97 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2020.01301.6 PERANAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENJAGA TEGAKNYA CITA HUKUM (RECHTS IDEE) PANCASILA DALAM BERNEGARA Fais Yonas Bo’a Alumni Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta Email: [email protected]Submited: 02 April 2018, Reviewed: 02 April 2018, Accepted: 04 April 2020 Abstract Aside from being a guardian of the constitution, the Constitutional Court also serves as a guardian of Pancasila by upholding Pancasila as a legal ideal (rechtsidee). The enforcement of such ideals is a progressive step of the Constitutional Court in the midst of erosion of the easiness and relevance of the ideals of Pancasila. The pursuit of Pancasila’s legal ideals is characterized by two things: fi rst, the widespread judicial review of the law due to the poor quality of the law which is certainly a refl ection of the understanding of lawmakers about the ideals of Pancasila as a guideline as well as the purpose of punishment. Second, the fragile identity of the national legal system due to the pluralism of the legal system so that there are many legal identities. As a result, Pancasila as the national legal identity is increasingly marginalized. However, through the Constitutional Court’s decision to make Pancasila a “test stone”, the existence of the ideals of Pancasila is always upheld. Thus, the Constitutional Court’s decision attaches Pancasila as the ideals of national law. On the other hand, the decision of the Constitutional Court also becomes a refl ection for lawmakers in the future to pay more attention to the quality that is guided by the ideals of Pancasila. In addition, for the national legal system to be more complete so that Pancasila as the identity of the national legal system is not marginalized. Key words:The role of the constitutional court, the ideals of the Pancasila law, the ideals of the law of the state Abstrak Selain sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berperan sebagai pengawal cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Penegakkan cita hukum tersebut sebagai langkah progresif MK di tengah tergerusnya ekisistensi dan relevansi cita hukum Pancasila. Tergerusnya cita hukum Pancasila ditandai oleh dua hal yaitu: pertama, semakin maraknya judicial review undang- undang yang disebabkan oleh rendahnya kualitas undang-undang yang tentu menjadi cerminan rendahnya pemahaman para pembuat undang-undang tentang cita hukum Pancasila sebagai pedoman sekaligus tujuan dalam berhukum. Kedua, rapuhnya identitas sistem hukum nasional yang disebabkan oleh adanya pluralisme sistem hukum sehingga terdapat banyak identitas hukum. Akibatnya, Pancasila sebagai identitas hukum nasional semakin termarginalkan. Namun, melalui putusan MK yang senantiasa menjadikan Pancasila sebagai “batu uji”, cita hukum Pancasila ditegakkan. Dengan demikian, putusan MK merekatkan Pancasila sebagai cita hukum nasional. Pada sisi lain, putusan MK juga menjadi tuntutan bagi pembuat UU agar ke depan lebih memperhatikan kualitas yang berpedoman pada cita hukum Pancasila. Terutama pula, agar sistem hukum nasional lebih utuh sehingga Pancasila sebagai identitas sistem hukum nasional tidak termarginalkan. Kata kunci: Peranan Mahkamah Konstitusi, cita hukum Pancasila, cita hukum bernegara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
PERANAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENJAGA TEGAKNYA CITA HUKUM
(RECHTS IDEE) PANCASILA DALAM BERNEGARA
Fais Yonas Bo’a
Alumni Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta Email: [email protected]
Submited: 02 April 2018, Reviewed: 02 April 2018 , Accepted: 04 April 2020
Abstract
Aside from being a guardian of the constitution, the Constitutional Court also serves as a guardian of Pancasila by upholding Pancasila as a legal ideal (rechtsidee). The enforcement of such ideals is a progressive step of the Constitutional Court in the midst of erosion of the easiness and relevance of the ideals of Pancasila. The pursuit of Pancasila’s legal ideals is characterized by two things: fi rst, the widespread judicial review of the law due to the poor quality of the law which is certainly a refl ection of the understanding of lawmakers about the ideals of Pancasila as a guideline as well as the purpose of punishment. Second, the fragile identity of the national legal system due to the pluralism of the legal system so that there are many legal identities. As a result, Pancasila as the national legal identity is increasingly marginalized. However, through the Constitutional Court’s decision to make Pancasila a “test stone”, the existence of the ideals of Pancasila is always upheld. Thus, the Constitutional Court’s decision attaches Pancasila as the ideals of national law. On the other hand, the decision of the Constitutional Court also becomes a refl ection for lawmakers in the future to pay more attention to the quality that is guided by the ideals of Pancasila. In addition, for the national legal system to be more complete so that Pancasila as the identity of the national legal system is not marginalized.Key words:The role of the constitutional court, the ideals of the Pancasila law, the ideals of the law of the state
Abstrak
Selain sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berperan sebagai pengawal cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Penegakkan cita hukum tersebut sebagai langkah progresif MK di tengah tergerusnya ekisistensi dan relevansi cita hukum Pancasila. Tergerusnya cita hukum Pancasila ditandai oleh dua hal yaitu: pertama, semakin maraknya judicial review undang-undang yang disebabkan oleh rendahnya kualitas undang-undang yang tentu menjadi cerminan rendahnya pemahaman para pembuat undang-undang tentang cita hukum Pancasila sebagai pedoman sekaligus tujuan dalam berhukum. Kedua, rapuhnya identitas sistem hukum nasional yang disebabkan oleh adanya pluralisme sistem hukum sehingga terdapat banyak identitas hukum. Akibatnya, Pancasila sebagai identitas hukum nasional semakin termarginalkan. Namun, melalui putusan MK yang senantiasa menjadikan Pancasila sebagai “batu uji”, cita hukum Pancasila ditegakkan. Dengan demikian, putusan MK merekatkan Pancasila sebagai cita hukum nasional. Pada sisi lain, putusan MK juga menjadi tuntutan bagi pembuat UU agar ke depan lebih memperhatikan kualitas yang berpedoman pada cita hukum Pancasila. Terutama pula, agar sistem hukum nasional lebih utuh sehingga Pancasila sebagai identitas sistem hukum nasional tidak termarginalkan.Kata kunci: Peranan Mahkamah Konstitusi, cita hukum Pancasila, cita hukum bernegara
98 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
Pendahuluan
Momen yang patut dicatat terkait sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) adalah dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi yang lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht(uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) diberi wewenang “membanding” undang-undang. Akan tetapi, usulan Yamin tersebut disanggah oleh Soepomo.1 Akibatnya, di dalam pengaturan UUD 1945 Asli tidak ditemukan mengenai mekanisme uji materi undang-undang atau yang dikenal dengan judicial review.
Di dalam dinamika ketatanegaraan, ide pembentukan MK di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan MA. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar MA Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-
undang terhadap Undang Undang Dasar.
Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena
dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma
kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan
politik yang monolitik waktu itu. Juga
tidak diperkenankannya adanya perubahan
konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI
1945) cendrung disakralkan.2
Gagasan tentang suatu lembaga yang
memiliki kewenangan untuk menguji undang-
undang seperti yang pernah diperbincangkan
dalam rapat BPUPK dan perjuangan IKAHI
tersebut telah dikonkritkan dengan adanya
MK pada tahun 2003. Judicial review
kemudian menjadi kewenangan yang sifatnya
rutinitas dari MK karena begitu banyak dan
masifnya kegiatan uji materi undang-undang
oleh masyarakat Indonesia yang merasa
hak konstitusionalnya dirugikan. Dalam
rangkaian proses judicial review tersebut,
MK berwenang secara konstitusional untuk
melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 terhadap materi muatan undang-undang. Maka dari itu, apabila materi undang-undang yang diuji materikan benar-benar bertentangan dengan maksud UUD NRI 1945 maka sudah jelas materi undang-undang tersebut tidak lagi memiliki kekuatan mengikat.3
1 Soepomo menyanggah usulan Yamin terkait judicial review dengan empat alasan yaitu: (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 5.
