukan:

1) Memilih format yang sesuai

2) Memverifikasi format, sehingga layak untuk diuji

3) Memilih petugas yang akan menulis butir-butir tes

4) Menulis butir tes

5) Memantau kemajuan penulidsan butir tes

6) Memvalidasi tes yang telah ditulis

c. Mereview butir-butir yang dikembangkan pada langkah 4 dan dilakukan

revisi bila diperlukan;

d. Melakukan uji coba awal dan revisi berdasarkan uji coba awal sebelum

dicetak atau dimasukkan media;

e. Melakukan uji lapangan kepada kelompok besar yang mewakili populasi

yang akan dikenai tes;

Page 9: Pra Proposal-Miskonsepsi

f. Mengembangkan petunjuk administrasi penggunaan tes cara skoring

setelah tiap tes dianggap cukup layak untuk digunakan secara formal atau

dipasarkan, maka paket tes harus dilengkapi dengan petunjuk pengerjaan.

4. Tes Diagnostik Three-tier

Instrumen diagnostik three-tier merupakan salah satu instrumen yang digunakan

untuk mengidentifikasi miskonsepsi. Instrumen diagnostik three-tier ini berupa

pilihan ganda tiga tingkat dengan tier pertama merupakan soal pilihan ganda biasa,

tier kedua merupakan alasan dari pilihan jawaban, dan tier ketiga merupakan derajat

keyakinan untuk meyakinkan respon siswa, sehingga peneliti memperoleh informasi

lebih banyak tentang miskonsepsi siswa dan dapat membedakan dengan siswa yang

kurang memahami konsep atau tidak tahu konsep.

Instrumen diagnostik three-tier memiliki kelebihan dibandingkan dengan

multiple choice (pilihan ganda) konvensional

Pengembangan instrumen diagnostik three-tier meliputi 3 tahap:

1. Tahap Pertama : wawancara

Kegiatan wawancara dilakukan kepada siswa secara individu dengan

pertanyaan terbuka, dengan tujuan untuk mengumpulkan data untuk pilihan

pada item pilihan ganda.

2. Tahap Kedua : tes kertas dan pensil

Tanggapan dari pertanyaan wawancara digunakan untuk membuat

butir pilihan ganda untuk tes kertas dan pensil. Setelah butir dibuat, soal

diuji pada seluruh siswa dalam kelas. Para siswa dimita untuk memilih

jawaban yang paling tepat untuk setiap pertanyaan dan kemudian

memberikan alasan atas pilihan mereka serta menuliskan tingkat keyakinan

mereka dalam menjawab pertanyaan. Data yang diperoleh dari siswa

dianalisis dan dikembangkan menjadi item tes three-tier.

3. Tahap Ketiga : uji tes three-tier

Pada tahap ini, butir tes yang dibuat diujicobakan kepada siswa.

5. Materi Alat Optik

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali alat-alat optik yang memanfaatkan

peristiwa pembiasan dan pemantulan cahaya, seperti kaca pembesar, kamera,

mikroskop, teropong, periskop, dan proyektor slide. Alat optik adalah alat yang cara

kerjanya memanfaatkan peristiwa pembiasan dan pemantulan cahaya.

Page 10: Pra Proposal-Miskonsepsi

a. Mata

Mata termasuk alat optik karena di dalamnya terdapat lensa mata yang

digunakan untuk menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita

lihat. Dalam hal ini, mata dapat melihat suatu benda jika ada cahaya dan benda

tersebut dapat memantulkan cahaya. Secara garis besar mata kita terdiri atas lensa

mata, retina, otot, dan saraf. Bagian paling luar adalah lensa mata yang digunakan

untuk membentuk bayangan di retina. Sebagai sebuah lensa, ketebalan mata akan

berpengaruh pada titik fokus. Jika mata melihat benda jauh, mata kita akan

melebar sehingga lensa mata menjadi menipis dan jarak fokusnya menjadi kecil.

Hal ini dimaksudkan supaya bayangan benda tersebut jatuh tepat di retina.

Kemampuan mata untuk melebar atau mengkerut dibantu otot-otot mata,

mengakibatkan lensa mata menjadi menebal atau menipis. Kemampuan lensa

mata untuk menipis atau menebal sesuai dengan jarak benda yang dilihat disebut

daya akomodasi, menyebabkan mata memiliki titik dekat (punctum proximum)

dan titik jauh (punctum remotum). Titik dekat mata adalah titik terdekat yang

dapat dilihat jelas oleh mata dengan berakomodasi maksimum. Titik jauh adalah

titik terjauh yang dapat dilihat jelas oleh mata dengan tanpa berakomodasi.

Gambar 1. Bagian-bagian mata manusia

Sumber: Giancolli, 2001

Kornea adalah bagian luar mata yang berfungsi menerima dan meneruskan

cahaya. Lensa mata terbuat dari bahan bening dan kenyal yang berfungsi untuk

membentuk bayangan benda. Iris merupakan selaput yang membentuk suatu

celah lingkaran, berfungsi memberi warna pada mata. Celah lingkaran yang

dibentuk iris disebut pupil. Retina adalah tempat jatuhnya bayangan yang

dibentuk oleh lensa mata. Lensa mata berupa lensa cembung. Benda yang dilihat

terletak di depan 2F sehingga bayangan yang terbentuk nyata, terbalik, diperkecil

dan berada di antara F dan 2F di belakang lensa.

