i ANALISIS YURIDIS PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh IRAWAN AMIN NUGROHO NIM. E0005193 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
108
Embed
Penulisan Hukum (Skripsi) fileii persetujuan pembimbing penulisan hukum (skripsi) analisis yuridis prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan menurut
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
ANALISIS YURIDIS PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/
ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN MENURUT
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
IRAWAN AMIN NUGROHO
NIM. E0005193
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/
ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN MENURUT
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh
IRAWAN AMIN NUGROHO
NIM. E0005193
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
ANALISIS YURIDIS PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/
ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN MENURUT
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh
IRAWAN AMIN NUGROHO
NIM. E0005193
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 06 Agustus 2009
DEWAN PENGUJI
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. NIP. 19610930 198601 1001
iv
PERNYATAAN
Nama : Irawan Amin Nugroho
NIM : E0005193
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Analisis Yuridis Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/ Atau Wakil Presiden
Dalam Masa Jabatan Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, 15 Juli 2009
yang membuat pernyataan
Irawan Amin Nugroho NIM. E0005193
v
ABSTRAK
Irawan Amin Nugroho, E0005193. 2009. ANALISIS YURIDIS PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut UUD 1945 UUD 1945 baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan. Selain itu juga untuk mengetahui implikasi yurudis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dan terapan. Penelitian yang bersifat preskriptif merupakan penelitian hukum dalam rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu pertama, UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada pengaturan mengenai prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan namun dalam praktek yang terjadi, ada dua presiden yang diberhentikan di tengan masa jabatannya yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Landasan hukum yang digunakan pada waktu itu adalah penjelasan UUD 1945 dan juga Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/ atau antar Lembaga – Lembaga Tinggi Negara. Kemudian setelah adanya perubahan UUD 1945 maka pengaturan mengenai alasan-alasan dan prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden sudah diatur lebih tegas yaitu diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 hasil perubahan. Apabila DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka pendapat tersebut harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh MK. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah
vi
Konstitusi. Apabila Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membenarkan pendapat DPR tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam waktu tiga puluh hari sejak menerima usulan tersebut, MPR harus menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memutuskan memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden atau tidak. Kedua, implikasi yuridis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah terjadinya penguatan sistem presidensiil serta adanya kewajiban bagi MK untuk menilai pendapat DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden tersebut.
Kata kunci: UUD 1945, DPR, MK, MPR
vii
MOTTO
“... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS Al Baqaroh: 216)
Sesungguhnya orang yang hanya hidup untuk dirinya sendiri, ia akan
hidup kecil dan mati sebagai orang kecil, sedangkan orang yang
hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar serta tidak akan
pernah “ mati” (Sayyid Qutb)
Pada akhirnya, lebih baik menunggu orang yang kita inginkan,
daripada memilih apa yang ada. Tetap lebih baik menunggu orang
yang kita cintai, daripada memuaskan diri dengan apa yang ada.
Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat, Karena hidup ini
terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah,
karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius. Pada
akhirnya. Tuhan dalam segala hikmat-Nya, meminta kita menunggu,
karena alasan yang penting.
(Anonim)
Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.
(Arai)
Hadapi semua masalah dengan senyum dan tawa. Senyum dan tawa itu
bukan untuk merendahkan, bukan untuk meremehkan melainkan untuk
meringankan beban di hati dan menghibur hati yang luka.
(Penulis)
Mencapai tujuan itu pastilah membahagiakan tetapi akan lebih
membahagiakan apabila dapat menikmati proses yang dilalui serta
mensyukuri setiap titik pencapaian yang telah kita raih.
(Penulis)
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan
kepada :
· Allah SWT, Tiada Tuhan selain
Engkau dan tiada sekutu bagi-Nya;
· Rasul-ku Muhammad SAW, suri
tauladan yang terbaik;
· Bapak dan ibu tercinta yang
senantiasa selalu mendo’akan
untuk kesuksesan dan
keberhasilanku mengapai cita-cita
dan kebahagiaanku;
· Kakak yang selalu membantu dan
mendukungku;
· Keluarga besarku yang selalu
mendoakanku;
· Semua guru dan dosenku yang
telah mendidikku;
· Semua sahabat-sahabatku yang
telah berjasa membantuku dan
mewarnai hari-hariku selama ini;
· Indonesia tercinta, tanah tumpah
darahku tempat aku bernaung dan
bepijak;
· Almamaterku, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: “ANALISIS YURIDIS
PROSEDUR PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ ATAU WAKIL
PRESIDEN DALAM MASA JABATAN MENURUT UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”. Penulisan
skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum
atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun
moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. ALLAH SWT yang telah menciptakanku dan memberikan limpahan nikmat
kepada penulis.
2. Nabi Besar Muhammad SAW, junjunganku dan juga suri tauladan yang
terbaik.
3. Kedua orang tua tercinta (Bapak Tukiman dan Ibu Tukinem), yang telah
memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata yang dapat
mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat membalas budi
jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada Ananda, membahagiakan
dan membuat bangga kalian adalah impian terbesarku.
4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Ibu Aminah, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah
membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi sekaligus juga selaku
Pembimbing Skripsi ini.
x
6. Bapak Sunarno Danusastro, S.H., M.H selaku Pembimbing Skripsi yang di
dalam kesibukan beliau telah bersedia meluangkan waktu serta pikirannya
untuk memberikan bimbingan, nasihat dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
7. Bapak Isharyanto, S.H.,M.Hum selaku penguji pembanding yang telah
memberikan saran dan nasehat yang begitu berharga bagi penulis.
