Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019 ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x 244 PERAN FASHION INNOVATIVENESS, BRAND IMAGE DAN LOVEMARKS DALAM MENCIPTAKAN BRAND LOYALTY Tamara Hanum 1 , Tengku Ezni Balqiah 2 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, [email protected]2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, [email protected]ABSTRAK: Perkembangan industri fashion di Indonesia mengalami peningkatan yang baik terutama dari segi inovasi yang menyebabkan adanya brand-brand baru bermunculan, dimana konsumen umumnya merupakan milenial. Hal ini menyebabkan peran milenial semakin mendominasi sektor tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Fashion Innovativeness pada milenials dan pengaruhnya terhadap brand image dimensions (Cognitive, Sensory, dan Affective Associations) pada brand fashion favorit, kontribusi brand image dimensions kepada lovemarks (brand love dan brand respect), selanjutnya pengaruh lovemarks pada brand loyalty. Penelitian ini mengembangkan model lanjutan dari brand equity (CBBE) dan brand image dimensions. Model yang dikembangkan kemudian divalidasi menggunakan Structural Equations Modeling (SEM) berdasarkan data yang diperoleh melalui survey kepada 532 responden yang memiliki brand fashion favorit, dengan rentang usia 19-39 tahun. Hasil penelitian ini mengonfirmasi bahwa fashion innovativeness secara positif berpengaruh terhadap brand image associations yang kemudian akan memengaruhi brand love dan brand respect serta terhadap brand loyalty. Implikasi manajerial serta saran bagi penelitian selanjutnya juga dibahas pada penelitian ini. Kata Kunci: Fashion innovativeness, Brand image, Brand loyalty, Lovemarks ABSTRACT: The development of fashion industry in Indonesia experiences a positive surge fundamentally from the innovation factor, which causes new brands to emerge, in which the main consumers are millenials. This causes the role of millenial to be more dominant in the afformentioned sector, hence this research aims to understand the relationship between millenials consumers and Fashion Innovativenes and Brand Image Dimensions (Cognitive, Sensory, and Affective) on favorite fashion brands, the contribution of Brand Image Dimensions towards Lovemarks (Brand Love and Brand Respect), and the impact toward Brand Loyalty. This research developed the model modified from Consumer-based Brand Equity (CBBE) and Brand Image dimensions. The developed model was then validated using Structural Equation Modeling (SEM) based on data retreived from surveys on consumers, within the age of 19-39 years old, with favorite fashion brands. The findings confirmed that Fashion Innovativeness positively influenced the use of Brand Image Assosication which then further influenced Brand Love and Brand Respect, as well as Brand Loyalty. The managerial implications and recommendation of this reseatch will be further elaborated in this research. Kata Kunci: Fashion innovativeness, Brand image, Brand loyalty, Lovemarks PENDAHULUAN Perkembangan dunia fashion secara global terus meningkat dikarenakan adanya arus globalisasi yang kuat. Beberapa negara, seperti Perancis misalnya, menjadikan fashion sebagai sektor kekuatan utama di negaranya dalam melakukan perdagangan (Business of Fashion, 2016). Industri fashion sedang mengalami perubahan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya (The State of Fashion, 2019). Mckinsey global Fashion index 2018-2019 memperkirakan pertumbuhan penjualan pada sektor industri ini sekitar 5,0 sampai 7,5%. Pertumbuhan fashion pada sektor industri ini tentunya meningkatkan kontribusi fashion pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut, salah
12
Embed
PERAN FASHION INNOVATIVENESS BRAND IMAGE DAN …cmbs.untar.ac.id/images/prosiding/2019/Peran... · FI dikaitkan dengan minat yang tinggi pada gaya dan brand fashion (Beaudoin dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
244
PERAN FASHION INNOVATIVENESS, BRAND IMAGE DAN
LOVEMARKS DALAM MENCIPTAKAN BRAND LOYALTY
Tamara Hanum1, Tengku Ezni Balqiah2
1Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, [email protected]
2Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, [email protected]
ABSTRAK: Perkembangan industri fashion di Indonesia mengalami peningkatan yang baik terutama dari segi inovasi
yang menyebabkan adanya brand-brand baru bermunculan, dimana konsumen umumnya merupakan
milenial. Hal ini menyebabkan peran milenial semakin mendominasi sektor tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui Fashion Innovativeness pada milenials dan pengaruhnya terhadap brand
image dimensions (Cognitive, Sensory, dan Affective Associations) pada brand fashion favorit, kontribusi
brand image dimensions kepada lovemarks (brand love dan brand respect), selanjutnya pengaruh
lovemarks pada brand loyalty. Penelitian ini mengembangkan model lanjutan dari brand equity (CBBE)
dan brand image dimensions. Model yang dikembangkan kemudian divalidasi menggunakan Structural
Equations Modeling (SEM) berdasarkan data yang diperoleh melalui survey kepada 532 responden yang
memiliki brand fashion favorit, dengan rentang usia 19-39 tahun. Hasil penelitian ini mengonfirmasi
bahwa fashion innovativeness secara positif berpengaruh terhadap brand image associations yang
kemudian akan memengaruhi brand love dan brand respect serta terhadap brand loyalty. Implikasi
manajerial serta saran bagi penelitian selanjutnya juga dibahas pada penelitian ini.