Page 11: Pra Proposal-Miskonsepsi

Gambar 2. Bayangan yang ditangkap retina

Sumber: Giancolli, 2001

Di dalam retina terdapat saraf mata yang sangat sensitif terhadap cahaya.

Otak akan menerima informasi tentang benda yang kita lihat, informasi ini

dikirimkan oleh retina melalui saraf-saraf mata. Informasi benda-benda yang kita

lihat akan dikirimkan ke otak dan otak akan mengolahnya sehingga kita dapat

melihat benda sesuai dengan sebenarnya, tidak terbalik seperti yang ditangkap

retina. Kemampuan akomodasi mata setiap orang berbeda-beda. Ada orang yang

tidak dapat melihat benda yang jauh atau dekat. Orang yang mengalami gangguan

seperti ini dikatakan orang tersebut memiliki cacat mata. Berikut adalah jenis-

jenis cacat mata pada manusia.

a. Rabun Dekat (Hipermetropi)

Rabun dekat atau hipermetropi terjadi jika mata tidak dapat melihat

benda-benda yang jaraknya dekat. Hal ini dikarenakan fokus lensa mata

mempunyai jarak yang terlalu panjang. Akibatnya bayangan akan jatuh di

belakang retina. Untuk membantu penderita rabun dekat, lensa mata perlu

dibantu dengan kacamata yang memiliki lensa cembung agar bayangan

yang dibentuk oleh lensa mata jatuh tepat pada retina.

Gambar 3. Hipermetropi

Sumber: Giancolli, 2001

Page 12: Pra Proposal-Miskonsepsi

b. Rabun Jauh (Miopi)

Mata yang mengalami rabun jauh (miopi) tidak dapat melihat benda-

benda yang jaraknya jauh. Hal ini disebabkan lensa mata tidak dapat

memipih untuk memperkecil jarak fokusnya. Bayangan yang dibentuk

oleh lensa mata yang mengalami cacat mata rabun jauh akan jatuh berada

di depan retina. Untuk membantu penderita rabun jauh digunakan

kacamata yang mempunyai lensa cekung. Lensa cekung ini akan

membantu lensa mata sehingga bayangan yang tadinya jatuh di depan

retina akan jatuh tepat di retina.

Gambar 4. Miopi

Sumber: Giancolli, 2001

c. Presbiopi

Cacat mata presbiopi ini banyak dialami oleh orang-orang lanjut usia.

Penderita cacat mata ini tidak dapat melihat benda-benda yang jaraknya

jauh atau dekat. Hal ini dikarenakan menurunnya daya akomodasi lensa

mata. Untuk membantu penderita cacat mata ini, digunakan kacamata

yang mempunyai lensa ganda yaitu lensa cembung dan lensa cekung.

Kekuatan lensa merupakan kemampuan lensa untuk memfokuskan sinar-sinar,

makin kuat lensa memfokuskan sinar akan makin besar kekuatan lensanya.

Kekuatan lensa dilambangkan dengan P (power) yang dirumuskan sebagai

berikut:

........ (1)

Keterangan:

= kekuatan lensa (dioptri)

= jarak fokus (meter)

Page 13: Pra Proposal-Miskonsepsi

b. Kamera

Kamera merupakan salah satu alat optik yang besar manfaatnya karena dapat

mengabadikan kejadian-kejadian penting dan bersejarah. Kamera terdiri atas tiga

bagian utama, yaitu lensa, diafragma, dan film. Cara kerja kamera adalah sebagai

berikut. Benda yang akan diambil gambarnya diletakkan di depan kamera.

Cahaya yang berasal dari objek tersebut akan diterima oleh lensa cembung dan

akan dibiaskan sehingga membentuk bayangan nyata di film. Kedudukan lensa

terhadap film dapat diubah-ubah. Hal ini dimaksudkan agar bayangan yang

terbentuk jatuh tepat di atas film. Pada film, terdapat zat kimia yang peka

terhadap cahaya. Cahaya gelap dan cahaya terang masing-masing akan

meninggalkan jejak yang berbeda pada kamera. Dari film, gambar tersebut dapat

dicuci dan dicetak. Bayangan yang dibentuk pada film kamera bersifat nyata,

terbalik, dan diperkecil.

Gambar 5. Bagian-bagian kamera

Sumber: Giancolli, 2001

c. Lup

Lup adalah alat optik yang menggunakan lensa cembung untuk melihat

benda-benda kecil. Agar benda terlihat, maka benda diletakkan di antara titik

pusat (O) dan titik fokus (F) sehingga terbentuk bayangan yang bersifat maya,

tegak, dan diperbesar. Saat bayangan terbentuk di titik dekat mata, maka mata

berakomodasi maksimum. Perbesaran bayangan pada lup ketika mata

berakomodasi maksimum dirumuskan sebagai berikut:

......... (2)

Page 14: Pra Proposal-Miskonsepsi

Jika ingin mengamati benda dengan lup tanpa berakomodasi, maka benda

diletakkan tepat di titik fokus lensa sehingga yang masuk ke mata berupa sinar

sejajar. Ini dikatakan mengamati dengan mata tidak berakomodasi.