2 Ibid.,hlm. 63 Hal ini dapat diperhatikan dalam setiap amar putusan MK. Jika materi undang-undang yang diujikan
dikabulkan atau benar tidak sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana permohonan pemohon, maka dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 99
Hal yang menarik dari proses pengujian materi undang-undang terhadap UUD NRI 1945 tersebut adalah MK senantiasa merujuk pada cita hukum Pancasila. Sebagai hasilnya, dalam setiap putusan MK cita hukum Pancasila selalu diejahwantahkan. Hal ini, harus dinilai sebagai langkah progresif institusi yudikatif dengan melihat realitas cita hukum Pancasila mengalami pasang-surut eksistensi. Bahkan, rasa-rasanya Pancasila sebagai cita hukum tersebut mengalami proses marginalisasi sehingga daya tuah atau nilai-nilai spiritualitasnya tidak berfungsi efektif dalam mengantisipasi perubahan. Hal ini terjadi dua faktor yaitu: pertama, meskipun Pancasila sebagai cita hukum mendapatkan landasan hukum, tetapi kurang dilengkapi dengan instrumen hukum yang mendukungnya. Kedua, Pancasila masih dipertahankan untuk hanya berada pada tatanan fi lsafat etika bukan pada kewajiban hukum.4
Dengan demikian, sudah selayaknya Pancasila sebagai cita hukum senantiasa memiliki eksistensi dan relevansi. Untuk itu, dengan setiap putusan MK yang senantiasa menempatkan Pancasila sebagai sumber nilai utama dalam segenap pertimbangan konstitusional terkait judicial review, maka Pancasila sebagai cita hukum senantiasa direkatkan. Fokus kajian karya ilmiah ini adalah mengenai peran penting putusan MK dalam menegakkan cita hukum Pancasila. Terdapat tiga pokok pembahasan terkait hal
tersebut yaitu bagaimana urgensi keberadaan MK, bagaimana eksistensi dan relevansi Pancasila sebagai cita hukum dan bagaimana peranan putusan MK dalam menegakkan Pancasila sebagai cita hukum.
Pembahasan
A. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Di bawah rezim Orde Lama (orla) dan Orde Baru (orba), konfi gurasi politik pemerintahan adalah otoriterisme. Keadaan tersebut menyebabkan terpasungnya segala macam kebebasan warga negara. Tidak heran pada waktu kedua rezim itu berkuasa, perbincangan tentang kebebasan yang merupakan esensi dari Hak Asasi Manusia (HAM) tidak memiliki ruang. Apalagi di bawah rezim orba, masyarakat tidak punya tempat atau ruang untuk mengekspresikan dan menghidupkan demokrasi karena di setiap sudut ruang kebebasan selalu saja ada kecurigaan yang akan merongrong kekuasaan
dan mengganggu kesakralan UUD NRI 1945.5
Kesakralan UUD NRI 1945 yang dimaksud
adalah dilaksanakannya Pancasila dan UUD
NRI 1945 secara murni dan konsekuen.
Akibat dari praktik otoriterian, kasus-
kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
berat kerap terjadi. Bahkan, hingga saat ini
masih terdapat beberapa kasus pelanggaran
HAM masa lalu yang belum terproses di
4 Jawahir Thontowi, Pancasila Dalam Perspektif Hukum;Pandangan Terhadap Ancaman The Lost Generation,(Yogyakarta: UII Press 2016), hlm. 21-22
100 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
Kejaksaan Agung seperti kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, penculikan Aktivis 1997/1998, kasus penembakan misterius (Petrus), dan peristiwa 1965.6 Praktik otoriterisme pada masa lalu mengingatkan kita pada adagium tersohor dari Lord Acton yaitu “power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly” yang berarti kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, apalagi kekuasaan yang mutlak maka mutlak untuk disalahgunakan.
Selain konfi gurasi pemerintahan yang otoriter, hal lain yang kerap diperalat adalah Pancasila. Dasar negara yang merupakan konsensus para pendiri bangsa tersebut dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Hal demikian menjadi semacam cara mutakhir orba dalam mempertahankan kelanggengan kekuasaannya. Secara eksistensi dan relevansi, Pancasila di bawah rezim orba benar-benar nyata dan dirasakan daya dorongnya. Akan tetapi, sebagaimana telah dikemukakan bahwa eksistensi dan relevansi Pancasila tersebut bukan untuk mengejahwantahkan nilai dan daya guna Pancasila namun untuk memberi legitimasi pelaksanaan kekuasaan orba yang sewenang-wenang.
Meletusnya reformasi 1998, menjadi tonggak sejarah bagi dinamika kehidupan
bernegara. Tuntutan utama reformasi adalah
reformasi konstitusi guna merombak secara
radikal konsep bernegara melalui amandemen
UUD 1945 yang dilakukan selama empat tahun
berturut-turut yaitu pada tahun 1999, 2000,
2001 dan 2002. Amandemen terhadap UUD
NRI 1945dilakukan atas dasar pertimbangan
bahwa UUD NRI 1945 menjadi sumber utama
terjadinya praktik pemerintahan otoriter.7
Dengan dilakukannya amandemen UUD
NRI 1945, konfi gurasi pemerintahan berubah
dari otoriter menjadi demokratis. Selain itu,
dipertegas pula sistem negara hukum.
Demokrasi dan negara hukum
mensyaratkan adanya pengakuan dan
perlindungan HAM setiap warga negara.
Untuk menjamin pengakuan dan perlindungan
hak konstitusional tersebut, dibentuklah MK
untuk mengawal hak-hak konstitusional
setiap warga negara. Disamping itu, MK
sekaligus mengawal Pancasila agar sanantiasa
berada dan relevan sebagai cita hukum
sehingga tidak lagi diperalat seperti yang
telah dilakukan rezim orba. Dengan demikian,
dapat ditemukan bahwa terdapat dua hal yang
menjadi urgensi dibentuknya MK, yaitu: untuk
menjamin perlindungan hak konstitusional
warga negara dan untuk menegakkan cita
hukum nasional yaitu Pancasila.
6 Komnasham, “Refl eksi 71 Tahun Kemerdekaan: Penuhi Hak Korban”, https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2016/08/27/147/refl eksi-71-tahun-kemerdekaan-penuhi-hak-korban.html, Di Akses 22 Februari 2018.
