IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PILKADA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FACHRIZAL NIM. 1113048000060 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H/2017 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PILKADA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FACHRIZAL
NIM. 1113048000060
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
v
ABSTRAK
Fachrizal. NIM 1113048000060. IMPLEMENTASI KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
HASIL PILKADA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438/2017 M. ix +86 halaman + 6 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kewenangan
sementara yang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa hasil pilkada. Selain itu juga untuk mengetahui dampak dan efektivitas
penerapan regulasi penyelesaian Pilkada mengenai ketentuan ambang batas selisih
suara.yang kontradiktif dengan asas kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang
dikolabirasikan dengan metode pengamatan atau observasi proses penyelesaian
sengketa hasil pilkada pada persidangan di MK menggunakan tinjauan literature
resmi yang dipublikasikan oleh lembabga Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan
argumentasi dan putusan hakim yang telah tercatat atau terkodifikasi dengan baik
seiring berjalanya pelanggaran. Proses penyelesaian sengketa didominasi perkara
yang gugur akibat tidak memenuhi ambang batas selisih penghitungan suara yang
terdapat pada pasal 158 Undang-Undang Pilkada.
Jumlah perkara yang teregistrasi ke Mahkamah Konstitusi yakni 53 perkara
sedangkan yang lolos hingga melaju ke proses sidang hanya 7 perkara. Hasil
penelitian menunjukkan bahwasanya pelanggaran terstruktur sistematis dan masif
dijadikan dalil utama oleh pihak yang berperkara demi mengesampingkan
ketentuan ambang batas.
Implementasi dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian
sengketa tersebut berkiblat pada keadilan yang substansial dengan tetap tunduk
terhadap konstitusi, serta sebagai upaya perlindungan terhadap hak konstitusional
warga negara. Namun di sisi lain unsur kepastian hukum dalam menjalankan
amanat Undang-Undang Pilkada bagi pihak yang bersengketa tidak terpenuhi
secara maksimal.
Kata Kunci : Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Hak Konstitusional warga
Negara, Keadilan Substansial dan Asas Kepastian Hukum
Pembimbing : 1. Dr. Muhammad Maksum, S.H., MDC.
2. Drs. Sukadarto, S.H., M.M., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 2004 s.d. Tahun 2016
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI KEWENANGAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
HASIL PILKADA" dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa
kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.
Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala
kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC dan Drs. Sukadarto, S.H., M.M.,
M.H. Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya. Beserta Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.
vii
4. Muhmammad Sani, S.H. dan Tihana (Orang tua), Nur Meilinda (Kakak) yang
sangat sabar mendidik peneliti dari mulai lahir, sekarang, hingga seterusnya
tanpa kenal lelah serta memberikan dukungan materiil, immateriil beserta doa
kepada peneliti. Kemudian Lisa Kurniati (Adik) yang selalu memberikan
dukungan dalam penyelesaian skripsi. Semoga Peneliti Sukses secepatnya dan
Allah SWT Selalu memberkati langkah kaki kita.
5. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, yakni group “UNO” (Pangki Ladipa,
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. 9 Dengan kata lain, bahan
hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.10 Dalam
penelitian ini digunakan peraturan perundang-undangan,
Yurisprudensi, dan Perpu yang berkaitan dengan penelitian ini,
diantaranya adalah:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
2) Bahan Hukum Sekunder
9 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
LembagaPenelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010)., h. 181 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 31
15
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, 11 seperti: rancangan
undang-undang, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil
penelitian, pendapat pakar hukum, teori atau pendapat sarjana,
penelusuran internet, majalah, jurnal, surat kabar, makalah, dan
sebagainya.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder,12 seperti kamus (hukum), ensiklopedia, dan sebagainya.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penelitian ini, maka
peneliti menggunakan prosedur pengumpulan bahan dengan cara:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa
secara sistematis bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan badan hukum tersier yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
b. Pengamatan atau observation
11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, h. 31
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII., h. 32
16
Pengamatan atau observation dilakukan dengan cara mengamati suatu
hal yang menjadi objek dalam penelitian untuk memperoleh dasar bagi
perumusan masalah yang tidak ditemukan dalam teori, dan sekaligus
memberikan ruang lingkup tertentu bagi perumusan masalah penelitian.
5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
wawancara, dan observasi akan peneliti uraikan dan hubungkan sedemikian
rupa, sehingga disajikan dalam penelitian lebih sistematis guna menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini. Cara pengolahan data
dilakukan dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.13
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2015), h. 180
17
lingkup dan cakupan permasalahan yang dinteliti. Adapun urutn dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Merupakan bagian pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah
tema yang penulis bahas, yang terdapat beberapa identifikasi masalah
dan di rumusan masalah ke dalam rumusan masalah,dan berisikan
tujuan dan manfaat dari penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka
konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan
Bab II: Teori Hukum dan Demokrasi
Merupakan bagian kedua yang memuat beberapa teori yang menjadi
landasan berfikir dalam permasalahan yang dibahas yang saling
memiliki keterkaitan hukum, dan prinsip dasar penerapan demokrasi di
Indonesia.
Bab III: Tinajuan Umum Penanganan Perkara Sengkerta Hasil Pilkada
Merupakan bagian ketiga yang memuat mengenai penyajian data
lembaga peradilan secara umum yang mememiliki peran dalam proses
sengketa Pilkada di Indonesia. Penjelasan mengenai data kongkret
penyelesaian sengketa Pilkada sebelumnya dan kredibilitas lembaga
terkait.