8. Bapak Pujiyono, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas
bimbingan, cerita, petuah hidup dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kemudian terkait dengan ketentuan serta prosedur pemberhentian
presiden dan/ atau wakil presiden yang ada dalam UUD 1945, sebelum dan
sesudah adanya perubahan ketiga juga memiliki perbedaan. Sebelum
perubahan ketiga, ada dua lembaga yang terlibat dalam proses tersebut, yaitu
DPR dan MPR. Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya apabila
sungguh-sungguh melanggar haluan Negara dan/ atau melanggar UUD 1945
kemudian pemberhentiannya dilakukan dengan tata cara sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 Tap MPR No. III/MPR/1978 (Bagir Manan, 2003:98). Menurut
Pasal 7 Tap MPR No. III/MPR/1978, DPR menyampaikan memorandum
untuk mengingatkan Presiden dengan tata cara sebagai berikut:
(i) Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan, Presiden tidak mengindahkan
peringatan tersebut, DPR menyampaikam memorandum yang kedua.
(ii) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan, Presiden tetap tidak
mengindahkan peringatan kedua, DPR dapat meminta Sidang Istimewa
MPR untuk meminta pertanggung jawaban Presiden.
(iii)Dalam Sidang Istimewa, MPR dapat mengambil keputusan
memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden.
(iv) Dalam hal Presiden diberhentikan, Wakil Presiden pada saat yang
bersamaan mengucapkan sumpah sebagai Presiden untuk sisa masa
jabatan Presiden yang diberhentikan.
C. Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/ Atau Wakil Presiden Setelah
Perubahan UUD 1945
Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa sebelum perubahan
ketiga UUD 1945, tidak ada pengaturan yang jelas tentang bentuk-bentuk
perbuatan yang dapat mengakibatkan seorang Presiden diberhentikan di
tengah masa jabatannya. Pengaturan secara umum hanya ada dalam
Penjelasan UUD 1945 dan Tap MPR. Akan tetapi, pengaturan yang ada dalam
Penjelasan UUD 1945 dan Tap MPR tersebut hanya secara singkat dan dan
bersifat sangat umum terutama dalam hal kategori perbuatan yang dapat
lxxx
mengakibatkan presiden diberhentikan yaitu melanggar haluan negara. Makna
yang lebih jelas tentang definisi melanggar haluan negara tidak secara jelas
diatur. Ketidakjelasan inilah yang memunculkan perdebatan di antara
masyarakat dan juga para politisi, terutama dalam kasus pemberhentian
Presiden Abdurrahman Wahid. Apakah melanggar haluan negara tersebut
termasuk melanggar semua aturan hukum yang ada di dalam UUD 1945, Tap
MPR, UU/Perpu, sumpah jabatan dan lain sebagainya. Serta apakah jika
seorang presiden terbukti telah berselingkuh dapat juga diberhentikan di
tengah masa jabatannya. Dengan kata lain, sejauh manakah alasan dan batasan
seorang presiden itu untuk dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya.
Perubahan ketiga tersebut juga menegaskan tentang sistem presidensial
di Indonesia. Sekarang presiden dan/ atau wakil presiden Presiden dipilih
secara lansung oleh rakyat melalui pemilihan umum dalam satu paket
pasangan. Selain itu, sekarang Presiden juga memiliki masa jabatan yang jelas
dan limitatif. Hal ini tentu berbeda dengan waktu dulu ketika Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh MPR selaku lembaga tertinggi negara yang
diposisikan sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Ketika itu
seorang presiden juga dapat dipilih berulang-ulang (menjabat kembali berkali-
kali) tanpa ada batasan berapa kali maksimal menjabat, sedangkan sekarang
seorang presiden hanya boleh menjabat maksimal selama dua kali periode
(sepuluh tahun). Maka dari itu, seorang presiden dan/ atau wakil presiden juga
tidak bisa diberhentikan selama periode kekuasaannya kecuali ia melakukan
pelanggaran atau kejahatan yang secara limitatif juga telah diatur dalam Pasal
7A UUD 1945 yaitu pengkhianatan, korupsi, suap, kejahatan tingkat tinggi
dan perbuatan tercela, atau jika dapat dibuktikan bahwa ia tidak lagi
memenuhi syarat-syarat sebagai presiden dan/ atau wakil presiden.
Memang harus diakui bahwa dalam prakteknya, keputusan untuk
melakukan pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dalam masa
jabatannya memang tidak dapat terlepas dari aspek kepentingan politik karena
hal itu memang bagian dari sebuah proses politik. Namun demikian, yang
lxxxi
patut kita syukuri adalah rumusan dalam pasal-pasal pemberhentian presiden
dan/ atau wakil presiden tersebut telah lebih spesifik dan lebih jelas bila
dibandingkan dengan sebelum adanya perubahan ketiga UUD 1945. Dengan
pengaturan tersebut diharapkan ada jaminan kualitas pemerintahan yang lebih
baik dan stabil.
Belajar dari pengalaman kontroversi pemberhentian presiden dalam
masa jabatannya yang terjadi sebelum perubahan UUD 1945, maka melalui
perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, ketentuan tentang
pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dipertegas yaitu dalam
ketentuan pasal 7A dan pasal 7B UUD 1945 hasil perubahan sebagai berikut.
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
lxxxii
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dari ketentuan pasal 7A seperti tersebut diatas dapat diketahui bahwa
alasan untuk dapat dilakukannya pemberhentian presiden ditengah masa
jabatan telah ditentikan secara limitatif yaitu pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Kemudian dalam undang-
undang nomor 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi juga dijelaskan
mengenai definisi pengkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak pidana berat
serta perbuatan tercela. Dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa yang dimaksud:
a) pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Mengenai kejahatan
terhadap keamanan negara ini pengaturannya ada dalam KUHP buku II
tentang Kejahatan pada Bab I Kejahatan terhadap Keamanan Negara,
lxxxiii
disebutkan dalam pasal 104 sampai dengan 129. Selain itu, ada juga UU
yang mengatur tindak pidana terhadap keamanan negara selain yang
terdapat dalam KUHP yaitu tindak pidana terorisme sebagaimana diatur
dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
b) korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Batasan mengenai perbuatan
korupsi diatur oleh UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut dikelompokkan dalam tiga
kelompok, yaitu:
1. tindak pidana korupsi umum yang terdiri dari :
a. perbuatan yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara.
b. perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang
dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
2. tindak pidana korupsi yang sebelumnya merupakan tindak pidana suap
yang terkait dengan jabatan pegawai negeri, hakim, advokat
sebagaimana yang diatur dalam KUHP, jabatan penyelenggara negara
serta pemborong, ahli bangunan serta pengawas pembangunan yang
terkait dengan kepentingan umum dan kepentingan Tentara Nasional
Indonesia.