Kata Kunci: Fashion innovativeness, Brand image, Brand loyalty, Lovemarks
ABSTRACT: The development of fashion industry in Indonesia experiences a positive surge fundamentally from the
innovation factor, which causes new brands to emerge, in which the main consumers are millenials. This
causes the role of millenial to be more dominant in the afformentioned sector, hence this research aims to
understand the relationship between millenials consumers and Fashion Innovativenes and Brand Image
Dimensions (Cognitive, Sensory, and Affective) on favorite fashion brands, the contribution of Brand
Image Dimensions towards Lovemarks (Brand Love and Brand Respect), and the impact toward Brand
Loyalty. This research developed the model modified from Consumer-based Brand Equity (CBBE) and
Brand Image dimensions. The developed model was then validated using Structural Equation Modeling
(SEM) based on data retreived from surveys on consumers, within the age of 19-39 years old, with
favorite fashion brands. The findings confirmed that Fashion Innovativeness positively influenced the use
of Brand Image Assosication which then further influenced Brand Love and Brand Respect, as well as
Brand Loyalty. The managerial implications and recommendation of this reseatch will be further
elaborated in this research.
Kata Kunci: Fashion innovativeness, Brand image, Brand loyalty, Lovemarks
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia fashion secara global terus meningkat dikarenakan adanya
arus globalisasi yang kuat. Beberapa negara, seperti Perancis misalnya, menjadikan
fashion sebagai sektor kekuatan utama di negaranya dalam melakukan perdagangan
(Business of Fashion, 2016). Industri fashion sedang mengalami perubahan yang
signifikan dari tahun-tahun sebelumnya (The State of Fashion, 2019). Mckinsey global
Fashion index 2018-2019 memperkirakan pertumbuhan penjualan pada sektor industri
ini sekitar 5,0 sampai 7,5%. Pertumbuhan fashion pada sektor industri ini tentunya
meningkatkan kontribusi fashion pada pertumbuhan ekonomi negara tersebut, salah
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
245
satunya adalah wilayah Asia Pasifik, unggul 40% lebih tinggi dari negara lain dalam
penjualan pakaian dan sepatu secara global pada tahun 2018 (Euromonitor, 2019).
Perkembangan industri fashion juga dirasakan di Indonesia, di mana terdapat
pertumbuhan sepanjang tahun 2014 hingga 2016. Pertumbuhan ini direpresentasikan
berdasarkan kontribusi bidang fashion terhadap PDB di Indonesia yang terus
meningkat. Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) menyebutkan bahwa di tahun 2016 kontribusinya mencapai 166,135.30 miliar rupiah dan terbesar kedua setelah bidang
kuliner sebesar 18,15%. Hasil ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah usaha atau
perusahaan yang berada di bidang fashion setiap tahunnya yakni sebesar 1,230,988
(Badan Ekonomi Kreatif, 2018), berasal dari beberapa kategori yaitu pakaian, sepatu
dan aksesoris. Ketiga kategori ini memiliki tingkat penjualan yang berbeda-beda di
Indonesia, sehingga masing-masing memiliki kontribusi yang positif bagi perekonomian
di Indonesia.
Indonesia termasuk dalam daftar salah satu negara emerging market yang
terbuka bagi berbagai perusahaan apparel and footwear fast fashion. Pada tahun 2017-
2018, perusahaan-perusahaan ritel fast fashion seperti H&M, Zara, & Uniqlo
melakukan ekspansi ke kota-kota di Indonesia. Selain itu, perusahaan-perusahaan luxury
brand seperti Gucci atau Louis Vuitton memiliki peningkatan market share pada tahun
2017 (Euromonitor, 2019).
