Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 4 (2018): 763-790 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no4.1802 . PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA DENGAN BERBAGAI NEGARA) Ghunarsa Sujatnika * * Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI Korespondensi: [email protected]Naskah dikirim: 1 Desember 2018 Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Desember 2018 Abstract One debate that has been going on for a long time and has not yet been completed is related to the relationship between religion and the state. There are two general opinions on this matter, namely that which separates religion and state life and vice versa argues that religion is an integral part of the life of the state. One way to see how the relationship between God and religion and the state can be seen in the country's constitution, whether the constitution regulates "God" and religion or not. After that, it can be found how the influence of the "Godly Constitution" on constitutional practices in Indonesia and also its comparison with several other countries' constitutions and their influence in the practice of state administration in the country. Keynote: God, Constitution, Religion, Godly Constitution, Debate Abstrak Salah satu perdebatan yang sudah berlangsung lama dan belum selesai adalah terkait dengan hubungan antara agama dan negara. Terdapat dua pendapat umum mengenai hal ini, yakni yang memisahkan antara agama dan kehidupan bernegara dan sebaliknya berpendapat bahwa agama merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu cara untuk melihat bagaimana hubungan antara Tuhan dan agama dengan negara dapat dilihat dalam konstitusi negara tersebut, apakah konstitusi tersebut mengatur “Tuhan” dan agama atau tidak. Setelah itu dapat ditemukan bagaimana pengaruh “Konstitusi Berketuhanan” pada praktik ketatanegaraan di Indonesia dan juga perbandingannya dengan beberapa konstitusi negara lain serta pengaruhnya dalam praktik ketatanegaraan dalam negara tersebut. Kata Kunci: Tuhan, Konstitusi, Agama, Konstitusi Berketuhanan, Debat
28
Embed
PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 4 (2018): 763-790
diakses pada 30 Agustus 2018 2 Sekularisme seringkali identik dengan demokrasi. Pertama kali lahir dari paham yang
ingin memisahkan kekuasaan Gereja dalam negara. Gereja dinilai cukup mengatur hal-hal atau
hak yang bersifat privat saja, sedangkan untuk urusan publik diserahkan kepada negara. Lihat
John Keane, Secularism? (Oxford: Blackwell Publishes, 2000), hlm. 5. 3 Lihat Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyyah: Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara Islami, [Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al-Wilaayah Ad-Diiniyyah]
diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2000). 4 Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi. 5 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2005)
hlm.21. Adapun terkait dengan materi dalam konstitusi, Sri Soemantri berpendapat bahwa pada
umumnya konstitusi mencakup: (1) terdapatnya jaminan terhadap HAM dan warga negaranya;
(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan (3)
terdapatnya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Lihat Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987),
hlm. 51.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 765
3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedurs).
Konstitusi juga merupakan resultante dari keadaan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya ketika konstitusi itu dibuat dan juga merupakan gambaran
atas keadaan dan jawaban yang muncul atas keadaan pada masa itu.6 Dasar
inilah yang menjadikan undang-undang dasar merupakan cara terbaik untuk
memfasilitasi segala perbedaan tersebut dan setiap pihak harus menghormati
kesepakatan tertinggi yang telah tertuang di dalam undang-undang dasar
tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan bersama tertinggi ini pun harus juga
memuat prinsip dan norma yang berlaku di masyarakat, dan dapat ditafsirkan
sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi.
Cara pandang lainnya terhadap konstitusi adalah bahwa setiap
permasalahan terkait konstitusi ataupun ketatanegaraan, biasanya juga terjadi
dengan negara lainnya. Dalam konteksi ini, kebutuhan akan membangun
kehidupan bernegara yang damai, tentram, dan harmonis merupakan kebutuhan
setiap negara. Apalagi, dalam hubungannya dengan konsep relasi agama dan
negara, setiap negara biasanya mempunyai pengalaman ataupun aturan yang
mengatur relasi tersebut. Hal yang paling mudah untuk menunjukkan
bagaimana relasi antara agama dan negara serta bagaimana suasana kebatinan
dari para perumus konstitusi adalah: (1) bagaimana “Tuhan” diatur di dalam
konstitusi; dan (2) bagaimana jaminan perlindungan negara terhadap warganya
dalam hal agama dan/atau keyakinan.