7 Beberapa alasan UUD 1945 Asli menjadi sumber otoriterisme yaitu: pertama, adanya executive heavy yaitu memusatkan kekuasaan pada Presiden dan tanpa ada mekanisme checks and balance. Kedua, memuat pasal-pasal yang multi-interpretable yaitu pasal-pasal multitafsir. Ketiga, terlalu banyak memberi kewenangan atribusi kepada DPR dalam hal legislasi. Keempat, terlalu percaya pada itikad dan niat baik penguasa. Lihat Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 155-156
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 101
1. Menjamin Pelindungan Hak Konstitusional Warga Negara
Menyeruaknya istilah jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara, tidak terlepas dari adanya sistem negara hukum. Terkait konsep negara hukum tersebut, terdapat hal mutlak yang diperbincangkan yaitu rechstaat yang dipelopori Immanuel Kant dan Julius Stahl dan the rule of law yang dipelopori oleh Albert vin Dicey.8 Membicarakan kedua konsep tersebut memang sangat tepat karena dalam tatanan peradaban hukum modern, kedua konsep inilah yang hegemonik. konsepsi negara hukum menurut Julius Stahl dan A. V Dicey tersebut kemudian ditinjau ulang untuk disempurnakan oleh Internasional Comission of Jurist dalam konferensi yang diselenggarakan di Bangkok pada tahun 1965 yang memberikan ciri-ciri sebagai berikut:9
a. Perlindungan konstitusional, artinya selalu menjamin hak-hak individu dan konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
c. Pemilihan umum yang bebas
d. Kebebasan menyatakan pendapate. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan
beroposisif. Pendidikan kewarganegaraan
Apabila mencermati ciri sekaligus syarat negara hukum sebagaimana telah dipelopori Julius Stahl dan Albert Vin Dicey yang kemudian dikembangkan komisi hakim internasional di atas, maka dapat ditemukan bahwa hal yang paling utama dari negara hukum adalah perlindungan konstitusional. Bahkan, atas dasar itu konstitusi seperti UUD harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan hak-hak yang dijamin. Hal demikian sekaligus menuntut negara agar secara sungguh-sungguh memperhatikan habungan antara negara dengan warga negara bahwa warga negara atau masyarakat bukanlah objek kekuasaan negara melainkan subyek yang harus dilindungi hak asasinya.
Untuk alasan itu pula, UUD NRI 1945 mengatur mengenai perlindungan konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.10 Selain diatur secara tegas mengenai perlindungan HAM warga negara, UUD 1945 juga mengatur prosedur
konstitusional untuk melakukan upaya-upaya
8 Menurut Julius Stahl, negara hukum (rechtstaat) memiliki empat ciri utama yaitu pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan negara, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan administrasi. Lihat Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 1. Lihat pula dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme,(Jakarta: Sinar Grafi ka, 2011), hlm. 125. Menurut Albert Vin Dicey (rule of law), terdapat tiga ciri utama negara hukum yaitu supremascy of law (hukum berkuasa agar tidak ada tindakan absolut dalam negara), equality before the law (setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum), dan Due Procces of Law (asas legalitas dalam hukum yaitu setiap orang hanya dapat dihukum jika sudah ada hukum yang mengaturnya). Lihat Jimly Asshiddiqie,Op.Cit., hlm. 126.
9 Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Op.Cit., hlm.1. Lihat pula dalam Miriam Budiardjo Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 116.
10 Lihat Pasal 28 UUD 1945 dan pasa-pasal lain dalam UUD 1945 lainnya yang menyangkut HAM.
102 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
yang dapat menjamin terlindunginya hak-hak
konstitusional warga negara. Prosedur
tersebut melalui mekanisme judicial review
undang-undang di MK sebagai satu-satunya
lembaga negara yang berwenang untuk
menguji undang-undang terhadap UUD NRI
1945.11 Melalui mekanisme pengujian materi
undang-undang, diharapkan terjaminya HAM
setiap warga negara.
Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi
menjadikan negara memiliki kewajiban
hukum konstitusional untuk melindungi,
menghormati, dan memajukan hak-hak
tersebut. Wewenang MK dalam judicial
review dapat dilihat sebagai upaya melindungi
HAM dan hak konstitusional warga negara
yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar
oleh ketentuan undang-undang. Hal itu
sejalan dengan fungsi MK sebagai pelindung
HAM (the protector of the human rights) dan
pelindung hak konstitusional warga negara
(the protector of the constitutional citizen’s
rights).12
2. Menegakkan Cita Hukum Pancasila
Memiliki kewenangan-kewenangan
yang sifatnya fundamental menjadikan MK
sebagai lembaga negara multi-fungsi. Namun,
perlu untuk dipahami bahwa fungsi-fungsi
seperti pengawal konstitusi, penafsir tunggal
konstitusi, pengawal demokrasi dan pengawal
HAM tidaklah lengkap tanpa berfungsi
sebagai pengawal Pancasila. Dikatakan tidak
lengkap karena Pancasila itulah yang menjadi
“jiwa” dari konstitusi, demokrasi maupun
HAM. Selama ini, terpelihara suatu paradigma
bahwa Pancasila itu ada pada Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) sehingga
lembaga MPR itulah yang menjadi pengawal
Pancasila. Akan tetapi, setelah reformasi
MPR tidak lagi memiliki kewenangan untukmenetapkan GBHN. Sudah jelas pula hal itu menjadikan MPR tidak lagi berfungsi mengawal Pancasila.13
Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia tidak lagi berfungsi sebagai pengawal Pancasila, maka
11 Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Terdapat empat kewenangan MK yaitu Menguji materi undang-undang terhadap UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, dan memutus perselisihan hasil pemilu. Selain empat kewenangan tersebut, terdapat satu kewajiban MK yaitu memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Kewajiban ini dalam rangkaian proses impeachment atau pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden.
12 MK Memiliki enam fungsi. Pertama, sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Kedua, sebagai penafsir akhir konstitusi (the fi nal interpreter of the constitution). Ketiga, sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights). Keempat, sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights). Kelima, sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy). Terakhir, sebagai wasit sengketa kewenangan lembaga negara. Lihat Kata Pengantar Ketua MK Mahfud MD dalam Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi RI, “Dinamika Penegakkan Hak Konstitusional Warga Negara”, (Jakarta:Mahkamah Konstitusi RI, 2012), hlm. XV
13 Lihat Jawahir Thontowi, Op.Cit.,hlm. 27. Thontowi menegaskan bahwa hilangnya kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN sekaligus menandakan hilangnya institusi pengawal Pancasila (guadiance) untuk menandingi MK sebagai pelindung konstitusi.
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 103
MK yang dalam segenap putusannya selalu menegakkan Pancasila sudah sepantasnya menjadi pengawal Pancasila. Jadi, sebagai cita hukum nasional yang juga merupakan jiwa dari konstitusi, demokrasi hingga HAM negara Indonesia maka Pancasila itu harus senantiasa ditegakkan agar laju konstitusi, demokrasi dan HAM selalu dalam koridor Pancasila. Dari hasil seminar “Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional” disebutkan bahwa cita hukum merupakan hakikat hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat yang berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikikan dari masyarakat itu sendiri. Dari rumusan tersebut, Arief Sidartha mengartikan cita hukum sebagai gagasan, karsa, cipta dan pikiran yang berkenan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri dari tiga unsur yaitu keadilan, kehasilgunaan dan kepastian hukum.14
Dari pengertian cita hukum sebagaimana dijelaskan diatas, maka cita hukum Indonesia adalah Pancasila. Hal ini tentu atas suatu pertimbangan yang berdasarkan realitas
bahwa Pancasila merupakan pedoman tingkah
laku atau pedoman hidup yang berakar
pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikiran
masyarakat dan bangsa Indonesia.15 Maka dari
itu, Pancasila harus senantiasa ditegakkan agar
segala macam rangkaian proses berhukum
baik produk hukum maupun pelaksanaan
hukum harus bersumber pada Pancasila.
