TEORI DAN IMPLEMENTASI PUTUSAN KONSTITUSIONAL BERSYARAT MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................2
1.1 Latar
Belakang...........................................................................2
1.2
Permasalahan.............................................................................3
1.3 Tujuan
Penulisan.......................................................................4
1.4 Metode
Penelitian.......................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................6
2.1 Mahkamah
Konstitusi...............................................................6
2.1.1 Sejarah Lahirnya Mahkamah Konstitusi.................6
2.1.2 Pengertian Mahkamah
Konstitusi............................7
2.1.3 Fungsi Mahkamah
Konstitusi...................................8
2.1.4 Wewenang Mahkamah
Konstitusi............................9
2.2 Putusan Mahkamah
Konstitusi...............................................11
2.2.1 Jenis Putusan Mahkamah
Konstitusi......................13
2.2.2 Kekuatan Hukum
Putusan.......................................16
2.3 Putusan Konstitusional
Bersyarat..........................................21
2.4 Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan
Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Constitutional).....23
BAB III
PENUTUP....................................................................................41
3.1
Kesimpulan...............................................................................
41
3.2
Saran..........................................................................................
46
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................47LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan Undang-Undang Dasar NRI 1945 telah membawa perubahan
besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam sistem kekuasaan
kehakiman (yudisial) di samping Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang ada di bawahnya telah muncul Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar RI 1945,
kekuasaan kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan Bab IX
Pasal 24 dan Pasal 25 UUD NRI 1945. Dalam Pasal 24 ayat (1)
disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Kemudian, barulah setelah perubahan ketiga UUD NRI 1945 (9 November
2001) telah terjadi perubahan yang menghadirkan Mahkamah Konstitusi
dalam Kekuasaan Kehakiman.Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004
tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi pokok Mahkamah Konstitusi
adalah sebagai pengawal konstitusi agar konstitusi dijalankan
dengan konsisten, serta sebagai penafsir tunggal konstitusi atau
Undang-Undang Dasar, sehingga hak-hak konstitusional warga negara
terjamin dan negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi yang ada.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir banyak keputusan Mahkamah
Konstitusi yang menyimpangi ketentuan Undang-Undang Dasar NRI 1945,
satu diantaranya adalah putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitusional) yang telah menjadi preseden dalam
peradilan konstitusi kita. Putusan konstitusional bersyarat berada
dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dalam lima
tahun ini telah mengeluarkan sebanyak sebelas putusan bersyarat
dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. 1.2
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang
dapat diambil antara lain adalah:
1.2.1 Apakah Mahkamah Konstitusi itu?1.2.2 Apa yang dimaksud
dengan putusan Mahkamah Konstitusi?1.2.3 Apa yang dimaksud dengan
putusan konstitusional bersyarat?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.3.1 Pengertian Mahkamah Konstitusi.
1.3.2 Pengertian dari putusan Mahkamah Konstitusi.
1.3.3 Pengertian dari putusan konstitusional bersyarat.
1.4 Metode Penelitian1.4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
deskriptif analitis yaitu menitikberatkan pada penggunaan data
sekunder di bidang hukum melalui penelitian kepustakaan, agar
diperoleh penjelasan yang menyeluruh dan sistematis tentang konsep
penggabungan usaha dan pengaruhnya sebagai arah dari monopoli
persaingan usaha. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh
data sekunder yaitu bahan-bahan yang relevan dengan permasalahan
yang hendak diteliti meliputi: bahan hukum primer seperti norma
dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi; bahan hukum sekunder yang member penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku hasil karya ilmiah,
jurnal-jurnal hukum; bahan hukum tertier yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
dan ensiklopedia. 1.4.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen terhadap
bahan-bahan primer, sekunder, dan tertier untuk mendapatkan
landasan teoritis berupa: hukum positif, pendapat-pendapat para
ahli atau pihak lain, data naskah-naskah resmi dan landasan
konsepsional yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
khususnya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. 1.4.3 Teknik Analisis
Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis yuridis yang bersifat deskriptif kualitatif, artinya
analisis data tidak menggunakan data kwantitatif (angka) namun
dengan menggunakan peraturan hukum, asas hukum, norma hukum, dan
pengertian-pengertian hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mahkamah Konstitusi
2.1.1 Sejarah Lahirnya Mahkamah Konstitusi
Sejak Reformasi tahun 1998, Undang-Undang Dasar RI 1945 sudah
beberapa kali mengalami perubahan dalam isinya. Salah satu
perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan diadopsinya
prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, antara lain
prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances sebagai
pengganti sistem supremasi parlemen. Hal ini berarti adanya
kesetaraan antar lembaga negara yang satu dengan yang lainnya.
Munculnya sistem checks and balances dalam sistem pemerintahan
adalah didasari atas banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam
pembuatan suatu Undang-Undang. Tidak jarang Undang-Undang yang
dibuat menyimpang dari Undang-Undang Dasar, karena pembentukan
Undang-Undang itu sendiri ditentukan lebih kepada kepentingan
politik bukan berdasarkan norma-norma yang lebih tinggi yaitu
konstitusi. Sistem checks and balances ini memiliki fungsi sebagai
sebuah mekanisme untuk menguji dan mengecek produk-produk yang
dihasilkan oleh DPR tersebut dapat dibenarkan secara konstitusional
bisa atau tidak. Dibenarkan secara konstitusional memiliki arti
bahwa produk-produk tersebut tidak menyimpang dari konsitusi kita
yaitu Undang-Undang Dasar NRI 1945. Salah satu produk amandemen UUD
NRI 1945 yang lahir adalah munculnya Mahkamah Konstitusi sebagai
puncak kekuasaan peradilan bersama-sama Mahkamah Agung. Hal ini
sebagai bentuk koreksi terhadap sistem pemerintahan Orde Baru yang
mengibiri lembaga legislatif dan yudikatif.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, MPR
menetapkan Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi Mahkamah
Konstitusi dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi
itu sendiri. Fungsi Mahkamah Konstitusi sudah berjalan sejak
disahkannya Pasal 3 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI
1945 hasil Perubahan Keempat, 10 Agustus 2002. Untuk pengaturan
lebih rinci mengenai Mahkamah Konstitusi, DPR dan Pemerintah
membahas Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konsitusi.
Rancangan Undang-Undang ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13
Agustus 2003 dan disahkan langsung oleh Presiden pada hari itu
juga. Pada tanggal 15 Oktober, Mahkamah Agung melimpahkan perkara
yang saat itu sedang dikerjakan sementara oleh Mahkamah Agung
kepada Mahkamah Konstitusi dan lalu perkara tersebut diproses dan
diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Proses penyelesaian perkara
oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai hari pertama
mulai beroperasinya Mahkamah Konstitusi sebagai salah saru pemegang
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar NRI
1945.
2.1.2 Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal tersebut tertera
dalam pasal 24 (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Visi dari Mahkamah
Konstitusi adalah untuk menegakkan konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang bermatabat. Adapun misi dari
Mahkamah Konstitusi terbagi dua yaitu mewujudkan diri sebagai salah
satu kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya, serta
membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar
berkonstitusi.Apa beda Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung?
Menurut undang-undang, setiap pelanggaran undang-undang diadili
oleh pengadilan di dalam lingkungan Mahkamah Agung yang berarti
setiap peraturan di bawah Undang-Undang yang dinilai bertentangan
di bawah undang-undang juga diuji langsung oleh Mahkamah Agung.
Sementara Mahkamah Konstitusi berfungi untuk menegakkan konstitusi
yang berhubungan langsung dengan Undang-Undang Dasar dan
undang-undang dibawahnya. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa
Mahkamah Agung adalah pengawal undang-undang (the guardian of the
law), sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal
Undang-Undang Dasar (the guardian of the constitution). Dengan kata
lain, Mahkamah Konstitusi mengadili undang-undang yang bertentangan
dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar, sementara Mahkamah
Agung mengadili peraturan di bawah undang-undang serta membawahi
peradilan pidana, perdata, dan peradilan tata usaha negara.2.1.3
Fungsi Mahkamah KonstitusiMahkamah Konstitusi mempunyai fungsi
sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution),
pengawal demokarasi (the guardian of the democracy) dan penafsir
konstitusi (the intepreter of the constitution). Dengan kata lain,
Mahkamah Konstitusi harus melaksanakan apa saja yang ada di dalam
konstitusi untuk menjaga demokrasi dan menafsirkan ketentuan yang
tidak jelas dalam konstitusi.