Konstitusi yang mengatur tentang Tuhan ataupun terdapat kata Tuhan di
dalamnya ternyata mendapatkan tempat di konstitusi berbagai negara. Amerika
misalnya. Naskah Konstitusi Federal Amerika Serikat juga memuat istilah-
istilah yang mencerminkan suasana kebatinan para perumusnya (the framers of
the constitution) hidup dengan sangat akrab dengan nilai-nilai keberagamaan
sehari-hari.7 Negara yang sangat liberal dan sekuler ini menempatkan pula kata
“Tuhan” di dalam 50 konstitusi negara bagiannya. Bahkan, di dalam konstitusi
negara bagian Virginia (1776), selain kata “God” dan “Religion”, juga terdapat
kata “Christian Forbearance” yang mirip dengan “tujuh kata” dalam Piagam
Jakarta 22 Juni 1945.
Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai pengaruh agama dalam
konsep bernegara juga telah berlangsung lama, terutama ketika dalam
perumusan dasar negara Indonesia. Perdebatan ini melibatkan golongan Islam
Nasionalis dan Nasionalis Sekuler terkait dengan Sila ke-1 dari Pancasila
mengenai pencantuman konsep syariat Islam dan syarat bagi calon Presiden.
Meski telah selesai dengan kesepakatan Pancasila pada 18 Agustus 1945,
namun perdebatan ini muncul kembali pada Sidang Konstituante. Hingga pada
akhirnya Presiden Soekarno pun mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959.
Berdasarkan contoh di atas, perlu dilihat juga apakah suasana “Tuhan”
dalam suatu negara dapat terasa juga meski dengan tidak secara eksplisit
dicantumkan di konstitusi. Hal lainnya, meski tidak tercantumkan, namun
negara tersebut memperbolehkan rakyatnya untuk menganut agamanya secara
6 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 20. 7 Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi.
766 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
bebas dan bertanggungjawab. Pola hubungan inilah yang menarik untuk diteliti
lebih lanjut.
II. PEMBAHASAN
A. Kedaulatan Tuhan dalam Konstitusi
Kedaulatan Kedaulatan merupakan suatu hal atau kekuasaan yang
tertinggi di dalam suatu negara dan merupakan salah satu komponen dasar dari
terbentuknya suatu negara selain terdapatnya rakyat, wilayah, dan
pemerintahan. Bahkan, kedaulatan merupakan hal yang sangat penting dan
diperlukan di dalam suatu negara.
Secara terminologi, kedaulatan berasal dari kata Latin yakni
‘Supreanus’ yang berarti tertinggi (supreme).8 Di dalam konteks kedaulatan
negara, implikasi dari kedaulatan adalah negara memiliki kekuatan yang
tertinggi di atas rakyat dan mempunyai wewenang untuk membentuk hukum
dan peraturan yang berlaku. Jellinek berpendapat, “…that characteristic of the
state in virtue of which it cannot be legally bound except by its own will or
limited by any other power than itself.”9 Dalam konteks itu, Jellinek
berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang tidak terikat secara hukum kecuali
atas kehendaknya sendiri atau dibatasi oleh kekuatan lain dari dirinya sendiri.
Selain Jellinek, terdapat pula beberapa tokoh yang berpendapat
mengenai kedaulatan. W.A. Dunning misalnya, dia memberikan definisi, “By
the sovereign is meant that individual or assembly who, by the terms of the
contract on which the commonwealth rests, is authorized to will in the stead of
every party to the contract, for the end of a peaceful life.”10 Dalam hal ini,
Dunning menganggap bahwa penting terdapat suatu kontrak yang memberikan
kepercayaan kepada seorang atau suatu majelis untuk menggantikannya.
Namun demikian, kedaulatan sendiri dapat dikatakan sebagai kekuatan
tertinggi di atas rakyat dan subyek yang tidak terkendali oleh undang-undang
sebagaimana pendapat dari Jean Bodin.11 Ditambahkan pula oleh William
Blackstone, bahwa kedaulatan itu, “. . . the supreme, irresistible, absolute,
uncontrolled authority in which the jura summi imperii reside.”12 Bahkan,
menurut Hinsley, kedaulatan dalam konteks politik tidak mungkin terdapat
otoritas lain yang bersifat final dan mutlak.13 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu negara pasti terdapat suatu bentuk kekuatan
tertinggi yang bernama kedaulatan.
