Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh faktor biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor yang berasal dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi (Mansjoer, !!!". #enyakit #aru $bstruksi %ronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau em&sema. $bstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. 'ronkitis kronis ditandai dengan batuk batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang kurangnya ) bulan berturut turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama tahun. *m&sema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, !!!". +ata dari $rganisasi %esehatan +unia ( -$" menyebutkan, pada tahun ! ! diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. #revalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis pada tahun ! ! sebanyak /! 0! 1 (%asanah, ! ". +ata yang diperoleh di 2ekam Medis 2umah Sakit Margono #urwokerto pada bulan 3anuari sampai Maret ! 4 didapatkan data sebanyak )! 1 pasien menderita penyakit paru obstruksi kronis (2S Margono Soekardjo, ! 4".
62

PPOK Lengkap

Oct 07, 2015

Download

Documents

rimayunike

PPOK
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IPENDAHULUAN

A.Latar BelakangTerwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Status kesehatan dipengruhi oleh faktor biologik, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologik merupakan faktor yang berasal dari dalam individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi (Mansjoer, 2000).Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).Data yang diperoleh di Rekam Medis Rumah Sakit Margono Purwokerto pada bulan Januari sampai Maret 2014 didapatkan data sebanyak 30 % pasien menderita penyakit paru obstruksi kronis (RS Margono Soekardjo, 2014).

Maka dari itu,penulistertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan keperawatan yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami perkembangan yangprogresifdan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).

B.Rumusan MasalahRumusan masalah pada laporan kasus ini adalah BagaimanaAsuhan Keperawatan Pada Tn. B Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang Asoka RS Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto.

C.Tujuan1.Tujuan UmumUntuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.2.Tujuan Khususa.Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.b.Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.c.Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.d.Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.e.Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.f.Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

D.Manfaat1.Rumah SakitLaporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan peningkatan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK2.Institusi PendidikanLaporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat memberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK.3.Profesi PerawatLaporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk mengadakan penyuluhantentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.

BAB IIKONSEP DASAR

A.DefinisiPenyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).

B.EtiologiFaktor faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :1.Kebiasaan merokok.2.Polusi udara.3.Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.4.Riwayat infeksi saluran nafas.5.Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah :1.Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.2.Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.3.Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.4.Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.

C.Manifestasi klinisManifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :1.Batuk.2.Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.3.Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

D.Patofisiologi / pathwayPatofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah :Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.

Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasiperfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolismemenjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.

Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.E.Pemeriksaan penunjangPemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) antara lain :1.Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).2.Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.3.Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.4.Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.5.Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.6.Forced Expiratory Volume(FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.7.Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2menurun, dan PaCO2normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).8.Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.9.Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).10.Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.11.Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.12.Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).13.Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.

F.KomplikasiKomplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.1.Acute Respiratory Failure (ARF).Acute Respiratory Failure (ARF)terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.

2.Cor Pulmonale.Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan olehoverloadingakibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.3.Pneumothoraks.Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paruFungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.4.Giant Bullae.Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.

G.PenatalaksanaanMedisPenatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah :1.Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.2.Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :a.Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.b.Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.c.Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikanpeak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.d.Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.e.Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.f.Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.3.Terapi jangka panjang dilakukan dengan :a.Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.b.Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.c.Fisioterapi.d.Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.e.Mukolitik dan ekspektoran.f.Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2