Sebagai Pengawal Konstitusi Mahkamah Konstitusi berfungsi
sebagai penjamin pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang
Dasar memiliki sifat enforceable yaitu harus dijalankan dan harus
tercermin dalam kebijakan peraturan perundang-undangan yang berada
dibawahnya. Di sinilah fungsi Mahkamah Konsitusi untuk
menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang ada dengan
konsitusi agar tidak lagi terjadi lahirnya suatu peraturan
perundang-undangan yang hanya berdasarkan kepentingan politik
semata.Sebuah negara yang berdemokrasi adalah negara demokrasi yang
berdasarkan atas hukum, dan demokrasi hukum tersebut adalah
demokrasi atas konstitusi. Agar sebuah negara benar-benar
menjalankan demokrasinya maka supremasi hukum di dalam negara
tersebut haruslah ditegakkan. Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal
Demokrasi mempunyai tugas untuk selalu mengawal konstitusi agar
tidak keluar jalur untuk pelaksanaan demokrasi yang adil di dalam
Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan dan pembuatan peraturan
perundang-undangan haruslah selalu berdasarkan konstitusi yang ada
yaitu Undang-Undang Dasar RI 1945. Mahkamah Konstitusi bertugas
untuk memastikan segala peraturan perundang-undangan yang ada
dibawah konstitusi tidak menyalahi isi konstitusi tersebut dan
didasarkan karena alasan keadilan dan perwujudan demokrasi.Sebagai
Penafsir Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi bertugas untuk
melengkapi apa yang menjadi kekurangan dalam undang-undang dan
memperbaiki kelemahan undang-undang tersebut. Diperlukannya
penyempurnaan terhadap undang-undang semata-mata dikarenakan
undang-undang tersebut dibuat dan ditafsirkan oleh manusia, dan
terkadang penafsir undang-undang tersebut menafsirkannya hanya
dalam rumusan politis semata. Salah satu bentuk penyempurnaan
undang-undang tesebut adalah dengan konvensi ketatanegaraan ataupun
penafsiran haki (judicial interpretation). Judicial Interpretation
ini lahir dalam bentuk putusan Hakim Mahkamah Konstitusi di mana
putusan Hakim Mahkamah Konstitusi ini merupakan penterjemahan atau
tafsir dari Undang-Undang Dasar. Di sinilah peran Mahkamah
Konstitusi sebagai penafsir Undang-Undang. Di dalam pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar RI 1945 menegaskan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final. 2.1.4 Wewenang Mahkamah
Konstitusi
Di dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar RI 1945 jo.
Undang Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah:
1.) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2.) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan.atau Wakil presiden menurut Undang-undang Dasar.
Sementara sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar RI 1945, Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan sebagai berikut:
1.) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2.) Memutus sengketa kewenangan kenbaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD
3.) Memutus pembubaran partai poitik
4.) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
5.) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela
6.) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wapres telah
tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan atau Wakil
Presiden
Kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang ditimpakan
kepada Presiden dan Wakil Presiden dapat berupa penghianatan
terhadap negara, tindak korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela lain atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.Kewenangan dan
kewajiban yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi mencerminkan
kuatnya niat negara ini untuk menyelengarakan sistem check and
balances sebagai perwujudan dari sistem lembaga peradilan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945. Mahkamah Konstitusi berperan untuk
memutus peradilan sengketa antar kewenangan lembaga negara di mana
lembaga negara tersebut menggunakan kewenangannya lebih dari yang
seharusnya sehingga berpotensi untuk melanggar kewenangan lembaga
negara lainnya. Sistem check and balances tersebut mengikat lembaga
negara yang sederajat akan tetapi saling mengendalikan satu sama
lain. Sehingga walaupun kedudukan antar lembaga negara tersebut
sederajat, mereka tidak dapat menggunakan wewenang mereka lebih
dari yang seharusnya karena antar lembaga negara tersebut saling
mengontrol dan mengendalikan. Mahkamah Konstitusi juga berwenang
sebagai payung hukum untuk melakukan uji undang-undang dalam
menjaga dan menegakkan konstitusi apabila terjadi pelanggaran
konstitusi lembaga eksekutif dan legislatif sebagai pembuat
undang-undang. Sebuah undang-undang merupakan hasil keputusan bulat
dari 55 orang di DPR. Akan tetapi apabila ada satu orang saja yang
melayangkan gugatan atas putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
tetap harus menerima dan melakukan pemeriksaan terhadap gugatan
tersebut. Produk Undang-Undang tidak boleh menimbulkan
ketidakadilan, tidak boleh melanggar hak konstitusional warga
negara meskipun hanya satu orang.
2.2 Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah keputusan terakhir yang
diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Konstitusi.
Rancangan putusan disusun oleh Anggota Hakim Panel yang mengani
perkara tersebut yang menyetujui isi keputusan akhir. Jika semua
anggota hakim panel tersebut mempunyai pendapat berbeda dengan
putusan yang disetujui oleh RPH, tugas pernacang putusan diserahkan
kepada hakim lain yang mempunyai pendapat yang sama dengan RPH.
Isi putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
1.) Kepala Putusan yang berbunyi :Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa;
2.) Identitas Pemohon dan Termohon;
3.) Ringkasan pemeriksaan yang memuat:
1. Tanggal diterima dan diperbaikinya permohonan;
2. Isi permohonan;
3. Alat-alat bukti yang diajukan oleh Para Pihak;
4. Hasil peemriksaan terhadap Termohon;
5. Keterangan Pihak Terkait;
4.) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
5.) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, mengenai:
1. Kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon;
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi;, dan
3. Pokok Perkara;
6.) Amar putusan, dapat berupa pernyataan bahwa permohonan:
1. Tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), jika
pemohon tidak mempunyai legal standing atau Mahkamah Konstitusi
tidak mempunyai keweangan memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan;
2. Dikabulkan, jika pemohon beralasan, atau;
3. Ditolak, jila permohonan pemohon tidak beralasan.
7.)Pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim yang tidak
menyetujui isi putusan, dan alasan berbeda (corcurring opinion)
dari hakim yang menyetujui putusan, tetapi dengan alasan yang
berbeda dengan alasan yang tercantum dalam pertimbangan perkara;
dan
8.)Hari, tanggal putusan disetujui dalam Rapat Permusyawaratan
Hakim (RPH) dan diucapkan, nama hakim, dan panitera pengganti.
Walaupun dalam Pasal 57 ayat (3) ditentukan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian
undang-undang wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu
paling lambat dalam 30 hari kerja sejak putusan diucapkan, hal itu
tidak berarti putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sejak dimuat
dalam Berita Negara. Permuatan putusan dalam Berita Negara
berfungsi sebagai registrasi dan sosialisasi, bukan bermakna
sebagai pernyataan pemberlakuan putusan.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003,
putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
(berlaku) sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 58 UU tersebut, khusu
dalam pokok pengujian undang-undang, undang-undang yang tengah
diuji tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sementara
itu sesuai dengan ketentuan Pasal 63 masih dalam UU yang sama,
dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah
Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan kepada pemohon dan/atau
termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai adanya putusan dari Mahkamah
Konstitusi.