Di dalam sejarahnya, secara teori, kedaulatan telah mengalami berbagai
perkembangan. Dimulai dari kedaulatan Tuhan, lalu kedaulatan Raja,
kedaulatan Negara, kedaulatan Rakyat, dan kedaulatan Hukum. Dalam konteks
kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan Tuhan.
8 J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.
49. 9 B.N. Ray, Political Theory: Interrogations and Interventions, (Delhi: Author Press,
2006), hlm. 177. 10 William Archibald Dunning, A History of Political Theories; from Luther to
Montesquieu, (New York: The Mac Millan Company, 1953), hlm. 281. 11 J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.
146. 12 William Blackstone, Commentaries on the Laws of England, (London: Chase’s ed,
Vol. 1), hlm. 14., 13 Ibid.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 767
Hal ini sebagai bentuk penghormatan tertinggi manusia kepada penciptanya dan
mengakui bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi.14 Tuhan dianggap
sebagai tempat bergantung yang paling utama, sehingga seluruh perintah-Nya
harus ditaati dengan baik. Demikian pula dengan segala larangan-Nya harus
dijauhi sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.
Di dalam perkembangannya, kedaulatan Tuhan di muka bumi
diwakilkan oleh seorang penguasa. Di dalam teokrasi yang murni, maka
pemimpin tertinggi agama juga merupakan pemimpin tertinggi dalam
pemerintahan.15 Di dalam konteks Islam misalnya, hal ini pernah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi agama maupun
negara.
Di dalam konteks agama Katholik, maka pemimpin Gereja merupakan
kepemimpinan tertinggi karena dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Namun, pemimpin Gereja, dalam hal ini Paus, bukan merupakan pemimpin
tertinggi dalam suatu negara. Pada masa itu, masih terdapat Raja sebagai
pemimpin tertinggi dari suatu negara. Walaupun pada kenyataannya, justru
Paus yang lebih berkuasa dibandingkan oleh Raja. Contoh paling nyata adalah
kasus Imperium Jerman, Henry VI dengan Paus Gregory VII saat terjadi
perselisihan antara keduanya mengenai penunjukan para uskup.16 Raja Henry
menolak kewenangan Paus dalam penunjukan para uskup sehingga Paus murka
dan mencopot mahkota Raja dan melarang masyarakat dan para penguasa
daerah untuk mematuhi Raja.
Teori kedaulatan Tuhan ini dianggap memiliki potensi untuk
disalahgunakan oleh orang yang mengaku sebagai wakil atau titisan Tuhan di
muka bumi. Hal tersebut banyak menghasilkan kekuasaan yang bersifat absolut
dan tiran. Oleh karena itu, teori ini lambat laun mulai ditinggalkan. Akan tetapi,
yang menarik adalah teori ini tidak sepenuhnya ditinggalkan. Hal ini karena
pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat tercermin di dalam konstitusi ataupun
dalam penyelenggaraan suatu negara.17
Di dalam perkembangannya, model kedaulatan lain yang populer selain
kedaulatan rakyat adalah kedaulatan hukum. Hukum diharapkan dapat menjadi
rambu sekaligus koridor dalam mengatur kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
dibutuhkan hukum dasar atau hukum tertinggi yang disepakati oleh seluruh
rakyat. Biasanya, kesepakatan ini dituangkan pada suatu bentuk dokumen.
Dokumen inilah yang kemudian mengatur bagaimana hak-hak warga negara,
pemberian dan pembatasan dari kekuasaan negara, serta bagaimana hubungan
antar lembaga negara yang diberikan kekuasaan. Dokumen hukum ini
kemudian disebut sebagai konstitusi.
Konstitusi merupakan sebuah kesepakatan bersama sebuah bangsa
mengenai berbagai hal yang mengatur kehidupan dari kumpulan bangsa
tersebut. Menurut Brian Thompson, konstitusi juga dapat diartikan sebagai
sebuah dokumen yang berisi sistem aturan dan pengoperasian dari sebuah
14 Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm. 31. 15 Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, (Cambridge: Harvard University Press,
2010), hlm. 2. 16 Salim Ali Al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-
768 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
organisasi.18 Organisasi yang dimaksud beragam dalam bentuk dan
kompleksitasnya, mulai dari yang terkecil sampai yang paling besar sekalipun.
Aturan yang mengaturnya dalam sebuah dokumen disebut dengan konstitusi.