Disisi konsumen, konsumen produk brand fashion di Indonesia berada di usia
produktif (15-64 tahun) yang difokuskan pada generasi milenial yang lebih sadar akan
daya beli dan cenderung menghabiskan uang secara cepat. Hal tersebut menggambarkan
konsumsi milenial yang mementingkan identitas mereka, menggunakan pengetahuan
mereka tentang tren terbaru, gambar, dan reputasi brand serta nama brand yang
dianggap dapat diandalkan (Ordon, 2015). Konsumen milenial ini akan memiliki
loyalitas yang lebih rendah jika dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini dikarenakan
adanya paparan promosi harga yang lebih besar, mencari brand yang menggambarkan
nilai kepribadian dan gaya hidup mereka (Selvarajah, 2018).
Persaingan yang semakin ketat di industri fashion ini, serta perubahan perilaku
konsumen menyebabkan brand harus menemukan cara untuk menciptakan hubungan
dengan konsumen yang mengarah kepada loyalitas. Salah satu cara brand untuk dapat
membangun dan mempertahankan hubungan positif dengan konsumen adalah melalui
membangun brand image yang positif (Keller, 1993). Hal ini menjadi penting, karena
brand merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan loyalitas (Cho et al, 2015),
yaitu dengan menciptakan brand awareness, dan brand image yang membangun
lovemarks, sehingga akan mendorong loyalitas konsumen terhadap brand.
Berdasarkan paparan di atas, serta pemahaman bahwa tren fashion Asia
Tenggara terutama Indonesia yang semakin berkembang, hal ini akan berdampak
terhadap perilaku konsumen serta loyalitas terhadap brand fashion (pakaian, alas kaki
dan aksesoris). Seorang konsumen yang selalu mengikuti perubahan tren yang terjadi
dalam industri fashion merupakan konsumen dengan tingkat Fashion Innovativeness
yang tinggi (Cho et al., 2018). Dalam melakukan pembelian suatu brand, konsumen
membutuhkan keterikatan hubungan emosional, kecintaan yang kuat, serta diperlukan
evaluasi positif terhadap performance, trustworthiness, dan reputation (Robert, 2004).
Dengan demikian, Fashion Innovativeness akan menciptakan hubungan dengan brand
yang lebih kuat sehingga dapat menciptakan loyalitas konsumen terhadap suatu brand
tertentu (Cho et al., 2018). Penelitian mengenai hal tersebut masih terbatas di Asia
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
246
Tenggara khususnya di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh tingkat Fashion Innovativeness millennials terhadap loyalitas
merek, melalui dimensi brand image (kognitif, sensori, dan afektif), dan lovemark
(brand love dan brand respect) pada produk fashion di Indonesia
TINJAUAN LITERATUR Consumer Based Brand Equity
Keller (1993) mendefinisikan Customer Based Brand Equity (CBBE) sebagai
dampak brand knowledge yang berbeda terhadap bagaimana konsumen merespon
strategi pemasaran merek tersebut. Hal ini memperlihatkan bagaimana konsumen
merespon elemen bauran pemasaran suatu produk atau jasa yang memiliki CBBE, akan
berbeda dibandingkan dengan respon mereka terhadap produk sejenis yang tidak
memiliki merek ataupun merek fiktif. CBBE ini akan membuat konsumen merasa dekat
dengan merek tersebut dan membangun asosiasi yang positif, kuat dan unik dalam
ingatan mereka.
Mengacu kepada pengertian tersebut, brand dikatakan memiliki consumer based
brand equity positif atau negatif apabila konsumen memiliki reaksi yang positif atau
negatif terhadap produk, harga, promosi, atau distribusi dari suatu brand dibanding
brand lainnya. Consumer respons yang positif sebagai efek dari consumer based brand
equity yang positif, pada umumnya, dapat mengarah pada peningkatan pendapatan,
biaya yang lebih rendah, dan keuntungan yang lebih besar (Keller, 1993; Pappu et al.,
2005; Yang et al., 2019).
Fashion Innovativeness
Fashion innovativeness (FI), merupakan turunan dari seberapa besar minat
seorang konsumen untuk melakukan inovasi pada hal-hal yang terkait dengan fashion.
FI mengacu pada kesediaan seseorang untuk mengeksplorasi dan mencoba produk
fashion baru lebih awal daripada anggota masyarakat lainnya (Goldsmith dan Flynn,
1992; Cho et al., 2018). FI dikaitkan dengan minat yang tinggi pada gaya dan brand
fashion (Beaudoin dan Lachance, 2006; Workman dan Cho, 2012), yang akan
meningkatkan minat untuk memperoleh informasi-informasi yang terkait dengan gaya,
model, dan brand fashion terbaru tersebut (Goldsmith et al., 1996; dalam Cho et al.,
2018).