Permohonan yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak
dapat diajukan kembali. Hal tersebut diatur dalam Pasal 60 UU Nomor
24 Tahun 2003 yang mengatakan bahwa Terhadap materi muatan, ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.2.2.1 Jenis Putusan Mahkamah
Konstitusi
Seperti halnya perkara pengujian undang-undang, putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional
antarlembaga negara tetap terdiri atas tiga kemungkinan, yaitu
permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, permohonan ditolak,
atau permohonan dikabulkan. Namun, selain putusan final tersebut,
khusus dalam perkara sengketa kewenangan, Mahkamah Konstitusi
berdasarkan ketentuan Pasal 63 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan
pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara
pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat mengenai hal
itu. Penetapan yang berisi perintah penghentian sementara tersebut
merupakan putusan sela atau putusan provisi yang dapat dikeluarkan
oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan dari pemohon.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa berdasarkan
Pasal 56 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa:
(1) dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan
tidak dapat diterima.
(2) dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(4) dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(5) dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik
mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan,
amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terdiri dari tiga macam yaitu:
a. Putusan tidak dapat diterimaPutusan ini dikeluarkan apabila
MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Maksud dari tidak
memenuhi syarat di sini dapat ditinjau dari dua hal. Pertama,
mengenai kewenangan MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara yang diajukan. Kedua, berkaitan dengan kedudukan hukum
(legal standing) pemohon. Untuk menilai apakah pemohon memiliki
legal standing atau tidak diukur dari:
1. Kualifikasi sebagai Pemohon, apakah sudah memenuhi ketentuan
dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK atau tidak.
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkoan pengujian.
3. Kerugian gak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian.b. Putusan dikabulkanPutusan ini dikeluarkan apabila MK
berpendapat bahwa permohonan pemohon cukup beralasan. Pemohon harus
menguraikan alasan yang cukup bahwa suatu materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dalam suatu undang-undang bertentangan
dengan UUD NRI 1945 atau suatu pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI
1945.c. Putusan ditolakPutusan ini dikeluarkan apabila MK
berpendapat bahwa undang-undang yang diajukan pemohon untuk diuji
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan.
2.2.2 Kekuatan Hukum PutusanSecara umum, putusan hakim mempunyai
tiga macam kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikatSuatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk
menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau
hukumnya. Penyerahan sengketa kepada pengadilan mengandung arti
bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan pastih pada
putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Putusan harus dihormati
dan para pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.
Terikatnya para pihak pada putusan menimbulkan beberapa teori yang
hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat sebuah
putusan.
2. Kekuatan hukum yang pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap
apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya
hukum biasa adalah perlawanan, badning, dan kasasi. Dengan
memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak dapat
diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan
upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh
pihak ketiga. Kekuatan pasti suatu putusan yang secara negatif
dapat diartikan bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara
pemohonan yang sebelumnya pernah diputuskan.
Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi
penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu
putusan telah mengkonstanstir suatu peristiwa tertentu berdasarkan
alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa
tersebut masih dapat disengketakan. Kekuatan mengikat dari putusan
tidak pula meliputi hukum objektif. Sebagai contoh misalnya putusan
hakim yang menetapkan apa yang dimaksudkan dengan alas hak dalam
pasal 584 KUHPerdata, sedangkan mengenai peristiwanya sendiri tidak
disengketakan.
3. Kekuatan pembuktian
Penuangan putusan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik,
bertujuan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin
diperlukan untuk mengajukan banding kasasi atau pelaksanaannya.
Putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara politis
bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar. Pasal 66 UUMK
menentukan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji
kembali. Dengan demikian adanya putusan MK yang telah menguji satu
undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa
telah diperoleh satu kekuatan pasti.4. Kekuatan eksekutorial atau
kekuatan untuk dilaksanakan
Sebagai satu perbuatan hukum pejabat negara yang dimaksudkan
untuk mengakhiri sengketa yang akan meniadakan atau menciptakan
hukum yang baru, maka tentu saja diharapkan bahwa putusan tersebut
tidak hanya merupakan kata-kata mati di atas kertas. Suatu putusan
dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
mentapkan hak dan hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya
menetapkan hak atau hukumnya saja melainkan juga realisasi atai
pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.
Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah
cukup dan tidak berarti apabila putusan tersebut tidak dapat
direalisasikan atau dilaksanakannya. Oleh karena itu putusan itu
menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudaian
direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial,
yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam
putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Satu putusan yang mengikat para pihak dalam perkara perdata
memberi hak para pihak yang dimenangkan untuk meminta putusan
tersebut dieksekusi jikalau menyangkut penghukuman atas pihak yang
kalah untuk melakukan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Dalam
hal demikian dikatakan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap itu mempunya kekuatan eksekutorial yaitu agar apa yang
diputuskan dilaksanakan dan jika perlu dengan kekuatan paksa (met
sterke arm).
Berkaitan dengan putusan MK dalam pengujian konstitusionalitas
Undang-Undang, di dalam Pasal 57 ayat (3) UU MK, dijelaskan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib
dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Ketentuan tersebut
mempertegas bahwa hakim MK adalah legislator dan putusannya berlaku
sebagai undang-undang sehingga dengan putusan tersebut tidak
diperlukan lagi amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu
yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara hukum. Dengan diumumkannya
putusan MK pada Berita Negara sebagaimana diperintahkan Pasal 57
ayat (3) UU MK di atas, berarti putusan MK telah dieksekusi. Dengan
ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa putusan MK tidak memberi
hak pada pemohon untuk meminta dilaksanakannya putusan tersebut
dalam bentuk perubahan undang-undang yang telah diuji MK tersebut
karena dengan dimuatnya putusan MK dalam Berita Negara berarti
putusan telah diesksekusi.
Pada putusan MK yang berkaitan dengan wewenang lainnya, yaitu
dalam hal mengadili sengketa antara lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya dari UUD dan berkaitan degan penyelesaian sengketa
perselisihan hasil pemilihan umum, sedikit agak berbeda dengan
pengujian undang-undang. Dalam hal penyelesaian sengketa antar
lembaga negara, terdapat dua pihak yang berhadapan yaitu pemohon
dan termohon yang sama-sama menganggap mempunyai wewenang yang sah.
Dalam putusan sela MK yang dikeluarkan sebelum putusan akhir
diambil dapat memerintahkan agar termohon sebagai lembaga negara
tidak melaksanakan wewenang yang dipersengketakan sebelum pokok
perkara diputus. Jika putusan akhir membenarkan putusan sela dan
dinyatakan termohon sebagai lembaga negara yang tidak berhak
menjalankan wewenang yang dipersengketakan kedua belah pihak
terikat dan wajib mematuhi putusan tersebut. Dalam hal termohon
tidak melaksanakan putusan tersebut, bahwa menurut hukum pemohon
sebagai pihak yang dibenarkan oleh MK berhak meminta
dilaksanakannya putusan tersebut.
Dalam putusan yang menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum,
jelas kiranya bahwa pemohon mempunyai hak untuk meminta dan
mengikat (final and binding). Artinya tidak dimungkinkan lagi
adanya upaya hukum.
Dalam menjalani Putusan Mahkamah Konstitusi, organ undang-undang
terkadang tidak mematuhinya secara penuh. Ketidakpatuhan (non
complience) ini dapat dicegah terjadi dengan beberapa instrumen,
antara lain :
Instrumen putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) yang disertai dengan instrumen judicial review,
yaitu pengujian terhadap rancangan undang-undang yang belum
disahkan menjadi undang-undang. Melalui cara ini, Mahkamah
Konstitusi turut serta dalam pembentukan undang-undang sehingga
tidak ada lagi perbedaan tafsir yang akan akan terjadi untuk ke
depannya pada saat undang-undang tersebut diterapkan. Ada beberapa
alasan mengapa instrument ini dapat mengatasi ketidakpatuhan organ
undang-undang dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu
:
a. Dapat membongkar kejahatan yang dilakukan oleh organ
undang-undang yang disebabkan pemaksaan kehendakan atau kepentingan
dan ketidakmampuan organ undang-undang dalam menjalankan
tugasnya.
b. Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan norma hukum untuk
memaksa orang undang-undang untuk menjalankan keputusan tersebut.