Menurut Jimly Asshiddiqie, materi inti dari suatu konstitusi adalah Hak
Asasi Manusia (HAM) karena perlindungan terhadap HAM merupakan
kepentingan paling dasar dari setiap warga negara.19 Hal ini karena konstitusi
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara, sehingga
di dalam konstitusi perlu mengatur hal yang memberikan jaminan terhadap Hak
Asasi Manusia.
Menurut K.C. Wheare, maka konstitusi dapat dilihat dari dua pendapat.
Pendapat pertama menganggap bahwa konstitusi semata-mata hanya berupa
aturan-aturan hukum saja, tidak lebih dari itu. Di sisi lain, pendapat kedua
mengatakan bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah-kaidah hukum saja,
tetapi juga berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip, dan cita-cita.20 Ia pun
juga mengatakan bahwa suatu konstitusi idealnya harus berisi aturan-aturan
hukum yang menjadi acuan tertinggi dalam suatu negara serta juga harus
memuat suatu prinsip yang melekat pada jiwa bangsa yang bersangkutan yang
menjadi cita-cita untuk diwujudkan sebagai tujuan negara.
Pandangan mengenai konstitusi tersebut juga disampaikan oleh Jimly
Asshiddiqie yang berpendapat bahwa konstitusi itu bukan hanya harus
dipandang sebagai sebuah dokumen politik saja, tapi juga sebagai dokumen
ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.21 Dalam konteks sosial
kemasyarakatan, untuk membentuk suatu masyarakat madani tentu selain
berlandaskan hukum juga harus mengatur aturan sosial dan juga etika. Oleh
karena itu, nilai-nilai Ketuhanan dan agama dapat diatur pula di dalam suatu
konstitusi. Dengan demikian, konstitusi pun juga dapat bernilai nilai-nilai
Ketuhanan sebagai suatu wujud pengakuan eksistensi Tuhan sekaligus sebagai
cerminan suatu masyarakat yang madani.
Dalam mewujudkan konsep bernegara dan masyarakat yang madani,
konsep kedaulatan Tuhan tidak dapat sepenuhnya ditinggalkan. Kedaulatan
Tuhan yang diejawantahkan di dalam agama dan kepercayaan sehingga lebih
bernuansa relijius juga mulai berkembang pada berbagai konstitusi dunia.
Bahkan, makin banyak negara di dunia yang berusaha memasukkan sisi
relijiusitas di dalam konstitusi dan kehidupan bernegara, yang berarti agama
dan kepercayaan dapat berpengaruh di dalam pemerintahan suatu negara. Di
dalam hal ini, dapat dilihat dari pendapat Ran Hirschl berikut:22
Religion and the belief in God have made a major comeback. Over the
last few decades principles of theocratic governance have gained
enormous public support worldwide. From the fundamentalist turn in
18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15. Lihat juga Brian
Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London:
Blackstone Press Ltd., 1997), hlm. 3. 19 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, makalah yang disampaikan
pada lecture Peringatan 10 Tahun KontraS, Jakarta, 26 Maret 2008, hlm. 8. 20 Dahlan Thaib, dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta: PT. Grafindo Raja
Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, (Jakarta: LP3ES, 2015), hlm. 1-2. 22 Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, hlm. 1-2.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 769
predominantly Islamic polities to the spread of Catholicism and
Pentecostalism in the global South and to the rise of the Christian Right
in the United States, it is hard to overstate the siginificance of the
religious reviving polal in late twentieth- and early twenty-first-century
politics. Parties that advance religion- infused agendas have gained a
tremendous popular following in polities as diserve as India, Isreal,
Malaysia, and Turkey. Christianity, meanwhile, has been growing
exponentially in the so-called developing world. The Roman Catholic
population in Africa alone more than doubled between the mid-1970s
and the mid-1990s, and in Asia it increased by 90 percent during that
period. Religion-based morality continues to hover over much of the
Catholic “old world,” from Latin America to the Philippines. The
Orthodox Church has enjoyed a big resurgence in parts of Eastern
Europe just as Russia has been struggling to control the spread of Islam
in the northern Caucasus. The changing demographics of French
society have given rise to serious challenges, raucous at times, to
France’s assertive secularism. And one only needs to reach for the
television remote control to appreciate the prevalence of Evangelical,
born-again Christianity in the United States, with its scores of pastors,
lest we forget, as newspaper headlines report on religion-based
insurgency from Iraq and Afghanistan to Pakistan, Yemen, Somalia, and
Indonesia on a near-daily basis; on how Hezbollah (the “party of
God”) has effectively erected its own governing apparatus within
Lebanon; on how the struggle between the nationalist Fatah movement
and the religious Hamas movement has effectively split the Palestinian
people; and on struggles between clerics and reformists in Iran. In
short, the reports of God’s death, to paraphrase Mark Twain’s remark,
have been greatly exxeggerated.
