Top Banner
1 Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Polemik terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus korupsi masih terus bergulir, meskipun telah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 yang menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Terlepas dari polemik di atas, putusan-putusan MK terkait pembaruan hukum pidana yang salah satunya membahas kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi memang menimbulkan pro dan kontra. Namun, dibalik semua perdebatan tersebut, upaya pemberantasan korupsi tetap harus didukung oleh semua elemen masyarakat. B. MAKSUD & TUJUAN Maksud: Diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. Selain itu, diskusi ini juga bertujuan untuk mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK serta arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut. Tujuan: Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara.
34

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

Jul 16, 2019

Download

Documents

hamien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

1

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Polemik terkait kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam

penanganan kasus korupsi masih terus bergulir, meskipun telah diterbitkannya

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25

Januari 2017 yang menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan

Pasal 3 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana

Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan konstitusi sehingga

"tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor

menjadi delik materiil.

Terlepas dari polemik di atas, putusan-putusan MK terkait pembaruan hukum

pidana yang salah satunya membahas kewenangan perhitungan kerugian

keuangan negara dalam kasus korupsi memang menimbulkan pro dan kontra.

Namun, dibalik semua perdebatan tersebut, upaya pemberantasan korupsi tetap

harus didukung oleh semua elemen masyarakat.

B. MAKSUD & TUJUAN

Maksud:

Diskusi ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif

terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya

menyangkut efektivitas dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam

perhitungan dan penetapan kerugian keuangan negara. Selain itu, diskusi ini juga

bertujuan untuk mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK serta

arah kebijakan politik parlemen dalam menyikapi polemik Putusan MK tersebut.

Tujuan:

• Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut efektivitas

dan efisiensi kewenangan lembaga audit dalam perhitungan dan

penetapan kerugian keuangan negara.

Page 2: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

2

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Dengan adanya putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan

diperlukannya perhitungan kerugian negara oleh BPK terlebih dahulu

sebelum KPK dapat menangkap dan menetapkan seseorang sebagai

tersangka. Maka kemudian muncul pertanyaan manakah yang lebih

efisien dalam pengoptimalan pengembalian keuangan negara. Apakah

lebih efektif ketika KPK dapat menangkap seseorang dan menyatakan

sebagai tersangka tanpa harus menunggu hasil perhitungan kerugian

negara dari BPK/BPKP ataukah KPK harus menunggu hasil perhitungan

kerugian negara dari BPK/BPKP.

• Mendalami landasan filosofis dan yuridis atas Putusan MK.

• Sebagai bahan pertimbangan arah kebijakan politik parlemen dalam

menyikapi polemik Putusan MK tersebut.

C. TEMPAT, WAKTU DAN NARA SUMBER

Kegiatan workshop yang dimaksud akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Kamis, 16 Februari 2017

Waktu : Pukul 09.00 – selesai

Tempat : Ruang MKD, Gedung DPR RI

Peserta : (daftar peserta terlampir)

Moderator : Drs. Helmizar

(Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara)

Narasumber :

- K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum. (Kepala Badan

Keahlian DPR RI)

- Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI)

“Arah Kebijakan Politik Parlemen Dalam Menyikapi Polemik

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016”

- Supriyono Hadi, S.H., M.Si.(Kasubdit. Kepaniteraan Kerugian

Negara Daerah, BPK RI) dan Tri Heriadi, S.H., M.M. (Kadit.

Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI) “Efektivitas dan

Efisiensi Kewenangan BPK Dalam Perhitungan dan Penetapan

Kerugian Keuangan Negara”.

Page 3: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

3

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

PROSES KEGIATAN

Page 4: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

4

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

A. RINGKASAN DAN PROSES KEGIATAN

Diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016

tanggal 25 Januari 2017 memunculkan polemik terkait siapa yang memiliki

kewenangan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus

korupsi.

• Pada dasarnya, berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 23E dan Undang –

Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, menyatakan bahwa

pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara

diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri,

yakni BPK.

• Lebih lanjut, pasal 6 Undang – Undang No. 30 Tahun 2002 tentang

KPK dan Keppres No. 103 tahun 2001 menyebutkan bahwa BPKP

diperbolehkan menghitung dan mengaudit kerugian negara.