Bab IV: Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Hasil Pilkada
18
Merupakan bagian yang membahas secara mendalam fokus utama
disertai dengan hasil analisi data secara mendalam mengenai
Implementasi hukum dari Undang-Undang Pilkada.
Bab V: Penutup
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang dapat diberikan
oleh penulis.
19
BAB II
TEORI HUKUM DAN DEMOKRASI
A. Teori Demokrasi dan Negara Hukum
Permasalahan terkait demokrasi merupakan perbincangan yang aktual namun
juga klasik dalam suatu sistem pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari prinsip
demokrasi itu sendiri yang dinilai memiliki peran ideal dalam menunjang
pemerintahan, yang mana rakyat menjadi titik berat dalam menjalankan
pemerintahan suatu negara1
Secara etimologis atau bahasa demokrasi itu sendiri berasal dua suku kata yakni
dari kata demos (rakyat) dan kratein atau kratos (kekuasaan), dari kata ini dapat
diasumsikan bahwasanya kekuasaan Negara itu bersumber dan berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.2 Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan kekuasaan
dalam suatu negara. Pada era modern ini demokasi secara luas dianggap sebagai
konsep yang diidealkan oleh semua Negara di dunia. Meskipun dalam praktik
penerapannya, tergantung kepada penafsiran masing-masing Negara dan para
penguasa di Negara-negara yang menyebut dirinya demokrasi.
Demokrasi mempunyai kelemahan yaitu pada demokrasi terlalu mengandalkan
diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin “one man one vote” adapun
1 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.211 2 A. Salman Manggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan
Fajar Media, 2013, Cet. Pertama), h.220.
20
pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling menentukan keputusan.
Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.3
Dalam penerapan demokrasi khususnya di Indonesia sejarah menyebutkan
bahwasanya konsep pemikiran yang ditawarkan demokrasi yakni tidak lain dan
tidak bukan bertujuan untuk meniadakan kesenjangan sosial dan menyatukan
keberagaman yang sejatinya menjadi identitas negara Indonesia. Dengan
berlandaskan pancasila, demokrasi berimplikasi sebagai poros jalannya
pemerintahan dari awal kemerdekaan hingga dewasa ini. Perjalanan sejarah
tersebutlah yang memberikan warna tersendiri akan corak demokrasi di era
pemerintahan yang berkuasa pada masanya. Hingga kini demokrasi masih mengalir
dalam setiap sendi-sendi pemerintahan yang ada, ditopang dengan pembagian
wewenang berlandasakan pada asas check and balances perkembangan sistem
demokrasipun menjadi amat pesat hingga menentuh pada level pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat. Namun di sisi lain bukan tanpa celah,terkadang
demokrasi juga dimanfaatkan sebagai instrumen meraih kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara untuk memperoleh suara lebih maksimal manghancurkan
lawan politiknya.4 Disinilah celah daripada demokrasi yang perlu dibenahi terlebih
apabila adanya timbul persaingan politik yang tidak sehat dan justru merugikan
kepentingan rakyat yang terintimidasi kepentingan individu semata.
3 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.210 4 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Nusa media, 2010) h.113
21
Atas dasar kelemahan yang dimiliki demokrasi tersebut proses pengambilan
keputusan dalam dinamika kekuasaan Negara harus diimbangi dengan prinsip
keadilan, nomokrasi, atau the rule of the law.5 Prinsip inilah yang dinamakan prinsip
Negara hukum, yang mengutamakan kedaulatan hukum, prinsip supremasi hukum
(supremacy of law), atau kekuasaan tertinggi di tangan hukum.6
Teori negara hukum secara umum dibagi ke dalam dua jenis, yaitu teori negara
hukum formal dan teori negara hukum material. Pertama, teori negara hukum
formal, dipelopori oleh Immanuel Kant. Teori mengakibatkan negara bersifat pasif,
artinya tugas negara hanya mempertahankan ketertiban dan keamanan negara saja,
atau negara hanya sebagai ”penjaga malam”, sedangkan dalam urusan sosial
maupun ekonomi, negara tidak boleh mencampurinya.
Kedua, teori negara hukum material (welfare state), yang dipelopori oleh
Kranenburg. Teori ini menyatakan bahwa negara selain bertugas membina
ketertiban umum, ia juga ikut bertanggungjawab dalam membina dan mewujudkan
kesejahteraan rakyatnya. Teori ini banyak dipraktekkan di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia.7
Menurut Bagir Manan dalam bukunya Teori dan politik Konstitusi, untuk
melaksanakan prinsip Negara berdasarkan hukum harus memenuhi syarat tegaknya
5 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,mengumpulkan dan
Menemukan Kembali,(Bandung : Refika Aditama, 2007, Cet. Ketiga) h.76 6 Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni (Hans Kelsen), (Bandung : Nusamedia, 2010, Cet.
Ketiga) h.86 7 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum (Jakarta : Kencana, 2013,
Cet. Pertama), h. 100.