Perkembangan ini merupakan suatu hal yang menarik, karena agama yang
dinilai sebagai hal yang privat, ternyata juga dapat mempengaruhi kehidupan
bernegara dan ketatanegaraan suatu negara melalui aturan dalam konstitusi.
B. Konsepsi Ketuhanan dalam Konstitusi Indonesia
Indonesia, sebagai negara yang merupakan negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia, merupakan salah satu negara yang mempunyai
konstitusi yang kental dengan nuansa reljiusitas yang tinggi. Hal itu dapat
dilihat dari bagaimana perjuangan merebut kemerdekaan di Indonesia banyak
melibatkan para santri dan ulama. Bahkan, di dalam pembentukan dasar negara
pun, peran kaum Islam di kancah politik mampu mewarnai, meskipun sering
berdebat sengit dengan kaum nasionalis.
Perdebatan mengenai konsep Tuhan, agama, dan hubungannya dengan
negara Indonesia telah muncul pada saat sidang pertama BPUPK pada 29 Mei
1945. Pada rapat hari pertama itu, terdapat beberapa tokoh yang menyinggung
bagaimana peran Tuhan dalam negara, serta hubungan antara agama dengan
negara. Wiranatakoesoema dalam pidatonya bagaimana Tuhan mengutus
manusia untuk menegakkan hukum agar menuju ke arah kebahagiaan. Beliau
menyatakan, “Oleh karena itu maka dalam sejarah dunia diriwayatkan, bahwa
guna alam kemanusiaan telah bangkit utusan-utusan Tuhan, yang menunjukkan
770 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
hukum-hukum dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh manusia, untuk
menunjuk kearah kebahagiaan.”23
Menurut Soesanto Tirtoprodjo, Indonesia Merdeka memerlukan dasar
atau fundamennya; soko-gurunya; dan atap-payonnya. Dasar atau fundamen
terdiri atas semangat kebangsaan, hasrat persatuan, dan rasa kekeluargaan. Lalu
yang menjadi soko-gurunya adalah pemerintahan yang sesuai dengan kehendak
rakyat; Badan Kehakiman yang satu untuk segenap penduduk dan bebas dari
pengaruh badan-badan pemerintahan; perekonomian yang teratru dan terbatas
menurut kebutuhan masyarakat; dan pendidikan rohani dan jasmani dengan
menjauhkan sifat “intellectualisme” dan “materialisme”. Menurut Soesanto
yang menjadi atap-payonnya adalah:24
1) Rasa ke-agamaan, rasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
pengakuan bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya dapat timbul
atau tenggelam atas kehendak Tuhan.
2) Ke-insyafan, bahwa menurut kodrat alam, sebagai bangsa dan
negara, Indonesia tidak dapat terlepas dari kekeluargaan Asia Timur
Raya; insyaf, bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatannya harus memenuhi kewajibannya sebagai anggota
Tonari-Kumi bangsa Asia Timur Raya dan mengakui Dai Nippon
sebagai pemimpin atau Kumityonya.