Menegakkan cita hukum Pancasila memang
bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan
pemahaman yang dalam terhadap hakikat
hukum dan terutama terhadap Pancasila yang
memiliki kandungan abstraksi tinggi. Melalui
MK yang anggotanya adalah para pakar hukum
tentu hakikat hukum dan abstraksi Pancasila
itu dapat dioperasionalkan guna menegakkan
keberadaannya sebagai cita hukum.
B. Tergerusnya Eksistensi dan Relevansi Pancasila Sebagai Cita Hukum
Cita hukum (rechtsidee) Pancasila
merupakan suatu asas kerokhanian yang
meliputi suasana kebatinan atau cita-cita
hukum, sehingga merupakan suatu sumber
nilai, norma serta kaidah baik moral maupun
hukum negara serta menguasai hukum
dasar negara baik yang tertulis seperti UUD
NRI 1945maupun tidak tertulis seperti
kebiasaan ketatanegaraan, adat dan lainnya.
Dalam kedudukannya sebagai cita hukum,
Pancasila tentu mempunyai kekuasaan hukum
mengikat.16 Dengan demikian, Pancasila
sebagai cita hukum itu harus senantiasa
menjadi sumber nilai dan tujuan dalam proses
berhukum. Artinya, segala macam produk
hukum seperti peraturan perundang-undangan
dan lainnnya harus terikat pada Pancasila.
14 Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila,(Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 34
15 Ibid.,16 Ibid., hlm.35
104 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
Menurut Bernard Arief Sidartha, Pancasila
sebagai cita hukum berinti kan pada tujuh
aspek, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Penghormatan atas martabat manusia
3. Wawasan kebangsaan dan wawasan
nusantara
4. Persamaan dan kelayakan
5. Keadilan sosial
6. Moral dan budi pekerti yang luhur
7. Partisipasi dan transparasi dalam proses
pengambilan putusan publik.17
Aspek-aspek cita hukum Pancasila
tersebut di atas memberikan kewajiban bagi
hukum untuk senantiasa bersumber pada
Pancasila dalam berhukum. Oleh karena itu,
dengan kedudukannya sebagai cita hukum,
Pancasila telah ditempatkan sebagai sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia dalam
konteks pembentukan peraturan perundang-
undangan. Jadi, dapat dipahami bahwa adanya
istilah Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum merupakan konsekuensi logis
dari keberadaan Pancasila sebagai cita hukum
(rechtsidee). Namun demikian, jika kita
mencermati realitas berhukum dewasa ini,
sebenarnya cita hukum Pancasila mengalami
semacam ketergerusan.
Terdapat dua realitas yang
merepresentasikan tergerusnya Pancasila
sebagai cita hukum masyarakat dan bangsa
Indonesia yaitu semakin maraknya kegiatan
judicial review di MK dan semakin rapuhnya
identitas sistem hukum nasional.
1. Maraknya Judicial Review undang-
undang
Jimly Asshidiqqie menjelaskan
mekanisme kontrol norma hukum (legal
norm control mechanism) pada dasarnya
dapat diimplementasikan melalui pengawasan
politik, pengendalian administratif atau
melalui kontrol hukum (judicial).18 Tujuan
utama adanya kontrol tersebut untuk menjaga
agar kaidah-kaidah konstitusi yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan
perundang- undangan konstitusional lainnya
tidak disimpangi atau dilanggar maka
diperlukan adanya institusi serta tata cara
pengawasannya. Terdapat tiga norma hukum
yang dikenal dalam pengujian norma hukum
yaitu keputusan normatif yang mengatur
(regeling) dan bersifat general and abstract,
keputusan normatif yang mengandung
penetapan administratif (beschikking) bersifat
individual and concreete norm, keputusan
normatif yang bersifat penghakiman
(judgement) merupakan generaland abstract
norm disebut vonis.19
Jimly Asshidiqqie menegaskan bahwa
kaidah hukum yang bersifat umum dan
abstrak (general and abstract norm) hanya
17 Bernard Arief Sidartha, Refl eksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. Kedua, (Bandung:Mondar Maju, 2000), hlm. 185
18 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta:Konstitusi Press, 2006), hlm.6-719 Nimatul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta:FH
UII Press, 2011), hlm.23
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 105
dapat diawasi melalui jalur hukum pengadilan dengan mekanisme judicialreview.20 Dalam hal ini, judicial review dimaknai Assihiddiqie sebagai pengawasan lembaga kehakiman terhadap norma dalam bentuk undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan secara resmi. Ni’matul Huda juga menegaskan bahwa judicial review merupakan pengawasan kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif untuk menjamin tindakan hukum legislatif dan eksekutif selaras dengan hukum tertinggi.21
Kedua pendapat di atas menarik untuk dicermati yaitu bahwa judicial reviewesensinya adalah pengawasan lembaga yudikatif terhadap produk legislatif dan eksekutif dalam bentuk undang-undang. Jadi, dengan adanya judicial review,maka terciptalah prinsip hubungan saling mengontrol antarcabang kekuasaan negara. Selain itu, hal penting lainnya adalah judicial review juga menjadi upaya masyarakat dalam mengoreksi muatan undang-undang sehingga jika terdapat materi yang dirasa merugikan hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi, maka masyarakat berhak mencari jaminan perlindungannya melalui upaya judicial review di MK. Apabila diperhatikan, kegiatan judicial review semakin masif dilakukan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan rekapitulasi perkara pengujian
undang-undang dari MK, terdapat 573 jumlah
undang-undang yang diuji sejak tahun 2003-2018. Dari 574 jumlah undang-undang yang diuji menghasilkan sebanyak 1105 jumlah putusan.22 Banyaknya undang-undang yang diuji materikan tersebut menunjukkan tiga hal yaitu: pertama, menjadi bukti tingginya kesadaran berkonstitusi masyarakat Indonesia. Kedua, kuatnya kepercayaan masyarakat kepada MK sebagai lembaga negara pengawal konstitusi dan Pancasila. Ketiga, rendahnya kualitas undang-undang. Ketiga hal ini tidak boleh dinafi kan sebagai causa prima dalam hal pengujian materi undang-undang terhadap UUD oleh MK.
Dari ketiga penyebab utama maraknya judicial review undang-undang di atas, penyebab utama ketiga seharusnya menjadi perhatian khusus. Kualitas undang-undang menjadi tolak ukur terhadap pemahaman mengenai cita hukum Pancasila yang dalam konteks peraturan perundang-undangan telah dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Jadi, rendahnya kualitas undang-undang sama artinya dengan rendahnya pemahaman DPR bersama Pemerintah tentang cita hukum Pancasila. Padahal, di dalam asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan telah menegaskan cita hukum Pancasila seperti asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum
go.id/index.php?page=web.RekapPUU. Diakses 20 Februari 2018. Data rekapitulasi tersebut tentu saja berubah dari waktu ke waktu karena tergantung pada upaya-upaya pengujian undang-undang oleh masyarakat Indonesia.