3. tindak pidana lain yang berkiatan dengan tindak pidana korupsi yaitu
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah, merintangi atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tersangka,
lxxxiv
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, termasuk juga
memberikan keterangan yang tidak benar dan tidak mau memberikan
keterangan oleh tersangka, saksi, saksi ahli dan petugas bank terkait
dengan proses pemeriksaan tindak pidana korupsi
c) tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d) perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Presiden dan/ atau wakil presiden juga dapat diberhentikan dalam masa
jabatan dengan alasan presiden dan/ atau wakil presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan/ atau wakil presiden. Mengenai adanya alasan
yang menyatakan “tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ atau
wakil presiden” dapat dihubungkan dengan persyaratan untuk dapat menjadi
Presiden dan wakil presiden diatur dalam pasal 6 UUD 1945, yang
pengaturannya sebagai berikut:
Pasal 6 UUD 1945 setelah perubahan
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Undang-undang yang kini berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) tersebut adalah undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan
umum presiden dan wakil presiden. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 adalah sebagai berikut
Pasal 5 UU No 42 Tahun 2008: Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:
a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b) Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; c) tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
lxxxv
d) mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;
e) bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; f) telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang
memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara; g) tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
h) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; i) tidak pernah melakukan perbuatan tercela; j) terdaftar sebagai Pemilih; k) memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan
kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi;
l) belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
m) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
n) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
o) berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun; p) berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
q) bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
r) memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Kemudian apabila mencermati Pasal 7B ayat (1) dan Pasal 7B ayat (5)
UUD 1945 hasil perubahan, sebenarnya masih tampak ada kerancuan yaitu
pada rumusan pasal 7B ayat (1) UUD 1945, kewajiban mahkamah konstitusi
“hanya” memberikan pendapat hukum terhadap dugaan DPR mengenai
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan/ atau wakil presiden,
serta terhadap dugaan DPR bahwa presiden dan/ atau wakil presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai sebagai presiden dan atau wakil presiden. Kewajiban
ini menimbulkan kesan bahwa mahkamah konstitusi melakukan
Judicialication of politik terhadap “pendapat” DPR tersebut. Sedangkan
lxxxvi
menurut rumusan pasal 7B ayat (5) UUD 1945, kewajiban mahkamah
konstitusi adalah memutus apakah presiden dan/ atau wakil presiden terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/
atau terbukti bahwa presiden dan atau wakil presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan/ atau wakil presiden sebagaimana di syaratkan
UUD 1945 atau tidak. Kewajiban ini menimbulkan bahwa mahkamah
konstitusi menjalankan peradilan pidana terhadap “pelanggaran hukum” yang
dilakukan presiden dan/ atau wakil presiden.
Kedua rumusan pasal tersebut jelas menimbulkan implikasi yang
berbeda. Jika yang digunakan adalah rumusan pasal 7B ayat (1) UUD 1945
maka mahkamah konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus
“dugaan” DPR tersebut tidak terikat dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan undang-undang tindak pidana lainnya karena yang
diputus adalah “pendapat” DPR sehingga pelanggaran pidananya tidak
tersentuh. Jika demikian, berwenangkah pengadilan umum berdasarkan
“equality before the law” memeriksa, mengadili dan memutus serta
menjatuhkan pidana atas tindak pidana yang dilakukan presiden dan atau
wakil presiden. Jika berwenang, bagaimana bila nantinya putusan peradilan
umum berbeda atau bahkan bertentangan dengan putusan yang dijatuhkan oleh
MK mengingat peradilan umum mempunyai waktu yang lebih panjang untuk
membuktikan kebenaran materiilnya. Lalu bagaimana bila putusan peradilan
umum bertentangan dengan putusan MK sedangkan putusan MK tersebut bila
membenarkan pendapat DPR kemudian MPR juga memutuskan untuk
memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden lalu dikemudian hari
peradilan umum menyatakan bahwa presiden dan/ atau wakil presiden tidak
bersalah, apakah dalam hal ini jabatan sebagai presiden dan/ atau wakil
presiden tersebut dapat dikembalikan mengingat tentu saja saat itu presiden
yang baru telah terpilih. tapi jika peradilan umum tidak berwenag
mengadilinya maka hal ini merupakan pengingkaran atas asas “equality before
lxxxvii
the law” karena tindak pidana yang dilakukan presiden dan/ atau wakil
presiden tidak dapat disentuh lembaga peradilan.
Namun jika yang digunakan adalah rumusan pasal 7B ayat (5) UUD
1945 maka mahkamah konstutitusi terkait dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak
pidana lainnya karena UUD 1945 hasil perubahan hanya mengatur jenis tindak
pidananya saja. Disamping itu mahkamah konstitusi juga dapat menjatuhkan
sanksi pidana jika ternyata presiden dan/ atau wakil presiden terbukti
melakukan tindak pidana. Dari kedua rumusan tersebut tampaknya pembuat
undang-undang lebih condong pada rumusan yang pertama yaitu pasal 7B ayat
(1) UUD 1945. Hal ini dapat kita simpulkan berdasarkan bunyi pasal 83 ayat
(2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa:
“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR”.