Dari pendapat Soesanto di atas, sudah mulai disinggung bagaimana
keterkaitan Tuhan dalam pembentukan suatu negara. Keterkaitan ini kemudian
diperjelas ketika Dasaad mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Dasar gedung kemerdekaan adalah Allah. Allah ialah sumber dari segala
hidup dan firmannya haruslah pedoman dalam kemaysarakatan hidup
kita. Maka manusia itu tidak memandang bangsa dan kedudukan dalam
segala lapangan hidup –termasuk juga lapangan pemerintahan- haruslah
menjunjung tinggi nama dan kemuliaan Tuhan. Dalam hal ini tidak
dibeda-bedakan kedudukan atau kekayaan maupun dalam hal
pengakuan Muslimin, Kristen, Hindu, dan Budha. Karena semua
manusia itu ada sama dalam pandangan Tuhan, hati harus suci untuk
bekerja jujur. Pemerintah Indonesia Merdeka haruslah berdasar kepada
Iman dan Tawakal kepada Tuhan. Segala kemajuan dan kekuasaan
dengan tidak memandang cara pembentukannya menerima hukumannya
dari Tuhan. Dasar ekonomi harus dapat perhatian. Saya akan
memajukan rancangan bekerja di lapangan politik ekonomi.25
Selain pendapat Dasaad, pada sidang berikutnya di tanggal 30 Mei
1945, Moh. Hatta telah menyampaikan pendapat dengan inti gagasan utama
adalah pemisahan antara agama dan negara.26 Pada 31 Mei 1945, Soepomo pun
cenderung sependapat dengan Moh. Hatta. Menurutnya,
… dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada
pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum
negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta
23 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 101. 24 Ibid., hlm. 112. 25 Ibid., hlm. 115. 26 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama,
(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 5.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 771
perhatian dari negaranegara yang turut berhubungan dengan dunia
internasional itu. Jadi seandainya kita di sini mendirikan negara Islam,
pertentangan pendirian itu akan timbul juga dimasyarakat kita dan
barangkali Badan Penyelidik inipun akan susah memperbicangkan soal
itu. Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara
Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara persatuan.
Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang
akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, yaitu
golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu
akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil-
kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain. meskipun negara Islam
akan menjamin dengan sebaikbaiknya kepentingan golongan-golongan
lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama kecil cita negara Islam
itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena
itu cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara
persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang
telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.27
Menurutnya, Indonesia lebih sesuai untuk membentuk suatu negara
nasional, yang mengayomi seluruh golongan, totaliter dan menyatu antar
masyarakat dengan negara, serta menghormati seluruh golongan. Dengan
sendirinya, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan secara alamiah
urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang
bersangkutan.
Namun demikian, Soepomo menambahkan bahwa negara nasional
bukan berarti tidak relijius. Menurutnya,
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan
bersifat “a relligieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan
hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur,
yang dianjurkan oleh agama Islam.
Sebagai contoh, dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan,
supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri
dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti
kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan,
supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan. Itu semuanya harus dianjur-
anjurkan, harus dipakai sebagai dasar moral dari negara nasional yang
bersatu itu. Dan saya yakin, bahwa dasar-dasar itu dianjurkan oleh
agama Islam.28
Pendapat selanjutnya datang dari Ki Bagoes Hadikoesoemo. Beliau
memulai pendapatnya dari bagaimana Tuhan mengatur kehidupan manusia dan
mengutus para Nabi untuk menyebarkan risalah-Nya, lalu pembentukan
masyarakat dan negara melalui musyawarah. Lalu, Ki Bagoes juga
mengingatkan bahwa apabila negara Indonesia yang dibangun ini berdasarkan
dengan 4 (empat) ajaran utama Islam: ajaran iman atau kepercayaan kepada
27 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 130. 28 Ibid.
772 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
Allah dan perkara gaib; ajaran beribadah, berkhidmat, dan berbakti kepada
Allah; ajaran beramal-sholih; serta ajaran berjihad di jalan Allah, maka akan
makmur dan sejahtera negeri.29
Beliau juga menekankan bahwa Islam membangun pemerintahan yang
adil dan menegakkan keadilan, berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta
kebebasan memeluk agama. Menurut beliau,
Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-
tuan menginginkan berdirinya atau pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budipekerti yang luhur bersendi
permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak
memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah
pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam itu mengandung
kesampaiannya sifat-sifat itu.
Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk
mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan
patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita
Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang
tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.30
Perdebatan mengenai relasi agama dan negara kemudian menguat pada
rapat BPUPK tertanggal 1 Juni 1945 dengan agenda membahas mengenai dasar
negara. Pada momen inilah, Soekarno menggagas dasar negara yang
dinamakannya “Pancasila”. Pancasila menurut Soekarno merupakan lima dasar
yang terdiri atas kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau peri
kemanusiaan; permusyawaratan (mufakat); kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Pada prinsip yang terakhir ini, Soekarno berpendapat bahwa
setiap manusia Indonesia hendaknya ber-Tuhan dengan setiap pemeluk agama
menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing dengan cara
berkeadaban dan saling menghormati.31 Lebih jauh menurut pendapatnya,
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-
Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, orang
Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya
Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!32
Dari pendapat Soekarno pada 1 Juni 1945, dapat diambil kesimpulan
bahwa Pancasila, yang di kemudian hari digunakan sebagai dasar negara
Indonesia, berprinsip bahwa mengakui terdapatnya eksistensi Tuhan. Meski
tidak secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara Islam” atau
rakyat Indonesia. Sedangkan terdapat pula blok ideologis lainnya, meski
minoritas, yakni blok Sosial-Ekonomi.38
Terkait dengan usulan dasar negara menurut kelompok Islam, dapat
dilihat dalam rancangan usulan Mukaddimah Undang-Undang Dasar yang akan
dibahas pada Sidang Pleno Konstituante sebagai berikut:39
Bahwa kemerdekaan setiap bangsa dan haknja menentukan nasib sendiri
adalah adjaran Islam, oleh karena itu pendjadjahan, dalam bentuk
apapun diatas dunia harus dihapuskan.
Bahwa dalam pergerakan perdjuangan memerdekakan Indonesia ternjata
Islam telah mendjadi sumber dorongan djiwa rakjat Indonesia jang
utama.
Bahwa bangsa Indonesia jang sebagian besar terdiri dari ummat Islam
sudah sepandjang masa bersatu-padu dalam memperdjuangkan
kemerdekaan itu. Alhamdulillah dengan Kurnia dan Rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala terlaksanalah proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka untuk memelihara kemerdekaan
itu, kami bangsa Indonesia berketatapan hati untuk menjusun negara
Indonesia mendjadi Republik berdaulat jang berdasarkan Islam.
Dengan demikian, kami bangsa Indonesia menegakkan negara hukum,
jang mendjamin terlaksananja keadilan dan kemakmuran bagi seluruh
rakjatnja, serta mendjundjung tinggi asas kemanusiaan dalam pergaulan
bangsa-bangsa.
Demi ini, kami bangsa Indonesia menerima dan menjatakan berlaku
untuk kami Undang-Undang Dasar ini dalam Sidang Konstituante pada
hari … tanggal … 19 … bersamaan dengan tanggal … 13 … (H).
Pada Sidang Pleno Konstituante tertanggal 21 Mei 1959, Pemerintah
menyampaikan kembali amanat Pemerintah RI pada 22 April 1945 untuk
kembali kepada UUD 1945. Permasalahan berikutnya muncul karena masih
terjadi perdebatan untuk kembali kepada UUD 1945 dengan menggunakan
Pancasila versi 22 Juni 1945 atau 18 Agustus 1945. Bahkan, A.K. Muzakkir,
salah seorang Panitia Sembilan dan pendantangan Piagam Jakarta berkata:
Akan tetapi sayang seribu sayang, bahwa Piagam Jakarta kini
ditimbulkan kembali bukan untuk dijadikan dasar hukum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi hanyalah sebagai hiburan
kepada perasaan Ummat Islam di Indonesia saja. Kalau Pemerintah
sekarang mengatakan, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu hanyalah
yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, saya hendak menanya:
“Dari manakah Pemerintah mengambil rencana Undang-Undang Dasar
1945 itu? Bukankah rencana Undang-Undang Dasar itu diambil dari apa
yang telah dibuat oleh Badan Penyelidik Bahan-Bahan Kemerdekaan
pada Juli 1945?”40
Pada bagian lain beliau berkata,
38 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 49. 39 Kementerian Penerangan R.I, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: Penerbitan Chusus, tanpa tahun), hlm. 214. Bandingkan pula dengan Mukaddimah
(Pembukaan) UUD 1945. 40 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 113.