106 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan.23
Mencermati realitas maraknya judicial review undang-undang oleh MK di atas, yang disebabkan rendahnya kualitas undang-undang, menjadi salah satu alasan utama terjadinya proses tergerusnya nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum. Hal lain yang penting dicatat terkait rendahnya kualitas undang-undang, bahwa pada dasarnya pembuat undang-undang sendirilah yang “mengacaukan” cita hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. Padahal, DPR sebagai pendulum atas undang-undang merupakan wakil rakyat yang seharusnya berdiri sebagai pengawal pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan negara agar pemerintah senantiasa bertindak sesuai koridor cita hukum Pancasila yang tidak lain sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia.24
2. Rapuhnya Identitas Sistem Hukum Nasional
Arti penting sistem adalah untuk menyederhanakan atau mengurangi
kompleksitas kehidupan nyata untuk
kepentingan manusia. Dengan demikian,
sistem hukum merupakan rekayasa manusia
dengan mengelompokkan hal-hal yang sama
dalam kehidupan yang nyata untuk mengurangi
kompleksitas. Sistem hukum adalah rekayasa
manusia dengan mengelompokkan hal-hal
yang sama dalam kehidupan nyata untuk
mengurangi kompleksitas. Dengan dikurangi
kompleksitas kehidupan nyata, maka diperoleh
suatu ikhtisar yang memberi gambaran yang
sederhana dan jelas tentang kehidupan nyata,
sehingga dapat lebih mudah dipahami dan
dikuasai.25
Sistem hukum menurut Mertokusumo
bersifat otonom, mandiri dan bebas. Dengan
sifat sistem seperti ini, maka sistem hukum
bersifat terbuka. Artinya unsur-unsur atau
bagian-bagian di dalam sistem hukum
mempunyai pengaruh terhadap unsur-
unsur di luar sistem hukum dan begitu pula
sebaliknya.26 Keberadaan sistem hukum yang
terbuka seperti ini senada dengan mazhab
hukum responsif yang dipelopori Nonet dan
Selznick, bahwa hukum harus terbuka dengan
23 Lihat Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Terkait bersumber pada cita hukum Pancasila dijelaskan lebih lanjut dalam Lampiran Rancangan Peraturan Perundang-Undangan pada Bab IV tentang landasan fi losofi s, sosiologis dan yuridis dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut. Pada landasan fi losofi s dijelaskan bahwa landasan fi losofi s merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24 Disebut sebagai perjanjian luhur sebab ketika merumuskan dasar negara para pendiri negara kita dengan keluhuran budi dan kesadaran mendalam dalam mencari suatu rumusan yang dapat bertahan lama dan sesuai dengan suara hatinya agar negara yang didirikan akan tetap berlanjut dan lestari. Kesepakatan itu merupakan suatu perjanjian yang luhur. Oleh karena itu wajib dijunjung tinggi oleh generasi-generasi bangsa berikutnya. Lihat Darji Darmodiharjo, Pancasila Dalam Beberapa Perspektif,(Jakarta: Aries Lima, 1983), hlm. 90. Dengan kedudukannya itu pula, tidak keliru jika kesepakatan itu dilandasi asas moral perjanjian yaitu pacta sunt servanda sehingga Pancasila itu wajib ditaati dan dihormati.
25 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi,(Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010), hlm. 52.26 Ibid.,
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 107
hal-hal di luar hukum guna menggapai tujuan-tujuan hukum.27 Begitu pula mazhab hukum progresif yang dicetuskan Satjipto Rahardjo, bahwa hukum tidak harus terikat oleh aksara-aksara normatif (undang-undang) tetapi juga memperhatikan nilai-nilai lain di luarnya.
Apabila dicermati beberapa pandangan ahli di atas mengenai sistem hukum, maka sudah tentu sistem hukum itu dimiliki oleh setiap negara guna menyederhanakan kompleksitas kehidupan warga negaranya. Selain itu, sistem hukum itu pula senantiasa terbuka dengan perubahan artinya sistem hukum yang dimiliki oleh negara harus senantiasa mengikuti perubahan baik itu perubahan masyarakat negaranya maupun perubahan jaman. Dalam konteks sistem hukum pada suatu negara biasa disebut sistem hukum nasional. Disebut hukum nasional didasari dua unsur penting yaitu: pertama, unsur identitas hukum dari suatu negara.28
Kedua, ruang dan waktu keberlakuan hukum tersebut.
Mengenai kedua unsur dalam sistem hukum nasional tersebut, ditegaskan dalam pengertian sistem hukum nasional menurut Penjelasan Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa : “sistem hukum nasional
adalah suatu sistem hukum yang berlaku di
Indonesia dengan semua elemennya serta
saling menunjang satu dengan yang lain
dalam rangka mengantisipasi permasalahan
yang timbul dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Jadi, sangat jelas di sini bahwa unsur
identitas dari sistem hukum nasional kita
adalah Pancasila dan UUD NRI 1945, dan
unsur ruang dan waktu sistem hukum nasional
adalah hukum yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, dalam kenyataan berhukum
di Indonesia unsur identitas dari sistem
hukum nasional tidak tampak secara nyata.
Hal demikian, disebabkan oleh elemen hukum
yang berlaku di Indonesia bersifat plural
yaitu berlakunya sistem hukum adat, sistem
hukum Islam, sistem hukum civil law dan
sistem hukum common law. Elemen hukum
yang plural itu menyebabkan adanya istilah
pluralisme sistem hukum dalam sistem hukum
nasional Indonesia. Pluralisme tersebut tentu
saja menyebabkan identitas hukum negara
Indonesia yang juga sebagai cita hukum
rapuh dalam menunjukkan eksistensinya.
Akibatnya, Pancasila termarginalkan oleh
kuatnya pengaruh elemen-elemen hukum
yang pluralisme tersebut.
27 Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif (diterjemahkan dari buku Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper & Row, 1978), Cetakan VI, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 19. Kedua ahli tersebut juga menerangkan bahwa hukum harus berani diintegrasikan dengan hal di luar hukum seperti politk karena hukum memang dituntut untuk adaptif secara bertanggung jawab agar tujuan-tujuan utama hukum dapat tercapai.
28 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; jati diri. Lihat, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Nasional, 2008), hlm. 538. Dengan demikian, identitas sistem hukum nasional berarti jati diri dari sistem hukum nasional.
108 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
Terkait pluralisme sistem hukum dalam
sistem hukum nasional tersebut, memang
benar bahwa empat sistem hukum tersebut
tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Namun, perlu dipahami secara logis dan
terukur bahwa dari setiap elemen hukum yang
berlaku itu masing-masing memiliki identitas.
Hukum adat beridentitaskan kebiasaan
turun-temurun,29 sistem hukum Islam
beridentitaskan ajaran agama Islam,30 civil
law system beridentitaskan kepastian hukum31
dan common law system beridentitaskan
yurisprudensi.32 Dengan demikian, semakin
plural elemen hukum nasional maka semakin plural pula identitasnya. Akibatnya, Pancasila sebagai identitas hukum nasional semakin rapuh.
C. Peranan MK dalam Menegakkan Pancasila Sebagai Cita Hukum
Maraknya judicial review dan rapuhnya identitas sistem hukum nasional tentu menjadi persoalan bagi keberadaan cita hukum Pancasila. Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan bahwa salah satu urgensi dibentuknya MK adalah untuk menegakkan
cita hukum Pancasila. Untuk itu, MK sebagai
29 Sistem hukum adat terdapat dan berkembang di lingkungan kehidupan sosial, terutama di masyarakat Indonesia, Cina, Jepang, India dan negara lain dibelahan benua Asia dan Afrika. Di Indonesia awal mula istilah hukum adat adalah dari istilah “Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronye. Sistem hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakat. Sifat hukum adat adalah tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang. Tolak ukur keinginan yang akan dilakukan oleh manusia adalah kehendak suci dari nenek moyangnya. Lihat Mokhammad Najih dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia (Sejarah, Konsep Tata Hukum & Politik Hukum Indonesia), (Malang: Setara Press, 2012), hlm.74.