Akibatnya masyarakat dapat menilai keseriusan dari organ
undang-undang dalam menjalankan tugasnya.
c. Kontrol dari masyarakat yang berakibat lebih besar dari
putusan Mahkamah Konstitusi sendiri. Perhatian dari masyarakat atas
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara tidak langsung akan
membuat organ undang-undang untuk menaati dan melaksanakan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut.
2.3 Putusan Konstitusional Bersyarat
Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
adalah hal-hal baru yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, untuk
beberapa tahun belakangan ini, selama tugasnya dalam menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang yang ada di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menurut Yance Arizona, konstitusional bersyarat
adalah putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang
tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyartan
pada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu undang-undang untuk
memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atau
konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang suda diuji
tersebut. Menurut Jimly Asshiddiqie, suatu norma yang ada di
masyarkat baru dapat dikatakan sebagai norma konstitusional
bersyarat apabila konstitusionalitasnya digantungkan kepada :
Tafsir dan penafsiran atas norma tersebut menurut dasar
pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
memutuskannya;
Pada pelaksanaan lebih lanjut dari norma tersebut dalam
peraturan pelaksanaannya yan nantinya akan ditetapkan dalam
pelaksana undang-undang yang bersangkutan; atau
Pada penerapan norma ke depannya apakah sesuai dengan substansi
putusan Mahkamah Konstitusi dalam membenarkan norma
tersebut.Sebagai contoh, apabila ada pemohon yang mengajukan
permohonan atas inkonstitusioanlitas suatu pasal berdasarkan pada
kekhawatiran yang mungkin akan terjadi untuk masa yang akan datang
apabila pasal tersebut tetap berlaku. Mahkamah Konstitusi masih
mengatakan bahwa pasal tersebut berlaku dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Bisa disimpulkan bahwa,
konstitusional bersyarat atas norma yang diuji.
Sebagai perbandingan, konstitusional bersyarat di negara lain
adalah putusan constitutional requirement yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi Hungaria tahun 1993. Dalam amar putusan
tersebut, Mahkamah Konstitusi Hungaria menyatakan akibat hukum dari
uji konstitusional undang-undang, dan menentukan persyaratan
konstitusional apa saja yang tidak dipenuhi oleh undang-undang
tersebut agar tidak terjadi kekosongan hukum. Hal ini dikarenkan
untuk membatalkan suatu ketentuan yang dianggap tidak
konstitusional harus dilihat dari isinya terlebih dahulu
(constitutional content) dari norma hukum tersebut. Pada kasus yang
terjadi adalah pekara hak seorang anak untuk dapat menyatakan
keturunannya. Sebenarnya ada undang-undang yang berkaitan dengan
perkara tersebut, namun dinilai telah menghalangi hak anak tersebut
untuk menyatakan keturunannya.
Pada tahap constitutional requirement, putusan hakim konstitusi
menggunakan 2 (dua) macam definisi terhadap undang-undang yang akan
duji, yaitu :
Definisi positif (Positif definition), yaitu menyatakan bahwa
produk hukum tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal ini
berakibat dengan ditolaknya permohonan dari pemohon yang
mendalilkan suatu pasal dalam undang-undang bertentangan dengan
konstitusi.
Definisi negatif (Negative definition), yaitu menyatakan bahwa
produk hukum tersebut memang bertentangan dengan konstitusi. Oleh
sebab itu, pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi, yang
dimohonkan oleh pemohon akan dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Definisi tersebut yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
menolak atau mengabulkan suatu permohonan atas pengujian dari
produk hukum.
Putusan bersyarat baru terjadi pada tahun 2003 dalam kinerja
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam mengeluarkan putusan bersyarat
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu secara implisit dan eksplisit.
Impisit di sini maksudnya adalah tidak secara jelas disebutkan
bahwa putusan tersebut bersifat konstitusional bersyarat. Sedangkan
yang dimaksudkan dengan eksplisit adalah secara jelas disebutkan
bahwa putusan tersebut adalah putusan konstitusional bersyata.
Sampai saat ini sudah ada beberapa putusan konstitusional bersyarat
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung antara lain :
Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 tentang
Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air
Putusan Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang Perbuatan Hukum
Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi
Putusan Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007 tentang Persyaratan Tidak
Pernah Dipidana Untuk Menduduki Jabatan Publik
Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU/2007 tentang Kekuasaan Negara
Dalam Kegiatan Penanaman Modal
Putusan Perkara Nomor 29/PUU-V/2007 tentang Ketentuan Sensor
Film
Putusan Perkara Nomor 10/PUU-VI/2008 tentang Syarat Domisili
Bagi Calon Anggota DPD
Putusan Perkara Nomor 15/PUU-VI/2008 tentang Syarat Tidak Pernah
Dipidana Bagi Calon Anggota DPR
Putusan Perkara Nomor 026/PUU-III/2005 tentang Ketentuan
Pengalokasian Dana Pendidikan Kurang Dari 20% (dua puluh persen)
dalam APBN Tahun 2008
Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 tentang Kekuasaan
KPK dan Kebebasan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Putusan Perkara Nomor 18/PUU-V/2007 tentang Keterlibatan DPR
Dalam Proses Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.2.4 Pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan Konstitusional Bersyarat
(Conditionally Constitutional) Pertimbangan MK dalam menetapkan
putusan konstitusional bersyarat
Judul Perkara Pertimbangan Mahkamah Konsttusi (syarat
konstitusionalitas)
Putusan tentang Penguasaan negara atas Sumber Daya AirBahwa UU
SDA tetap konstitusional apabila peraturan pelaksana UU SDA sesuai
dengan hak penguasaan negara atas sumber daya air, yaitu merumuskan
kebijaksanaan (beleid); melakukan tindakan pengurusan
(bestuurdaad); melakukan pengaturan (regelendaad); melakukan
pengelolaan (beherersdaad); dan melakukan pengawasan
(toezichthoundendaad) sebagai pelaksanaan atas kewajiban pemerintah
didalam menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi
(fulfill) hak warga negara atas air.
Putusan tentang Perbuatan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana
KorupsiPasal 2 ayat (1) UU PTPK tetap konstitusional sepanjang
dalam pelaksanaannya oleh aparat hukum ditafsirkan bahwa unsur
kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung meskipun
belum terjadi.
Putusan tentang Persyaratan tidak pernah dipidana untuk
menduduki jabatan publik
Bahwa persyaratan tidak pernah dipidana untuk menduduki jabatan
publik sebagaimana diatur dalam undang-undang yang dimohonkan
adalah konstitusional hanya jika: (i) tidak mencakup tindak pidana
yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis), dan (ii) tidak
mencakup kejahatan politik.
Putusan tentang Kekuasaan Negara Dalam Kegiatan Penanaman Modal
Bahwa Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal tetap
konstitusional sepanjang di tafsirkan bahwa selain bidang-bidang
usaha yang telah dinyatakan sebagai bidang usaha yang tertutup bagi
penanaman modal asing oleh undang-undang a quo (yaitu produksi
senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang), juga terdapat
bidang-bidang lain yang undang-undang lain secara eksplisit
dinyatakan tertutup bagi penanaman modal asing.