776 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
Kalau ummat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-
Undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18
Agustus 1945, telah menjanjikan kepada wakil-wakil ummat Islam
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, bahwa dikemudian hari selekas
mungkin mereka akan dapat menyempurnakan Undang-Undang Dasar
sesuai dengan cita-cita ummat Islam. Janji beliau itu dipegang teguh dan
ditagih kini oleh ummat Islam. Oleh karena itu, di Majlis Konstituante,
fraksi-fraksi Islam telah membuat rumusan-rumusan yang sesuai dengan
falsafah kehidupan mereka.41
Pada akhirnya, diputuskanlah untuk kembali kepada UUD 1945 dengan
Pancasila 18 Agustus 1945. Keputusan itu membuat fraksi Islam menolak dan
ketika dilakukan pemungutan suara pada 30 Mei – 2 Juni 1959, tidak
menghasilkan suara mayoritas. Pada pemungutan suara menghasilkan 269 suara
mendukung dan 199 suara menolak. Pada 1 Juni, pemungutan suara kedua
menghasilkan 246 suara mendukung dan 204 suara menolak. Terakhir,
pemungutan suara ketiga pada 2 Juni menghasilkan 263 suara mendukung dan
203 menolak. Padahal, yang dibutuhkan adalah dua pertiga mayoritas. Hingga
pada akhirnya, pimpinan sidang menyatakan tidak akan melanjutkan
pemungutan suara kembali karena hasilnya akan sama saja.42
Kondisi Konstituante yang tidak kondusif membuat Presiden Soekarno
akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Inti dari dekrit
itu adalah: (1) pembubaran Konstituante; (2) keputusan untuk memberlakukan
kembali UUD 1945; dan (3) penarikan kembali UUD 1950, dan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai
dengan UUD 1945. Menariknya, di dalam Dekrit tersebut, disebutkan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945
dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut
Endang Saifuddin,
Seandainya rumusan yang terakhir inilah yang ditawarkan oleh
Presiden/Pemerintah kepada Konstituante, besar sekali kemungkinan
rumusan termaksud dapat diterima oleh kelompok Islami dalam Majlis
Konstituante. Dan dengan demikian, untuk itu tidak diperlukan Dekrit
Presiden. Dan, kembali kepada Dekrit, walaupun bagi beberapa fihak,
hal itu sukar menjawab semua pertanyaan mereka, namun reaksi mereka
pada umumnya positif.43
Menurut Ismail Sunny, kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa
ketujuh perkataan yang “dihilangkan” juga menjiwai peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Sebaliknya, secara positif berarti bahwa bagi pemeluk-pemeluk
Islam diwajibkan untuk menjalankan syari’at Islam yang berbentuk peraturan
perundang-undangan. Menurut Soekarno, “Pengakuan adanya Piagam Jakarta
berarti pula pengakuan akan pengaruhnya terhadap UUD 1945, tidak hanya
mengenai pembukaannya, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal
41 Ibid. 42 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional …, hlm. 401-402. 43 H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 127.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 777
mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.”44
Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini yang terus menjadi dasar
berlakunya UUD 1945 pada masa Orde Lama dan Orde Baru sejatinya menjadi
dasar hukum syari’ah berlaku di Indonesia.
Pasca Orde Baru, terdapat desakan untuk amendemen UUD 1945.
Dalam perubahan ini, terdapat kesepakatan dari seluruh fraksi terkait dengan
perubahan UUD 1945, yaitu:45
1) Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2) Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3) Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial (dalam
pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi
ciri-ciri umum sistem presidensial);
4) Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam
Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5) Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan
amendemen terhadap UUD 1945.
Pada poin 1 dijelaskan bahwa tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan kesepakatan itu, artinya Pembukaan UUD 1945 hasil dari Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan masih berlaku. Dengan kata lain, jiwa Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 sudah seharusnya masih menjiwai UUD 1945 hasil
amendemen yang digunakan hingga saat ini.
Selanjutnya, pengaturan ‘Tuhan’ di dalam Konstitusi Indonesia menarik
untuk ditelaah lebih lanjut. Di dalam konteks ini, Konstitusi Indonesia telah
berganti sebanyak empat kali, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS Tahun 1949,
UUDS Tahun 1950, dan UUD NRI Tahun 1945.
1. Tuhan dalam Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang pertama kali
digunakan oleh Indonesia. Konstitusi ini merupakan, mengutip kata Soekarno,
undang-undang dasar kilat atau revolutie grondwet karena dibuat di dalam
waktu dan suasana bernegara yang belum stabil. Soekarno menambahkan
bahwa nanti jika telah bernegara dengan tentram, maka anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat akan dikumpulkan kembali untuk membuat UUD
yang lebih lengkap dan sempurna.
Di dalam UUD 1945, nuansa relijiusitas sudah mulai terasa mengacuk
pada perdebatan pada sidang BPUPK dan PPKI antara golongan Islam
Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler. Setidaknya, dapat dilihat dari bagaimana
pengaturan kata ‘Tuhan’ atau “Allah” di beberapa tempat, yakni:
1) Paragraf ke-3 Pembukaan UUD 1945
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
2) Paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945
44 Ismail Sunny, Jejak-Jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,