22
tatanan kerakyatan atau demokrasi, karena Negara berdasarkan atas hukum tidak
mungkin tumbuh berkembang dalam tatanan kediktatoran. 8 Dalam hal tersebut
rakyat semata-mata menjadi objek hukum dan bukan subjek hukum, karena itu
setiap upaya untuk mewujudkan tatanan Negara berdasarkan hukum tanpa diikuti
dengan usaha mewujudkan tatanan kerakyatan atau demokrasi akan sia-sia.9
Adapun apabila demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi yang
berlebihan yaitu mengembangkan kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian
sehingga Negara tersebut kacau. Negara demokrasi yang seperti ini bukanlah
demokrasi yang diidealkan. Demokrasi yang yang ideal itu demokrasi yang teratur
berdasarkan hukum. karena itu, antara ide demokrasi dan Negara hukum
(nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring, sehingga suatu Negara itu
dapat disebut sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai Negara hukum.10
demokrasi dan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu kualitas
demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukum Negara tersebut, begitu
pula sebaliknya.
Dalam hal ini peranan dari M ahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang
sementara dalam hal menyelesaikan perkara pemilihan kepala daerah yang
merupakan praktik demokrasi langsung. Tidak menutup mata praktik demokrasi
8 A. Salman Manggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan
Fajar Media, 2013, Cet. Pertama), h.120. 9 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,mengumpulkan dan
Menemukan Kembali,(Bandung : Refika Aditama, 2007, Cet. Ketiga) h.83 10 Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni (Hans Kelsen), (Bandung : Nusamedia, 2010, Cet.
Ketiga) h.79
23
yang berlangsung di masyarakat kerap digunakan sebagai ajang kontestasi politik
secara tidak sehat oleh para oknum yang memiliki hasrat berkuasa disuatu
pemerintahan daerah tertentu khususnya. Hal inilah yang memicu urgensitas dari
suatu lembaga untuk membentuk sistematika penyelesaian sengketa dalam praktik
pesta demokrasi yang ada, tentunya bermuara pada selisih hasil penghitungan suara
dalam suatu pemilihan langsung tersebut. Mahkamah Konstitusi disini yang
memiliki peranan dalam mengawal hak konstitusi dari warga negara dipandang
sebagai lembaga yang paling kredibel dan strategis guna menyelesaikan sengketa
perolehan suara dari pesta demokrasi yang ada sekaligus melindungi hak
konstitusional dari pada warga negara yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah
jika terjadi sengketa dalam hal selisih perolehan suara yang mencederai hasil
Pilkada secara langsung tersebut.
Dari pemikiran tersebutlah yang mana disini Mahkamah Konstitusi dinilai
berkompeten dan mampu sebagai lembaga pencari keadilan bagi para peserta
kontestasi pada Pemilihan Kepala Daerah yang mana amanat daripada kewenagan
yang diberikan oleh Undang-Undang No.10 Tahun 2016 yang mengatur secara
spesifik pesta demokrasi yang ada di Daeraah atau di sebut Pilkada.
B. Teori Trias Politika danAsas dalamPrinsip Negara Hukum
Dalam kehidupan berdemokrasi pemerintah yang memiliki kewenangan atas
dasar amanat rakyat ini tentunya dalam implementasinya membutuhkan suatu
sistem yang menyokong pemerintahan sehingga peran dalam menjalankan roda
24
pemerintahan dapat terdistribusikan secara merata guna menunjang kehidupan,
11melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh merata dan dengan kinerja yang
optimal. Berangkat dari tujuan tercapainya kesejahteraan rakyat dengan prinsip
kedaulatan yang berada di tangan rakyat guna menghindarkan dan mengoptimalkan
fungsi dan wewenang pemerintah di butuhkan adanya pemisahan kekuasaan secara
proporsional disamping menghindarkan potensi kedigdayaan pemerintah yang
otoriter karena memiliki peran dan fungsi yang bertumpu hanya pada satu titik
kekuasaan saja. Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar
belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang
berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan
menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi
warga negara dapat lebih terjamin12.
Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi
kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat
pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut;
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Eksekutif, yaitu
kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk
mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).
11 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Nusa media, 2010) h.117 12 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.213
25
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk
memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat
keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau
lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan
masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat
bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan
yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.13
Dalam menstabilkan kekuasan melalui pemahaman teori daripada Montesque tersebut
Indonesia pada dasarnya memiliki suatu pilar atau pegangan yang menjadi ciri khas
dan identitas hukum yang selaras dengan kehidupan bernegara bangsa Indonesia.
Hal ini mengacu pada prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman
sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara
sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di
samping, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia. Adapun Asas-Asas yang merupakan
bagian dari Prinsip Negara Hukum di Indonesia yakni : 14
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.132 14 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.39
26
Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi
yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi
hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan
pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya
bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut
sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih
tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem
pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan
kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Kepastian Hukum
Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan
perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak
sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara
untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen
hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum
positif15.
Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang harus ada
dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat
15 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab Dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset, 1994), h.95
27
memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara filsafati hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologi yaitu
menciptakan ketentraman dan kebahagian bagi hidup manusia, sebagai suatu tujuan
yang ingin dicapai setiap manusia dan merupakan hakikat dari hukum itu sendiri.
Menurut Theo Huijbers hakekat hukum juga menjadi sarana bagi penciptaan suatu
aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) 16 . Secara
Epistemologi hukum dilahirkan melalui suatu metode tertentu yang sistematis dan
obyektif serta selalu dilakukan pengkajian-pengkajian, sehingga melahirkan ilmu
hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam aspek Aksiologi,
hukum memiliki nilai-nilai yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum yang ditaati masyarakat mengandung nilai kepastian tidak terkecuali
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Nilai kepastian inilah yang harus
ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat memberikan rasa keadilan dan
menciptakan ketertiban. Hukum yang hidup dalam masyarakat
Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.
Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan
sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum
16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995) .h.75
28
yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan.
Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
b. Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena
itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
e. Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan17.
Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum
dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang
lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini
yang disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly),
17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995), .h.77
29
yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam
berorientasi dan memahami sistem hukum.
Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabila di
dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai berikut18:
a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.
c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas.
d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan.
g. Tidak boleh sering diubah-ubah.
h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
3. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative
18 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995), h.90
30
actions19’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau
kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat
diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk
pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing
atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang.
Sedangkan kelompok warga masyarakat
tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif,
misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
4. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam
segala bentuknya (due process of law)20, yaitu segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului
tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap
perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and
procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat
menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak
19Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta :
KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40 20 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama),, h.37
31
para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai
pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para
pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-
regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam
rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
5. Pembatasan Kekuasaan21
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-
wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi
dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi
dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara
vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi
dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-
wenangan.
21 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.38
32
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun
legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. 22 Dalam
menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali
hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan
dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
C. Teori Hukum Progresif dan Keadilan Substantif
Indonesia yang merupakan negara hukum berlandasakan Pancasila memiliki
tujuan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur dan sejahtera secara merata.
22 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40
33
Dengan kerangka tersebutlah hukum di Indonesia dibentuk berdasarkan tujuan
untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwasanya
makna dari hal ini adalah tujuan atau kondisi ideal yang dikehendaki harus
senatiasa berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.23 Adapun
jikasanya tidak tercapai kondisi ideal tersebut sangat mungkin disebabkan oleh
tidak berkualitasnya penegakan hukum yang ada di Indonesia, dari sinilah lahir
hukum progresif yang merupakan wujud daripada ketidakpuasan dan keprihatinan
atas kualitas penegakan hukum yang ada.
Dalam perspektif teori hukum progresif, hukum merupakan suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia pada kehidupan yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil sejahtera, dan membuat manusia bahagia.
Pernyataan ini berpuncak pada tuntutan akan kehadiran hukum progresif yang
mengandung pengertian tentang konsep, fungsi, dan tujuan hukum yang harus
diwujudkan. Hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth
(pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif bertolak dari
realitas empirik tentang bekerjanyahukum dalam masyarakat sekaligus refleksi
ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dari penegak hukum di Indonesia
pada akhir abad ke-20.
Landasan dalam hukum progresif terdapat dua asumsi pokok yakni yang
pertama hukum untuk manusia. Asumsi tersebut bermakna bahwasanya apabila
23 Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007,
Cet. Kedua), h.11
34
terdapat problematika dalam penyelesaian suatu permasalahan hukum maka
disinilah posisi hukum yang harus dapat dibenahi bukan sebaliknya manusia yang
dipaksa masuk ke dalam skema hukum tersebut. Yang kedua yakni hukum bukan
merupakan hal yang mutlak dan final, dikarenakan hukum tersebut pada dasarnya
harus dapat mengikuti dan dalam proses untuk menjadi. Pemikiran Prof. Satjipto
Raharjo ini sering dikenal “Law as a process law in the making” atau hukum yang
selalu dalam proses untuk menjadi.24
Nafas daripada teori yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto ini menggambarkan
kondisi antara realitas hukum yang dihadapi seorang hakim apabila hukum tertulis
atau Undang-Undang yang ada tidak dapat mewujudkan suatu keadilan yang hakiki
dalam perkara yang dihadapi. Karena dalam praktik penerapan yang ada terkadang
realitas yang dihadapi tidak dapat terselesaikan begitu saja dengan peraturan
perundang-undangan.
Esensi daripada lahirnya pemikiran progresif ini juga tidak lain dan tidak bukan
untuk mencapai keadilan yang sejatinya dibutuhkan oleh manusia melalui suatu
terobosan hukum tanpa terpaku dengan kitab tertulis semata. Makna keadilan
substantive sebagai bentuk realisasi dan konstruksi pemikiran penegakan hukum
yang progresif dan responsif sudah seperti mengalir dan mendarah daging dengan
nafas juga hakikat dibentuknya mahkamah ini. Yang mana khusus dalam
penanganan perkara terkait pelanggaran yang mengakibatkan selisih suara yang
24 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, (Jakarta
: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40
35
dapat dikatakan tidak halal tersebut tetap harus diputus secara seadil-adilnya karena
meskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap ditegakkan (fiat justitia et pereat
mundus).
Dalam mengkaji mengenai pokok permasalahan menggunakan beberapa teori
yang mencakup tentang demokrasi dan negara hukum, trias politika, asas dalam
prinsip negara hukum, serta mengenai keadilan substantive. Dari beberapa teori
tersebut sangatlah erat kaitannya dengan penegakan dan penerapan hukum dalam
lingkup perkara selisih hasil Pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana yang diketahui bahwasanya regulasi yang dijadikan landasan itu
sendiri memang sejatinya merupakan representasi kinerja para legislator. Namun
dalam hal ini tidak menutup kemungkinan adanya celah hukum yang bertolak
belakang dengan beberapa teori yang telah disampaikan tadi membuat suatu naluri
akademis diamanahkan untuk menganalisa lebih lanjut dengan aspek yang lebih
fokus berdasarkan cakupan data real yang turut dijadikan sarana terwjudnya suatu
konklusi dari fokus permasalahan yang dikaji.