Perbesaran bayangan pada lup ketika mata tidak berakomodasi dirumuskan

sebagai berikut:

............ (3)

dengan merupakan perbesaran bayangan, merupakan titik dekat mata dan

adalah jarak fokus lup.

d. Mikroskop

Para peneliti biasanya menggunakan mikroskop untuk melihat benda-benda

kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikroskop terdiri atas dua

buah lensa cembung yang berfungsi untuk memperbesar bayangan benda. Lensa

ini dinamakan lensa objektif dan lensa okuler. Lensa objektif adalah lensa yang

diletakkan dekat dengan objek yang akan diamati, sedangkan lensa okuler adalah

lensa yang diletakkan dekat mata. Jarak fokus lensa objektif lebih kecil dari jarak

fokus lensa okuler ( < ). Benda yang diamati diletakkan di depan lensa

objektif di antara dan 2 .

Gambar 6. Bagian-bagian mikroskop

Sumber: Nurachmandani, 2009

Bayangan yang dibentuk oleh lensa objektif bersifat nyata, terbalik dan

diperbesar. Bayangan yang dibentuk oleh lensa objektif akan menjadi benda bagi

lensa okuler. Bila diamati dengan mata berakomodasi, maka benda (bayangan

dari lensa objektif) diletakkan di antara titik pusat lensa okuler ( ) dan titik

fokus okuler ( ). Sedangkan jika diamati dengan mata tanpa berakomodasi,

Page 15: Pra Proposal-Miskonsepsi

maka benda (bayangan dari lensa objektif) diletakkan di titik fokus lensa okuler

( ). Bayangan yang dibentuk oleh lensa okuler bersifat maya, tegak, dan

diperbesar. Bayangan akhir yang dibentuk adalah maya, terbalik dan diperbesar.

Bayangan ini dapat dilihat mata pengamat. Bayangan ini telah mengalami

perbesaran beberapa kali lipat sehingga benda yang sangat kecil akan tampak

besar.

Perbesaran bayangan pada mikroskop ketika mata berakomodasi maksimum

dirumuskan sebagai berikut:

(

) (

) ............... (4)

Agar mata berakomodasi maksimum, jarak lensa objektif dan lensa okuler

dirumuskan:

(

) .................(5)

Apabila mata tidak berakomodasi, perbesaran bayangannya adalah sebagai

berikut:

(

) (

) ............... (6)

Agar mata tidak berakomodasi, jarak lensa objektif dan lensa okuler dirumuskan:

............... (7)

e. Teleskop (Teropong)

Teropong merupakan alat optik yang digunakan sebagai alat untuk melihat

benda yang letaknya jauh. Teropong dibedakan menjadi dua yaitu teropong bias

(tersusun atas beberapa lensa) dan teropong pantul (tersusun atas beberapa cermin

dan lensa). Teropong bias antara lain teropong bintang (astronomi), teropong

bumi, dan teropong panggung (teropong Galileo).

Teropong ini terdiri atas dua buah lensa cembung yaitu lensa objektif dan

lensa okuler. Lensa objektif digunakan untuk menangkap cahaya dari benda-

benda yang jauh. Karena jaraknya jauh, benda dapat dianggap diletakkan di luar

2F. Dengan demikian bayangan yang dibentuknya adalah nyata, terbalik, dan

diperkecil. Bayangan dari lensa objektif ini menjadi benda bagi lensa okuler.

Oleh lensa okuler, bayangan ini dibiaskan lagi sehingga membentuk bayangan

yang maya, tegak, dan diperbesar dan dapat dilihat dengan mata.Bayangan yang

dihasilkan teropong bintang adalah terbalik.

Page 16: Pra Proposal-Miskonsepsi

f. Periskop

Periskop adalah teropong pada kapal selam yang digunakan untuk

mengamati benda-benda di permukaan laut. Periskop terdiri atas 2 lensa cembug

dan 2 prisma siku-siku sama kaki.

Gambar 7. Jalannya sinar pada periskop

Sumber: Nurachmandani, 2009

Jalannya sinar pada periskop adalah sebagai berikut:

1. Sinar sejajar dari benda yang jauh menuju ke lensa objektif.

2. Prisma 1 memantulkan sinar dari lensa objektif menuju ke prisma 2.

3. Oleh prisma 2, sinar tersebut dipantulkan lagi dan bersilangan di depan

lensa okuler tepat di titik fokus lensa okuler.

g. Proyektor slide

Proyektor slide adalah alat yang digunakan untuk memproyeksikan gambar

diapositif, sehingga diperoleh bayangan nyata dan diperbesar pada layar. Bagian-

bagian yang penting pada proyektor slide antara lain adalah lampu kecil yang

memancarkan sinar kuat melalui pusat kaca, cermin cekung yang berfungsi

sebagai reflektor cahaya, lensa cembung untuk membentuk bayangan pada layar,

dan slide atau gambar diapositif.

G. Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan hasil penelitian terdahulu yang

berhubungan dengan penelitian ini mengenai tes miskonsepsi dan instrumen-instrumen

yang telah dikembangkan:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Budiningsih dengan judul “Pengembangan

Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi Listrik

Dinamis Siswa Kelas X SMA”. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan

kuantitatif yang diperoleh melalui studi pendahuluan, pengembangan produk, dan

uji coba produk. Hasil pengembangan pada penelitian ini berupa soal diagnostik

three-tier untuk konsep listrik dinamis. Hasil analisis uji coba kepada ahli

Page 17: Pra Proposal-Miskonsepsi

diperoleh validitas isi instrumen sebesar 90%, sehingga instrumen memenuhi

kriteria valid. Berdasarkan analisis butir soal diperoleh 28 butir soal valid dengan

nilai reliabilitas sangat tinggi. Hasil analisis deskriptif dari penerapan instrumen

diagnostik three-tier yang dilakukan pada 33 siswa kelas X-7 SMAN 1 Turen

sebesar 27,7% siswa mengalami miskonsepsi listrik dinamis dan 23,1% siswa

tidak tahu konsep listrik dinamis.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Riana Dewi Astari dengan judul “Pengembangan

Three-Tier Test sebagai Instrumen dalam Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep

Atom, Ion, dan Molekul”. Penelitian pengembangan ini menggunakan model

prosedural yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan penilaian produk. Pengembangan three-tier test mendapat

masukan dari ahli evaluasi, ahli materi, dan peer reviewer. Produk akhir penelitian

ini berupa three-tier test, dimana setiap butir soal pada three-tier terdiri dari tiga

rangkaian soal bertingkat, yaitu soal pilihan ganda biasa, pilihan alasan, dan

penegasan apakah peserta didik yakin atau tidak akan jawaban yang diberikan

pada tingkat sebelumnya. Three-tier test yang telah dikembangkan mempunyai

kualitas Baik (B) menurut penilaian 5 guru IPA SMP/MTs dengan skor 61,4 dari

skor maksimal 75.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Yuyu R. Tayubi, dengan judul “Identifikasi

Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan Certainty of Response

Index (CRI)” dilakukan pada tahun 2005. Dalam penelitian tersebut digunakan

instrumen penelitian berupa tes konseptual dengan bentuk pilihan ganda sebanyak

5 opsi pilihan. Metode yang digunakan adalah dengan meminta setiap siswa untuk

menjawab setiap soal yang diberikan dan mereka juga diminta untuk

membubuhkan nilai CRI untuk setiap jawaban yang dipilihnya pada setiap soal

yang diberikan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode ini cukup

ampuh digunakan untuk membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi

dan yang tidak tahu konsep. Selain itu penggunaannya pada proses belajar

mengajar sangat dimungkinkan karena proses pengidentifikasian dan

penganalisisan, hasilnya tidak memakan waktu yang lama.

Page 18: Pra Proposal-Miskonsepsi

H. Kerangka Berpikir

Latar Belakang:

Miskonsepsi siswa dalam memahami suatu konsep dalam fisika perlu dianalisis untuk

mengetahui penyebabnya, sehingga dapat ditentukan pemecahannya. Hal ini dapat

dilakukan dengan penilaian menggunakan instrumen yang sudah diuji kelayakannya.

Harapan:

- Guru harus memiliki kemampuan

mengidentifikasi miskonsepsi secara

tepat.

- Instrumen diagnostik trhee-tier

digunakan untuk mengidentifikasi

miskonsepsi yang dialami siswa.

Fakta:

- Guru sering menemukan siswa yang

mengalami miskonsepsi.

- Hingga saat ini masih terdapat

kesulitan dalam membedakan antara

siswa-siswa yang miskonsepsi dan

yang tidak tahu konsep.

Masalah:

- Bagaimana mengembangkan instrumen diagnostik three-tier untuk mengidentifikasi

miskonsepsi pada materi Alat Optik?

- Bagaimana kelayakan instrumen diagnostik three-tier pada materi Alat Optik yang

telah dikembangkan?

Penelitian yang Relevan:

Penelitian yang dilakukan oleh Sri

Budiningsih dengan judul

“Pengembangan Instrumen Diagnostik

Three-Tier untuk Mengidentifikasi

Miskonsepsi Listrik Dinamis Siswa

Kelas X SMA”.

Penelitian yang dilakukan oleh Riana

Dewi Astari dengan judul

“Pengembangan Three-Tier Test

sebagai Instrumen dalam Identifikasi

Miskonsepsi pada Konsep Atom, Ion,

dan Molekul”.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuyu R.

