i PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) Oleh: Komilannaath Paramasivam (1102005208) Pembimbing Dr. Ketut Suardamana Sp. PD-KAI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RSUP SANGLAH 2017
44
Embed
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)...termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.3 2.2 Faktor risiko
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)
Oleh:
Komilannaath Paramasivam
(1102005208)
Pembimbing
Dr. Ketut Suardamana Sp. PD-KAI
KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RSUP SANGLAH
2017
ii
PENGANTAR
Puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, atas segala anugerah-Nya sehingga pada akhirnya
penulis dapat menyelesaikan laporan PBL yang berjudul ”Penyakit Paru
Obstuksi Kronis". Tinjauan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam rangka menyelesaikan Program Kepaniteran Klinik Madya dibagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unversitas Udayana.
Dalam penyusunan tinjauan kasus ini penulis telah banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Ketut Suardamana Sp. PD-KAI selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan tinjauan kasus ini.
2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, Oktober 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Kata pengantar................................................................................. ii
Daftar isi ......................................................... ...............................iii
BAB I Pendahuluan .............................................................................. 1
BAB II Tinjauan Pustaka ....................................................................... 2
BAB III Laporan Kasus .............................................. ......................... 21
BAB IV Laporan Kunjungan Rumah......................................................30
Daftar Pustaka..................................................................................................... 31
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit atau
gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi
saluran napas. Gangguan obstruksi yang terjadi memberikan dampak buruk
terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenasi dengan segala
dampaknya. Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada
gangguan lain seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya. 1,2
PPOK semakin menarik untuk dibicarakan karena prevalensi dan angka
mortalitas yang terus meningkat. Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga
DepKes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkhitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian tersering di
Indonesia. Di Amerika, sebagai penyebab kematian PPOK menempati peringkat
keempat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebrovaskular. Merokok
merupakan faktor risiko terpenting penyebab PPOK disamping faktor risiko
lainnya. Faktor yang berperanan dalam peningkatan penyakit tersebut antara lain:
kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun
60-70%),
pertambahan penduduk,
meningkatnya usia rata-rata penduduk,
industrialisasi,
polusi udara.
Edukasi terhadap penderita dan keluarga memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan PPOK. Dalam hal ini edukasi diharapkan dapat mencegah
perburukan penyakit seperti misalnya penambahan dosis bronkodilator, cara
penggunaan oksigen, dan penambahan mukolitik saat terjadi eksaserbasi akut.
Selain itu, hendaknya penderita dapat menghindari faktor-faktor yang dapat
mencetuskan eksaserbasi akut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Hambatan
aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respon inflamasi
yang abnormal dari paru-paru terhadap partikel atau gas yang bersifat iritatif,
terutama disebabkan oleh rokok. Walaupun PPOK berefek pada paru-paru,
penyakit ini juga menimbulkan efek sistemik. Hambatan aliran udara biasanya
disebabkan oleh penyakit paru dan emfisema. Gangguan pada jalan nafas
utamanya akibat dari berkurangnya diameter lumen akibat dari penebalan dinding,
peningkatan produksi mukus intralumen, dan perubahan pada cairan yang
melapisi jalan nafas kecil.2,3,4
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh
batuk kronis berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut-turut tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema merupakan
kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup
banyak penderita bronkitis kronis juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.3
2.2 Faktor risiko
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Rokok sejauh ini masih menjadi
faktor resiko penting untuk terjadinya PPOK.3
3
Gambar 2.1 Peranan rokok sebagai faktor risiko PPOK5
Faktor risiko penting lainnya adalah paparan di tempat kerja, status sosoial
ekonomi, dan predisposisi genetik. PPOK mempunyai riwayat yang bervariasi dan
tidak semua individu mempunyai riwayat yang sama. PPOK sudah timbul
beberapa dekade sebelum onset dari gejalanya muncul. Kegagalan pertumbuhan
fungsi paru semasa kanak-kanak dan remaja, disebabkan oleh infeksi berulang
atau rokok dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru pada dewasa muda.
Pertumbuhan abnormal ini disertai dengan fase plateu yang memendek pada
perokok, meningkatkan risiko PPOK.3
Tabel 2.1 Faktor risiko PPOK3
4
2.3 Patofisiologi
Iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi adalah faktor pencetus
bronkitis kronik. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada setiap
hembusan asap rokok terdapat radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-).
Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok.
Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang
rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya
modifikasi fungsi anti elastase pada saluran nafas. Anti elastase berfungsi
menghambat netrofil.oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul
kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikulat asap rokok dan udara terpolusi
mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga
menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang,
sehingga iritasi pada sel mukosa meningkat. Hal ini akan merangsang kelenjar
mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia menimbulkan
gejala batuk kronik dan ekspektorasi. Produk mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini
merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan
oksidasi terus berlangsung di saluran napas maka akan terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringan parut.selain itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan
penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran
nafas yang bersifat irreversibel.3
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang
permanen disertai destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan
terhadap PPOK adalah emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada
jenis pan-asinar kerusakan asinar relative difus dan dihubungkan dengan proses
menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan
berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran nafas. Pada
jenis sentry-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan aderah perifer asinar,
kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran
nafas perifer.3.4
5
Gambar 2.2
Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:4
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata
dan terbanyak pada paru bagian bawah
Emfisema asinar distal (parasetal), lebih banyak mengenai salran nafas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura.
Obstruksi saluran nafas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran nafas kecil yaitu: infamasi, fibrosis, metaplasia
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan nafas.3,4
6
Gambar 2.3 Konsep patogenesis PPOK4
2.4 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaa fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan
jelas dan tanda inflamasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan :6
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Keluhan
Riwayat penyakit
Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
Inhalasi bahan berbahaya
inflamasi
Kerusakan jaringan
Mekanisme
perlindungan
Mekanisme
perbaikan
Penyempitan
sal.nafas Destruksi
parenkim
Hipersekresi
mukus
7
Gambaran klinis6
a. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
o Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu).
Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernafas
dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik.
o Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
o Penggunaan otot bantu nafas
o Hipertropi otot bantu nafas
o Pelebaran sela iga
o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
o Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer
adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita
kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips
breating. Blue bloater adalah gambaran khas pada
bronchitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
8
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan
perifer
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
o Suara nafas vesikuler normal, atau melemah
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa
atau pada ekspirasi paksa
o Ekspirasi memanjang
o Bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Penunjang7,8,9
a. Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan untuk
mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal,
atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus digunakan
untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada
saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume
in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan
(FEV1/FVC) untuk menentukan ada tidaknya obstruksi jalan nafas, nilai normal
FEV1/FVC adalah > 70%. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan
penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan
hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi
mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
9
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. FEV1 juga amat
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi penderita, sehingga
paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase dari nilai prediksi
normal.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah
dengan memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari
20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut).
b. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran
hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler
(memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis
dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal aataupun
dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian
yang hiperlusen.
c. Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat penting
untuk dilakukan. AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda-
tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral,
pembengkakan engkel, dan peningkatan jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien
dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan.
Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang
sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal ini menunjukkan adanya shunt
kanan ke kiri. Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya
10
hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi.
Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan
rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya
jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema
gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau
hipoksia ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke kiri
Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat, khususnya
pada saat terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
e. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada
eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat
terjadinya peningkatan hematokrit.
f. Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui
komplikasi pada
jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal.
Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih