Page 1
PEMBAHASAN
1. Biografi Abu Hanifah
Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah
bin al-Nukman bin Tsabit bin Zufi al-Tamimi. Beliau
masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin
Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun
80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd
Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh
menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau
telah menghafal al-Qur’an.
Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang al-
Qur’an beliau sempat berguru kepada Imam Ashim, seorang
ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal
orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai
gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang
paling terpandang pada masa itu yakni Hammad ibn Abu
Sulaiman al-Kufi, tak kurang 10 tahun lamanya.
10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H,
Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan kota Kufah menuju
Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana
dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah
seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai
seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat
tawadhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau
tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan,
Page 2
bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim
(qadhi) yang di tawarkan oleh al-Manshur. Karena
penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga
akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M
pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan
khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah
sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.
Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, dalam bukunya
Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan, Abu Hanifah
pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu,
sastra, sya`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang
berkembang pada masa itu. Selain mumpuni dalam fiqih,
beliau juga sangat kental dengan teologinya, sehingga
ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu
tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup
menangkis serangan segolongan Khawarij.
Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di
Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan
para ulama fiqih yang cenderung rasional (ahl ra`yi). Di
Iraq sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama
Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat Rasulullah
yang bernama Ibn Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah
kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha`i, lalu Hammad
bin Abi Sulaiman al-Kufi (wafat 120 H). Hammad bin
Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu. Ia
1
Page 3
murid dari al-Qamah bin Qais dan al-Qadhi Syuriah;
keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di
Kufah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah Imam
Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah
itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk
mendalami fiqih dan hadisnya sebagai nilai tambah
kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah
Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai
“rektor” Madrasah Kufah. Selama itu ia mengabdi dan
banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-
fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran
mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
2. Prinsip-Prinsip yang Dipegang Abu Hanifah
Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl Ra`yi dalam
menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari al-
Qur’an atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar.
Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu
Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum
berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu al-Qur'an,
Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
Prinsip yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhadap suatu
permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi
independen dalam artian lebih menjurus kepada
2
Page 4
pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti
dengan pola qiyas.
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip
umum dalam satu nas disebabkan adanya nas lain yang
menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan
maqasid al-syari’ah.
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang
bersifat tambahan adalah:
(a) Dilalah lafad umum (am) adalah qath’i seperti
lafadz khash;
(b) Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan
pendapat umum adalah bersifat khusus
(c) Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti
lebih kuat (rajih)
(d) Adanya penolakan terhadap mafhum (makna
tersirat) syarat dan sifat
(e) Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya
yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan
riwayatnya,
(f) Menggunakan istikhsan dan meninggalkan qiyas
apabila diperlukan.
3
Page 5
3. Metode Istinbath Yang Digunakan Abu Hanifah
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah
dapat dilihat dari ungkapannya yaitu:
ي� ه ولا ف�اب� ال�ل �ي� ك�ت د ف� ��ج ن� ل�م ا� �ا ��لم، ف �ه وس �ه ع�ليلي ال�ل �ه صول ال�ل �ة� رس ي�س ب� د ف�� ��ج ن� ل�م ا� �ا ��ه، فاب� ال�ل �كت د� ب�� ��ج "ا/
ئ�ت� 2�دع م�ن� ش ، وا� ئ�ت� 2�ول م�ن� ش �ق د� ب�� ��ج ، ا/ ه� حاب��ول ال�ص �ق ب� ب�� د� ��ج لم ا� �ه وس �ه ع�ليلي ال�ل �ه صول ال�ل �ة� رس ي� �شمر هي الا� ت� C�ا ان د� �ا ا �م ا� ي�ره�م، ف�� �ول غ �لى ق �ول�هم ا �رج� ع�ن� ق ��خ هم، ولا ا� ن� م�ت� �Sي ر ي�ن� س ي� واي�� عب� 2م وال�ش راه�ي� �Sب �لى ا �ا
هدوا. ت� هد ك�ما اج�� ت� ج�� ا� هدوا، ف�� ت� وم اج�� ق� الا، ف�� ت� وع�دد رج�� ن� ال�مسئ� د ي�� "وع�طاء وس�عت�
“Saya berpegang pada Kitab Allah. Jika tidak, saya
mengambil sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku dapati
juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya
mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan
meninggalkan pendapat yang tidak aku hendaki pula.
Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke
pendapat yang lain. Bila salah satu urusan belum
diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi,
al-Hasan, Ibn Sirin, Atha’ dan Sa’id al-Musayyab serta
yang lainnya, maka saya akan berijtihad juga seperti
mereka telah berijtihad.”
A. al-Qur’an
Terkait hal ini, imam Abu Hanifah sependapat
dengan Jumhur ulama lainnya bahwa al-Qur'an merupakan
sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa al-
4
Page 6
Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti
yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq.
Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda
pendapat mengenai terjemah al-Qur'an ke dalam bahasa
selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah
tersebut juga termasuk al-Qur'an.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam
Hanafi tersebut adalah dia membolehkan shalat dengan
menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam
keadaan darurat. Alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa al-Qur’an merupakan hujjah
dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang yang
harus diikuti dan ditaati oleh manusia adalah, al-
Qur’an diturunkan dari Allah swt, disampaikan kepada
manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat
keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan
manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti
al-Qur’an merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak
mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.
B. al-Sunnah
Bila Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum
suatu masalah dalam al-Qur'an, dia mencarinya dalam
Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr
ayat 7;
5
Page 7
اب� عق� د ال� �qب د س�2 rاهلل rن� � ا rوا اهلل ق� r��هوا واب ت� C�ان ة ف�� ي� م ع� هاك� ا ن�� وه وم� د� ح� ول ف�� س� rم ال�ر اك� �zب ا ا/ وم�Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
(Q.S. al-Hasyr: 7)
Para ulama sepakat bahwa hadits shahih merupakan
sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam
menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam
Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi
dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah
menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka
berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu
hadits yang di riwayatkan dari Rasulullah saw. oleh
seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai
derajat mutawatir.
Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan
mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:
· Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal
· Perawi harus muslim
· Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa
dan menjaga dari perbuatan tercela
· Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di
riwayatkannya, dengan mendengar dari Rasulullah,
memahami kandungannya, dan benar-benar
menghafalnya.
6
Page 8
Selanjutnya Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain
syarat di atas, yaitu:
- Perbuatan perawi tidak menyalahi
riwayatnya.
- Kandungan hadits bukan hal yang sering
terjadi.
- Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila
perawinya tidak faqih.
Diantara para perawi yang tidak faqih menurut Imam
Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman al-Farisi, dan
Anas ibn Malik.
C. Ijma` Sahabat
Para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah
sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum
dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-
Qur’an dan al-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak
tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber
hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59:
م ي� ع� ار� ت� ن� ن�} �ا م ف�� ك ت� مر م� ولى� الا� ول وا� س� rعوا ال�ر ي� ط� وا� rعوا اهلل ي� ط� وا ا� ن� م� ن� ا/ �Sي د� r�ها ال r �qن ا ا� ب��ول . . . س� rوال�ر rلى اهلل �وه ا rرد� ء ف� ي� ي� ش2 ف�
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
7
Page 9
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (Q.S. An-Nisaa:
59)
Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua
pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1. Penguasa dunia seperti Raja, Presiden, Sultan,
atau Umara.
2. Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan
ahli fatwa agama.
Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi ummat Islam
untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan
dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang
mukhalafah dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan ulil amri di
atas termasuk kepada poin kedua yaitu mujtahid atau
ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin
agama. kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah
itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam untuk
diikuti.
Kedudukan ijma` sebagai sumber hukum islam didasari
oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada hakikatnya
ijma` adalah milik ummat Islam secara keseluruhan. Imam
mujtahid merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum.
Tentunya mereka sebagai wakil ummat tidak mungkin
berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka
8
Page 10
jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu
masalah, maka keputusannya dianggap abash dan benar.
Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria
Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang
jumlah pelaku kesepakatan ijma` itu dapat dianggap
sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti.
Menurut jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan
adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan
menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila
merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
D. Qiyas
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber
hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah al-Qur’an,
Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas
sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyas, memiliki
alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam
nash al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menyuruh agar
manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat
berbicara agar manusia mau menggunakan akalnya. Di
antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 2:
ار ص ب�� ولى� الا� ا ا� روا ب�� ي� ت� اع� ف��Artinya: Ambillah pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).
9
Page 11
Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh
dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun
ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-
rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam
kitab-kitab ushul fiqih, ialah:
al-Ashl, sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut
juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya),
mahmul `alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan
musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)
al-Furu`, yaitu : sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang
diqiyaskan), al-mahmuul (yang
dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang
diserupakan).
Hukum asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya.
Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-
furu`.
al-`illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar
untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan
adanya keberadaan sifat itu pada cabang (furu`),
maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi
hukum.
E. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu
itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushulfiqih
10
Page 12
istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas
yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada
hukum Istitsnai (pengecualian) karena ada dalil yang
menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan
ini.
Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang
mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia
berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut
dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang
pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli
(umum) dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut
syara’ disebut dengan Istihsan.
Dari penjelasan istihsan menurut syara’ jelaslah
bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:
Pertarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) dan qiyas
jali (nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh
dari macam yang pertama Istihsan ialah seorang pewakaf
apabila mewakapkan sebidang tanah pertanian, maka masuk
pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air
minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus
menyebutkanya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk kecuali
bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana
jual beli. Segi istihsan ialah, bahwasanya yang menjadi
tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang
11
Page 13
diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah
pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya,
saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal
tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa
menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan
terealisasi kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana
sewa-menyewa.
Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat
pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang
pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua
qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami,
namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan
qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari
qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”.
Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi
istihsannya.
F. `Uruf (adat)
Imam Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah
satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam
ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah
dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi
mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau
keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat.
Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada
perbedaan antara `Urf dan kebiasaan. Maka `Urf yang
12
Page 14
bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian
manusia terhadap jual beli, dengan cara saling
memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi
melalui perkataan).
`Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian
orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi
sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan
kelompk elit mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena
sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para
mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut
campur tangan dalam membentuknya.
Uruf terbagi kepada dua macam, yaitu:
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh
manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara`,
tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, tidak
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula
membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan
mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi),
kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang
didahulukan (seserahan) juga maskawin yang diakhirkan
penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan
ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang
melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.
Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah
menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu
bertentangan dengan syara`. Tradisi `Urf fasid yang
13
Page 15
masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum
nikah.
Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf
menjelaskan bahwa ianya wajib dipelihara dalam
pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang
mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi
dalam pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan,
seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu
yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah
biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian
dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan
kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia
tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib
diperhatikan.
Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan
عه� م�حكمه� �Sب ر ال�عاده� ش2Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum.
Sebagai bukti legalitas `Urf, Abu Hanifah dan para
pengikutnya berbeda pendapat mengani sejumlah hukum
berdasarkan perbedaan `Urf mereka.
4. Ciri dan Contoh Ijtihad Abu Hanifah
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh
ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’,
diantaranya :
14
Page 16
a. Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif.
Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah
(pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik
wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan
dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali
wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan
berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan
wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu
terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal
dunia.
Pada awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad sependapat
dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan ibadah haji
bersama Harun al–Rasyid (salah seorang raja
Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar
bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual,
diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini
kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat
Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena
itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf tidak
boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia
berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke
Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”.
(Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b. Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang
tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan
perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan
15
Page 17
menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi
saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya
perempuan boleh menjadi hakim yang menagani
perkara perdata.Dengan demikian metode ijtihad
yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim
perempuan sebagai far’i.
c. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana
matahari dan bulan dilakukan dua rakaat
sebagaimana shalat id, tidak dilakukan dua kali
rukuk dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas
ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam
masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami
situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah
kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami
perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua
masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-
muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-
kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan
pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas
fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya
terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
16
Page 18
5. Perbedaan Istinbath Abu Hanifah Dengan Imam Mazhab
Yang Lain
Manhaj/metode Abu Hanifah dalam mengistinbathkan
hukum adalah al-Qur’an, Hadis, Pendapat Sahabat,
Qiyas, Istihshan, Ijma’ Dan Uruf.
Istinbath Mazhab Maliki adalah al-Qur’an, Hadis,
Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih
Murshalah, Istihshan, Sadd al-Zarai, Uruf.
Sumber Hukum Imam Syafi’i Nash (al-Qur’an Dan
Hadis), Ijma’, Pendapat Para Sahabat, Qiyas.
Dasar mazhab Hanbali adalah Nash al-Qur’an dan
Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada
penentangnya, (dia tidak menamakannya dengan
ijma’ tapi wara’), jika sahabat berbeda pendapat
maka beliau memilih salah satunya jika sesuai
dengan al-Qur’an dan hadits, kemudian
menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak
ada dalil lain yang menguatkannya, dan
didahulukan dari pada Qiyas (hadits Dha’if yang
diterima adalah jika orang/rawi yang belum
mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai dituduh
berdusta), sumber lain dalah Qiyas.
Berikut adalah perbedaan mazhab Abu Hanafi dengan
mazhab yang lain dalam istilah-istilah Fiqh, yaitu:
a. Fardu Dan wajib mempunyai makna yang sama
menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiah,
17
Page 19
menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardu adalah
kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qat’i
(pasti), semisal Shalat, Haji, zakat,
sedangkan wajib adalah kewajiban yang dituntut
dengan dalil Zhanni (ada kesamaran), seperti
Khitan, Akikah dan Lain-lain.
b. Jumhur ulama selain kalangan Malikiyah
menyamakan istilah Sunnah dengan Mandub,
Nafilah, Mustahab, Tathawu’, murghab fih,
Ihsan dan husn. Sedangkan menurut Hanafiah
adalah suatu yang terus dilakukan oleh
Rasulullah saw. Namun kadang-kadang beliau
meninggalkannya tanpa uzur, mandub dan
mustahab adalah suatu yang Rasulullah tidak
terus menerus melakukannya meskipun beliau
tidak mengerjakan sesudah menggemarkannya pada
orang lain.
c. Menurut mazhab Hanafi, makruh terbagi dua
yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih, makruh
tahrim adalah makruh yang dilarang dengan
dalil yang tidak pasti, contoh, bertunangan
dengan tunangan orang lain, sedangkan makruh
tanzih adalah larangan melalui larangan yang
tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya
hukuman seperti memakan daging kuda dan
18
Page 20
berwudhu dari bejana, sedangkan jumhur ulama
memandang makruh hanya satu jenis saja.
d. Rukun menurut ulama Hanafi adalah suatu yang
kewujudan suatu yang lain adalah bergantung
pada kewujudannya, dan ia merupakan bagian
dari hakikat itu, menurut jumhur, Rukun adalah
perkara yang menjadi asas bagi kewujudan suatu
meskipun ia berada diluar hakikat sesuatu itu.
6. Murid dan Pengembangan Mazhab Sesudah Beliau serta
Buku Utama Mazhab
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap
tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak.
Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah: Abu
Yusuf, Abdullah bin Mubarak, Waki' bin Jarah, Ibn hasan
al-Syaibani.
Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-
Musu'ah (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-
Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar
(kitab fiqh yang lengkap).
Huzaemah Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad
dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan bahwa,
Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu: Fiqhul
Akbar, Al-`Aalim wal Muta`allim, Musnad Fiqh.
Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of
Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-
19
Page 21
fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada
masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah
beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh
murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi
mazhab ahlu ra`yi yang hidup dan berkembang sampai
sekarang.
20