pencemaran limbah detergent DAMPAK DAN PENANGANAN LIMBAH DETERJEN Oleh : Platika Widiyani PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 BAB I PENDAHULUAN Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan memenuhi kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan produk yang dapat digunakan oleh manusia,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
pencemaran limbah detergentDAMPAK DAN PENANGANAN LIMBAH DETERJEN
Oleh :Platika Widiyani
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan memenuhi
kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan produk yang dapat
digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga menghasilkan produk lain yang belum
begitu banyak dimanfaatkan yaitu limbah. Seiring dengan peningkatan industri ini, juga akan
terjadi peningkatan jumlah limbah.
Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber daya
alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan pengurasan sumber daya alam,
yang nantinya dapat menurunkan kualitas lingkungan antara lain pencemaran tanah, air, dan
udara jika limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu. Bermacam limbah industri yang dapat
mencemari lingkungan antara lain limbah industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa
sawit, limbah industri karet remah dan lateks pekat, limbah industri tapioka, dan limbah
pabrik pulp dan kertas), limbah industri farmasi, dan lain-lain. Selain kegiatan industri,
diperkotaan limbah juga dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan rumah tangga. Bentuk limbah
yang dihasilkan oleh komponen kegiatan yang disebut di atas adalah limbah padat dan limbah
cair. Limbah padat dan cair yang dibuang ke lingkungan langsung dapat menimbulkan
keseimbangan alam terganggu yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu merubah pH
tanah, kandungan mineral berubah dan ganguan nutrisi dari tanah untuk kehidupan tumbuhan
serta sumber air tanah tercemar. Pencemaran air dapat mengganggu biota air, perubahan
BOD, COD serta DO, disamping itu dampak psikologis akibat dari pencemaran lingkungan
yang tidak kalah berbahayanya jika dibandingkan dengan dampak secara fisik.
Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin marak di
masyarakat luas, di dalam deterjen terkandung komponen utamanya, yaitu surfaktan, baik
bersifat kationik, anionik maupun non-ionik. Produksi deterjen di Indonesia rata-rata per
tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang
dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-
rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009). Perkembangan usaha binatu atau laundry yang
sebelumnya hanya dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini mengalami
pergeseran hingga harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini
menyebabkan limbah deterjen semakin banyak kuantitasnya.
Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari lingkungan karena
didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene sulphonate) yang merupakan
deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar dirusak oleh mikroorganisme
(nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Anonimous,
2009).
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai kimia yang
sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanyasurfaktan hanya digunakan sebagai bahan
utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak
digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun
tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi.
Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan
permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal ini
membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri sabun,
deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis,
kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel J,
2004).
Dengan makin luasnya pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan manusia
maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan.Limbah yang dihasilkan dari deterjen dapat
menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan mengganggu
atau mempengaruhi kehidupan masyarakat (Heryani dan Puji, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pencemaran dan Air Limbah
Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak
alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya
masih murni dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang
telah tercemar oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi
organisme yang hidup di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di
sekitar sungai tersebut (Anonimous, 2009).Standar Nasional Indonesia (SNI) mengatakan
bahwa air limbah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud air.
Notoadmojo (2007) mendefinisikan bahwa air buangan / air limbah adalah air yang
tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti
industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar,
karena lebih kurang 80% dan air yang digunakan bagi kegiatan – kegiatan manusia sehari –
hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya
akan mengalir ke sungai dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh karena itu, air buangan
ini harus dikelola dan diolah secara baik.
Gambar 1. Pencemaran Air oleh Limbah Deterjen
B. Detergen
Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Di sisi lain,
detergen harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm
function) atau daya kerja cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang
rendah dan harga yang terjangkau (Jurado et al, 2006)
Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan
tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di
wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009).
Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai keunggulan
antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
Pada umumnya detergen bersifat surfaktan anionik yang berasal dari derivat minyak nabati
atau minyak bumi (Chantraine F et all, 2009).
Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan dengan gugus utama
surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang sulit di biodegradabel, maka pada
tahun 1965 industri mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama
surfaktant LAS (Linier Alkyl Benzene Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen
Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl
benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai
lurus (LAS) sebesar 60%. Alasan penggunaan ABS antara lain karena harganya murah,
stabil dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah. Dibandingkan dengan LAS, ABS
lebih sukar diuraikan secara alami sehingga pada banyak negara di dunia penggunaan ABS
telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai
larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam
produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim pasta
dan busanya melimpah (Anonimous, 2009).
Bahan – bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah :
1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung
berbeda yaitu hydrophile (suka air) danhydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel
pada permukaan bahan. Surfaktant terbagi atas jenis anionic (Alkyl Benzene
angustifolia (bunga coklat), melati air, dan lili air. Cara ini sangat mudah,
tapi hanya bisa menyerap sedikit zat pencemar dan tak bisa menyaring
lemak dan sampah hasil dapur yang ikut terbuang ke selokan.
Cara yang lebih efektif adalah membuat instalasi pengolahan yang
sering disebut dengan sistem pengolahan air limbah (SPAL) dengan cara
mudah, bahan murah dan tidak sulit diterapkan di rumah Anda. Instalasi
SPAL terdiri dari dua bagian yaitu bak pengumpul dan tangki resapan. Di
dalam bak pengumpul terdapat ruang untuk menangkap sampah yang
dilengkapi dengan kasa 1 cm persegi, ruang untuk penangkap lemak, dan
ruang untuk menangkap pasir. Tangki resapan dibuat lebih rendah dari bak
pengumpul agar air dapat mengalir lancar. Di dalam tangki resapan ini
terdapat arang dan batu koral yang berfungsi untuk menyaring zat-zat
pencemar yang ada dalam air limbah deterjen(greywater). Mekanisme
kerja SPAL dengan cara air bekas deterjen atau bekas sabun dialirkan ke
ruang penangkap sampah yang telah dilengkapi dengan saringan di bagian
dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan mengalir masuk ke ruang di
bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di dasar
ruang ini, sedangkan lapisan minyak, karena berat jenisnya lebih ringan,
akan mengambang di ruang penangkap lemak. Air yang telah bebas dari
pasir, sampah, dan lemak akan mengalir ke pipa yang berada di tengah-
tengah tangki resapan. Bagian bawah pipa tersebut diberi lubang sehingga
air akan keluar dari bagian bawah. Sebelum air menuju ke saluran
pembuangan, air akan melewati penyaring berupa batu koral dan batok
kelapa. Limbah deterjen atau air sabun yang telah diolah dapat digunakan
lagi untuk menyiram tanaman, mengguyur kloset, dan untuk mencuci
mobil. Di Singapura dan negara-negara maju bahkan diolah lagi menjadi
air minum (Anonimous, 2009).
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan di
perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air limbah sisa
deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan pompa celup yang harus
terendam air untuk menghindari terbentuknya gelembung/buih detrejen. Pompa celup ini
berfungsi sebagai sirkulasi limbah. Selanjutnya di luar bak penampungan dibuat bak kecil
dan pompa dosing yang berisi larutan anti deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang
banyak mengandung deterjen anionik, maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen
kationik sebagai anti deterjennya, demikian pula sebaliknya. Kemudian larutan anti deterjen
ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan dilakukan proses penetralan. Pada proses
penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam bak penampungan dengan analisis
deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin
yang secara khusus untuk mengetahui kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat
dilakukan uji coba dengan pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 ml per menit dengan
pompa dosing sampai kadar deterjen 0 ppm. (Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan
kandungan fosfat yang rendah karena dapat menjadi pencemaran air disekitarnya. Serta dapat
melakukan pengelolaan limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak
penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous, 2010).
B. Biosurfactan
Savarino et al (2010) pada penelitian terbarunya membandingkan antara biosurfactan,
yang merupakan perkembangan terbaru dari formula deterjen dengan surfaktan anionik/non
ionik yang sering dipakai perusahaan deterjen. Biosurfactan diisolasi dari residu makanan dan
limbah hijau yang disimpan pada kondisi aerobik selama 0-60 hari dan diteliti komposisi
kimia,aktivitas sifat permukaan (surface activity) dan daya kerja deterjen dalam mencuci
kain. Limbah perkotaan merupakan sumber yang kaya bahan organik dengan sifat surfaktan
yang sangat baik. Bahan ini sudah tersedia dari fasilitas perkotaan dengan biodegradasi
aerobik residu biomassa. Khususnya, untuk dua biosurfaktan terisolasi dari limbah,
yaitucHAL (compost humic acid-like matter) yang terisolasi dari campuran makanan dan
residu kompos hijau (green residues) selama 15 hari dan cHAL 2 terisolasi hanya dari residu
hijau segar (fresh green residue). Kedua biosurfactan tersebut mengandung rantai alifatik
panjang, gugus aromatik, asam karboksilat dan kelompok fenol.
Biosurfactan menghasilkan berbagai macam komposisi kimia dan aktivitas sifat
permukaan yang erat kaitannya dengan sumber biomassa yang berbeda.
Ditemukan bahwa biosurfactan memiliki kinerja yang sama dengancommercial
surfactan yang umum digunakan (anionik maupun non ionik) ketika digunakan secara murni,
jika pada campuran 1:1 biosurfactan dancommercial surfactan menghasilkan sinergi yang
signifikan. Sangat sensitivitas terhadap kesadahan air dan menyebabkan kain menjadi kuning
merupakan kekurangan utama untuk biosurfactan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa bila digunakan di atas konsentrasi micelles tidak ada perbedaan kinerja yang
signifikan pada seluruh kelompok biosurfactan atau campuran antara biosurfactan
dan commercial surfactan. Fakta ini memberikan harapan bagi produksi industri dan
komersialisasi Biosurfactan sebagai komponen dari formulasi deterjen. Serta penggunaan
surfaktan yang ramah lingkungan yang berasal dari sumber daya terbaru yang murah dalam
komposisi deterjen bagi tren industri deterjen.
Isolasi biosurfactan diperoleh dari limbah green atau dari 1:1 limbah makanan dan
green fresh residue yangdikumpulkan dan disimpan selama 0-60 hari secara aerobik. sampel
sampah yang terkumpul diteliti selama 24 jam pada 650C dengan perbandingan N2 dan
NaOH 0.1 mol-1 L dan 0,1 mol L-1 Na4P2O7. Selanjutnya suspensi yang dihasilkan
didinginkan sampai suhu kamar dan disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm. Residu padat
dipisahkan dan
dicuci berulang kali dengan air suling sampai terpisah cair supernatannya.Semua cairan
supernatan dikumpulkan dan diasamkan dengan asam sulfat 50%
pada pH 1.5. Endapan padat disentrifugasi seperti cara di atas, dicuci dengan air sampai
akhir pH netral, dikeringkan pada 600C dan ditimbang. Produk akhir (cHALi) menghasilkan
adalah 12-15% dari bahan kering sampah awal. Dari hasil percobaan biosurfactan mampu
menurunkan tegangan permukaan hampir 50% lebih rendah dibandingkan commercial
surfactan.
C. Biofilter
Limbah domestik baik rumah tangga atau limbah usaha skala kecilseperti air sisa
deterjen dan air sisa sabun mandi harus diolah dan tidak boleh membuangnya melalui septic-
tank, guna mengindari pencemaran air tanah disekitarnya.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, mengisyaratkan warga agar
menyediakan alat pengolahan limbah, yaitu Biofilter. Alat ini mampu menghasilkan air
olahan sesuai dengan baku mutu, dan aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan sistem
biofilter, dan umumnya terbuat dari fiberglass. maka limbah cucian dan limbah septic tank
sudah terolah hingga mencapai baku mutu. Dan menggantikan septic tank yang cara kerjanya
merembeskan limbah ke tanah sehingga tidak ada lagi ada rembesan. Namun masih
diperlukan sosialisasi kepada pemilik rumah yang sudah memiliki septic tank, subsidi alat
bagi perumahan kumuh dan harga alat yang mahal (Anonimous, 2009).
Gambar 3. Biofilter
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus dihilangkan atau diminimalisir
penggunaannya. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal
bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan
produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini
memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk
penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit semakin
parah. Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen
berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian
deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk
senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin
terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya
terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi
pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum
mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di
perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi
menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi
pada tangan dan kaustik karena diketahui lebih bersifat alkalis dengan tingkat keasaman (pH)
antara 10 – 12.
B. SARAN
Sebagai alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai
pengganti fosfat (builder) dalam deterjen karena fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur
hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat
dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan dan pada akhirnya justru
membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya.
Teknik pengolahan detergen dapat dilakukan menggunakan berbagai macam teknik
misalnya biologi yaitu dengan bantuan bakteri, koagulasi-flokulasi-flotasi, adsorpsi karbon
aktif, lumpur aktif, khlorinasi dan teknik penampungan dalam bak yang murah dan efektif
(Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan
kandungan fosfat yang rendah serta mengelola limbah deterjen secara sederhana dengan
pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous,
2010).
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak untuk
memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk memilih dan hak untuk
menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak sesuai dengan klaimnya
Berkaitan dengan hak konsumen tersebut, diperlukan transparansi dari produsen mengenai
kandungan produk deterjen yang dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan
baku.
Penggunaan deterjen seminimal mungkin. Untuk mencegah dampak lebih parah
diperlukan kesadaran konsumen agar hanya memilih produk deterjen ramah lingkungan.
Deterjen ramah lingkungan dapat dilihat dari logo pada kemasan produk deterjen, walaupun
untuk membuktikan produk tersebut benar-benar ramah lingkungan harus melalui uji
laboratorium. Konsumen juga dapat meminimalikan pemakaian deterjen karena pemakaian
dalam kadar kurang atau maksimal sama dengan takaran yang dianjurkan sudah cukup.
Meluruskan persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah
mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut,
diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun produsen. Di satu pihak, konsumen
harus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak,
produsen seharusnya tidak lagi menggunakan ‘busa melimpah’ dalam mempromosikan
produknya.
Daftar Pustaka
Ahsan S. 2005. Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste Materials [Original Paper] . Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202.
Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8Desember 2010].
. 2009. Pengolahan Limbah Deterjen dengan Biofilter.http://www.greenradio.fm. [8 Desember 2010].
. 2009. Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].
Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Statistik Lingkungan Hidup Pengelolaan B3 dan Limbah B3. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].
Chantraine, F et all. 2009. Drawbacks of Surfactant Presence on The Dissolution and Mechanical Properties of Detergent Tablets : How to Control Interfaces by Surfactan Localization. Journal of Surfactan and Detergent. 12:59-71.
Heryani. A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter [Makalah Penelitian] http://eprints.undip.ac.id [8 Desember 2010].
Jurado, E et all. 2006. Enzyme Based Detergent formulas for Fatty Soils and Hard Surface in a Continous Flow Device . Journal of Surfactant and Detergents. Vol. 9. Qtr 1.
Scheibel J. 2004. The Evolution of Anionic Surfactan Tehnology to Meet the Requirement of the Laundry Deterjent Industry. Journal of Surfactan and Detergent. Vo7. No. 5.
Sigid hariyadi. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah.
Soekidjo Notoatmojo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit PT Rineka Cipta.(614.78NOT k)
Savarino. P, Motoneri. G, Musso. G, Boffe. V. 2010. Biosurfactan from urban waste for detergent formulation : surface activity and washing performance. Journal Surfactant Detergent. 13:59-68