• Sebelumnya, MK dalam putusan No. 31/PUU-X/2012 tanggal 23

Oktober 2012, menegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu

tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan

hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP, melainkan dapat

juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan

sendiri diluar temuan BPK dan BPKP. Artinya, ada tidaknya

perhitungan kerugian negara oleh auditor tidak menjadi tolak ukur (KPK

dapat membuktikan sendiri), atau serta merta dapat

menggugurkan/membatalkan kasus tipikor yang telah diputus oleh

pengadilan.

• Kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-

XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 mengabulkan gugatan pemohon

untuk menghapus kata “dapat” rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-

undang No 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, berbunyi :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana

...........”

Page 5: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

5

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Setelah Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, menjadi :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana

...........”

• Pemohon beranggapan bahwa frasa kata “dapat” menimbulkan

ketidakpastian penegakan hukum karena dalam praktiknya, penegak

hukum dapat menjerat siapa saja dengan UU Tipikor tanpa adanya

perhitungan kerugian negara yang nyata.

• Secara yuridis, implikasi dari keputusan tersebut adalah bahwa setiap

upaya penegakan hukum tipikor sudah harus memiliki perhitungan

kerugian negara oleh BPK sebelum dilakukan penetapan tersangka.

Notulensi:

Kepala Badan Keahlian DPR RI

• Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bertujuan bukan semata mata

untuk memenjarakan pelaku korupsi tetapi bagaimana mengembalikan

kerugian negara sehingga tujuan penyelenggaraan negara guna

mensejahterakan rakyat dapat tercapai.

• Perdebatan ini muncul setelah ketetapan MK No. 25/PUU-VI/2016 dimana

frase “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001

dinyatakan bertentangan dengan konsesi yang kemudian menjadikan pasal 2

dan 3 delik materil dan dalam pembuktiannya, maka BPK menjadi pihak

yang ditetapkan untuk menghitung kerugian negara.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 terhadap

Politik Hukum Penegakan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

oleh Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (Anggota Komisi III DPR RI)

• Rezim putusan MK tahun 2006 memandang ketentuan Pasal 2 dan 3 UU

Tipikor sebagai delik pidana yang bersifat formil, bahwa perbuatan yang

Page 6: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

6

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

akan dituntut di pengadilan bukan hanya perbuatan yang telah

mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara secara

nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat perbuatan tersebut berpotensi

mengakibatkan kerugian negara, maka seseorang dapat dituntut di Pengadilan

asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan 3 dapat dibuktikan di Pengadilan.

• Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang memaknai

frasa “dapat” merugikan keuangan negara sebagai suatu unsur yang harus

dibuktikan nyata terjadi (actual loss) untuk dapat naik ke tahap penyidikan.

Hal ini tentunya memiliki implikasi hukum dalam hal pembuktian, dimana

perhitungan jumlah kerugian negara menjadi unsur yang harus dibuktikan

sejak tahap penyelidikan.

• Dengan dikeluarkannya putusan MK rezim 2017, maka menimbulkan

dualisme penafsiran. Hal ini dikarenakan putusan MK bersifat akhir dan

mengikat (final dan binding) sehingga putusan MK rezim 2017 tidak dapat

membatalkan atau menganulir putusan MK sebelumnya selama belum

dilakukannya revisi atas UU Tipikor

• Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para penegak hukum, polisi,

jaksa, KPK untuk membuktikan semua unsur yang ada dalam Pasal 2 an 3

UU tipikor.

• Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR No.

VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan Pemberantasan

dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

• Menurut Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si (2017), jika dibandingkan dengan arah

kebijakan dalam TAP MPR No. VIII Tahun 2001 maka putusan MK rezim

2006 lebih memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi

di Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukanlah perihal mudah atau

sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi itu berjalan

konstitusional dan tidak melanggar hukum. Hal ini merupakan tantangan

yang perlu diatur dalam merumuskan revisi UU Tipikor ke depan.