30 Sumber utama hukum Islam ada empat, yaitu: pertama, Al-Quran yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan pelantaraan malaikat Jibril. Kedua,As-Sunnah yaitu semua yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, atau pengakuan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan para sahabat (qauliyyah, fi ’liyyah, ataupun taqririyyah). Ketiga, Ijma yaitu kesepakatan para ulama besar terdahulu tentang suatu hal cara hidup yang ketentuannya belum dijelaskan secara rinci oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Keempat, Qiyas yaitu analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua atau lebih kejadian untuk ditarik kesimpulan yang memunculkan hukum yang baru. Ibid,hlm.75-76
31 Tatanan-tatanan hukum Romanistis-Germanistis telah mengalami penyebarluasan ke seluruh dunia karena proses kolonialisasi, diantaranya: hukum-hukum Spanyol dan Portugal di Amerika Latin, hukum Perancis, Belgia dan Portugal di Afrika, hukum-hukum Perancis di Lousiana AS dan hukum Belanda di Indonesia dan Suriname. Untuk di kawasan Eropa sendiri, seperti Eropa Timur yang masih menggunakan hukum Byzantium, proses Romawisasi hukumnya masuk melalui jalur agama yaitu gereja dengan bergerak pasifnya kaum-kaum Orthodoks gereja. Penyebaran hukum civil law sangatlah efektif dengan media penyebarannya yang sangat banyak seperti melakukan ekspansi wilayah, agama dan juga pendidikan. Karakteristik civil law adalah adanya kepastian hukum, karena bangsa Romawi sudah sejak lama menggunakan undang-undang tertulis dalam membuat aturan. Lihat John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum; Suatu Pengantar, Kata Pengantar oleh Lili Rasjidi; Penyadur oleh Freddy Tengker, Cetakan Kelima, (Bandung: Refi ka Aditama, 2011),hlm. 138. Jadi, civil law sudah sejak awal bertujuan pada kepastian hukum melalui aturan-aturan tertulis seperti undang-undang.
32 Sesuai dengan pendapat panutan di Inggris sampai abad XVIII dan XIX, perundang-undangan hanya menempati tempat kedua dalam urut-urutan sumber-sumber hukum Inggris setelah peradilan. Acts of statutes (undang-undang) dipandang sebagai kekecualian atas Common law para hakim harus menafsirkan undang-undang ini secara sempit, bahkan lebih mengindahnya kata-katanya daripada jiwanya. Pandangan ini nampaknya semakin lama terdesak dengan meluasnya peranan pembuat undang-undang terutama dalam abad XX ini. Sedangkan Common Law tetap tradisional, konservatif, perundang-undangan lebih memperhatikan tujuan-tujuan sosial. Lihat John Gilissen dan Frits Gorle, Op.Cit., hlm.363. jika dicermati, Common law seperti keterbalikan dari civil law dalam memperlakukan peraturan undang-undang, common law menempatkan penafsiran dan putusan hakim yang lebih utama. Itulah mengapa common law dijuluki judge made law. Kemudian, status putusan hakim juga dipertahankan bahkan menjadi rujukan di masa depan yang kerap disebut yurisprudensi.
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 109
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
menjalankannya dalam bentuk putusan-
putusan hukum.33 Sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman itu pula, MK wajib menaati asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yaitu: peradilan negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.34
Asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman di atas, memberi legitimasi yuridis
kepada MK agar dalam rangkaian proses
membuat suatu putusan harus berpedoman
dan bertujuan pada Pancasila. Apalagi dengan
kewenangan MK menafsirkan UUD NRI
1945 yang merupakan konkritisasi langsung
dari Pancasila. Bahkan, materi muatan pada
bagian Pembukaan UUD NRI 1945 tidak
lain adalah Pancasila itu sendiri. Mahfud
MD menerangkan bahwa Dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI 1945
yang menjadi kewenangan MK, posisi
Pancasila dan seluruh materi Pembukaan
UUD NRI 1945 menjadi “tolok ukur” utama.
Menurut Pasal 24C UUD 1945, MK memiliki
kewenangan menguji UU terhadap UUD
NRI 1945. Ketentuan tersebut sementara ini
terkesan diartikan bahwa konstitusionalitas
pasal, ayat, dan/atau bagian dari UU hanya
dapat diujikan dengan pasal-pasal dalam
UUD NRI 1945. Padahal, Pembukaan dan
pasal-pasal merupakan satu kesatuan, yang
kalau dirinci, pasal-pasal merupakan uraian
dari gagasan fundamental dalam Pembukaan
UUD NRI 1945, dan Pembukaan UUD NRI
1945 itu sesungguhnya merupakan uraian
fi lsafat Pancasila.35
Penjelasan Mahfud MD tersebut
rupanya senada dengan pandangan hakim
konstitusi lainnya. Hakim Konstitusi
Harjono pernah menjelaskan bahwa batu uji
materi konstitusionalitas UU bukan hanya
pasal-pasal UUD NRI 1945 sajatetapi juga
Pembukaan UUD NRI 1945. Di dalam
Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI 1945
disebutkan bahwa : “UUD Negara Republik
Indonesia terdiri atas Pembukaan dan pasal-
pasal.”Meskipun sampai sekarang belum ada
yang mengajukan permohonan uji materi UU
dengan batu uji Pembukaan UUD NRI 1945
tetapi pendapat itu benar adanya. Dalam
praktik, terdapat beberapa putusan MK yang langsung menjadikan Pembukaan UUD NRI 1945 sebagai batu uji, misalnya pada putusan uji materi UU Sumber Daya Air,36 UU Badan
33 Pasal 1 angka 3 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat pula dalam hal menimbang pada UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
34 Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009.35 Mahfud MD, “Menguatkan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara” Majalah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi Dan Penguatan Pancasila, (Edisi Mei, Nomor 52, 2011): 8-936 Putusan No. 85/PUU-IX/2013 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan ini, MK mengabulkan permohonan pemohon dengan memutus bahwa UU No. 7 Tahun 2004 seluruhnya bertentangan dengan UUD 1945 sehingga memberlakukan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan agar tidak terjadi kekosongan hukum.
110 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
Hukum Pendidikan,37 UU Penodaan Agama.38
Hal tersebut dipahami dalam konteks Pancasila sebagai dasar fi lsafat yang melandasi alur pikir Pembukaan UUD NRI 1945.39
Lebih lanjut Mahfud MD menjelaskan bahwa Pancasila bukan norma hukum operasional, melainkan memuat orientasi etis bagi seluruh desain kenegaraan Indonesia. Pancasila yang berada di “alam nilai” atau “alam kehendak” perlu dioperasionalkan atau diejawantahkan ke “alam nyata” melalui serangkaian proses interpretasi. Sebagai lembaga penguji UU, MK menerjemahkan Pancasila ke dalam putusan-putusan MK sebagai produk penemuan “keadilan substantif”. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus pengujian undang-undang, MK akan konsisten memilih pilihan yang lebih adil sesuai dengan karakter kasus yang spesifi k setelah mempertimbangkan bobot keadilan antara yang formal-prosedural dan/atau yang substantif.40
Upaya MK dalam menerjemahkan Pancasila ke dalam putusan-putusan MK semakin menegaskan kehadiran MK sebagai pengawal cita hukum Pancasila. Namun demikian, dalam setiap putusan MK terkait perkara judicial review terdapat “rambu-
rambu hukum” yang harus diperhatikan. Baik menurut UUD 1945 maupun menurut UU MK, ditegaskan MK hanya berwenang menilai atau mengadili konstitusionalitas sebuah UU terhadap UUD NRI 1945. MK hanya dapat menyatakan apakah sebuah UU sebagian isinya, kalimat, atau frasenya, bertentangan dengan konstitusi atau tidak. MK tidak dapat menerobos batas kompetensi konstitusionalitas dan masuk ke dalam kompetensi legalitas. Dalam perkara judicial review, amar putusan MK tidak dapat masuk ke ranah yang bersifat legalitas.41
Kewenangan konstitusional MK dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar adalah mengenai konstitusionalitas norma. Otoritas MK berada dalam ranah pengujian norma abstrak bukan implementasi norma (kasus konkret). Tugas MK adalah menilai sesuai atau tidaknya satu undang-undang dengan UUD NRI 1945. Dalam memutus pengujian norma undang-undang, MK berlandaskan pada UUD NRI 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan
hakim.42
Batasan-batasan bagi MK dalam membuat
37 Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Status putusan ini mengabulkan sebagian permohonan pemohon.
38 Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 tentang perkara Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Status putusan ini ditolak seluruhnya.
39 Mahfud MD, Op.Cit., hlm. 8-940 Ibid.,41 Mahfud MD, Masalah Konstitusionalitas dan Legalitas, Seputar Indonesia, Sabtu 9 Juni 2012 dalam
Mohammad Mahrus Ali, “Konstitusionalitas dan Legalitas Norma dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol.12, No.1, (Maret 2015):176
42 Ibid., Lihat pula dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 111
putusan memang perlu ada agar kewenangan
MK tidak bias. Jika terjadi pembiasan maka
MK secara tidak langsung akan mencampuri
kewenangan lembaga negara lainnya
khususnya yang berkaitan langsung dengan
undang-undang sebagai objek judicial review.
Oleh karena itu, dalam melakukan hak uji
materii kewenangan MK perlu dibatasi oleh
minimal tiga hal sebagai berikut:43
Pertama, dalam membuat putusan, MK
tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur.
MK hanya boleh menyatakan sebuah undang-
undang atau sebagian isinya batal karena
bertentangan dengan bagian tertentu di
dalam UUD. Betapapun MK mempunyai
pemikiran yang baik untuk mengatur
sebagai alternatif atas UU atau sebagian
isi UU yang dibatalkannya, sebab urusan
mengatur adalah hak lembaga legislatif.
Kedua, MK tidak boleh memutus batal atau
tidak batas sebuah UU atau sebagian isi UU
yang bersifat terbuka yakni yang oleh UUD
diatribusikan (diserahkan pengaturannya)
kepada UU. Kalau MK melakukan itu, berarti
ia sudah masuk ke rana legislatif yang tidak
boleh dilakukannya. Ketiga, MK tidak boleh
memutus hal-hal yang tidak diminta (ultra
petita). Betapapun MK melihat ada sesuatu
yang penting dalam sebuah permintaan dan
dianggap penting untuk diminta, maka jika
hal itu tidak diminta untuk diuji, MK tidak
boleh melakukan itu. Kalau hal itu dilakukan,
maka selain melanggar asas umum di dalam
berhukum bahwa setiap pemeriksaan harus
diuraikan dalam ‘posita’ yang jelas yang juga
dimuat dalam Peraturan MK sendiri.
Dari ketiga batasan MK dalam membuat
putusan diatas, batasan pertama dan kedua
menegaskan wilayah kewenangan MK yaitu
uji konstitusionalitas norma bukan legalitas.
Penegasan demikian semakin memperjelas
alasan dasar Pancasila sebagai “batu uji”
segala norma dan peraturan perundang-
undangan yaitu karena Pancasila itu sendiri
adalah sumber norma tertinggi. Sebagai norma
tertinggi maka Pancasila harus diterjemahkan
dan dioperasionalkan sebagaimana yang
dilakukan MK dalam membuat putusan.
Pancasila sebagai norma, atas dasar
Pancasila memenuhi unsur suatu norma yaitu
mengandung patokan penilaian dan patokan
tingkah laku.44 Kedua patokan tersebut
sekaligus menjadikan Pancasila sebagai
pedoman dan tujuan dari segenap norma dan
peraturan perundang-undangan yang dikenal
dengan istilan cita hukum (rechtsidee).
43 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara,(Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 98-9944 Mengenai unsur kandungan norma, lihat Willem Zevenbergen dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan
Kedelapan, Editor Awaludin Marwan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 30. Dua kandungan norma ini senada dengan pengertian norma yaitu suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahasa Arab sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan pedoman, patokan atau aturan. Pada mulanya, norma diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma tersebut diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi Dan Materi Muatan), Edisi Revisi,(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 18
112 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
Istilah rechtsidee itu pula harus diartikan
sebagai cita hukum bukan cita-cita hukum.
A. Hamid Attamimi menjelaskan bahwa
istilah cita-cita hukum berarti keinginan,
kehendak atau suatu harapan sedangkan cita
hukum berarti gagasan, rasa, cipta, pikiran
(sebagaimana telah dikemukakan bagian
awal).45 Sebagai cita hukum, Pancasila
kemudian menjadi sumber utama gagasan
atau pikiran dalam serangkaian kegiatan
berhukum seperti dalam putusan MK. Dalam
membuat putusan terhadap perkara judicial
review undang-undang, MK betul-betul
menjadikan Pancasila sebagai sumber gagasan
atau pikiran. Hal demikiantelah dibuktikan
melalui putusan-putusan MK sebagaimana
telah disebutkan di atas. Dengan demikian,
cita hukum Pancasila terpelihara dengan baik
dalam putusan-putusan MK.
Eksistensi dan relevansi Pancasila
khususnya sebagai cita hukum nasional
senantiasa ditegakkan melalui putusan-
putusan MK yang sifatnya fi nal dan mengikat.
Putusan-putusan MK itu tentu sebagai langkah
progresif dari pelaku kekuasaan kehakiman
di tengah tergerusnya keberadaan Pancasila
sebagai cita hukum nasional. Melalui
putusan MK, Pancasila senantiasa direkatkan
sebagai cita hukum. Selain itu, putusan MK
merumah hukumkan Pancasila sehingga daya
guna dan daya ikat cita hukum Pancasila
selalu terjamin.46 Namun demikian, harus
dipahami bahwa putusan MK yang senantiasa
menegakkan cita hukum Pancasila itu sebagai
respon terhadap judicial review undang-
undang yang merupakan produk Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden.
Sebagaimana telah dikemukakan,
maraknya judicial review undang-undang
merupakan akibat dari rendahnya kualitas
undang-undang. Kualitas yang rendah tersebut
sekaligus menjadi penanda tergerusnya
eksistensi dan relevansi cita hukum Pancasila
sehingga undang-undang yang dihasilkan
oleh DPR bersama Presiden cenderung
“keluar” bahkan bertentangan dengan cita
hukum Pancasila. Putusan MK sekiranya
sebagai cerminan bagi DPR bersama Presiden
dalam membuat UU supaya senantiasa
berlandaskan Pancasila sebagai cita hukum
nasional. Oleh sebab itu, sekiranya di masa
mendatang segenap UU mampu menjadi
pengejahwantahan dari maksud cita hukum
Pancasila yang telah terpatrikan dalam UUD
1945. Terutama pula, Pancasila itu sendiri
termaktub pada bagian Pembukaan UUD
1945.
