Top Banner
PEMBAHASAN 1. Biografi Abu Hanifah Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin al-Nukman bin Tsabit bin Zufi al-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal al-Qur’an. Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang al- Qur’an beliau sempat berguru kepada Imam Ashim, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Hammad ibn Abu Sulaiman al-Kufi, tak kurang 10 tahun lamanya. 10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H, Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan kota Kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan,
21

PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

Apr 24, 2023

Download

Documents

Chairul Fahmi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

PEMBAHASAN

1. Biografi Abu Hanifah

Menurut sejarawan, Imam Hanafi adalah Abu Hanifah

bin al-Nukman bin Tsabit bin Zufi al-Tamimi. Beliau

masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin

Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun

80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd

Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh

menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau

telah menghafal al-Qur’an.

Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang al-

Qur’an beliau sempat berguru kepada Imam Ashim, seorang

ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal

orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai

gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang

paling terpandang pada masa itu yakni Hammad ibn Abu

Sulaiman al-Kufi, tak kurang 10 tahun lamanya.

10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H,

Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan kota Kufah menuju

Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana

dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah

seorang murid Abdullah bin Abbas ra.

Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai

seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat

tawadhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau

tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan,

Page 2: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim

(qadhi) yang di tawarkan oleh al-Manshur. Karena

penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga

akhir hayatnya.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M

pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan

khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah

sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.

Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, dalam bukunya

Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan, Abu Hanifah

pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu,

sastra, sya`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang

berkembang pada masa itu. Selain mumpuni dalam fiqih,

beliau juga sangat kental dengan teologinya, sehingga

ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu

tersebut. Karena ketajaman pemikirannya, ia sanggup

menangkis serangan segolongan Khawarij.

Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di

Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan

para ulama fiqih yang cenderung rasional (ahl ra`yi). Di

Iraq sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama

Madrasah Kufah yang dirintis oleh sahabat Rasulullah

yang bernama Ibn Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah

kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha`i, lalu Hammad

bin Abi Sulaiman al-Kufi (wafat 120 H). Hammad bin

Sulaiman adalah salah seorang Imam besar ketika itu. Ia

1

Page 3: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

murid dari al-Qamah bin Qais dan al-Qadhi Syuriah;

keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di

Kufah dari kalangan tabi`in. Dari Hammad itulah Imam

Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah

itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk

mendalami fiqih dan hadisnya sebagai nilai tambah

kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad, Madrasah

Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai

“rektor” Madrasah Kufah. Selama itu ia mengabdi dan

banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-

fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran

mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.

2. Prinsip-Prinsip yang Dipegang Abu Hanifah

Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl Ra`yi dalam

menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari al-

Qur’an atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar.

Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu

Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum

berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu al-Qur'an,

Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.

Prinsip yang digunakan oleh imam hanafi adalah :

1. Metode Dialektika

Dengan menggunakan analogi terhadap suatu

permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi

independen dalam artian lebih menjurus kepada

2

Page 4: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti

dengan pola qiyas.

2. Metode Istihsan

Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip

umum dalam satu nas disebabkan adanya nas lain yang

menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan

maqasid al-syari’ah.

Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang

bersifat tambahan adalah:

(a) Dilalah lafad umum (am) adalah qath’i seperti

lafadz khash;

(b) Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan

pendapat umum adalah bersifat khusus

(c) Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti

lebih kuat (rajih)

(d) Adanya penolakan terhadap mafhum (makna

tersirat) syarat dan sifat

(e) Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya

yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan

riwayatnya,

(f) Menggunakan istikhsan dan meninggalkan qiyas

apabila diperlukan.

3

Page 5: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

3. Metode Istinbath Yang Digunakan Abu Hanifah

Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah

dapat dilihat dari ungkapannya yaitu:

ي� ه ولا ف�اب� ال�ل �ي� ك�ت د ف� ��ج ن� ل�م ا� �ا ��لم، ف �ه وس �ه ع�ليلي ال�ل �ه صول ال�ل �ة� رس ي�س ب� د ف�� ��ج ن� ل�م ا� �ا ��ه، فاب� ال�ل �كت د� ب�� ��ج "ا/

ئ�ت� 2�دع م�ن� ش ، وا� ئ�ت� 2�ول م�ن� ش �ق د� ب�� ��ج ، ا/ ه� حاب��ول ال�ص �ق ب� ب�� د� ��ج لم ا� �ه وس �ه ع�ليلي ال�ل �ه صول ال�ل �ة� رس ي� �شمر هي الا� ت� C�ا ان د� �ا ا �م ا� ي�ره�م، ف�� �ول غ �لى ق �ول�هم ا �رج� ع�ن� ق ��خ هم، ولا ا� ن� م�ت� �Sي ر ي�ن� س ي� واي�� عب� 2م وال�ش راه�ي� �Sب �لى ا �ا