36
BAB III
TINJAUAN UMUM PENANGANAN PERKARA SENGKERTA HASIL
PILKADA
A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Yudikatif
1. Definisi
Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hukum kehidupan secara umum yang
dikerjakan oleh para budak yang berada di luar batas kewarganegaraan.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga
tertinggi negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan
Mahkamah Agung (MA). Dalam hal ini Indonesia terhitung merupakan negara
yang ke tujuh puluh delapan yang memiliki lembaga pengadilan
konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materil sebuah undang-
undang. Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah Konstitusilah yang
memiliki wewenang penuh dalam menguji undang-undang tersebut.1 Selain itu
Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang dalam membubarkan partai
politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan presiden dan wakil
presiden apabila melakukan pelanggaran hukum. Dalam pembentukannya
mahkamah konstitsi pada awalnya menitikberatkan pada aspek pengujian PUU
terhadap Konstitusi yang ada atau sering terdengar dengan istilah Contitutional
1 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, (Jakarta :
KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.2
37
Court bahkan disamping itu sifat putusan yang final and bindng ini juka
memberikan ruang gerak Mahkamah Konstitusi menjadi sejajar dengan Lembaga
Peradilan Tertinggi negara yakni Mahkamah Agung namun tetap dalam naungan
kekuadsan kehakiman . Dari beberapa peranan yang melekat pada Mahkamah
Konstitusi julukan khusus yang diberikan kepadanya yakni The Guardian of
Constitution.2
2. Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang,
walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami perkembangan yang sangat
pesat dan tidak sepenuhnya dapat diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan
itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu terdapat dalam organisasi negara.
Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Dengan demikian, kedudukan MK
adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK
2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.132
38
adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan
keadilan 3 dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain,
yaitu MA,serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan
yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan
pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya
meliputi; Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK.
Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai
pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan
konstitusi.Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang
dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan.Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan
fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah
konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan
norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain
prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga negara.4
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), h.4 4 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah
pengalaman dalam pelaksanaan penanganan sengketa Pilkada oleh Mahkamah
Konstitusi di tahun 2017 ini. Begitu banyak kejutan terjadi diluar dugaan dan
belum pernah terjadi sebelumnya. Dari mulai penerapan hukum yakni UU
Pilkada dalam beberapa pasal nya diantaranya pasal 157 dan pasal 158 yang
memang mendominasi ruang sidang. Hingga fenomena sikap inkonsistensi para
Lawyer yang saling berhadapan menggunakan dan argument hukum yang
terkadang menerobos pasal 158 namun tak jarang yang mengagung-agungkan
pasal tersebut. Hal ini merupakan fenomena hukum yang memang dapat
dikatakan dapat terprediksi sebelumnya.
Selaras dengan peristiwa yang peneliti temui didalam ruang sidang yang
terjadi yakni apabila dalil argumentasinya di dua kubu yang berbeda tersebut
digabung sudah pasti saling bertentangan. Ketika advokat tersebut menjadi kuasa
hukum pemohon yang tidak memenuhi syarat selisih suara menggugat yakni 0,5-
2 persen, MK diminta melepaskan diri dari syarat selisih suara dalam Pasal 158
UU Pilkada. Namun, ketika advokat yang sama menjadi kuasa hukum pihak
terkait di daerah lain, argumentasi yang disampaikan mesti MK harus
menjalankan Pasal 158 UU Pilkada.”
Kata-kata yang mendominasi argument dari para lawyer tersebut yakni disatu
sisi dibilang Pasal 158 ini harus dipertahankan, tapi di sisi lain Pasal 158 ini harus
‘ditabrak’ (diterobos). Fenoomena tersebut berbanding lurus dalil utama sebagai
titik pembeda adalah potensi pelanggaran TSM (Terstruktur Sistematis dan
Masif) dengan dalil perlunya ditegakkan hukum secara utuh dan konsisten sesuai
67
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku yakni pada pasal 158
tersebut.
Pro kontra yang terjadi diruang sidang tersebut memang sudah menjadi hal
yang amat wajar dalam proses persidangan. Namun jika ditelaah secara
menyeluruh dominasi pertentangan dengan titik temu pasal 158 UU Pilkada
tersebut secara tidak langsung menggambarkan tidak adanya asas kepastian
hukum yang dapat diobang-ambing argumentasi perbedaan sudut pandang yang
dinilai secagai celah hukum bagi para pencari keadilan,
Tercermin dari keterangan yang dikemukakan Fajar Laksono bahwasanya
pada sengketa pilkada tahun kemarin sama juga seperti itu. Setiap kali sengketa
pilkada sama yang dipersoalkan yakni terkait ambang batas, namun hanya berdiri
di posisi berbeda dengan argumentasi yang berbeda.”14 Dari fenomena tersebut
tentu sudah selayaknya unsur kepastian hukum dalam UU Pilkada ini menjadi
dipertanyakan dan dievaluasi.
C. Efektivitas Penerapan UU Pilkada
Pelaksanaan Pilkada 2017 yang telah usai menghasilkan berbagai catatan
krusial yang mana letak pokok dan fokus yang telah tertuju dalam pokok pembahsan
yakni mengenai beberapa pasal terkait penyelesaian perkara sengketa hasil Pikada
oleh Mahkamah Konstitusi. Data yang telah dikemukakan sebelumnya secara
mendetail menerangkan peranan Mahkamah Konstitusi disini yang dijadikan poros
14 Agus Sahbani “Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal
12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com
68
penegakan hukum dalam sengketa hasil Pilkada, memiliki instrumen hukum yang
berkonstribusi pada pemberian landasan wewenang dan sebagai penunjuk kriteria
penerimaan perkara melalui putusan dismissal berdasarkan ambang batas dan
ketentuan hukum penunjang lainnya sebagai prasyarat sengketa tersebut dapat
ditindak lanjuti ke dalam forum Persidangan yang utama.
Dapat dinilai melalui data yang telah dikemukakan bahwasanya secara formil
Mahkamah Konstitusi telah bekerja semaksimal mungkin untuk menghandle
perkara yang diterimanya dalam penyelesaian Sengketa Pilkada 2017 ini. Namun
yang tidak dapat diabaikan disini yakni apakah kinerja Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan Undang-Undang ini juga dapat dikatakan efektif dalam hal
menegakkan keadilan substantive
Melihat fakta yang ada yakni dengan persentase Perkara Sengketa yang
berpotensi terjadi pelangaran atau kejahatan TSM (Terstruktur Sistemais dan Masif)
yang sangat mendominasi dalil pengajuan perkara, Keadilan substantive yang
menjadi tujuan utama Mahkamah Konstitusi kembali diuji melalui proses
penyelesaian sengketa yang persentasenya pengajuan perkaranya dapat dikatakan
cukup tinggi . Hal ini mengingat penentuan ambang batas yang amat kental
mencederai pertimbangan persyaratan dan bukti kuat lainnya menjadi seolah gugur
begitu saja tanpa ada pertimbangan hukum yang matang didalamnya. Padahal dalam
realitasnya upaya penegakan keadilan substantive tersebut dapat dikatakan cukup
optimal oleh MK disini. Proses putusan dismissal sebagai gerbang penyaring dan
69
penyeleksian perkara secara mendalam juga menjadi upaya tambahan Mahkamah
Konstitusi dalam melindungi keadilan substansial di sini.
Berdasar pada teori yang telah dikemukakan oleh Sacipto Raharjo mengenai
hukum progresif langkah-langkah yang ditempuh Mahkamah Konstitusi dalam
memutus serangkaaian perkara yang diajukan dapat dikatakan selaras dengan
prinsip dan landasan hukum tertulis yang disuarankan oleh Undang-Undang namun
tidak mengesampingkan aspek substantive didalamnya. Argumentasi yang
membuat situasi persidangan diombang ambing perbedaan sudut pandang terhadap
beberapa pasal direspon secara bijak dan tetap dalam koridor yang tepat dan efisien.
Selaras dengan prinsip demokrasi adanya peradilan sengketa Pilkada ini
sebagai sarana pencari keadilan yang diamanatkan melalui Undang-Undang
membuat tambahan kewenangan kepada MK tersebut bernilai amat krusial
Pemberian kewenangan yang mengacu pada prinsip trias politika membuat peran
Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Yudikatif sangatlah signifikan.
Namun bukan tanpa celah, pro dan kontra terhadap pasal 158 disini menuai
pandangan bahwasanya celah hukum yang ada dalam UU Pilkada cukup terbuka
dan menggoyahkan asas kepastian hukum didalmnya. Hal inilah yang memicu
problematika hukum yang perlu dicari solusinya. Dalam UU Pilkda sedemikian rupa
berupaya untuk memberikan sarana penunnjang demokrasi yang maksimal kepada
rakyat untuk memilih pemimpinnya namun dari sudut pandang lain metode
memperoleh kekuasaan dalam memimpin itulah yang harus dijaga agar
menciptakan mekanisme yang tetap berlandaskan keadian dan sesuai kehendak
70
rakyat. Untuk meraih keadilan inilah Indonesia sebagai negara hukum pada
dasarnya wajib untuk mengedepankan kepentingan warga negaranya dengan
menciptakan hukum yang dapat melindungi dan mengayomi hak warga negara
bukan hanya melenggangkan kepentingan politik didalamnya.15 Dari situlah terlihat
bahwasanya data antara selisih masing-masing calon menjadi tolak ukur
didalamnya, maka disisi lain akan ada potensi dan ambisi untuk berlomba-lomba
memperoleh suara secara tidak sehat melalui pelanggaran yang sifatnya terstriktur
sistematis dan massif menjadikan celah hukum didalamnya sangat dioptimalkan
untuk digunakan dalam melenggangkan kekuasaannya.16
Namun bukan tanpa antisipasi, Mahkamah Konstitusi disini juga berupaya
menjaga dan menyelaraskan amanh UU Pilkada tersebut melalui penerapan Putusan
dismissal disertai pemeriksaan pendahuluan. Hal ini dinilai urgen karena dengan
adanya pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang masuk ke MK akan
dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat menunjukkan
bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti-bukti
tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim, ambang batas tidak dapat
dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya pencarian keadilan substantif
.