Putusan tentang Ketentuan Sensor FilmBahwa UU Perfilman tetap
konstitusional sepanjang dalam pelaksanaanya dimaknai dengan
semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM
Putusan tentang Syarat domisili bagi calon anggota DPDPasal 12
huruf C UU Pemilu tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat
syarat domisili di propinsi
Putusan tentang Syarat tidak pernah dipidana bagi calon anggota
DPRBahwa pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menyatakan tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima ) tahun tetap
konstitusional sepanjang dimaknai tidak menyangkut kejahatan
politik dan tindak pidana karena kealpaan ringan (culpa levis)
Putusan tentang ketentuan pengalokasian dana pendidikan kurang
dari 20 persen dalam APBN tahun 2008 Bahwa UU APBN 2006 tetap
mengikat secara hukum dapat dilaksanakan sebagai dasar hukum
sepanjang pelaksanaan APBN dengan mewajibkan bagi Pemerintah dan
DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang akan diperoleh dari
hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil peningkatan
pendapatan pada anggaran pendidikan APBN-P 2006
Putusan tentang Kekuasaan KPK dan Kebebasan pengadilan tindak
pidana korupsiBahwa Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat sampai diadakan perubahan Undang-Undang (pembentukan
undang-undang dengan semangat pemberantasan korupsi) paling lambat
3 (tiga) tahun terhitung putusan diucapkan
Putusan tetntang Keterlibatan DPR dalam proses pembentukan
pengadilan HAM Ad-HocPenjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM
harusnya ditafsirkan bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan
Pengadilan HAM Ad-hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan
penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karena
itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh
hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi
yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan
Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000
Ciri dan Karakteristik Putusan Konstitusional Bersyarat
(Conditionally Constitusional)
Berdasarkan analisa pada putusan-putusan konstitusional
bersyarat diatas, ditemukan beberapa ciri dan karakteristik putusan
konstitusionalitas bersyarat, yang beberapa diantaranya
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang MK. Adapun ciri dan karakteristik putusan konstitusinal
bersyarat (conditionally constituonal) sebagai berikut:
Ciri dan karakteristik putusan konstitusionalitas bersyarat
(conditionally constitutional)Undang-Undang nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
1. Putusan konstitusional bersyarat memuat secara eksplisit
ataupun implisit syarat/content konstitusionalitas
undang-undangTidak diatur dalam UU MK
2. Tafsiran MK dalam putusan konstitusional bersyarat mengikat
kepada organ undang-undang dalam pernafsiran, pembentukan, maupun
praktek pelaksanaan peraturan perundang-undangan Tidak diatur dalam
UU MK
3. Putusan konsititusional bersyarat tidak bersifat final yang
mengikat. Undang-Undang yang pernah diuji dapat dimohonkan
pengujian kembali, manakala pembentukan peraturan
perundang-undangan maupun praktek pelaksanaan peraturan
perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan tafsiran
MK dalam putusan konstitusional bersyaratPasal 10
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesua tahun 1945
b. ........
Pasal 60
terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dalam unda
ng-undang yang telah tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
4. MK mengalami kesulitan dalam menentukan amar putusan
dikarenakan tidak adanya kesesuaian antara
pertimbangan-pertimbangan MK dengan ketentuan yang ada dalam UU MK.
Misalnya: Tidak ada kesesuaian antara pertimbangan MK dengan amar
putusan dalam UU MK.Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 50 dan 51, amar putusan meyatakan bahwa
permohonan tidak dapat diterima.
(2) dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohona
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945
(4) Dalam hal pembentukan UU yang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan UU berdasarkan UU NRI Tahun 1945, amar
putusannya menyatakan permohonan dikabulkan.
(5) Dalam hal UU dimaksud tidak bertentangan dengan UUD NRI
Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian
atau keseluruhan, ama putusannya menyatakan permohonan ditolak.
5. Sebagian besar putusan konstitusionalitas bersyarat, terjadi
dalam permohonan yang dinyatakan tidak beralasan, sehingga apabila
mengacu dalam UU MK seharusnya permohonan dinyatakan ditolak
6. Putusan konstitusional bersyarat dapat terjadi (karena
permohonan beralasan, undang-undang yang dimohonkan bertentangan
secara terbatas dengan UUD NRI 1945, dan undang-undang tetap
dinyatakan berkekuatan hukum mengikat)Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan undang-undang berdasarkan dengan UUD NRI tahun 1945,
Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
7. Putusan konstitusional bersyarat dapat juga terjadi (karena
permohonan beralasan, undang-undang yang dimohonkan bertentangan
dengan UUD NRI 1945, dan undang-undang tetap dinyatakan berkekuatan
hukum mengikat)
8. Putusan konstitusional bersyarat dimaksudkan untuk
menghindari kekosongan hukum akibat putusan MK
9. Putusan Konstitusional bersyarat telah mengantarkan MK tidak
hanya sebagai penafsir Undang-Undang, melainkan sekaligus sebagai
pembentuk undang-undang (positive legislator). Dalam beberapa
putusan konstitusional bersyarat MK telah menguji norma yang secara
eksplisit tidak tercantum dalam undang-undang-undang Pasal 51
(3)
Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD NRI tahun 1945
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945
10. Dalam putusan konstistusional bersyarat, konstitusionalitas
UU digantungkan pada keadaan waktu atau batas wPaktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam putusan MKPasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum
Perbandingan antara putusan MK menurut UU MK dengan putusan
konstitusionalitas bersyarat (consitionally constitutional), dapat
digambarkan sebagai berikut :
Putusan pengujian UU menurut UU MKPutusan konstitusional
bersyarat dalam praktek Keterangan
Sifat putusan Final dan Mengikat (Legally binding)Tidak bersifat
final dan mengikat (not final dan binding)Dalam putusan
konstitusionalitas bersyarat, undang- undang yang pernah diuji
dapat iuji kembali. Konstitusionalitas undang-undang digantungkan
pada penafsiran, pembentukan, praktek pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, keadaan waktu tertentu dan batas waktu
tertentu
Jenis putusan Declaratoir of constitutiefCondemnatoir
declaratoir constitutiefPutusan konstitusional bersyarat selain
meniadakan keadaan hukum atau membentuk keadaan hukum baru, dapat
juga memerintahkan organ undang-undang untuk melaksanakan putusan
MK
Norma yang diujikan Secara eksplisit tercantum dalam
undang-undang Secara eksplist dan implisitDalam putusan
konstitusional bersyarat, memungkinkan MK menguji norma yang tidak
secara ekspilist tercantum dalam undang-undang, artinya MK menguji
norma yang tidak ada terhadap UUD NRI 1945
Peran MKNegative legislatorNegative legoslator dan positove
legoslatorDalam putusan konstitusional bersyarat, MK membentukn
norma baru yang sifatnya mengatur.
Akibat Hukum Putusan
Amar dan putusan Tidak memnuhi syarat (tidak diterima), tidak
beralasan (ditolak), beralasan (dikabulkan)Tidak beralasan, putusan
(conditionally constitutional); beralasan (conditionally
constitutional)Putusan konstitusional bersyarat dapat terjadi dalam
hal amar putusan tidak beralasan atau beralasan namun putusannya
tidak dapat dimasukkan dalam salah satu jenis putusan menurut UU
MK
Peraturan TerkaitPermohonan dikabulkan, peraturan terkait tidak
mepunyai kekuatan hukum Permohonan dikabulkan, peraturan tekait
tetap mempunyai kekuatan hukum namun berlakunya dengan persyaratan
tertentu.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, yaitu setelah diucapkan
dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, seketika putusan MK
menjadi hukum (legally binding), dan tidak ada lagi upaya hukum
setelah itu. Sementara itu, putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) masih memungkinkan untuk dilakukan
pengujian kembali (rejudicial review). Dalam putusan konstitusional
bersyarat, konstitusional undang-undang digantungkan pada
syarat-syarat konstitusionalitas menurut tafsiran MK. Apabila organ
undang-undang dalam penafsiran, pembentukan, dan praktek
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan
tafsiran MK, maka undang-undang yang pernah diujikan ke MK
memungkinkan untuk dimohonkan pengujian kembali (rejudicial review)
Putusan konstitusional bersyarat dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Dalam putusan konstitusional bersyarat, undang-undang yang
pernah diuji dapat dimohonkan pengujian kembali (rejudicial
review), apabila syarat-syarat konstitusionalitas undang-undang
sebagaimana tafsiran MK ditaati organ undang-undang
Putusan konstitusionalitas bersyarat dapat menyebabkan krisis
konstitusionalitas undang-undang, karena memungkinkan pengujian
yang terus menerus terhadap yang sama. Adanya potensi pengujian
konstitusioanlitas undang-undang yang sama secara terus menerus
kepada MK, secara tidak langsung telah menyimpangi ketentuan UU MK
dan UU NRI 1945.
Pasal 60 UU MK menyatakan bahwa terhadap materi muatan, ayat,
pasal, dan atau bagian dalam undang-undang yag telah diuji tidak
dapat dimohonkan pengujian kembali. Pembentuk undang-undang telah
menetapkan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir dalam
pengujian konstitusionalitas undang-undang, dengan putusan yang
bersifat fianl dan terbuka untuk umum. Artinya, setelah dibacakan
putusan MK, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh dan
putusan MK mengikat kepada seluruh Warga Negara Indonesia dan organ
Undang-Undang. Putusan kosntituisonal bersyarat memberikan peluang
pengujian kembali (rejudicial review) undang-undang yang pernah
diujikan kepada MK. Dengan demikian, putusan konstitusional
bersyarat telah mendapatakan sifat final dan mengikat putusan MK
sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945 maupun UU MK.
Ketidaksesuaian antara desain pengujian konstitusionalitas
undang-undang yang ditetapkan UUD NRI 1945 maupun UU MK dengan
oraktek putusan konstituisionalitas bersyarat yang terjadi secara
berulang-ulang, sama saja membiarkan penyimpangan konstitusional
secara terus menerus oleh organ undang-undang. Keadaan tersebut
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaktaatan terhadap UUD
NRI 1945 dan UU MK yang daoat meyebabkan krisis konstitusional yang
membayahakan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Putusan konstitusional bersyarat telah mengantarkan MK terjebak
dalam ranah kekuasaan legislatif (positive legislator). Dalam
putusan konstitusionalitas bersyarat MK tidak sekedar menguji
konstitusionalitas undang-undang atau menetapkan pembatalan sebuah
norma dalam undang-undang, menetepkan norma baru dalam sebuah
undang-undang, dan juga dapat menetapkan putusan yang sifatnya
mengatur organ undang-undang dan seluruh Warga Negara
Indonesia.
Sebagai contoh misalnya. Putusan konstitusional bersyarat dalam
putusan perkara nomor 1/PUUI/2008 tentang syarat domisili calon
anggota DPD pada pemilu 2009. MK menguji norma yang secara
eksplisit tidak tercantum dalam UU Pemilu. Dalam putusannya, MK
menetapkan syarat domisili sebagai salah satu syarat calon anggota
DPD. Dalam hal ini, MK telah menambah dan membuat norma baru, yang
sebenarnya tidak tercantum pada pasal 12 dan Pasal 16 UU
Pemilu.
Berkaitan dengan putusan MK yang mulai ekspansif kedalam
kekuasaan legislatif, Moh. Mahfud MD, dalam makalahnya berjudul
Mahkamah Konstitusi dan Independence of Judiciary dalam Negara
Hukum Yang Demokratis. Menyebutkan mengenai 10 rambu yang harus
dijadikan landasan MK dan para hakimnya dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya, diantaranya adalah: (i) MK tidak boleh membuat
putusan yang sifatnya mengatur, pembatalan UU tidak boleh disertai
pengaturan, karena pengaturan adalah ranah legislatif. MK hanya
boleh mengatakan suatu UU atau isinya konstitusional atau tidak
konstitusional; (ii) MK tidak boleh membuat ultra petita, sebab
ultra petita berarti mengintervensi ranah legislatif. (iii) MK tiak
boleh mendalilkan UU sebagai dasar pembatalan UU lainnya, sebab
tugas MK itu menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan UU
terhadap UU lainnya. Tumpang tindih antara berbagai UU menjadi
bagian legislative review.
Putusan konstitusional bersyarat dapat menyebabkan
ketidakharmonisan di antara organ undang-undang. Beberapa
karakteristik putusan konstitusional bersyarat adalah dalam putusan
tersebut, MK dapat menafsirkan dan menentukan knstitusionalitas
undang-undangberdasarkan otoritasnya sendiri, MK dapat membentuk
dan menetapkan norma baru yang tidak ada dalam undang-undang, MK
dapat menetapkan putusan yang sifatnya mengatur organ undang-undang
dan seluruh WNI, dan dalam putusan konstituisonal bersyarat MK juga
dapat memerintahkan organ undang-undang dan pihak terkait untuk
melaksanakan putusan MK. Beberapa karakteristik putusan
konstitusional bersyarat diatas, telah menjadikan MK sebagai
lembaga superbody, penafsir tunggal konstitusi yang tidak ada
penyeimbangnya , selain Tuhan Yang Maha Kuasa.
Putusan konstitusional bersyarat secara perlahan telah mengambil
sebagian fungsi dan kewenangan organ undang-undang lainnya. Padahal
belum ada amandemen terhadap UUD NRI 1945 yang menambahkan atau
mengurangi fungsi dan kewenangan MK dan organ undang-undang
lainnya. Ekspansi kekuasaan MK kedalam kekuasaan organ lainnya
dapat menimbulkan konflik dengan organ undang-undang lainnya.
Apabila konflik ini terjadi, maka dapat menghambat pelaksanaan
putusan MK. Akibat jaminan terhadap hak-hak konstitusional warga
negara tidak terlaksana.
Putusan konstitusiona bersyarat telah menjadi praktek dalam
peradilan konstitusi di Indonesia dan beberapa negara lain didunia.
Putusan konstitusional bersyarat telah menjadi preseden dala
pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Selama
kurun waktu lima tahun awal pembentukan MK, MK telah mempraktekkan
putusan konstitusional bersyarat tidak kurang dari sepuluh kali.
Beberapa putusan diantaranya, MK menggunakan
pertimbangan-pertimbangan yang sama seperti putusan
konstitusionalitas bersyarat sebelum-belumnya. Artinya, MK telah
beberapa kali mengulang putusan dengan pertimbangan yang sama.
Akibat dari putusan MK tersebut tidak hanya berlaku pada pihak
pemohon, melainkan seluruh warga negara dan lembaga-lembaga negara
(orga emnes), maka dengan preseden ini, menjadikan MK tidak dapat
mengelak dalam mengadili perkara yang sama dikemudian hari.
Tabel
Organ undang-undang yang terkait dengan putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional)
Syarat konstitusional undang-undangOrgan undang-undang
terkait
UU SDA tetap konstitusional apabila peraturan pelaksana UU SDA
sesuai dengan hak penguasaan negara atas sumber daya air, yaitu
merumuskan kebijaksanaan (beleid); melakukan tindakan pengurusan
(bestuurdaad); melakukan pengaturan (regelendaad); melakukan
pengelolaan (beherersdaad); dan melakukan pengawasan
(toezichthoundendaad) sebagai pelaksanaan atas kewajiban pemerintah
didalam menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi
(fulfill) hak warga negara atas air.Eksekutif
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tetap konstitusional sepanjang dalam
praktek ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan
dan harus dapat dihitung meskipun belum terjadi.Yudikatif
Persyaratan dalam ketentuan yang dimohonkan dipandang memenuhi
tuntutan objektif bagi penentuan persyaratan untuk menduduki suatau
jabatan publik adalah konstitusional hanya jika: (i) tidak mencakup
tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis), dan
(ii) tidak mencakup kejahatan politik.Eksekutif dan Legislatif
Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal tetap
konstitusional sepanjang di tafsirkan bahwa selain bidang-bidang
usaha yang telah dinyatakan sebagai bidang usaha yang tertutup bagi
penanaman modal asing oleh undang-undang a quo (yaitu produksi
senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang), juga terdapat
bidang-bidang lain yang undang-undang lain secara eksplisit
dinyatakan tertutup bagi penanaman modal asing. Eksekutif dan
Legislatif
UU Perfilman tetap konstitusional sepanjang dalam pelaksanaanya
dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan
HAMEksekutif
Pasal 12 huruf C UU Pemilu tetap konstitusional sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di propinsiEksekutif dan
Legislatif
pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menyatakan tidak pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima ) tahun tetap konstitusional
sepanjang dimaknai tidak menyangkut kejahatan politik dan tindak
pidana karena kealpaan ringan (culpa levis)Eksekutif
UU APBN 2006 tetap mengikat secara hukum dapat dilaksanakan
sebagai dasar hukum sepanjang pelaksanaan APBN dengan kewajiban
bagi Pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang
akan diperoleh dari hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil
peningkatan pendapatan pada anggaran pendidikan APBN-P
2006Eksekutif dan Legislatif
Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai
diadakan perubahan Undang-Undang (pembentukan undang-undang dengan
semangat pemberantasan korupsi) paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung putusan diucapkanEksekutif dan Legislatif
Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM harusnya
ditafsirkan bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan
HAM Ad-hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan
dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak
akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil
penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang
berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan
Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000Legislatif
Implementasi Putusan Konstitusionalitas Bersyarat (Conditionally
Constitutional)
Dalam perkara perdata, suatu perjara diajukan oeh pihak yang
bersangkutan kepada pengadilan adalah untuk medapatkan pemeahan
atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara tersebut diakhiri dengan
putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putuasan saja belumlah
selesai persoalannya. Putusan tersebut harus dapat dilaksanakan
atau dijalankan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila
tidak dapat dilaksanakan. Begitu pula dengan putusan MK. Tentunya
pemohon berharap dengan mengajukan permohonan pengujian
konstitusionalitas undang-undang kepada MK, maka apabila MK
megeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat, maka kerugian
konstituisonal pemohon dapat segera terpulihkan. Putusan final dan
mengikat tidak akan ada gunanya apabila tidak ada implementasi
putusan tersebut oleh organ-organ undang-undang.