هدوا. ت� هد ك�ما اج�� ت� ج�� ا� هدوا، ف�� ت� وم اج�� ق� الا، ف�� ت� وع�دد رج�� ن� ال�مسئ� د ي�� "وع�طاء وس�عت�

“Saya berpegang pada Kitab Allah. Jika tidak, saya

mengambil sunnah Rasulullah saw. Jika tidak aku dapati

juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya

mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan

meninggalkan pendapat yang tidak aku hendaki pula.

Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke

pendapat yang lain. Bila salah satu urusan belum

diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi,

al-Hasan, Ibn Sirin, Atha’ dan Sa’id al-Musayyab serta

yang lainnya, maka saya akan berijtihad juga seperti

mereka telah berijtihad.”

A. al-Qur’an

Terkait hal ini, imam Abu Hanifah sependapat

dengan Jumhur ulama lainnya bahwa al-Qur'an merupakan

sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa al-

4

Page 6: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Sumber ini, seperti

yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq.

Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda

pendapat mengenai terjemah al-Qur'an ke dalam bahasa

selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa terjemah

tersebut juga termasuk al-Qur'an.

Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam

Hanafi tersebut adalah dia membolehkan shalat dengan

menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam

keadaan darurat. Alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan bahwa al-Qur’an merupakan hujjah

dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang yang

harus diikuti dan ditaati oleh manusia adalah, al-

Qur’an diturunkan dari Allah swt, disampaikan kepada

manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat

keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan

manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti

al-Qur’an merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak

mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.

B. al-Sunnah

Bila Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum

suatu masalah dalam al-Qur'an, dia mencarinya dalam

Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr

ayat 7;

5

Page 7: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

اب� عق� د ال� �qب د س�2 rاهلل rن� � ا rوا اهلل ق� r��هوا واب ت� C�ان ة ف�� ي� م ع� هاك� ا ن�� وه وم� د� ح� ول ف�� س� rم ال�ر اك� �zب ا ا/ وم�Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa

yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

(Q.S. al-Hasyr: 7)

Para ulama sepakat bahwa hadits shahih merupakan

sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam

menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam

Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi

dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah

menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka

berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu

hadits yang di riwayatkan dari Rasulullah saw. oleh

seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai

derajat mutawatir.

Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan

mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:

· Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal

· Perawi harus muslim

· Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa

dan menjaga dari perbuatan tercela

· Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di

riwayatkannya, dengan mendengar dari Rasulullah,

memahami kandungannya, dan benar-benar

menghafalnya.

6

Page 8: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

Selanjutnya Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain

syarat di atas, yaitu:

- Perbuatan perawi tidak menyalahi

riwayatnya.

- Kandungan hadits bukan hal yang sering

terjadi.

- Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila

perawinya tidak faqih.

Diantara para perawi yang tidak faqih menurut Imam

Abu Hanifah adalah Abu Hurairah, Salman al-Farisi, dan

Anas ibn Malik.

C. Ijma` Sahabat

Para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah telah

sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum

dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-

Qur’an dan al-Sunnah. Tidak ada ulama yang menolak

tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber

hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59:

م ي� ع� ار� ت� ن� ن�} �ا م ف�� ك ت� مر م� ولى� الا� ول وا� س� rعوا ال�ر ي� ط� وا� rعوا اهلل ي� ط� وا ا� ن� م� ن� ا/ �Sي د� r�ها ال r �qن ا ا� ب��ول . . . س� rوال�ر rلى اهلل �وه ا rرد� ء ف� ي� ي� ش2 ف�

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu

7

Page 9: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (Q.S. An-Nisaa:

59)

Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua

pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :

1. Penguasa dunia seperti Raja, Presiden, Sultan,

atau Umara.

2. Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan

ahli fatwa agama.

Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi ummat Islam

untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan

dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang

mukhalafah dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an dan

al-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan dengan ulil amri di

atas termasuk kepada poin kedua yaitu mujtahid atau

ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin

agama. kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah

itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat Islam untuk

diikuti.

Kedudukan ijma` sebagai sumber hukum islam didasari

oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada hakikatnya

ijma` adalah milik ummat Islam secara keseluruhan. Imam

mujtahid merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum.

Tentunya mereka sebagai wakil ummat tidak mungkin

berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka

8

Page 10: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu

masalah, maka keputusannya dianggap abash dan benar.

Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria

Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang

jumlah pelaku kesepakatan ijma` itu dapat dianggap

sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti.

Menurut jumhur ulama ijma’ sudah di anggap sah dengan

adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan

menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila

merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.

D. Qiyas

Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber

hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah al-Qur’an,

Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas

sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul qiyas, memiliki

alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam

nash al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menyuruh agar

manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin.

Menurut Abu Zahra sendiri tidak kurang dari 50 ayat

berbicara agar manusia mau menggunakan akalnya. Di

antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 2:

ار ص ب�� ولى� الا� ا ا� روا ب�� ي� ت� اع� ف��Artinya: Ambillah pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).

9

Page 11: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

Qiyas memiliki empat rukun yang tidak boleh

dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun

ini tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-

rukun yang empat tersebut banyak dibicarakan dalam

kitab-kitab ushul fiqih, ialah:

al-Ashl, sesuatu yang ada nash hukumnya. Ia disebut

juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya),

mahmul `alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan

musyabbah bih (yang diserupakan dengannya)

al-Furu`, yaitu : sesuatu yang tidak ada nash

hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang

diqiyaskan), al-mahmuul (yang

dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang

diserupakan).

Hukum asal, yaitu hukum syara` yang ada nashnya.

Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-

furu`.

al-`illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar

untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan

adanya keberadaan sifat itu pada cabang (furu`),

maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi

hukum.

E. Istihsan

Istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu

itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushulfiqih

10

Page 12: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari

tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas

yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada

hukum Istitsnai (pengecualian) karena ada dalil yang

menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan

ini.

Selanjutnya pada diri mujtahid terdapat dalil yang

mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu ia

berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut

dengan Istihsan. Demikian pula apabila ada hukum yang

pengecualian kasuistis dari hukum yang bersifat kulli

(umum) dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut

syara’ disebut dengan Istihsan.

Dari penjelasan istihsan menurut syara’ jelaslah

bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:

Pertarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) dan qiyas

jali (nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh

dari macam yang pertama Istihsan ialah seorang pewakaf

apabila mewakapkan sebidang tanah pertanian, maka masuk

pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak air

minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus

menyebutkanya, berdasarkan istihsan.

Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk kecuali

bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana

jual beli. Segi istihsan ialah, bahwasanya yang menjadi

tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang

11

Page 13: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah

pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya,

saluran airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal

tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa

menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan

terealisasi kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana

sewa-menyewa.

Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat

pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang

pertama qiyas nyata yang mudah dipahami, dan kedua

qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami,

namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan

qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari

qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”.

Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi

istihsannya.

F. `Uruf (adat)

Imam Abu Hanifah menggunakan `Urf usebagai salah

satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam

ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah

dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi

mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau

keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat.

Sedangkan menurut istilah para ahli syara`, tidak ada

perbedaan antara `Urf dan kebiasaan. Maka `Urf yang

12

Page 14: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian

manusia terhadap jual beli, dengan cara saling

memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi

melalui perkataan).

`Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian

orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi

sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan

kelompk elit mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena

sesungguhnya ijma` terbentuk dari kesepakatan para

mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut

campur tangan dalam membentuknya.

Uruf terbagi kepada dua macam, yaitu:

`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh

manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara`,

tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, tidak

mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak pula

membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan

mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi),

kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada maskawin yang

didahulukan (seserahan) juga maskawin yang diakhirkan

penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan

ia dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang

melarangnya, juga tidak ada dalil yang menganjurkan.

Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah

menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu

bertentangan dengan syara`. Tradisi `Urf fasid yang

13

Page 15: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum

nikah.

Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf

menjelaskan bahwa ianya wajib dipelihara dalam

pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Seorang

mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi

dalam pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan,

seorang hakim pun demikian. Karena sesungguhnya sesuatu

yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah

biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian

dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan

kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia

tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib

diperhatikan.

Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan

عه� م�حكمه� �Sب ر ال�عاده� ش2Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum.

Sebagai bukti legalitas `Urf, Abu Hanifah dan para

pengikutnya berbeda pendapat mengani sejumlah hukum

berdasarkan perbedaan `Urf mereka.

4. Ciri dan Contoh Ijtihad Abu Hanifah

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh

ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’,

diantaranya :

14

Page 16: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

a. Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif.

Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah

(pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik

wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan

dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali

wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan

berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan

wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu

terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal

dunia.