Dari Pasal tersebut tampak bahwa peradilan yang dijalankan oleh Mahkamah
Konstitusi adalah peradilan politik yaitu memutus pendapat DPR, bukan
peradilan pidana.
Mengenai kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal
putusan atas pendapat DPR ini memang tidak mengikat MPR karena ini hanya
merupakan “kewajiban” dari MK untuk mengadilinya. Sehingga tidak
menutup kemungkinan bila MPR memberikan keputusan yang berbeda
dengan putusan MK. Sepertinya tidak mengikatnya putusan MK terhadap
MPR ini memang dikehendaki oleh pembuat UUD demi menjaga
kelangsungan supremasi MPR terhadap presiden. Namun meskipun begitu,
jika memang suatu saat ada usul pemberhentian presiden dan/ atau wakil
presiden tetapi MPR kemudian tidak mengikuti putusan yang telah diambil
lxxxviii
oleh MK maka sudah seharusnya bila MPR memberikan penjelasan yang logis
dan terperinci kepada rakyat mengingat sekarang presiden dan/ atau wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada rakyat atas keputusan yang telah diambil dengan
demikian maka rakyat akan dapat menilai apakah pertimbangan yang
digunakan MPR untuk mengambil keputusan itu berdasarkan pertimbangan
yuridis ataukah hanya diambil dengan pertimbangan politis semata. Selain itu,
tanpa adanya putusan dari mahkamah konstitusi yang menyatakan bahwa
presiden dan/ atau wakil presiden telah terbukti melakukan pelanggaran
hukum dan/ atau telah terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/ atau wakil presiden, DPR tidak dapat meneruskan usulan pemberhentian
presiden dan atau wakil presiden tersebut kepada MPR (Pasal 7B ayat (5)
UUD 1945 hasil perubahan) (Fatkhurohman : 54-56).
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 7B UUD 1945 hasil perubahan,
maka ada tiga lembaga negara yang terlibat dalam proses pemberhentian
presiden dan/ atau wakil presiden. Tiga lembaga negara tersebut adalah
DPR,MK dan MPR, tentunya masing-masing lembaga negara tersebut
mempunyai prosedur sendiri-sendiri dalam pengambilan keputusannya yaitu
tata cara pengambilan keputusan di DPR, pengambilan putusan di MK dan
pengambilan keputusan di MPR.
Pasal 7B ayat (3) menyebutkan bahwa DPR mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi setelah disetujui oleh 2/3 anggotanya. Dalam
proses ini, DPR meminta Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan
memutuskan, apakah presiden telah melakukan hal yang telah dituduhkan
DPR atau tidak. Pada tingkat pengambilan keputusan di DPR tentu faktor
politik cukup mempengaruhi karena diteruskan atau tidaknya tuduhan ini
sangat tergantung pada kepentingan politik anggota DPR tersebut.
a Proses di DPR
lxxxix
Sesuai dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang
menegaskan bahwa DPR mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan. Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan
ini maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/ atau
Wakil Presiden. Hal ini seperti dimaksudkan dalam Pasal 7B ayat (2) UUD
1945 hasil perubahan menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.” Proses fungsi pengawasan dari DPR
dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden ini
dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR.
Mekanisme pengajuan hak menyatakan pendapat ini diatur dalam pasal 184
sampai dengan pasal 190 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 Tentang Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pertama-tama, minimal harus ada tiga belas orang anggota DPR yang
mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya
tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai
daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya. Pimpinan DPR
memberitahukan kepada anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada
Rapat Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh anggota.
Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, usulan
tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu
dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah
yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang
xc
usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan
untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas. Dalam Rapat
Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah
sebelumnya tersebut, anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan
pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan tersebut
diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-
Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan
tersebut. Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan
tersebut diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi-fraksi itu.
Selanjutnya Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak
menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak.
Apabila Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan
pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa
Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan
pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus. Tugas Panitia Khusus
adalah melakukan pembahasan dengan Presiden dan/ atau Wakil Presiden
serta dapat mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/ atau Rapat
Dengar Pendapat Umum dengan pihak yang dipandang perlu. Dalam hal ini
kehadiran Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak dapat diwakili.
Meskipun pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/ atau
Wakil Presiden dapat tergolong tindak pidana namun proses penyelidikan
yang dilakukan oleh DPR disini adalah dalam konteks fungsi pengawasan dan
hak menyatakan pendapat yang diatur dalam peraturan tata tertib DPR.
Sehingga proses penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah dalam arti
sedang menyelidiki perkara pidana sebagaimana yang dilakukan oleh
penyelidik, penyidik atau penuntut umum. Proses penyelidikan pelanggaran
hukum yang mungkin dilakukan oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden oleh
DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan tata
tertibnya. Selain itu Panitia Khusus dalam melakukan pembahasan juga dapat
mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/ atau Rapat Dengar
xci
Pendapat Umum dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk dengan
pengusul. Pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Khusus menjadi bahan
pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui atau
menolak pernyataan pendapat tersebut.
Pengambilan keputusan atas usulan tersebut diambil dalam Rapat
Paripurna yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
seluruh Anggota kemudian keputusan untuk menyetujui atau menolak
pernyataan pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari anggota yang hadir dalam rapat tersebut, hal yang demikian
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 setelah
perubahan. Jika Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan itu maka
pendapat tersebut disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
mendapatkan putusan. Dalam hal ini, menurut Pasal 80 UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi meanyatakan bahwa DPR selaku
pemohon harus menguraikan secara jelas mengenai dugaannya, alasan–alasan
disertai keputusan DPR dan proses perngambilan keputusannya, risalah berita
acara rapat paripurna DPR, serta bukti-bukti dugaan yang menjadi alasan
munculnya pendapat DPR tersebut.
b Proses di Mahkamah Konstitusi
Proses selanjutnya adalah di Mahkamah Konstitusi dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan
atas pendapat DPR tersebut. Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam
proses pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa
jabatannya tersebut tidak lepas dari pengalaman masa lalu dan merupakan
sebuah konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan
yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu untuk memberikan pembatasan
agar seorang presiden dan/ atau wakil presidan tidak diberhentikan hanya
dengan alasan politis semata melainkan juga memiliki landasan dan
pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan (Fatkhurohman dkk,
xcii
2004 : 53). Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih
bernuansa politis. Oleh karena itu proses yang dilaksanakan di MK itu untuk
melihat tuduhan yang ditujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden dari
sisi hukum hukum. Karena MK memang merupakan institusi peradilan
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang
dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara
hukum mengenai pendapat DPR tersebut.