Jika ditinjau dari perspektif politik hukum,
DPR bersama Presiden dalam membuat
undang-undang telah terbantu oleh konfi gurasi
politik pemerintahan setelah reformasi yang
demokratis sehingga seharusnya mampu
melahirkan UU yang responsif. Mahfud MD
menjelaskan bahwa terwujud atau tidaknya
45 Maria Farida Indrati, Op.Cit., hlm. 5946 Daya guna dimaksudkan sebagai manfaat sehingga ditaati sedangkan daya ikat dimaksudkan relevansi sehingga
dipertahankan.
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 113
politik hukum sangat bergantung pada
konfi gurasi politik pemerintahan. Konfi gurasi
politik yang demokratis akan melahirkan
hukum yang responsif sedangkan konfi gurasi
politik yang otoriter akan melahirkan hukum
yang ortodoks atau konservatif.47 Sedangkan
responsif berarti bahwa produk hukum seperti
undang-undang yang dihasilkan telah sesuai
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Terkait hal ini, harus dipahami pula posisi
Pancasila sebagai entitas dari tuntutan
kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia,
sebagaimana Pancasila tersebut telah
dikukuhkan sebagai falsafah bangsa dan dasar
negara Indonesia. Oleh sebab itu, indikator
utama responsif dan tidaknya produk hukum
adalah Pancasila. Kedepan, UU harus lebih
responsif guna sejalan dengan cita hukum
Pancasila.
Selain masalah maraknya judicial review,
masalah lain yang turut membuat degradasi
eksistensi dan relevansi cita hukum Pancasila
adalah rapuhnya identitas hukum nasional
oleh banyaknya identitas dari elemen-elemen
hukum yang berlaku di Indonesia. Pluralisme
sistem hukum yang berlaku telah membuat
rapuhnya Pancasila sebagai identitas hukum
nasional. Oleh sebab itu, sudah seharusnya
cita hukum Pancasila dalam sistem hukum
nasional senantiasa ditegaskan agar eksistensi
dan relevansi cita hukum Pancasila tidak
termarginalkan oleh identitas pluralisme
sistem di Indonesia. Ke depan, sebaiknya
sistem hukum nasional diupayakan agar
lebih utuh dan imparsial agar Pancasila
yang menembus sekat-sekat keberagaman
masyarakat dan bangsa Indonesia senantiasa
direkatkan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa kehadiran MK
pasca reformasi memberikan pengaruh
positif bagi keberlangsungan kehidupan
bernegara khususnya dalam berhukum dan
berkonstitusi. Selain kedudukan MK sebagai
lembaga negara pengawal konstitusi, MK
juga berfungsi sebagai pengawal cita hukum
Pancasila. Fungsi MK yang satu ini teramat
penting di tengah tergerusnya eksistensi dan
relevansi Pancasila sebagai cita hukum yang
ditandai oleh dua hal yaitu : pertama, realitas
maraknya judicial review undang-undang.
Realitas ini sebagai akibat dari rendahnya
kualitas undang-undang yang juga menjadi
bukti rendahnya pemahaman para pembuat
undang-undang mengenai cita hukum
Pancasila. Kedua, rapuhnya identitas sistem
hukum nasional. Kenyataan ini disebabkan
oleh adanya pluralisme sistem hukum dalam
sistem hukum nasional. Akibatnya, identitashukum nasional yang tidak lain Pancasila
47 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Kelima,(Jakarta: RajaGrafi ndo Persada, November 2012), hlm. 7. Mahfud juga menjalaskan indikator umum konfi gurasi politik demokratis yaitu: Pertama, kuatnya partai politik dan Parlemen untuk menentukan haluan dan kebijakan negara. Kedua, pemerintah yang netral. Ketiga, pers bebas, tanpa disensor dan pemberedalan. Kemudian, dengan konfi gurasi politik yang demokratis itu pula maka karakter produk hukum menjadi responsif yaitu: pembuatnya partisipasif, muatannya aspiratif dan rincian isinya limitatif artinya tidak multitafsir yang menyebabkan penafsiran subyektif pemerintah. Ibid.
114 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116
termarginalkan oleh identitas-identitas elemen
hukum tersebut. Oleh karena itu, MK sebagai
pengawal cita hukum Pancasila senantiasa
menerjemahkan dan mengoperasionalkan
Pancasila itu melalui segenap putusan MK.
MK menjadikan cita hukum Pancasila
sebagai “batu uji” dalam menemukan
keadilan substantif dalam hal pengujian UU
terhadap UUD. Namun, putusan MK dalam
rangkaian judicial review harus dipahami sebagai upaya terakhir dalam menegakkan cita hukum Pancasila. Maka dari itu, ke depan UU yang dibuat DPR bersama Presiden harus lebih berkualitas dan mampu menegakkan cita hukum Pancasila. Selain itu, sekiranya di masa mendatang kita memiliki sistem hukum nasional yang utuh sehingga identitas Pancasila sebagai sistem hukum nasional
tidak lagi termarginalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang.
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
_______________. Konstitusi &
Konstitusionalisme. Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Darmodiharjo, Darji. Pancasila Dalam
Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries
Lima, 1983.
Fatkhurohman, dkk. Memahami Keberadaan
Mahkamah Konstitusi Di
Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
Gilissen, John dan Frits Gorle. Sejarah Hukum;
Suatu Pengantar. Cetakan Kelima.
Bandung: Refika Aditama, 2011.
Huda, Ni’matul. UUD 1945 Dan Gagasan
Amandemen Ulang. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2008.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-
Undangan I (Jenis, Fungsi Dan
Materi Muatan). Edisi Revisi.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum. Edisi
Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2010.
MD, Moh. Mahfud. Dasar Dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Edisi
Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
______________. Perdebatan Hukum Tata
Negara. Jakarta: LP3ES, 2007.
______________. Politik Hukum Di
Indonesia. Cetakan Kelima. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012.
Najih, Mokhammad dan Soimin. Pengantar
Hukum Indonesia (Sejarah, Konsep
Tata Hukum & Politik Hukum
Indonesia). Malang: Setara Press, 2012.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. Hukum
Responsif . Cetakan VI. Bandung: Nusa
Media, 2011.
Yonas Bo’a, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Tegaknya Cita Hukum ... 115
Prasetyo, Teguh dan Arie Purnomosidi.
Membangun Hukum Berdasarkan
Pancasila Bandung: Nusa Media,
2014.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cetakan
Kedelapan. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2014.
Sidartha, Bernard Arief. Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum. Cet. Kedua.
Bandung: Mondar Maju, 2000.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
_____________. Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press,
2011.
Thontowi, Jawahir. Pancasila Dalam
Perspektif Hukum; Pandangan
Terhadap Ancaman The Lost
Generation. Yogyakarta: UII Press,
2016.
Jurnal
Ali, Mohammad Mahrus. “Konstitusionalitas
dan Legalitas Norma dalam Pengujian
Undang -Undang Terhadap Undang-
Undang Dasar 1945”. Jurnal Konstitusi
Vol. 12, No.1, (Maret 2015)
Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
Putusan No. 85/PUU-IX/2013 tentang Perkara
Pengujian Undang-Undang Nomor
7 Tahun2004 tentang Sumber Daya
Air Terhadap Undang-Undang Dasar
Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.
Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/
PUU-VII/2009 tentang Perkara
Pengujian Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan terhadap
Undang -Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 tentang
perkara Pengujian Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Pengujian
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/
Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama terhadap UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
116 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 1, April 2020, Halaman 97-116