15 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), h. 57 16 Hamdan Zoelva , “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah
Putusan SelaPerselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017
No Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Tanggal
Putusan1 Kabupaten Tolikara
14/PHP.BUP-XV/2017Dr. (HC) John Tabo, S.E., MBA dan Barnabas Weya, S.Pd
Putusan Sela / ProvisiPemungutan suara ulang pada semua TPS di 18 (delapan belas) distrik di Kabupaten Tolikara paling lambat 60 hari kerja.
3 April 2017
2 Kabupaten Puncak Jaya 42/PHP.BUP-XV/2017
Yustus Wonda, S.Sos., M.Si dan Kirenius Telenggen, S.Th., M.CE
Putusan Sela / Provisi Pemungutan suara ulang di semua TPS di enam distrik yaitu Distrik Lumo, Distrik Yamoneri, Distrik Ilamburawi, Distrik Molanikime, Distrik Dagai dan Distrik Yambi paling lambat 60 hari kerja
4 April 2017
Putusan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Gubernur dan Wakil Gubernur
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017No. Daerah / Nomor
Perkara Pemohon Putusan Tanggal Putusan
1 Provinsi Aceh31/PHP.GUB-XV/2017
H. Muzakir Manaf dan Ir. H. T. A. Khalid, M.M
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Provinsi Aceh berjumlah 5.101.473 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan pemohon sebesar 132.283 suara (5,48%)
4 April 2017
2 Provinsi Gorontalo44/PHP.GUB-XV/2017
Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Provinsi Gorontalo berjumlah 1.143.765 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan pemohon sebesar 159.701 suara (24,8%)
4 April 2017
3 Provinsi Banten
45/PHP.GUB-XV/2017
Rano Karno dan Embay Mulya Syarief
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 1% karena jumlah penduduk Provinsi Banten berjumlah 10.083.370 jiwa. Perbedaan jumlah jumlah total suara sah dengan pemohon sebe-sar 89.890 suara (1,90%)
4 April 2017
LAPORAN UTAMA
19 Nomor 122 • April 2017
Putusan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017No. Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Tanggal
Putusan
1 Kabupaten Intan Jaya 50/PHP.BUP-XV/2017
Bartolomius Mirip, S.Pd dan Deny Miagoni, S.Pd., M.Pd
Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua untuk melakukan Rekapitulasi Penghitungan Suara Lanjutan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Intan Jaya Tahun 2017 paling lambat 14 hari kerja.
3 April 2017
2 Kabupaten Bengkulu Tengah(1/PHP.BUP-XV/2017)
M. Sabri, S.Sos., M.M. dan Naspian
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Bengkulu Tengah berjumlah 107.630 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.511 suara (14,70%)
3 April 2017
3 Kabupaten Jepara2/PHP.BUP-XV/2017
Dr. H. Subroto, S.E., M.M. dan H. Nur Yahman, S.H.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf d UU Pilkada dengan ambang batas 0,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Jepara berjumlah 1.145.164 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 15.578 suara (2,50%)
3 April 2017
4 Kabupaten Tebo3/PHP.BUP-XV/2017
Hamdi, S.Sos., M.M. dan H. Harmain, S.E., M.M.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Tebo berjum-lah 324.420 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 17.700 su-ara (10,77%)
3 April 2017
5 Kabupaten Aceh Timur4/PHP.BUP-XV/2017
Ridwan Abubakar, S.Pd.I., M.M. dan Abdul Rani
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Timur berjumlah 419.143 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.530 suara (2,5 %)
3 April 2017
6 Kabupaten Aceh Singkil5/PHP.BUP-XV/2017
H. Safriadi, S.H. dan Sariman, S.P.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Singkil berjumlah 128.543 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 2.648 suara (4,38 %)
3 April 2017
7 Kabupaten Buton Selatan 6/PHP.BUP-XV/2017
H. Muhamad Faizal, S.E., M.S. dan Wa Ode Hasniwati
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Buton Selatan berjumlah 93.683 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.538 suara (3,8%)
3 April 2017
20 Nomor 122 • April 2017
8 Kabupaten Halmahera Tengah8/PHP.BUP-XV/2017
Muttiara T. Yasin, S.E., M.Si. dan Kabir Kahar, S.Ag.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Tengah berjumlah 49.337 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.128 suara (3,87%)
3 April 2017
9 Kabupaten Mappi9/PHP.BUP-XV/2017
Drs. Aminadab Jumame dan Stefanus Yermogoin, S.Sos.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Mappi berjumlah 100.993 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 5.598 suara (12%)
3 April 2017
10 Kabupaten Maluku Tenggara Barat12/PHP.BUP-XV/2017
Dharma Oratmangun dan Markus Faraknimella
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah 120.985 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 2.130 suara (3,8%)
3 April 2017
11 Kabupaten Pidie15/PHP.BUP-XV/2017
H. Sarjani Abdullah dan M. Iriawan, S.E.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Pidie berjumlah 435.608 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.673 suara (2,34 %)
3 April 2017
12 Kabupaten Bireuen16/PHP.BUP-XV/2017
H.M. Yusuf Abdul Wahab dan dr. Purnama Setia Budi, Sp. OG.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
13 Kabupaten Aceh Barat Daya17/PHP.BUP-XV/2017
H. Said Syamsul Bahri dan Drs. H.M. Nafis A. Manaf, M.M.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Pemohon bukan merupakan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017
3 April 2017
14 Kabupaten Buol18/PHP.BUP-XV/2017
Dr. Ir. H. Syamsudin Koloi, M.S. dan Dra. Hj. Nurseha, M.Si.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
15 Kabupaten Buru20/PHP.BUP-XV/2017
Ir. Bakir Lumbessy, MBA. dan Amarullah Madani Hentihu, S.E.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Buru berjumlah 129.233 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 12.662 suara suara (17,91%)
3 April 2017
LAPORAN UTAMA
21 Nomor 122 • April 2017
16 Kabupaten Sarmi21/PHP.BUP-XV/2017
Ir. Albertus Suripno dan Adrian Roi Senis, Amd.Tek
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sarmi berjumlah 36.051 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.924 suara (9,49%)
3 April 2017
17 Kabupaten Kepulauan Sangihe22/PHP.BUP-XV/2017
Drs. Hironimus Rompas Makagansa, M.Si. dan dr. Fransiscus Silangen, Sp.B., KBD
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Sangihe berjumlah 141.231 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 9.162 suara (10,83%)
3 April 2017
18 Kabupaten Nagan Raya23/PHP.BUP-XV/2017
Teuku Raja Keumangan, S.H., M.H. dan Said Junaidi, S.E.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Nagan Raya berjumlah 165.872 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.882 suara (9,18%)
4 April 2017
19 Kabupaten Aceh Utara24/PHP.BUP-XV/2017
Fakhrurrazi H. Cut dan Mukhtar Daud, SKH.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 1% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Utara berjumlah 569.426 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 16.636 suara (6,39%)
4 April 2017
20 Kabupaten Sarmi25/PHP.BUP-XV/2017
Drs. Mesak Manibor, M.MT. dan Sholeh
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
21 Kabupaten Sarolangun32/PHP.BUP-XV/2017
Drs. H. Muhammad Madel dan H. Musharsyah
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
22 Kabupaten Banggai Kepulauan33/PHP.BUP-XV/2017
Drs. H. Irianto Malingong, M.M. dan Hesmon Firatoni V.L. Pandili
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Banggai Kepulauan berjumlah 116.222 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.376 suara (6,45%)
4 April 2017
23 Kabupaten Buton Tengah37/PHP.BUP-XV/2017
Kiesman M. Talib Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
22 Nomor 122 • April 2017
24 Kabupaten Dogiyai38/PHP.BUP-XV/2017
Markus Waine dan Angkian Goo, S.Pi.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Dogiyai berjumlah 159.518 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 9.146 suara (7,22%)
4 April 2017
25 Kabupaten Sorong39/PHP.BUP-XV/2017
Zeth Kadakolo, S.E., M.M. dan H. Ibrahim Pokko
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sorong berjumlah 117.945 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 11.898 suara (21.38%)
4 April 2017
26 Kabupaten Sarmi40/PHP.BUP-XV/2017
Demianus Kyeuw-Kyeuw, S.H., M.H. dan Ir. Musriadi HP., M.Si.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sarmi berjumlah 36.051 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.059 suara (20,03%)
3 April 2017
27 Kabupaten Pati41/PHP.BUP-XV/2017
Gerakan Masyarakat Pati (GERAM PATI), dll
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
28 Kabupaten Maluku Tengah43/PHP.BUP-XV/2017
Alter Sopacua dan Aswar Rahim
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
29 Kabupaten Pulau Morotai46/PHP.BUP-XV/2017
M. Ali Sangaji, S.E., M.M. dan Yulce Makasarat, S.Th.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Pulau Morotai berjumlah 64.178 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 5.848 suara (15,26%)
4 April 2017
30 Kabupaten Lanny Jaya47/PHP.BUP-XV/2017
Briyur Wenda, S.Pd., MAP dan Paulus Kogoya, S.Sos.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Lanny Jaya berjumlah 115.597 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 34.566 suara (30,61%)
4 April 2017
31 Kabupaten Maluku Tenggara Barat49/PHP.BUP-XV/2017
Petrus P. Werembinan Taborat, S.H. dan Jusuf Siletty, S.H., M.H.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah 120.985 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.531 suara (15,37%)
4 April 2017
LAPORAN UTAMA
23 Nomor 122 • April 2017
Putusan AkhirPerselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Walikota dan Wakil Walikota
dalam Pilkada Serentak Tahun 2017
No. Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Alasan
1 Kota Sorong 7/PHP.KOT-XV/2017
Amos Lukas Watori, S.H. dan Hj. Noorjannah
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Pemohon bukan merupakan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017
3 April 2017
2 Kota Batu 11/PHP.KOT-XV/2017
Rudi dan Sujono Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
3 Kota Langsa 19/PHP.KOT-XV/2017
Fazlun Hasan dan Syahyuzar AKA, S.Sos.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
4 Kendari 26/PHP.KOT-XV/2017
Abdul Rasak, S.P. dan Haris Andi Surahman, S.Pd.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kota Kendari berjumlah 331.686 jiwa.Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 6.250 suara (4,13%)
4 April 2017
5 Kota Payakumbuh 27/PHP.KOT-XV/2017
Drs. H. Suwandel Muchtar, M.M. dan Drs. Fitrial Bachri
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
3 April 2017
6 Kota Tasikmalaya35/PHP.KOT-XV/2017
Ir. H. Dede Sudrajat, M.P. dan dr. H. Asep Hidayat Surdjo, Sp.A., M.Kes.
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan
4 April 2017
7 Kota Jayapura48/PHP.KOT-XV/2017
Lembaga Demokrasi dan Riset Papua (PDRI)
Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan