1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran sangat pesat, baik dalam ilmu dasar kedokteran, pencegahan, diagnosis maupun terapi. Sejalan dengan hal tersebut, masalah kesehatan yang timbul pun terus berkembang. Keadaan yang dahulu dianggap sebagai hal yang tidak penting, saat ini menjadi penting, atau sebaliknya. Seorang dokter mempunyai kewajiban untuk dapat mengimbangi hal tersebut, sehingga dibutuhkan dokter yang dapat merespon perubahan keilmuan yang tidak terduga dan berkecepatan tinggi ini. Oleh sebab itu, dokter perlu mempunyai kemampuan untuk terus belajar sepanjang hayatnya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal demi menjaga keamanan dan keselamatan pasien. Kemampuan belajar sepanjang hayat merupakan salah satu kompetensi yang harus dipunyai oleh seorang dokter (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Syarat penting kemampuan belajar sepanjang hayat adalah kemampuan untuk dapat mengarahkan belajarnya secara mandiri (self-directed learning/SDL). Penerjemahan sederhana SDL ke dalam bahasa Indonesia adalah mengendalikan belajarnya sendiri dan tanggung jawab belajar ada pada pembelajar. Untuk memudahkan, selanjutnya akan digunakan singkatan SDL. Kemampuan SDL sangat penting agar dokter dapat bertahan dalam menghadapi perubahan keilmuan yang terus menerus dan kemampuan SDL ini
22
Embed
PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/103049/potongan/S3-2016...kemampuan untuk dapat mengarahkan belajarnya secara mandiri (self-directed learning/SDL).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran sangat
pesat, baik dalam ilmu dasar kedokteran, pencegahan, diagnosis maupun
terapi. Sejalan dengan hal tersebut, masalah kesehatan yang timbul pun terus
berkembang. Keadaan yang dahulu dianggap sebagai hal yang tidak penting,
saat ini menjadi penting, atau sebaliknya. Seorang dokter mempunyai
kewajiban untuk dapat mengimbangi hal tersebut, sehingga dibutuhkan dokter
yang dapat merespon perubahan keilmuan yang tidak terduga dan berkecepatan
tinggi ini. Oleh sebab itu, dokter perlu mempunyai kemampuan untuk terus
belajar sepanjang hayatnya agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
optimal demi menjaga keamanan dan keselamatan pasien.
Kemampuan belajar sepanjang hayat merupakan salah satu
kompetensi yang harus dipunyai oleh seorang dokter (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2012). Syarat penting kemampuan belajar sepanjang hayat adalah
kemampuan untuk dapat mengarahkan belajarnya secara mandiri (self-directed
learning/SDL). Penerjemahan sederhana SDL ke dalam bahasa Indonesia
adalah mengendalikan belajarnya sendiri dan tanggung jawab belajar ada pada
pembelajar. Untuk memudahkan, selanjutnya akan digunakan singkatan SDL.
Kemampuan SDL sangat penting agar dokter dapat bertahan dalam
menghadapi perubahan keilmuan yang terus menerus dan kemampuan SDL ini
2
dapat mendukung serta menghasilkan kemampuan belajar sepanjang hayat
(Bidokht dan Assareh, 2011).
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah secara implisit telah mengemukakan makna SDL. Kemandirian dan
proses belajar yang menuntut keaktifan peserta didik identik dengan SDL. Hal
tersebut termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Tinggi (Pasal 3, 4), Undang-Undang Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 5, 6, dan 13),
dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 mengenai
Standar Nasional Pendidikan (Pasal 26). Kebijakan-kebijakan tersebut
mengarahkan proses pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kompetensi
lulusan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu kompetensi
yang diharapkan adalah kemampuan SDL yang dinyatakan dalam bentuk suatu
kemandirian.
Kurikulum yang diterapkan pada pendidikan kedokteran tidak
memungkinkan untuk dapat memuat keseluruhan masalah kesehatan, terutama
masalah kesehatan yang akan datang. Proses pembelajaran yang diberlakukan
sudah semestinya juga menyampaikan serta menjadikan mahasiswa dapat
belajar mengenai cara belajar atau cara mempelajari ilmu, bukan hanya
mempelajari materi keilmuan saja. Sebagai salah satu bagian dari
profesionalisme, kemampuan SDL perlu dibentuk dan dievaluasi selama
pendidikan serta selama pengembangan profesi berkelanjutan. Kurikulum dan
metode intruksional seharusnya memastikan bahwa mahasiswa mempunyai
3
tanggung jawab selama proses pembelajaran dan menyiapkan mereka untuk
menjadi pembelajar sepanjang hayat melalui SDL. Penyelenggara pendidikan
bertanggung jawab dalam menyusun kurikulum yang dapat mengembangkan
kemampuan SDL dan dalam melakukan evaluasi pencapaian hal tersebut.
Peserta didik harus mempunyai kesempatan untuk mengembangkan dan
mempraktikkan keterampilan yang secara langsung akan meningkatkan
efektivitas SDL (World Federation for Medical Education (WFME), 2007).
Program pendidikan mempunyai peran yang penting dalam
menyiapkan lulusannya untuk mempunyai kemampuan SDL melalui
pendekatan SPICES (student centred, problem based, integrated, community
based, elective dan systematic) (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Fakultas
kedokteran di Indonesia sudah mengalami perubahan pendekatan belajar.
Pendekatan disiplin ilmu yang semula digunakan, saat ini diubah dengan
pendekatan metode problem based learning (PBL). Hal tersebut merupakan
respon terhadap kebutuhan akan perlunya proses belajar yang terus berlanjut
selama menjalankan profesinya sebagai dokter. Metode PBL diharapkan dapat
membangun kemampuan SDL (Ozuah et al., 2001; Hmelo-Silver, 2004;
Hamidy, 2007; Yalcin et al., 2006; Koh et al., 2008; Chakravarthi dan Vijayan,
2010).
SDL merupakan inti dari pendidikan dewasa yang bercirikan
pembelajaran berpusat pada peserta didik. Kendali belajar terdapat pada peserta
didik dan peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan mereka (Fisher et al., 2001). Seseorang yang mempunyai
4
kemampuan SDL akan memberikan makna pada kegiatan belajar itu sendiri.
Belajar tidak bertujuan hanya sekedar untuk lulus ujian saja. Ia mempunyai
tanggung jawab atas kegiatan belajar yang dilakukannya.
Penjelasan mengenai konsep SDL telah berkembang sejak awal
diperkenalkan oleh Knowles pada tahun 1975 sampai dengan saat ini. Hal ini
kemungkinan disesuaikan dengan perkembangan pendidikan, penguatan
budaya serta kebutuhan dari lapangan pekerjaan. Knowles (1975) dalam
Jennings (2007) menyatakan pengertian SDL adalah:
Suatu proses ketika individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpapertolongan dari orang lain, dalam mendiagnosis kebutuhan belajar,memformulasikan tujuan belajar, mengindentifikasi orang dan materisebagai sumber belajar, memilih dan mengimplementasikan strategipembelajaran yang tepat, dan mengevaluasi hasil belajar.
Knowles (1975) memandang SDL sebagai suatu proses belajar, belum
mengenai karakteristik personal, maupun menyinggung peran lingkungan
dalam membentuk atau melaksanakan SDL. Selanjutnya, Brockett dan
Hiemstra (1991) dalam Stockdale dan Brockett (2011) merekomendasikan
SDL sebagai proses instruksional dan karakteristik personal. Mereka
membedakan kedua ranah SDL dengan menggunakan istilah self-directed
learning untuk proses intruksional, dan learner self-direction sebagai
karakteristik personal. Self-directed learning didefinisikan sebagai proses
ketika pembelajar mempunyai kendali tanggung jawab primer untuk
merencanakan, mengimplementasi, dan mengevaluasi proses belajar,
sedangkan learner self-direction menekankan keinginan pembelajar atau
pilihannya untuk mengendalikan tanggung jawab untuk belajar. Pada tahun
5
yang sama, Grow (1991) mengajukan model interaksi antara pendidik dan
peseta didik dalam tahapan seorang self-directed learner (SDLr). Model ini
memberikan arahan bagi pendidik mengenai cara untuk mengaktifkan peserta
didik agar dapat melakukan SDL. Kajian teoritis dari Garrison (1997)
mendefinisikan SDL sebagai pendekatan yang mengintegrasikan antara