Sesuai dengan sejak Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan,
pendapat DPR tersebut harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktu selambat-lambatnya sembilan puluh hari terhitung sejak permohonan
didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Selama jangka waktu
tersebut, MK melakukan beberapa tahap persidangan. Meskipun demikian
sampai saat ini MK memang belum mempunyai peraturan teknis dalam hal ini
adalah Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang secara khusus mengatur
secara rinci teknis persidangan di MK dalam rangka memeriksa, mengadili
dan memutus pendapat DPR tersebut. Akan tetapi bila melihat Peraturan
Mahkamah Konstitusi mengenai proses beracara di MK untuk kewenangan
MK yang lain maka dapat disimpulkan secara umum bahwa tahapan yang
akan dilalui dalam beracara di MK tidak jauh berbeda. Tahapan sidang
pertama yaitu pemeriksaan pendahuluan, tahapan sidang kedua yaitu
pemeriksaan persidangan yang didalamnya termasuk sidang pembuktian
sebelum akhirnya digelar sidang pembacaan putusan sebagi tahapan akhir.
a) pemeriksaan pendahuluan
Apabila melihat pada pelaksanaan hukum acara kewenangan MK
yang lain yang sudah diatur dalam peraturan mahkamah konstitusi (PMK),
umumnya sidang pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh sidang panel
hakim yang terdiri dari tiga orang. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan
sebelum masuk dalam pemeriksaan pokok perkara. Pada tahapan ini
xciii
Majelis Hakim wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi
dan/ atau memperbaiki permohonan. Pemeriksaan pendahuluan ini penting
untuk dilakukan untuk mempermudah jalannya pemeriksaan pokok
perkara mengingat waktu yang diberikan kepada MK untuk memutus
permohonan ini terbilang sangat singkat. Berkaitan dengan permohonan
untuk memutus pendapat DPR atas tuduhan bahwa presiden dan/ atau
wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun pendapat bahwa presiden dan/ atau wakil
presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ atau wakil
presiden maka hal-hal yang perlu diperiksa pada tahapan pemeriksaan
pendahuluan adalah syarat-syarat formil dan kelengkapan administrasi
yang meliputi
1. legal standing
Majelis hakim memeriksa apakah benar bahwa pemohon dalam
perkara ini adalah DPR atau kuasa yang ditunjuk oleh DPR.
2. Kewenangan MK untuk mengadili perkara.
Majelis Hakim memeriksa apakah benar perkara yang diajukan oleh
pemohon termasuk dalam kewenangan (khusus dalam hal ini adalah
kewajiban) MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tersebut. Dalam hal ini akan dilihat dari uraian penjelasan dari
pemohon mengenai alasan permohonan yaitu dugaan apa yang
ditujukan kepada presiden dan/ atau wakil presiden. Jadi harus
diuraikan secara tegas mengenai dugaan apakah presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela atau yang dipakai adalah bahwa presiden dan/ atau wakil
presiden sudah tidak lagi memenuhi syarat sebbagai presiden dan atau
wakil presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Hal yang demikian telah diatur dalam pasal 80
ayat (2) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
xciv
3. prosedur pengambilan keputusan DPR
Majelis Hakim memeriksa apakah proses pengambilan keputusan DPR
atas pendapat bahwa Presiden dan/ atau wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 dan Peraturan
Tata Tertib DPR. Dalam rangka memenuhi hal ini maka DPR selaku
pemohon harus menyertakan keputusan DPR, risalah sidang DPR dan
berita acara rapat DPR yang semuanya berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD 1945
hasil perubahan.
4. Bukti-bukti
Majelis Hakim memeriksa apakah bukti-bukti yang diajukan dalam
permohonan telah memadai untuk melakukan proses selanjutnya di
MK. MK juga harus menetapkan standar bukti permulaan yang cukup
sehingga proses pemeriksaan pendapat DPR dapat dilanjutkan pada
tahap berikutnya. Mengenai standar bukti permulaan yang cukup ini
dapat ditetapkan oleh MK melalui peraturan mahkamah konstutusi
seperti yang dilakukan MK saat mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Konstutusi untuk proses beracara dalam menyidangkan kewenangan
MK yang lain.
5. Daftar nama calon saksi dan calon ahli
Memeriksa apakah dalam permohonan telah dicantumkan daftar nama
calon saksi dan calon ahli. Daftar nama ini menjadi penting mengingat
prosedur beracara untuk memutus pendapat DPR ini dibatasi oleh
waktu, selain itu karena keterangan yang diberikan oleh saksi maupun
ahli merupakan bahan pertimbangan yang berharga mengingat proses
beracara di MK dalam rangka memutus pendapat DPR ini bersifat
adversarial (Winarno Yudho dkk, 2005 : 84).
b) Pemeriksaan persidangan
xcv
Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno majelis
hakim yang beranggotakan sembilan hakim konstitusi. Dalam persidangan
majelis hakim memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
Pada pasal 41 ayat (2) UU MK yang mengatur secara umum mengenai
pemeriksaan persidangan disebutkan bahwa demi kepentingan
pemeriksaan maka majelis hakim wajib untuk memanggil pihak-pihak
yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan. Selain itu,
demi kepentingan pemeriksaan majelis hakim juga wajib meminta
keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan
permohonan.
Dalam kaitan dengan permohonan pendapat DPR ini maka DPR
sebagai pemohon wajib hadir dalam setiap sidang pemeriksaan
permohonan pendapat DPR yang digelar oleh MK. Hal ini selain untuk
melindungi kepentingan DPR sebagai pemohon dengan mengetahui
perkembangan perkara juga agar DPR dapat senantiasa dimintai
keterangan yang berkaiatan dengan perkara ini.
Sedangkan bagi Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagai pihak
yang sangat berkaitan dengan perkara ini, meskipun peradilan MK bersifat
adversarial dan kehadiran Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam
persidangan MK bukan merupakan suatu keharusan, namun demikian
kehadiran Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam persidangan amatlah
penting untuk menjaga kepentingan Presiden dan/atau Wakil Presiden itu
sendiri.
c) Putusan
Obyek dalam perkara permohonan DPR ini adalah pendapat DPR
yang menyatakan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga
melakukan pelanggaran hukum dan/ atau diduga telah tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden dan/ atau wakil Presiden. Oleh karena itu ada
xcvi
tiga kemungkinan putusan yang dijatuhkan MK atas perkara ini yang
kesemuanya telah diatur dalam pasal 83 UU No 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK
menyatakan permohonan tidak dapat diterima bilamana permohonan tidak
memenuhi persyaratan formil sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya
atau sebagaimana mengacu pada pasal 80 UU MK. Kemungkinan kedua
adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden
tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/ atau tidak terbukti
bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka amar putusan MK
menyatakan bahwa permohonan ditolak. Kemungkinan ketiga adalah
membenarkan pendapat DPR apabila menurut MK, Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/ atau Presiden
dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden sebagaimana dituduhkan DPR. Akan tetapi Pasal 82
UU No. 24 Tahun 2003 membuka kemungkinan lain, yaitu apabila dalam
proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi presiden dan/ atau wakil
presiden yang bersangkutan mengundurkan diri maka proses pemeriksaan
dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur. Kemudian menurut Pasal
85 UU No. 24 Tahun 2003, apapun isi putusan MK tersebut wajib
disampaikan kepada DPR serta kepada presiden dan/ atau wakil presiden.
c Proses di MPR
Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka
DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah
menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan
DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR
menerima usulan tersebut. Pimpinan MPR kemudian mengundang Anggota
MPR untuk mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan
pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR.
xcvii
Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/ atau Wakil Presiden untuk
menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya
didalam rapat Paripurna Majelis.
Pengambilan keputusan oleh MPR terhadap usul pemberhentian
Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan
MK tersebut dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (7) UUD 1945 hasil perubahan,
persyaratan pengambilan suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota Majelis (kuorum),
dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir
yang memenuhi kuorum. Keputusan MPR ini dapat diambil setelah Presiden
dan/ atau Wakil Presiden yang hadir hadir memberikan penjelasan atas usul
pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak hadir
untuk menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap mengambil putusan
terhadap usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Apabila penjelasan yang disampaikan oleh presiden dan atau presiden
yang disampaikan dalam sidang MPR diterima oleh MPR maka rapat
paripurna memutuskan untuk tidak memberhentikan presiden dan/ atau wakil
presiden (Laica Marzuki, 2006 : 28). Keputusan MPR ini memang sebuah
keputusan politik dan memang dalam UUD 1945 setelah perubahan sendiri
tidak mencantumkan klausula yang mengharuskan MPR untuk mengikuti
putusan Mahkamah Konstitusi.
D. Implikasi Dari Adanya Ketentuan Mengenai Pemberhentian Presiden
Dan/ Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatan Yang Diatur Dalam
UUD 1945 Setelah Perubahan
Adanya pengaturan yang tertulis secara tegas dalam UUD 1945 hasil
perubahan mengenai tata cara dan juga alasan-alasan apa saja yang dapat
digunakan sebagai alasan untuk memberhentikan presiden dan/ atau wakil
presiden dalam masa jabatannya tentulah menjadi sesuatu yang positif untuk
xcviii
menjamin stabilitas pemerintahan. Adapun implikasi dari adanya pengaturan
hal tersebut dalam konstitusi adalah sebagai berikut:
a. Penguatan sistem presidensial.
Dalam sistem presidensiil pemerintah tidak bertanggungjawab kepada
parlemen dalam hal ini kedudukan antara pemerintah dengan parlemen
adalah sejajar selain itu dalam sistem presidensial masa jabatan presiden
sudah ditentukan secara tetap dalam konstitusi. Hal yang demikian tentu
berbeda dengan ketika belum terjadi perubahan UUD 1945, meskipun
sejak dahulu Indonesia menganut sistem Presidensial namun bila ditelaah
lebih dalam sebelum adanya perubahan UUD 1945, sistem Presidensial
yang dianut Indonesia sifatnya tidaklah murni. Ada ciri-ciri sistem
parlementer yang dianut waktu itu, misalnya, berkenaan dengan
pertanggungjawaban presiden kepada MPR sebagai lembaga tertinggi
negara. Dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, MPR
dapat memberhentikan presiden ditengah masa jabatannya karena tuduhan
pelanggaran haluan negara padahal pengertian haluan negara dapat berarti
sangat luas mencakup pengertian politik dan pengertian hukum (Jimly
Asshiddiqie, 2006 : 110). Dari sinilah maka dengan adanya ketentuan
mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam UUD
1945 setelah perubahan menegaskan kembali bahwa Indonesia memang
menganut sistem presidensial. Hal ini juga sangat berkaitan adanya sistem
perubahan pemilihan presiden yang dianut Indonesia sekarang yaitu
pemilihan langsung oleh rakyat, dengan demikian kedaulatan dari rakyat
disalurkan secara langsung melalui pemilihan tersebut dan juga kedudukan
MPR yang sekarang yaitu bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
Hal ini tentu berbeda ketika sebelum adanya perubahan UUD 1945, ketika
itu presiden dan wakil presiden masih dipilih oleh MPR sebagai lembaga
tertinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Dengan adanya
ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan atau wakil presiden
dalam masa jabatan tersebut maka presiden dan/ atau wakil presiden lebih
sulit untuk dijatuhkan oleh DPR karena UUD 1945 setelah perubahan
xcix
telah mengatur bahwa presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa
jabatan dengan alasan yang bersifat limitatif sebagaimana diatur dalam
konstitusi.
b. Adanya kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi untuk menilai pendapat
DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden.
Fokus perhatian dalam proses di MK adalah bahwa MK memutus benar
atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan yang ditujukan kepada Presiden
dan/ atau Wakil Presiden. MK berarti tidak sedang mengadili Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan DPR tersebut karena yang menjadi
obyek dalam proses di MK adalah pendapat DPR. Dari perspektif bahwa
yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan perkara di MK adalah
pendapat DPR maka Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagai pelaku
pelanggaran hukum sebagaimana dituduhkan DPR tidak menjadi obyek
dalam proses pemeriksaan di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di
Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran
hukum yang dilakukan presiden dan/ atau wakil presiden tidak
bertentangan dengan asas ne bis in idem. Selain itu MK adalah peradilan
tata negara yang mengadili jabatan Presiden dan/ atau Wakil Presiden
sedangkan Pengadilan Negeri adalah cabang peradilan dalam Mahkamah
Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang
dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan
yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem
(Winarno Yudho dkk, 2005 : 89). Namun demikian yang perlu menjadi
catatan adalah bahwa selayaknya pertimbangan hukum serta putusan yang
dijatuhkan MK menjadi bahan pertimbangan hakim pengadilan negeri
dalam menjatuhkan putusan terhadap pelanggaran hukum yang
dilakukannya ketika orang tersebut masih menjabat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden sehingga ada keselarasan putusan hukum antara
Pengadilan Negeri dengan Mahkamah Konstitusi.
c
Kemudian Apabila presiden dan/ atau wakil presiden diberhentikan
dalam masa jabatannya tentu akibatnya adalah adanya kekosongan dari
jabatan yang ditinggalkan. Untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan
tentu kekosongan jabatan ini tidak boleh berlarut-larut. Pengisian kekosongan
jabatan yang ditinggalkan tersebut terjadi dengan jalan:
a) Bila presiden diberhentikan ditengah masa jabatan maka posisinya akan
digantikan oleh Wakil Presiden. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8
ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi “Jika Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil
Presiden sampai habis masa jabatannya.”
b) Bila wakil presiden yang diberhentikan dalam masa jabatannya maka
presiden mengusulkan dua nama calon wakil presiden kepada MPR.
Kemudian MPR selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari sejak
terjadinya kekosongan tersebut harus menyelenggarakan sidang untuk
memilih satu diantara dua calon wakil presiden yang diusulkan presiden
tersebut. Hal yang demikian telah diatur dalam pasal 8 ayat (2) UUD
1945 hasil perubahan.
c) Bila presiden dan wakil presiden diberhentika secara bersama-sama,
maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak
terjadinya kekosongan tersebut MPR harus menyelenggarakan sidang
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, kemudian
Presiden dan wakil presiden yang dipilih tersebut menduduki posisi
sebagai presiden dan wakil presiden sampai masa jabatan presiden dan
wakil presiden yang digantikannya tersebut berakhir. Hal ini yang
demikian telah diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan,
dalam pasal 8 ayat (3) tersebut juga telah mengatur bahwa selama
menunggu proses tersebut berlangsung (sebelum terpilihnya presiden dan
ci
wakil presiden pengganti) maka tugas kepresidenan dilaksanakan secara
bersama-sama oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan
Menteri Pertahanan.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil kajian dari penelitian yang dilakukan, maka
kesimpulan yang dapat dikemukan adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada pengaturan mengenai prosedur
pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan
namun dalam praktek yang terjadi, ada dua presiden yang diberhentikan di
tengan masa jabatannya yaitu Presiden Soekarno dan Presiden
Abdurahman Wahid. Kemudian pijakan hukum yang digunakan untuk
memberhentikan presiden ditengah masa jabatan waktu itu adalah
penjelasan UUD 1945 dan juga Tap MPR. Dalam Penjelasan UUD 1945
juga dinyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), MPR memegang kekuasaan tertinggi negara dan
MPR jugalah yang memilih presiden dan wakil presiden serta Presiden
bertanggungjawab kepada MPR. Dengan demikian maka MPR jugalah
yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden dan atau
wakil presiden ditengah masa jabatannya.. Hal ini kemudian diatur lebih
lanjut dengan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/
atau antar Lembaga –Lembaga Tinggi Negara. Menurut Pasal 7 Tap MPR
No.III/MPR/1978, DPR menyampaikan memorandum untuk
cii
mengingatkan Presiden. Apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan, Presiden
tidak mengindahkan peringatan tersebut, DPR menyampaikan
memorandum yang kedua. Kemudian apabila dalam waktu satu bulan,
Presiden tetap tidak mengindahkan peringatan kedua, DPR dapat meminta
Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggung jawaban Presiden.
Dalam Sidang Istimewa tersebut, MPR dapat mengambil keputusan
memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden. Kemudian setelah
adanya perubahan UUD 1945 maka pengaturan mengenai alasan-alasan
dan prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden sudah
diatur lebih tegas yaitu diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945
hasil perubahan. Dalam Pasal 7A UUD 1945 setelah perubahan sudah
ditegaskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dengan alasan telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Proses pengambilan keputusan
untuk dapat dilakukannya pemberhentian presiden dan atau wakil presiden
dalam masa jabatan itu sendiri harus melibatkan yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Apabila DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka kemudian pendapat tersebut harus
dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh
MK. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus
dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membenarkan pendapat DPR
ciii
tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam waktu tiga
puluh hari sejak menerima usulan tersebut, MPR harus menyelenggarakan
Sidang Istimewa untuk memutuskan memberhentikan presiden dan/ atau
wakil presiden atau tidak. Dalam forum MPR ini memang tidak menutup
kemungkinan untuk memberikan putusan yang berbeda dengan putusan
MK.
2. Implikasi dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/
atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945
setelah perubahan adalah sebagai berikut
a. Penguatan sistem presidensial.
Dalam sistem presidensiaal pemerintah tidak bertanggungjawab
kepada parlemen dalam hal ini kedudukan antara pemerintah dengan
parlemen adalah sejajar selain itu dalam sistem presidensial masa
jabatan presiden sudah ditentukan secara tetap dalam konstitusi
sehingga akan sangat sulit untuk memberhentikan presiden dan/ atau
wakil presiden dalam masa jabatannya. Karena itu dengan adanya
ketentuan yang tegas mengenai pemberhentian presiden dan/ atau
wakil presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan menegaskan
kembali bahwa Indonesia memang menganut sistem presidensial.
b. Adanya kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi untuk menilai pendapat
DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil
presiden. Fokus perhatian dalam proses di MK adalah bahwa MK
memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan yang
ditujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. MK berarti tidak
sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan DPR
tersebut karena yang menjadi obyek dalam proses di MK adalah
pendapat DPR. Dilibatkannya MK dalam proses pemberhentian
presiden dan/ atau wakil presiden ini untuk menjamin bahwa alasan
yang digunakan untuk memberhentikan presiden dan/ atau wakil
civ
presiden tersebut bukanlah bersifat politis semata seperti yang terjadi
ketika belum terjadi perubahan UUD 1945 tetap harus sesuai dengan
apa yang diamatkan dalam pasal 7A UUD 1945 setelah perubahan.
B. Saran
1) Pengaturan yang lebih teknis mengenai tata cara beracara di MK perlu
segera dibuat oleh MK yaitu dalam bentuk Peraturan Mahkamah
Konstutusi (PMK) seperti adanya PMK untuk pelaksanaan kewenangan
MK yang lain. PMK ini harus memuat ketentuan prosedural beracara di
MK mulai dari prosedur mendaftarkan permohonan, isi dan syarat-syarat
permohonan, penetapan hari sidang pertama, pemanggilan para pihak,
saksi dan ahli, prosedur beracara pada sidang pemeriksaan pendahuluan,
prosedur beracara pada sidang pemeriksaan persidangan dan pembuktian,
mekanisme rapat permusyawaratan hakim untuk merumuskan putusan,
serta isi putusan MK
2) MPR dalam pengambilan keputusannya sebaiknya mengikuti putusan MK.
MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk mengukuhkan putusan
dari Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah lembaga politik, MPR dalam
mengambil keputusan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan
dalam Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sedikit
banyak akan dipengaruhi dengan pertimbangan-pertimbangan politik.
Persoalannya kemudian bukan terletak pada keberadaan MPR sebagai
institusi politik sebagai pemberi keputusan akhir untuk memberhentikan
presiden dan atau wakil presiden, tetapi lebih terletak pada komitmen
MPR itu sendiri untuk menghormati proses hukum sebagai bagian dari
upaya penegakan hukum dalam kerangka supremasi hukum. Dalam
konteks ini, tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak memberhentikan
Presiden dalam masa jabatannya apabila Mahkamah Konstitusi sudah
memutus Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan Pasal 7A. Tetapi
cv
apabila keputusan yang diambil oleh MPR kemudian bertentangan dengan
putusan MK maka hal tersebut menunjukkan bahwa supremasi hukum
masih berada di bawah supremasi politik dan biarlah rakyat yang menilai
kualitas dari keputusan MPR tersebut.
3) Jika suatu saat terjadi pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden
dengan alasan presiden dan/ atau wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum maka sebaiknya setelah MPR memutuskan untuk
memberhentikan yang bersangkutan, sebaiknya alasan pelanggaran hukum
tersebut segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum untuk diajukan
ke peradilan umum. Hal ini penting agar kalau memang secara hukum
pidana presiden dan/ atau wakil presiden yang telah diberhentikan tersebut
bersalah maka dapat dijatuhi hukuman pidana, namun bila tidak bersalah
setidaknya hal ini dapat digunakan untuk melakukan rehabilitasi nama
baik yang bersangkutan meskipun memang jabatannya tidak bisa
dikembalikan.
cvi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukhtie Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Abdy Yuhana. 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI. Bandung: Fokusmedia.
Amirudin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Budiyanto. 1999. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara untuk SMU Kelas 3. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
C.S.T Kansil. 1984. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Jimly Asshiddiqie. 2004. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Makalah. Disampaikan pada Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, pada tanggal 23 Maret 2004.
. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press
. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi Press
. 2006. Perkembangan & Kosolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press, cetakan Kedua.
Luthfi Widagdo Eddyono. Memahami Proses Pemakzulan Presiden di Indonesia. http://lingkarstudipolitikhukum.blogspot.com/2006/10/memahami-proses-pemakzulan-presiden-di.html [17April 2009 pukul 14.00].
92
cvii
Kamus Besar Bahasa Idonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.1989.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Ketetapan MPR No. III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan / atau antar Lembaga – Lembaga Tinggi Negara.
Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Soekarno.
Kunthi Dyah Wardani. 2007. Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Laica Marzuki. 2006. Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moh. Mahfud MD. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Edisi Revisi.
Moh. Mahfud MD.2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Ni’matul Huda. 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia. Jogjakarta: FH UII Press.
Peter Mahmud Marzuki. 2008. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan Keempat.
Sumali. 2003. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu). Malang: UMM Press.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
cviii
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Winarno Yudho dkk. 2005. Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.