Persoalan implementasi putusan MK, menjadi satu persoalan
krusial dalam pengujian undang-undang Tidak diresponnya putusan
yang bersifat final dan mengikat berarti telah menimbulkan krisis
konstitusional. Yang dapat menyebabkan hilangnya kewibawaaan MK
sebagai pengadilan pertama dan terakhir yang mendapatkan mandat
konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi. Namun demikian,
fakta menunjukkan bahwa banyak putusan MK yang tidak mendapatkan
respon positif dari organ konstitusi lainnya, bahkan tidak jarang
memperoleh tantangan sengit dari segelintir aktor-aktor negara
nonjudicial.
Berkaitan dengan implementasi putusan MK, di dalam UUD NRI 1945
maupun UU MK telah secara tegas dinyatakan, pada Pasal 24 C ayat
(1) UUD NRI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK menegaskan bahwa
Mahkamah Kontitusi berhak mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD NRI 1945. Selanjutnya dalam dalam Pasal 57 UU MK,
dinyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusann diucapkan.
Hal ini dimaksudkan agar putusan diimplementasikan oleh organ
undang-undang lainnya, maka UU MK memerintahkan kepada MK untuk
menyerahkan putusan MK kepada organ Undang-Undang dasar lainnya.
Contoh dari implementasi Putusan konstitusional bersyarat yang
terdapat pada Putusan Perkara Nomor 29/PUU-V/2007 tentang Ketentuan
Sensor Film, yaitu pada bagian konklusi 4.1.2 :
Bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum yang
berakibat terjadinya ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perfilman
a quo beserta ketentuan tentang sensor dan lembaga sensor film yang
termuat di 230 dalamnya, tetap dapat dipertahankan keberlakuannya,
sepanjang dalam pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru untuk
menjunjung tinggi demokrasi dan HAM atau dengan kata lain UU
Perfilman a quo yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor
yang dimuat di dalamnya bersifat conditionally constitutional
(konstitusional bersyarat). Oleh karena itu, keberadaan sensor dan
lembaga sensor (LSF) yang tercantum dalam UU Perfilman sepanjang
memenuhi syarat-syarat tersebut di atas tetap konstitusional.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, tentang pokok
permasalahan dalam penulisan hukum ini, dapat disimpulkan bahwa
putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
adalah putusan MK yang menggantungan konstitusionalitas sebuah
undang-undang kepada syarat konstitusionalitas sesuai tafsiran MK.
Konstitusionalitas undang-undang digantungkan pada penafsiaran
terhadap undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan,
praktik pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dan batas waktu
yang telah ditentukan dalam tafsiran MK. Putusan konstitusinal
bersyarat (conditionally constitutional) mempunyai enerapa cirri
dan karakteristik putusan, diantaranya adah : putusan tidak
bersifat final dan mengikat, putusan memberikan tafsir sekaligus
menentukan syarat-syarat konstitusionalitas undang-undang,
undang-undang yang sudah diuji dapat dimohonkan pengujian kembali
(rejiducial review), putusan dapat menambahkan norma yang tidak
tercantum dalam undang-undang, putusan dapat bersifat mengatur dan
sekaligus memerintahkan organ undang-undang untuk melaksanakannya,
dan lain sebagainya.
Selanjutnya, akan diuraikan secara singkat jawaban permasalahan
sebagaimana telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dalam makalah
ini.
1. Pertimbangan MK dalam menetapkan putusan konstitusionalitas
bersyarat (conditionally constitutional) dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dalam periode 2003-2008, adalah
sebagai berikut :
a. UU SDA tetap konstitusional apabila peraturan pelaksananya
sesuai dengan hak penguasaan negara atas sumber daya air, yaitu
merumuskan kebijaksanaan (beleid); melakukan tindakan pengurusan
(beturstaad); melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan
pengelolaan (beherersdaad); dan melakukan pengawasan
(toezichhoudendaad) sebagai pelaksanaan atas kewajiban pemerintah
di dalam menghormati (respect), melindungi (protect) dan memenuhi
(fulfill) hak warga negara atas air
b. Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tetap konstitusional sepanjang dalam
praktiknya ditafsirkan bahwa kerugian negara harus dibuktikan dan
harus dapat dihitung meskipun belum terjadi
c. Persyaratan dalam ketentuan yang dimohonkan dipandang
memenuhi tuntutan obyektif bagi penentuan persyaratan untuk
menduduki suatu jabatan publik adalah konstitusional hanya jika:
(i) tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan
(culpa levis), dan (ii) tidak mencakup kejahatan politik
d. Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal tetap
konstitusional sepanjang ditafsirkan bahwa selain di bidang-bidang
usaha yang telah dinyatakan sebagai bidang usaha yang tertutup bagi
penanaman modal asing oleh undang undang a quo (yaitu produksi
senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang), juga terdapat
bidang-bidang lain yang oleh undang-undang lain secara eksplisit
dinyatakan tertutup bagi penanam modal asing
e. UU Perfilman tetap konstitusional sepanjang dalam
pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung
tinggi demokrasi dan HAM
f. Pasal 12 huruf c UU Pemilu tetap konstitusional sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di propinsi
g. Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu tetap konstitusional
sepanjang dimaknai tidak menyangkut kejahatan politik dan tindak
pidana karena kealpaan ringan (culpa levis)
h. UU APBN 2006 tetap mengikat secara hukum dan dapat
dilaksanakan sebagai dasar hukum pelaksanaan APBN dengan kewajiban
bagi Pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang
akan diperoleh dari hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil
peningkatan pendapatan pada anggaran pendidikan dalam APBN-P
2006
i. Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat
sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung
putusan diucapkan
j. Penjelasan pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM harus
ditafsirkan bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan
HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan
dari institusi Komnas HAM dan Kejaksaan Agung
2. Implikasi dan implementasi putusan konstitusionalitas
bersyarat (conditionally constitutional) dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI 1945Putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) mempunyai beberapa implikasi dalam
pengujian konstitusionalitas undang-undang, yaitu : Pertama,
putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
telah mengubah sifat putusan MK yang bersifat findal dan mengikat
menjadi tidak bersifat final dan mengikat. Terhadap undang-undang
yang pernah diputus konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) dapat dimohonkan pengujian kembali (judicial
review) apabila organ undang-undang dalam menafsirkan, membentuk,
atau melaksanakan peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan
tafsiran MK. Kedua, putusan konstitusionalitas bersyarat
(conditionally constitutional) dapat mengakibatkan ketidakpastian
hukum karena dimungkinkan sebuah undang-undang dimohonkan pengujian
secara berulang-ulang di MK. Ketiga, putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) dapat mengakibatkan krisis
konstitusionalitas undang-undang karena beberapa karakteristik
putusan konstitusionalitas bersyarat (conditionally constitutional)
telah mereduksi beberapa ketentuan dalam UUD NRI 1945 dan UU MK.