Fashion innovator akan membantu meningkatkan penerimaan produk atau
brand baru bagi konsumen lain. Hal ini dikarenakan peran fashion innovator sebagai
opinion leader. Innovator ini akan memicu kesadaran dan minat terhadap produk atau
brand baru sekaligus melakukan promosi dengan memperlihatkan perilaku pembelian
brand kepada konsumen lain (Kim et al., 2011).
Brand Image
Brand Image didefinisikan sebagai persepsi terhadap merek yang tercermin
melalui penciptaan asosiasi merek yang ada dalam ingatan konsumen (Keller, 1993).
Penelitian Cho et al.,(2015) memperluas konseptualisasi pengukuran brand image untuk
produk yang berkaitan dengan fashion dengan mengharuskan adanya asosiasi kognitif,
sensori, dan afektif konsumen, seperti yang dikembangkan oleh Keller (1993), dan
selaras dengan dimensi mystery, sensuality, dan intimacy oleh Roberts (2004).
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
Diterimanya H1a ini didukung oleh penelitian sebelumnya dimana Cho et al.,
(2018) yang mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan positif diantara kedua
variabel tersebut. Workman & Cho (2012) mendefinisikan fashion innovativeness yaitu
berhubungan dengan memiliki ketertarikan terhadap fashion styles dan brands yang
tinggi. Melalui cognitive association yaitu konsumen dengan tingkatan FI yang
dianggap tinggi akan menaruh usaha yang tinggi untuk mencari informasi terkait harga,
kualitas dan promosi sebelum membeli produk dari brand terkait fashion yang akan
memberikan keuntungan monetary savings (Kim & Hong, 2011;Workman & Cho,
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
251
2012). Hal tersebut dikarenakan kebanyakan produk baru mengharuskan konsumen
untuk mencari informasi yang terkait oleh atribut dari produk tersebut. Tak hanya itu,
cognitive associations (mystery) menjadi sebuah nilai tambah yang menggunakan masa
lalu, masa kini dan masa depan untuk menciptakan kisah-kisah yang membawa
konsumen kepada pemikiran yang memiliki keterkaitan secara pribadi (Dimattia, 2017).
Diterimanya H1b sesuai dengan penemuan sebelumnya yang menyatakan Fashion innovativeness (FI) memiliki pengaruh positif pada pentingnya persepsi
sensory associations dari brand image dimensions pada penelitian sebelumnya yaitu
Cho et al, (2018) yang menunjukkan adanya hubungan signifikan dari kedua variabel.
Menurut penelitian Muzinich (2003) konsumen yang memiliki tingkatan FI tinggi akan
mencari stimulasi sensori yang ditawarkan melalui visual, tactile sensation dan esthetic
cues. Konsumen menyukai untuk melihat dan mencoba hingga menyentuh bahan saat
berbelanja untuk menghargai tekstur dari kualitas bahan seperti kelembutan, ketebalan
dan kehangatan (Workman, 2009).
Diterimanya H1c bahwa variabel fashion innovativeness memiliki pengaruh
positif atau signifikan terhadap affective association (intimacy). Penerimaan hipotesis
tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu Cho et al. (2018) yang menyebutkan
adanya hubungan positif dan signifikan dari kedua variabel tersebut. Affective
association mencerminkan perasaan positif, seperti kegembiraan, kesenangan, dan
kebahagiaan yang konsumen hubungankan dengan brand (Keller, 2001),
Diterimanya H2a yaitu variabel cognitive associations memiliki pengaruh positif
terhadap variabel brand love, sejalan dengan penelitian Cho (2011) yang menyatakan
bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Hal tersebut
didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Song et al. (2019) yang menunjukan
adanya pengaruh positif cognitive associations (mystery) dengan brand love. Brand
love memiliki kesesuaian terhadap self-image dari konsumen dengan brand image, yang
kemudian membangun kesan positif atau pengalaman pribadi yang berkaitan dengan
brand serta kesamaan kisah-kisah yang diusung oleh brand, yaitu diciptakan dari kisah
masa lampau, kini dan depan yang akan menciptakan komitmen dari konsumen kepada
brand (Albert et al., 2008).
H2b mengindikasikan bahwa adanya pengaruh sensory associations terhadap
brand love. Jika dikaitkan dengan millennials, konsumen muda lebih mencari
pengalaman dalam berbelanja termasuk sensasi sensosi, perubahan yang membuat lini
toko online dengan offline semakin menipis yang mengharuskan kebanyakan
millennials untuk melakukan belanja online dan tidak mendapat rangsangan sensori, hal
ini kemudian menjadi salah satu faktor dimana konsumen akan mencintai brand serta
menghargai brand karena merasakan rangsangan sensori, karena mayoritas millennials
mencari pengalaman dalam berbelanja yang menjadikan aspek sensori tujuan utamanya
(JWT Intelligence, 2013)
Diterimanya H2c ini sejalan dengan penelitian Cho (2011), yang mengatakan
bahwa affection associations berpengaruh positif terhadap brand love. Apabila brand
memiliki memiliki komponen yang dianggap penting yaitu emosi (intimacy atau
kesukaan) dan passion (hasrat atau keinginan) yang akan mengantarkan kepada
perasaan positif yang kuat (love) terhadap brand (Sarkar, 2011). Jika dikaitkan dengan
millennials, konsumen muda termasuk kedalam seek relevancy yakni mereka menilai
bagaimana iklan dan sosial media akan relevan kepada mereka. personalisasi dan
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 23 Oktober 2019
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN: 2541-285x
252
relevansi adalah kunci utama bagi millennials yang akan menciptakan komitmen
terhadap brand dan cenderung menciptakan brand love.
Diterimanya H3a membuktikan bahwa cognitive association berpengaruh positif
terhadap brand respect. Brand yang memiliki kinerja yang baik (kualitas dari produk,
brand yang informatif yakni dapat berkomunikasi dengan jelas mengenai brand, dan
brand representative yang berpengalaman) dapat menciptakan rasa percaya terhadap brand (Cho & Fiore, 2015). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hsu & Cai, (2009)
yang mengatakan bahwa aspek kognitif pada brand image akan mendorong terciptanya
brand trust dengan cara mengurangi risk dan meningkatkan ekspektasi kinerja,
kepercayaan ini menghasilkan brand respect. Kemudian H3b diterima didukung oleh
temuan penelitian Cho (2011) yang telah menguji kedua variabel sensory association
dengan brand respect secara signifikan positif.
Ketika brand memperbaiki tampilannya sehingga membedakannya dari brand
lain dalam hal fungsi, kualitas, dan harga, tidak lagi menjadi faktor pembeda yang
penting bagi konsumen, akan tetapi design yang bagus akan meningkatkan reputasi,
akan semakin mendorong konsumen untuk meningkatkan rasa hormat (Postrel, 2003).
Sense atau berkaitan dengan gaya dan symbol verbal dan visual pada brand,
berpengaruh positif terhadap pembelian konsumen, yang membuat millennials tertarik
dengan kemasan brand yang menggambarkan cerita brand dan memberikan kesan
visual yang bagus bagi konsumen sehingga meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap
merek yang akan secara otomatis meningkatkan brand respect (Chasanah, 2018).
Penelitian ini juga membuktikan bahwa Affective associations berpengaruh positif
terhadap brand respect (diterimanya H3c). Saat konsumen memiliki perasaan positif
terhadap brand, mereka akan lebih merasakan kinerja yang baik dari brand yang
kemudian akan meningkatkan rasa hormat (Hendrick dan Hendrick, 2006).
Selanjutnya, diterimanya H4a membuktikan brand love berpengaruh positif
terhadap brand loyalty. Brand yang berhasil menciptakan rangsangan cinta kepada
konsumennya, akan lebih untung mendapatkan loyalitas dari konsumen, serta
mendapatkan keuntungan kompetitif yang berkelanjutan dibanding brand yang
memiliki program loyalitas konsumen (Yang, 2010). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa, brand yang berhasil membuat konsumen memiliki kecintaan terhadap brand
akan berpeluang besar menciptakan loyalitas konsumen.
Berbeda dari penelitian sebelumnya, pada penelitian ini tidak terbukti brand
respect akan membangun loyalitas (H4b ditolak). Moreno, Lafuente, dan Carreon,
(2017) menjelaskan mengenai karakteristik milenial dari berbagai kajian literatur
dimana mereka merupakan generasi yang lebih sadar akan daya beli mereka dan
cenderung menghabiskan uang mereka dengan cepat, lebih memilih mengonsumsi
produk yang membantu menentukan identitas pribadi, menggunakan pengetahuan
tentang tren terbaru, gambaran, dan reputasi brand (Ordun, 2015). Kemudian, menurut
Bilgihan (2016) milenial merupakan pelanggan paling emosional dan kurang loyal
dibandingkan dengan generasi lain, dan milenial lebih menyukai pengalaman berbelanja
yang unik dan memiliki barang yang inovatif.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa secara signifikan fashion