Tayubi, dengan judul “Identifikasi

Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep

Fisika Menggunakan Certainty of

Response Index (CRI)”

Teori:

Tes diagnostik adalah tes yang

digunakan untuk mengetahui kelemahan-

kelemahan siswa, sehingga berdasarkan

kelemahan-kelemahan tersebut dapat

dilakukan pemberian pemberlakuan yan

tepat. Instrumen diagnostik three tier

berupa pilihan ganda tiga tingkat dengan

tier pertama merupakan soal pilihan

ganda biasa, tier kedua merupakan alasan

dari pilihan jawaban, dan tier ketiga

merupakan derajat keyakinan untuk

meyakinkan respon siswa, sehingga

peneliti memperoleh informasi lebih

banyak tentang miskonsepsi siswa dan

dapat membedakan dengan siswa yang

kurang memahami konsep atau tidak

tahu konsep.

Usulan:

Pengembangan Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk Mengidentifikasi Miskonsepsi

pada Materi Alat Optik Siswa Kelas X SMA

Page 19: Pra Proposal-Miskonsepsi

I. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian pengembangan, yaitu untuk mengembangkan

tes diagnostik (diagnostic test) dengan three-tier multiple choice pada materi Alat Optik

untuk siswa SMA kelas X. Penelitian pengembangan soal ini menggunakan metode

penelitian Research and Development (R&D).

J. Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek dengan subyek penelitian yaitu

siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 4 SMA Negeri 1 Trenggalek dan 10 siswa kelas X

yang belum tuntas pada materi Alat Optik sebagai sampel uji coba terbatas.

K. Waktu Penelitian

Tahap pengembangan soal dilakukan di Universitas Negeri Surabaya pada bulan Mei

2016 – April 2016. Tahap uji coba soal dilakukan di SMA Negeri 1 Trenggalek semester

genap tahun ajaran 2015/2016 pada bulan April 2016.

L. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian pengembangan tes diagnostik dalam penelitian ini:

Gambar 8. : Alur Kerja Penelitian Pengembangan Tes Diagnostik, Hasil

Modifikasi dari Metode Research and Development (R&D) (Sugiyono, 2010)

Page 20: Pra Proposal-Miskonsepsi

Keterangan:

: Garis pelaksanaan

: Jenis kegiatan

: Hasil kegiatan

1. Potensi dan Masalah

Pada tahap ini dideskripsikan potensi-potensi yang dimiliki siswa kemudian

masalah yang dialami dan yang akan dicari solusinya. Beberapa langkah pokok dalam

tahap ini:

a. Analisis Awal

Analisis awal dilakukan untuk menetapkan arah dasar yang dibutuhkan

dalam pengembangan tes diagnostik. Dilakukan analisis terhadap siswa untuk

mengawali tahap ini, yang akan dijadikan obyek penelitian adalah siswa SMA

kelas X, karena pada tahap ini siswa sudah dapat berpikir secara abstrak,

menalar secara logis, kemampuan berpikir dapat berkembang sedemikian rupa

sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif

pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya, menarik

kesimpulan dari informasi yang tersedia tapi tidak lagi menerima informasi apa

adanya, mereka akan memproses informasi tersebut dengan eksperimen atau

dengan cara lainnya.

b. Analisis Konsep

Analisis konsep merupakan identifikasi konsep-konsep utama yang akan

diajarkan dan menyusunnya secara sistematis serta mengaitkan satu konsep

dengan konsep lain yang relevan, sehingga membentuk suatu peta konsep.

Gambar berikut menyajikan peta konsep pada materi Alat Optik:

Gambar 9. : Peta konsep “Alat Optik”

Page 21: Pra Proposal-Miskonsepsi

2. Pengumpulan Data Awal

Pada tahap ini akan dilakukan wawancara dengan guru fisika di SMA Negeri 1

Trenggalek mengenai miskonsepsi yang sering dialami siswa pada materi Alat Optik.

3. Desain Produk

Tahap ini terdiri atas penyusunan soal dan penyusunan kriteria penilaian.

a. Tahap Penyusunan Soal

Tahap penyusunan soal antara lain meliputi menentukan bentuk dan

jumlah soal, menyusun kisi-kisi soal dan menyusun butir-butir soal.

b. Menentukan Bentuk dan Jumlah Soal

Bentuk soal yang akan diujicobakan yaitu three-tier multiple choice,

yakni suatu bentuk soal yang terdiri dari tiga bagian, bagian pertama

merupakan soal pilihan ganda biasa, bagian kedua merupakan alasan dari

pilihan jawaban, dan bagian ketiga merupakan derajat keyakinan untuk

meyakinkan respon siswa. Adapun jumlah soal yang dikembangkan dalam

penelitian ini berjumlah 25 soal.

c. Menyusun Kisi-Kisi Soal

Dalam instrumen ini kisi-kisi soal memuat:

1) Kompetensi dasar

2) Materi

3) Indikator soal

4) Nomor soal

d. Menyusun Butir-Butir Soal

Berdasarkan kisi-kisi soal yang telah dirancang akan disusun butir soal.

Butir soal yang akan disusun akan memiliki fungsi diagnostik, sehingga

jawaban yang diberikan oleh siswa dapat dijadikan informasi yang kemudian

akan dianalisis untuk mengetahui letak miskonsepsi siswa.

Dalam proses penyusunan soal, mengikuti tahap pengembangan soal

three-tier multiple choice meliputi:

1) Tahap wawancara, kegiatan wawancara dilakukan pada mahasiswa

jurusan fisika, FMIPA UNESA dengan pertanyaan terbuka, dengan

tujuan untuk mengumpulkan untuk pilihan pada item pilihan ganda.

2) Tahap tes kertas dan pensil, soal terdiri dari opsi jawaban dan alasan

terbuka diujikan kepada mahasiswa FMIPA UNESA. Mahasiswa

diminta untuk memilih jawaban yang paling tepat untuk setiap

Page 22: Pra Proposal-Miskonsepsi

pertanyaan dan kemudian memberikan penjelasan (alasan) atas pilihan

mereka. Data yang diperoleh dari mahasiswa ini dianalisis dan

dikembangkan menjadi item tes three-tier.

3) Uji tes two-tier, pada tahap ini tes diujicobakan kepada siswa SMAN 1

Trenggalek.

e. Penyusunan Kriteria Penilaian

Tes diagnostik yang dikembangkan adalah three-tier multiple choice

yang memiliki jawaban dengan tiga tingkat jawaban. Kondisi false positive

adalah siswa menjawab benar pada tier pertama dan salah pada tier kedua.

Siswa pada kondisi false positive mengindikasikan terjadi miskonsepsi.

Miskonsepsi juga terjadi pada siswa yang menjawab salah pada tier pertama

dan kedua namun yakin pada tier ketiga. Siswa pada kondisi false negeative,

yaitu menjawab salah pada tier pertama dan menjawab benar pada tier kedua

merupakan siswa yang tidak tahu konsep. Siswa tidak tahu konsep juga

ditunjukkan oleh respon tidak yakin pada tier ketiga (Pesman, 2010: 215).

4. Validasi Produk

Untuk menghasilkan soal diagnostik yang layak, maka harus dilakukan validasi

terhadap perangkat yang dibuat, kemudian dilakukan revisi berdasarkan saran dan

masukan dari para validator.

5. Revisi Desain

Setelah soal diagnostik yang telah dikembangkan divalidasi oleh validator maka

akan diketahui letak kesalahan dan kekurangannya. Kekurangan tersebut selanjutnya

diperbaiki atau direvisi sesuai saran yang diberikan hingga didapatkan draft final yang

siap untuk diujikan.

6. Uji Coba I dan Analisis Uji Reliabilitas

Pada tahap ini dilakukan uji coba data yang dilakukan terhadap siswa kelas XI

IPA 1 dan XI IPA 4 SMAN 1 Trenggalek yang telah mempelajari materi Alat Optik.

Selanjutnya, hasil dari uji coba I akan ditentukan reliabilitas soalnya.

7. Uji Coba Produk II

Uji coba II diterapkan pada siswa yang belum mencapai ketuntasan dalam

materi Alat Optik.

Page 23: Pra Proposal-Miskonsepsi

8. Analisis

Data yang telah terkumpul dianalisis, kemudian dari hasil analisis tersebut

dapat diidentifikasi letak miskonsepsi siswa, sehingga soal-soal dalam penelitian ini

dapat berfungsi maksimal sebagai tes diagnostik.

M. Instrumen Penelitian

1. Lembar Validasi

Tim ahli melakukan validasi terhadap perangkat yang telah disusun oleh peneliti,

tim ahli terdiri dari dosen fisika dan guru mata pelajaran fisika.

2. Perangkat Tes Diagnostik

Perangkat tes diagnotik yang dikembangkan kisi-kisi soal dan butir soal. Kisi-kisi

soal dan butir soal disusun berdasarkan kompetensi dasar, diujicobakan kepada siswa

yang telah mempelajari materi Alat Optik. Hasil tes siswa selanjutnya dapat

digunakan untuk menentukan siswa mana yang membutuhkan penanganan lebih atau

sedang kemudian ditentukan solusinya. Hasilnya kemudian dianalisis secara kualitatif.

N. Teknik Analisis Data

a. Uji Validasi Ahli

Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dari ahli atau validator adalah

dengan menggunakan angket penilaian. Kriteria penilaian angket kepada validator

untuk mengetahui validitas isi instrumen dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Angket untuk Validator

Kriteria Keterangan Penilaian Saran

Skor 0 Butir soal tidak sesuai dengan indikator, bahasa yang

digunakan sulit dipahami

Skor 1 Butir soal sesuai dengan indikator, bahasa yang digunakan

sulit dipahami atau apabila soal tidak sesuai dengan

indikator, bahasa yang digunakan mudah dipahami

Skor 2 Butir soal sesuai dengan indikator, bahasa yang digunakan

mudah dipahami

Page 24: Pra Proposal-Miskonsepsi

Para validator diminta memberikan penilaian dengan memberi tanda centang pada

tempat yang sudah tersedia dan mengisi kolom saran untuk perbaikan penulisan butir

soal. Adapun rumus yang digunakan untuk analisis data adalah:

Hasil nilai dalam skala presentase menyatakan instrumen tersebut valid atau perlu

revisi ulang. Kriteria kevalidan instrumen tes dibagi menjadi empat kriteri seperti

pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Kevalidan Data Angket Penilaian Validator

Skala nilai (%) Keterangan

85,94-100 Valid (tidak revisi)

67,18-85,93 Cukup valid (tidak revisi)

48,44-67,17 Kurang valid (revisi)

25,00-48,43 Tidak valid (revisi)

(Data diolah dari Ismail, 2007:30)

b. Uji Validitas, Reliabilitas, Daya Beda, dan Tingkat Kesukaran

Dalam konteks alar ukur atau instrumen assesmen, validitas berarti sejauh mana

kecermatan atau ketepatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sebuah

instrumen yang valid akan menghasilkan data yang tepat seperti yang diinginkan.