Dan adanya praktik putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional ) secara berulang-ulang sama halnya melegitimasi
penyimpangan terhadap UUD NRI 1945. Keempat, putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) telah menjerumuskan MK ke
dalam kekuasaan legislative (positive legislator). Dalam putusan
konstitusional bersyarat, MK tidak sekedar menguji
konstitusionalitas undang-undang atau menetapkan pembatalan norma
dalam undang-undang (legislative legislator), melainkan juga
menafsirkan konstitusionalitas undang-undang, dan menetapkan norma
baru dalam undang-undang. Termasuk juga menetapkan putusan yang
sifatnya mengatur organ undang-undang dan seluruh warga negara
Indonesia. Hal demikian adalah kekuasaan organ positive legislator
bukan negative legislator. Kelima, putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) dapat menimbulkan disharmonisasi
antara MK dengan organ undang-undang lainnya. MK merupakan organ
yang diberikan kewenangan UUD NRI 1945 untuk menyelesaikan sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD NRI 1945, namun dalam hal ini MK dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang. Karena putusan tersebut, telah
dipraktikkan MK berkali-kali dalam lima tahun terakhir, dan telah
beberapa kali MK menetapkan putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) dengan mendasarkan pada
putusan-putusan sebelumnya.
Dari aspek pelaksanaan putusan MK oleh organ undang-undang,
putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
lebih implementatif dibandingkan dengan putusan MK pada umumnya.
Beberapa alasannya ialah:
a. Putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) memiliki instrumen rejudicial review (pengujian
kembai terhadap undang-undang yang pernah diujikan). Adanya
instrumen tersebut dapat membongkar kejahatan konstitusional yang
dilakukan organ undang-undang, dan dapat membeberkan fakta kepada
public bahwa telah ada resistensi organ undang-undang terhadap
konstitusi, karena adanya kepentingan organ yndang-undang yang
ingin dipaksakan melalui undang-undang atau karena ketidakmampuan
organ undang-undang dalam melaksanakan konstitusi. Rejudicial
review, dapat menjadi momok menakutkan bagi organ undang-undang di
hadapan rakyat. Adanya instrumen rejudicial review dalam putusan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) paling
tidak memberikan dorongan bagi organ undang-undang untuk
melaksanakan putusan MK.
b. Melalui putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional), MK dapat memerintahkan/mewajibkan organ
undang-undang untuk menaati dan melaksanakan putusan MK dalam batas
waktu tertentu. Apabila organ undang-undang tidak melaksanakan
putusan tersebut, MK dapat membentuk norma hukum yang sifatnya
mengatur melalui putusannya. Adanya putusan-putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) public dapat mengukur
tingkat keseriusan organ undang-undang dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
c. Kontrol public terhadap pelaksanaan putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) lebih besar dibandingkan
dengan putusan MK pada umumnya. Terlihat dari diskursus yang cukup
banyak terhadap putusan tersebut, baik melalui media diskusi,
seminar, lokakarya, pemberitaan media cetak dan elektronik,
termasuk kajian-kajian dan analisis dalam jurnal konstitusi yang
secara resmi diterbitkan MK. Perhatian public yang cukup besar
terhadap putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) secara tidak langsung akan mendorong organ
undang-undang untuk menaati dan melaksanakan putusan MK
3. UU MK tidak mampu menjamin implementasi putusan MK oleh organ
undang-undang. Karena beberapa alasan: pertama, implementasi
putusan MK sangat ditentukan oleh komitmen dan niat baik organ
undang-undang, yang sangat subyektif; Kedua, UU MK tidak mengatur
tentang batas waktu putusan MK harus dilaksanakan; Ketiga, UU MK
tidak memperbolehkan MK menetapkan putusan yang bersifat mengatur
atau memerintahkan, padahal putusan MK tidak me miliki daya paksa
untuk dilaksanakan; Keempat, MK tidak memiliki kewenangan untuk
menerima pengaduan konstitusional (constitutional complaint)
seseorang akibat penerapan hukum dalam putusan pengadilan yang
tidak sesuai dengan putusan MK; Kelima, MK tidak memiliki organ
eksekutorial untuk mengawal pelaksanaan putusan MK; Keenam, tidak
ada ketentuan dalam UU MK tentang peran serta masyarakat dalam
putusan MK,akibatnya banyak putusan MK yang minim dukungan dari
masyarakat. Putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) termasuk putusan yang lebih implementatif
dibandingkan dengan putusan MK pada umumnya. UU MK dan UUD NRI 1945
tidak membenarkan adanya putusan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional). Namun dalam lima tahun terakhir,
kerap kali MK mengeluarkan putusan tersebut. Sehingga putusan
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) telah
menjadi praktik yang lumrah dalam pelaksanaan pengujian
undang-undang di MK.
3.2 Saran
Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
yang disertai dengan instrumen judicial preview dapat dijadikan
salah satu instrumen untuk mengatasi ketidakpatuhan
(non-compliance) organ undang-undang terhadap putusan MK; instrumen
constitutional complaint yang disertai dengan constitutional
question; instrumen corrective conviction; instrumen judicial order
atau injunction, dan instrumen legislative terbatas.
Untuk menghindari penyimpangan lebih lanjut terhadap UUD NRI
1945 dan UU MK dalam praktik pengujian konstitusionalitas
undang-undang, maka perlu dipertimbangkan untuk memasukkan beberapa
instrumen di atas dalam amandemen UUD NRI 1945 dan UU MK ke
depannya.DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta.
________________. 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta._______________. 2006.
Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
_______________. 2006. Setengah Abad Jimly Asshiddiqie
Konstitusi Semangat, Sumber Agung, Jakarta.Fadjar, Abdul Mukhtie.
2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press,
Jakarta.Mertokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
____________________. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, YogyakartaRoestandi, Achmad. 2006. Mahkamah Konstitusi
Dalam Tanya Jawab, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2006. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
JakartaSoekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum
Normatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
II. MAKALAHMakalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10
Maret 2008, hlm. 3. Dalam pendapat ahli pada putusan perkara nomor
10/PUU-I/2008, hlm. 135.
Arizona, Yance, ttt, Dibalik Konstitusionalitas Bersyarat
Putusan Mahkamah Konstitusi,ttd, Jakarta Abdul Mukhtie Fadjar,
Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Cet. 1, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), hlm. 109.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13.
Suatu penelitian hukum normative yang mempergunakan data
sekunder sebagai sumbernya, tata cara sampling tidak perlu
dilakukan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya data sekunder
dalam bidang ilmu hukum, masing-masing mempunyai kualitas
tersendiri yang tidak mungkin diganti. Lihat Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006),
hlm. 68.
Jimly Asshiddiqie, Setengah Abad Jimly Asshiddiqie Konstitusi
Semangat Kebangsasaan, Cet. 1, (Jakarta: Sumber Agung, 2006), hlm.
28.
Ibid., hlm. 33.
Ibid., hlm. 37.
Ibid., hlm. 39.
Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Cet. 1, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 250.
Ibid., hlm. 251.
Ibid., hlm. 43.
Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Cet. 1,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2006), hlm. 212.
Ibid., hlm. 214.
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara, Cet. 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 226.
Sudikno Mertokusumo, hlm., 206
Ibid.
Ibid., hlm. 208.
Ibid., hlm. 209.
Ibid.
Ibid., hlm. 210.
Yance Arizona, op.cit., hlm. 14.
Makalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10 Maret 2008,
hlm. 3.Dalam pendapat ahli pada putusan perkara nomor
10/PUU-I/2008, hlm. 135.
Ibid., Hlm. 135.
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 239
Kejahatan konstitusional: dalam sumpah jabatan pejabat negara
telah bersumpah berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, dengan
melakukan perbuatan hukum yang melanggar UUD NRI 1945, dan
mengakibatkan kerugian konstitusional bagi warga negara Indonesia,
berarti pejabat yang bersangkutan telah melakukan sumpah palsu,
sebagai satu kejahatan
46