Pada awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad sependapat

dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan ibadah haji

bersama Harun al–Rasyid (salah seorang raja

Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar

bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual,

diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini

kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat

Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena

itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf tidak

boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia

berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke

Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”.

(Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).

b. Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang

tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan

perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan

15

Page 17: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi

saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya

perempuan boleh menjadi hakim yang menagani

perkara perdata.Dengan demikian metode ijtihad

yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan

kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim

perempuan sebagai far’i.

c. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana

matahari dan bulan dilakukan dua rakaat

sebagaimana shalat id, tidak dilakukan dua kali

rukuk dalam satu rakaat.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas

ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam

masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami

situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah

kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami

perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua

masa tersebut.

Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-

muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-

kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan

pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas

fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya

terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.

16

Page 18: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

5. Perbedaan Istinbath Abu Hanifah Dengan Imam Mazhab

Yang Lain

Manhaj/metode Abu Hanifah dalam mengistinbathkan

hukum adalah al-Qur’an, Hadis, Pendapat Sahabat,

Qiyas, Istihshan, Ijma’ Dan Uruf.

Istinbath Mazhab Maliki adalah al-Qur’an, Hadis,

Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih

Murshalah, Istihshan, Sadd al-Zarai, Uruf.

Sumber Hukum Imam Syafi’i Nash (al-Qur’an Dan

Hadis), Ijma’, Pendapat Para Sahabat, Qiyas.

Dasar mazhab Hanbali adalah Nash al-Qur’an dan

Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada

penentangnya, (dia tidak menamakannya dengan

ijma’ tapi wara’), jika sahabat berbeda pendapat

maka beliau memilih salah satunya jika sesuai

dengan al-Qur’an dan hadits, kemudian

menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak

ada dalil lain yang menguatkannya, dan

didahulukan dari pada Qiyas (hadits Dha’if yang

diterima adalah jika orang/rawi yang belum

mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai dituduh

berdusta), sumber lain dalah Qiyas.

Berikut adalah perbedaan mazhab Abu Hanafi dengan

mazhab yang lain dalam istilah-istilah Fiqh, yaitu:

a. Fardu Dan wajib mempunyai makna yang sama

menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiah,

17

Page 19: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardu adalah

kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qat’i

(pasti), semisal Shalat, Haji, zakat,

sedangkan wajib adalah kewajiban yang dituntut

dengan dalil Zhanni (ada kesamaran), seperti

Khitan, Akikah dan Lain-lain.

b. Jumhur ulama selain kalangan Malikiyah

menyamakan istilah Sunnah dengan Mandub,

Nafilah, Mustahab, Tathawu’, murghab fih,

Ihsan dan husn. Sedangkan menurut Hanafiah

adalah suatu yang terus dilakukan oleh

Rasulullah saw. Namun kadang-kadang beliau

meninggalkannya tanpa uzur, mandub dan

mustahab adalah suatu yang Rasulullah tidak

terus menerus melakukannya meskipun beliau

tidak mengerjakan sesudah menggemarkannya pada

orang lain.

c. Menurut mazhab Hanafi, makruh terbagi dua

yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih, makruh

tahrim adalah makruh yang dilarang dengan

dalil yang tidak pasti, contoh, bertunangan

dengan tunangan orang lain, sedangkan makruh

tanzih adalah larangan melalui larangan yang

tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya

hukuman seperti memakan daging kuda dan

18

Page 20: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

berwudhu dari bejana, sedangkan jumhur ulama

memandang makruh hanya satu jenis saja.

d. Rukun menurut ulama Hanafi adalah suatu yang

kewujudan suatu yang lain adalah bergantung

pada kewujudannya, dan ia merupakan bagian

dari hakikat itu, menurut jumhur, Rukun adalah

perkara yang menjadi asas bagi kewujudan suatu

meskipun ia berada diluar hakikat sesuatu itu.

6. Murid dan Pengembangan Mazhab Sesudah Beliau serta

Buku Utama Mazhab

Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap

tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak.

Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah: Abu

Yusuf, Abdullah bin Mubarak, Waki' bin Jarah, Ibn hasan

al-Syaibani.

Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-

Musu'ah (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-

Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar

(kitab fiqh yang lengkap).

Huzaemah Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad

dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan bahwa,

Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu: Fiqhul

Akbar, Al-`Aalim wal Muta`allim, Musnad Fiqh.

Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of

Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-

19

Page 21: PENGEMBANGAN FIQH OLEH ABU HANIFAH

fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada

masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah

beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh

murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi

mazhab ahlu ra`yi yang hidup dan berkembang sampai

sekarang.

20