Dalam pengujian validitas, digunakan rumus korelasi Product Moment sebagai

berikut:

rxy = ( ) ( )( )

√*( ( ) ( ) )( ( ) ( ) )+ ............ (8)

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi product moment suatu butir/item

N = jumlah subjek

x = skor suatu butir/item yang dijawab benar oleh siswa

y = jumlah/skor total yang dijawab oleh masing-masing siswa

Page 25: Pra Proposal-Miskonsepsi

Tabel 3. Interpretasi Validitas

Validitas Interpretasi Validitas

rxy ≤ 0,00 Tidak Valid

0,00 ˂ rxy ≤ 0,20 Validitas Sangat Rendah

0,20 ˂ rxy ≤ 0,40 Validitas Rendah

0,40 ˂ rxy ≤ 0,60 Validitas Sedang

0,60 ˂ rxy ≤ 0,80 Validitas Tinggi

0,80 ˂ rxy ≤ 1,00 Validitas Sangat Tinggi

(Sumber: Arikunto, 2009:78)

Reliabilitas diterjemahkan dari kata reliability yang berarti hal yang dapat

dipercaya (tahan uji). Sebuah tes dikatakan mempunyai reliabilitas yang tinggi jika tes

tersebut memberikan data yang ajeg (tetap) walaupun diberikan pada waktu yang

berbeda kepada responden yang sama. Salah satu teknik perhitungan reliabilitas

adalah formula Spearman-Brown, formula ini hanya dapat diterapkan pada soal yang

mempunyai jumlah butir genap. Formulanya adalah sebagai berikut:

r11 =

( ) ...................... (9)

Keterangan:

r11 = koefisien reliabilitas

rxy = koefisien korelasi product moment suatu butir/item

1, 2 = bilangan konstan

Tabel 4. Rentang Indeks Reliabilitas

Indeks Interpretasi

0,80 ≤ r11 ≤ 1,00 Sangat reliabel

0,60 ≤ r11 ˂ 0,80 Reliabel

0,40 ≤ r11 ˂ 0,60 Cukup reliabel

0,20 ≤ r11˂ 0,40 Agak reliabel

r11 < 0,20 Kurang reliabel

(Sumber: Arikunto, 2009:100)

Page 26: Pra Proposal-Miskonsepsi

Daya beda atau discriminating power suatu soal adalah seberapa jauh soal tersebut

dapat membedakan antara yang mampu dengan yang tidak mampu (menyerap materi

pelajaran). Jadi, suatu butir soal dikatakan memiliki daya pembeda bila soal tersebut

mampu membedakan keadaan yang diukur, apabila memang keadaannya berbeda.

Formulasi untuk mengetahui daya beda suatu butir soal adalah sebagai berikut:

D =

................... (11)

Keterangan:

ƩA = banyaknya kelompok atas yang menjawab soal dengan benar

ƩB = banyaknya kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar

n = banyaknya peserta kelompok atas/bawah

Tabel 5. Interpretasi Daya Beda

(Sumber: Arikunto, 2009:210)

Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk soal dijawab benar pada tingkat

kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks. Semakin tinggi

tingkat kesukaran, berarti soal tersebut semakin mudah. Sebaliknya, semakin rendah

tingkat kesukaran, soal semakin sulit. Indeks tingkat kesukaran (P) dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

P =

.................. (12)

Keterangan:

ƩX = jumlah peserta tes yang menjawab benar

N = jumlah peserta tes

Daya Beda (D) Interprestasi atau Penafsiran Daya Beda

D ≥ 0,40 Bagus sekali

0,30 ≤ D < 0,40 Cukup bagus, tetapi perlu peningkatan

0,20 ≤ D < 0,30 Belum memuaskan, perlu perbaikan

D < 0,20 Jelek dan harus dibuang

Page 27: Pra Proposal-Miskonsepsi

Tabel 6. Interpretasi Tingkat Kesukaran

Tingkat Kesukaran (TK) Interprestasi atau Penafsiran TK

P < 0,30 Sukar

0,30 ≤ P ≤ 0,70 Sedang

P > 0,70 Mudah

(Sumber: Arikunto, 2009:218)

c. Certanty of Response Index (CRI)

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan Certanty of

Response Index (CRI). CRI ini merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat

kepastian siswa dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Skala CRI yang

dikemukakan oleh Saleem Hasan (1999) dalam Tayubi (2005) memiliki rentang dari

0–5 dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 7. Skala CRI Beserta Kriterianya

Skala CRI Kriteria

0 Totally guess answer

1 Almost guess

2 Not sure

3 Sure

4 Almost Certan

5 Certain

Penggunaan CRI seperti yang dikemukakan oleh Tayubi (2005) menyatakan bahwa

untuk membedakan antara yang tidak tahu konsep, mengalami miskonsepsi, dan tahu

konsep secara kelompok dinyatakan oleh tabel berikut.