Efektivitas dan Efisiensi Kewenangan BPK dalam Perhitungan dan

Penetapan Kerugian Negara

Oleh Tri Heriadi (Kadit. Konsultasi Hukum Keuangan Negara, BPK RI)

&Supriyono Hadi (Kasubdit. Kepanitraan Kerugian Negara Daerah, BPK RI)

Page 7: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

7

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

• Distribusi LHP tersebut kepada K/L terbagi menjadi tiga tergantung pada

sifat dari informasi yang diberikan. Bila ada temuan, maka LHP tersebut

terbuka untuk umum dan bisa diakses.

• Bila ada unsur pidana, maka Informasi tersebut dilimpahkan kepada pihak

yang berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) untuk dilakukan

penyelidikan dan BPK dihadirkan sebagai saksi ahli. Lalu, apabila

mengandung rahasia negara informasi tersebut hanya disampaikan terbatas.

• Kewenangan BPK terkait kerugian negara terbatas pada pemberian

keterangan ahli di persidangan, penetapan kerugian, pemantauan

penyelesaian kerugian dan melakukan pemeriksaan investigatif.

• Keterangan ahli yang dapat diberikan BPK harus berdasarkan LHP atau

hasil penilaian kerugian negara yang sudah dihitung.

• Peran strategis BPK dalam pemberantasan korupsi melalui pemeriksaan

atas laporan keuangan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan

preventif.

• Setelah adanya putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 yang mengubah

pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 menjadi delik materiil dan Surat Edaran

Mahkamah Agung No.4 Tahun 2016, menjadi tantangan tersendiri bagi

BPK dimana BPK menjadi instansi yang berwenang dalam melakukan

penghitungan kerugian negara atas permintaan Aparat Penegak

Hukum (APH) sebelum APH menetapkan seseorang sebagai tersangka

dalam kasus Tipikor (putusan MK No.25/PUU-XIV/2016) dan juga

sebagai instansi yang berwenang dalam mendeklarasikan kerugian

negara yang telah dihitung oleh BPKP, Inspektorat dan SKPD (SEMA

No. 4 tahun 2016).

• BPK kemudian melakukan laporan investigatif berdasarkan laporan

masyarakat atau penegak hukum untuk dijadikan bahan dalam melakukan

penyidikan dan sebagai bahan bukti penuntutan di pengadilan. Total ada

446 temuan dengan kerugian 44,62 triliun yang sudah diserahkan kepada

penegak hukum dan 420 diantaranya sudah ditindaklanjuti.

Page 8: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

8

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

B. KESIMPULAN

Semua keputusan MK bersifat final, tidak bisa saling menganulir antar

putusan. Untuk itu kedepannya, bisa jadi aparat penegak hukum akan

menggunakan semua putusan MK baik putusan rezim 2006 ataupun

putusan MK rezim 2017, meskipun akan menjadi kompleks pada

prakteknya. Untuk masalah penegakan hukum, masalah kembali atau

tidaknya uang negara merupakan masalah strategis, dan hal ini merupakan

domainnya kejaksaan dan KPK. Dalam rapat dengan kejaksaan dan KPK,

DPR juga selalu mempertanyakan bagaimana persoalan pengembalian

uang negara tersebut, karena banyak kritik yang ditujukan kepada KPK

yang mengeluarkan biaya sangat tinggi yaitu senilai Rp 400.000.000,- per

kasus, sementara pengembalian uang negara tidak terlalu besar. Berbeda

dengan kasus yang diselesaikan oleh Kejaksaan, di Kejaksaan

penanganannya lebih efektif dengan anggaran yang lebih rendah.

Sesuai dengan keputusan MK tahun 2017, sudah seharusnya kita lebih

berhati-hati dan mempersiapkan diri dengan tingkat komplikasinya yang

akan datang. Adapun DPR berpendapat bahwa hal ini bukan masuk ke

persoalan politik. Kita seharusnya berpegang kepada putusan MK yang

terakhir sesuai dengan konstitusi kita, karena ini merupakan masalah

penegakan hukum.

Mungkin saja kedua putusan tersebut benar, dan kita harus siap

menghadapinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah melakukan evaluasi

lebih lanjut atas putusan terakhir MK, apakah kita akan melakukan revisi

atau amandemen terhadap pasal tersebut. Dalam hal ini, DPR berpendapat

bahwa KPK tidak akan mengindahkan putusan MK yang terakhir, dan kita

akan melihat bagaimana jika KPK tidak mau mengindahkan dan diputuskan

berdasarkan pasal ini, dimana KPK boleh melakukan penyidikan dan

penyelidikan berdasarkan dengan tetap ada frasa “dapat” nya.

Page 9: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

9

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

C. JADWAL ACARA DAN PESERTA

Workshop dilaksanakan selama 1 hari dengan susunan acara sebagai berikut:

Hari/

Tanggal Waktu Materi Keterangan

Kamis,

16 Feb 2017

09.00-

09.30

Pembukaan K. Johnson Rajagukguk, S.H.,

M.Hum. (Kepala Badan

Keahlian DPR RI)

09.30-

10.15

Pemaparan

“Arah Kebijakan Politik

Parlemen Dalam

Menyikapi Polemik

Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 25/PUU-

XIV/2016”

Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si

(Anggota Komisi III DPR RI)

10.15-

11.00

“Efektivitas dan Efisiensi

Kewenangan BPK Dalam

Perhitungan dan Penetapan

Kerugian Keuangan

Negara”.

Supriyono Hadi, S.H., M.Si.

(Kasubdit. Kepaniteraan

Kerugian Negara Daerah,

BPK RI)

Tri Heriadi, S.H., M.M.

(Kadit. Konsultasi Hukum

Keuangan Negara, BPK RI)

11.00-

13.00

Diskusi dan Tanya Jawab

Sesi 1

Sesi 2

Peserta workshop berasal dari dalam lingkungan DPR RI, yaitu para Analis,

Tenaga Ahli, Assisten, Staf dan para Pegawai Setjen dan Badan Keahlian

DPR RI.

Page 10: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

10

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

D. DOKUMENTASI KEGIATAN

Pembicara dalam workshop BKD kiri ke kanan: Tri Heriadi dan Supriyono Hadi

(BPK); Taufiqulhadi (Anggota DPR RI); K. Johnson Rajagukguk (Kepala

BKD); Helmizar (Kelapa Pusat AKN)

Page 11: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

11

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara

Forum diskusi Perhitungan dan Penetapan Kerugian Negara

Page 12: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

12

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

MAKALAH DAN MATERI

NARASUMBER

Page 13: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

13

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

IMPLIKASI PUTUSAN MK NO 25/PUU-XIV/2016

TERHADAP POLITIK HUKUM

PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Oleh :

Drs. T. Taufiqulhadi, M.Si. (Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai

Nasdem)

A. Pendahuluan

1. Pada 25 Januari 2017 Pada 25 Januari 2017 MK telah memutuskan

perkara tentang pengujian terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) sebagaimana diubah dalam UU No.

20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999

tentang Tindak Pidana Korupsi.

2. Dalam pengujian tersebut, MK diminta oleh para pemohon untuk

menguji konsitusionalitas serta menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat

(1)1 dan Pasal 32 UU TPK, khususnya mengenai frasa “dapat”, dan

frasa “orang lain atau suatu korporasi”.

3. Sebenarnya, secara historis MK juga telah memutus perkara

1 Pasal 2 ayat (1) UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2 Pasal 3 UU TPK menyebutkan bahwa, Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Page 14: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

14

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

pengujian yang sama, yaitu terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU

TPK dalam putusannya No. 003/PUU-IV/2006 yang putusannya

dibacakan tanggal 25 Juli 2006.

4. Namun, perbedaan antara putusan MK tahun 2017 dengan putusan

MK tahun 2006 tentang Pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU

TPK hanyalah perbedaan tentang dasar uji konstitusionalitasnya.

5. Jika pada tahun 2006, MK menguji Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK

berdasarkan 28 D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam putusan MK

tahun 2017, Para pemohon ingin menguji konstitusionalitas Pasal 2

dan Pasal 3 UU TPK dengan menggunakan Pasal 27 ayat (1), Pasal

28 G ayat (1), 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.

6. Sekalipun batu uji konstitusionalitasnya berbeda atau norma dalam

UUD 1945 yang digunakan untuk mengujinya berbeda, tetapi secara

substansi maksud yang hendak diuji sama yaitu Pasal 2 dan Pasal 3

dan berimplikasi sama, yaitu keberlakuan dan penafsiran terhadap

keberlakuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dalam penegakan hukum.