Tabel 8. Ketentuan untuk Membedakan antara Tahu Konsep, Miskonsepsi dan Tidak

Tahu Konsep untuk Responden secara Kelompok

Kriteria

jawaban CRI rendah (< 2,5) CRI tinggi (>2,5)

Jawaban benar

Jawaban benar tapi CRI rendah

berarti tidak tahu konsep (lucky

guess)

Jawaban benar dan rata-rata

CRI tinggi berarti menguasai

konsep dengan baik

Jawaban salah Jawaban salah dan CRI rendah

berarti tidak tahu konsep

Jawaban salah tetapi rata-rata

CRI tinggi berarti terjadi

miskonsepsi

Sumber: Tayubi (2005:4)

Page 28: Pra Proposal-Miskonsepsi

Pengelompokkan siswa berdasarkan kriteria jawaban tersebut ditentukan dengan

rumus berikut ini.

dan …. (13)

Sumber: Tayubi (2005:4)

Sedangkan fraksi untuk jawaban benar dan salah dinyatakan oleh persamaan berikut.

dan …. (14)

Sumber: Tayubi (2005:4)

= Kelompok siswa yang menjawab benar pada suatu soal

= Kelompok siswa yang menjawab salah pada suatu soal

∑ = Jumlah CRI tiap siswa yang menjawab benar pada suatu soal

∑ = Jumlah CRI tiap siswa yang menjawab benar pada suatu soal

∑ = Jumlah siswa yang menjawab benar

∑ = Jumlah siswa yang menjawab salah

∑ = jumlah siswa dalam suatu kelompok

d. Analisis Miskonsepsi

Dari uji coba II diperoleh data kemungkinan pola jawaban siswa yang dapat

dikategorikan dalam beberapa tingkat pemahaman seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 9. Kemungkinan Pola Jawaban Siswa dan Kategorinya

No. Pola Jawaban Siswa Kategori Tingkat Pemahaman

1. Jawaban inti tes benar-alasan benar-yakin Tahu konsep

2. Jawaban inti tes benar-alasan benar-tidak yakin Tidak tahu konsep

3. Jawaban inti tes benar-alasan salah-yakin Miskonsepsi

4. Jawaban inti tes benar-alasan salah-tidak yakin Tidak tahu konsep

5. Jawaban inti tes salah-alasan benar-yakin Miskonsepsi

6. Jawaban inti tes salah-alasan benar-tidak yakin Tidak tahu konsep

7. Jawaban inti tes salah-alasan salah-yakin Miskonsepsi

8. Jawaban inti tes salah-alasan salah-tidak yakin Tidak tahu konsep

∑ ∑

∑ ∑

Page 29: Pra Proposal-Miskonsepsi

O. Daftar Pustaka

Arikunto, S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi

Aksara

Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta : Bumi Aksara

Astari, Riana Dewi. Pengembangan Three-Tier Test sebagai Instrumen dalam

Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep Atom, Ion, dan Molekul. (online),

(http://digilib.uin-suka.ac.id/8186/1/BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf, diunduh

pada 04/01/2015)

Budiningsih, Sri. Pengembangan Instrumen Diagnostik Three-Tier untuk

Mengidentifikasi Miskonsepsi Listrik Dinamis Siswa Kelas X SMA. (online),

(http://fisika.um.ac.id/download/doc-artikelaningbd.html, diunduh pada 04/01/2015)

Depdiknas. 2007. Tes Diagnostik- Pedoman Pengembangan Tes Diagnostik Mata

Pelajaran IPA SMP/MTs

Giancolli, Douglas C. 2001. Fisika Edisi Kedua. Jakarta:Erlangga

Ismail, T. 2007. Pengembangan Modul Ekosistem Untuk Pembelajaran Sains di SMP

kelas VII dengan Model Pembelajaran Siklus Belajar yang Berorientasi

Konstruktivis. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang

Nurachmandani, Setya.2009. Fisika I untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta : Pusat Perbukuan,

Departemen Pendidikan Nasional

Pesman, Haki and Eryilmaz, Ali. 2010. Development of a Three-Tier Test to Assess

Misconceptions About Simple Electric Circuits. The Journal Of Educational Research.

103: 208-222

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung : Alfabeta

Suparno, Paul. 2013. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.

Jakarta: PT.Grasindo

Tayubi, Yuyu Rachmat. 2005. Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep – konsep Fisika

Menggunakan Certainty of Response Index (CRI), No.3

Usodo, Budi. 2001. Pengembangan Tes Diagnostik dan Pengajaran Remediasi pada

Materi Pokok Pecahan Siswa Kelas V SD. Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya:

Pascasarjana unesa