7. Jika pada putusannya pada tahun 2006, MK menyatakan dalam

putusannya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK dinyatakan konstitusional

bersyarat, sepanjang ditafsirkan bahwa, unsur kerugian negara

harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun digunakan

sebagai perkiraan (potential loss) ataupun belum terjadi.

8. Dengan perkataan lain, rezim putusan MK Tahun 2006 memahami

dan memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara dengan pemahaman bahwa, perbuatan yang

akan dituntut di Pengadilan bukan hanya perbuatan tersebut telah

mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian

negara secara nyata (actual loss), tetapi sekalipun hanya sifat

perbutan tersebut berpontensi atau kemungkinan mengakibatkan

kerugian negara (potential loss), maka seseorang dapat dituntut di

Pengadilan asalkan unsur lain dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dapat

dibuktikan di Pengadilan.

9. Artinya bahwa, rezim putusan MK Tahun 2006 memandang

ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik pidana

yang bersifat formil bukan delik materiil.

Page 15: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

15

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

10. Hal ini jelas berbeda dengan rezim putusan MK tahun 2017 yang

memaknai frasa dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara sebagai sesuatu unsur yang harus dibuktikan

ada secara nyata (actual loss) sejak proses penyelidikan untuk dapat

naik ke tahap penyidikan. Sehingga dengan demikian, potential loss

(kemungkinan kerugian negara) tidak dapat lagi dijadikan acuan

dalam penegakan hukum tipikor.

11. Oleh karena harus ada kerugian keuangan negara secara nyata sejak

tahap penyelidikan, maka aparat penegak hukum sudah harus

punya bukti perbuatan tersebut telah merugikan keuangan negara

berdasarkan hasil audit investigatif lembaga yang berwenang.

12. Dengan cara pandang yang demikian, maka sebenarnya rezim

putusan MK Tahun 2017, mencoba untuk merubah paradigma

kualifikasi delik formil dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK menjadi

ketentuan delik materiil. Pilihan tersebut tentu mempunya implikasi

hukum yang jelas khususnya dalam pembuktian.

B. Implikasi Putusan MK Tahun 2017

1. Dengan adanya putusan MK Tahun 2017, sesungguhnya menjadikan

aspek kepastian hukum dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK semakin

tidak jelas dan mengakibatkan dualisme penafsiran, mengingat pada

tahun 2006 MK juga telah menafsirkan ketentuan tersebut.

2. Mengapa disebut terjadi dualisme penafsiran? Sebab sifat dari putusan

MK adalah tidak dapat membatalkan atau menganulir putusan

sebelumnya, sehingga putusan MK harus dimaknai sama, yaitu

terakhir dan mengikat (final dan binding).

3. Bahayanya, selama tidak ada revisi UU TPK tersebut, para penegak

hukum dapat memilih tafsir rezim putusan MK Tahun 2006 ataukah

rezim putusan MK Tahun 2017.

4. Dengan kata lain, penegak hukum boleh saja memahami Pasal 2 dan

Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik formil dan tidak memerlukan atau

membuktikan kerugian yang nyata (actual loss) dalam proses

penyelidikan dari lembaga yang berwenang selama ada keyakinan

berpotensi merugikan keuangan negara sebagaimana rezim putusan

Page 16: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

16

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

MK Tahun 2006.

5. Di lain pihak, penegakan hukum juga boleh saja menerapkan putusan

MK Tahun 2017 dengan pemahaman terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU

TPK sebagai suatu delik materiil dan mengangap penting dan

menjadikannya syarat adanya kerugian negara secara nyata sejak

tahap penyelidikan kasus tindak pidana korupsi.

6. Di sisi lain, putusan MK Tahun 2017 juga akan lebih rumit dalam

proses penegakan hukum tipikor, sebab harus ada kerugian negara

yang nyata dan pernyataan tersebut harus bersumber pada lembaga

yang berwenang. Permasalahannya adalah lembaga yang berwenang

untuk melakukan audit investigatif ada dua, yaitu BPK dan BPKP.

Bagaimana jika kedua lembaga tersebut berbeda penafsiran? Maka

jelas dugaan tindak pidana korupsi tidak boleh diteruskan ke tahap

penyidikan.

7. Selain itu, implikasi putusan MK tahun 2017 yang menafsirkan Pasal 2

dan Pasal 3 UU TPK sebagai suatu delik materiil, maka penegakan

kasus tindak pidana korupsi tidak lagi ditekankan pada aspek

perbuatannnya, melainkan juga menganggap penting dan lebih

menekankan terhadap adanya akibat yang ditimbulkan. Sehingga

dalam praktik dan berdasarkan beberapa pandangan pakar hukum

pidana, misalnya Prof Moeljatno mengatakan delik-delik pidana yang

bersifat materiil jauh lebih sulit dalam proses pembuktian

dibandingkan dengan jenis kualifikasi delik pidana yang bersifat

formil.

8. Mengapa demikian, karena kualifikasi delik materiil membebankan

kepada penegak hukum, Polisi, Jaksa, KPK untuk membuktikan semua

unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU TPK.

9. Berbeda halnya dengan pemahaman delik formil dalam rezim putusan

MK tahun 2006 yang menekankan pada perbuatan, sehingga penegak

hukum cukup hanya membuktikan unsur-unsur perbuatan yang

dilarang tanpa membuktikan akibat yang ditimbulkan.

Page 17: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

17

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

C. Ideal arah Politik Kebijakan Parlemen Terhadap Polemik Putusan

MK Tahun 2017.

1. Langkah awal kebijakan parlemen harus konsisten dengan TAP MPR

No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi dan Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme.

2. Sebagaimana salah satu poin arah kebijakan pemberantasan KKN yang

harus dijadikan politik hukum pemberantasan KKN adalah,

“mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-

undangan serta keputusan- keputusan penyelenggara negara yang

berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN”. Lantas

pertanyaannya adalah rezim putusan MK yang manakah yang lebih

mengarah pada arah kebijakan TAP MPR tersebut? Apakah putusan

MK Tahun 2006 ataukah putusan MK Tahun 2017?

3. Menurut pandangan saya, jelas putusan MK tahun 2006 lebih

memudahkan dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia. Tetapi yang perlu diperhatikan bukan masalah mudah

ataupun sulit, melainkan bagaimana konsep pemberantasan korupsi

itu berjalan konstitusional dan tidak melanggar hukum yang perlu

diatur dalam revisi UU TPK kedepan.

4. Di sisi lain, penting kiranya kebijakan parlemen kedepan merumuskan

dan menentukan lembaga manakah yang paling berwenang untuk

melakukan audit investigatif terhadap adanya kerugian negara,

sehingga tidak terjadi konflik antar lembaga negara, seperti yang

terjadi saat ini antara BPK dan BPKP yang sering berbeda pendapat

tentang adanya kerugian negara ataukah tidak.

5. Dengan adanya kejelasan lembaga yang berwenang dalam melakukan

audit investigatif sangat menentukan suksesnya dan tidaknya

pemberatasan korupsi pasca putusan MK Tahun 2017 yang lebih

menekankan pada aspek akibat yang dilarang, yaitu adanya unsur

kerugian negara yang nyata.

Page 18: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

18

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

MATERI BPK RI

Page 19: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

19

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Oleh:

1. Supriyono Hadi, S.H., M.Si.

Kasudit Kepaniteraan Kerugian Negara

Daerah, BPK RI

2. Tri Heriadi, S.H., M.M.

Kadit Konsultasi Hukum Keuangan Negara,

BPK RI

Page 20: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

20

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 21: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

21

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 22: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

22

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 23: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

23

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 24: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

24

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 25: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

25

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 26: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

26

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 27: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

27

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 28: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

28

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 29: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

29

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 30: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

30

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 31: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

31

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 32: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

32

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 33: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

33

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |

Page 34: PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puskajiakn/hasil-diskusi-pakar/public-file/hasil-diskusi-pakar-public... · Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK,

34

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara |