PEMBERDAYAAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DENGAN PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PENGETAHUAN LINGUISTIK A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Posisi ilmu tentang bahasa (linguistik) sangat erat kaitannya dengan kegiatan pengajaran bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Soenardji (1989: 95) yang menyatakan “Kedudukan linguistik dalam lingkup kegiatan pendidikan (dan dengan sendirinya tercakup pula kegiatan pengajaran) sudah bersifat aksiomatik”. Aksiomatik berarti pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian (Depdikbud, 1990: 16) Corder (1974) dalam Pateda (1991: 24) menyatakan “Pengajaran linguistik adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh peneliti bahasa yang digunakan untuk meningkatkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMBERDAYAAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DENGAN PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN
PENGETAHUAN LINGUISTIK
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Posisi ilmu tentang bahasa (linguistik) sangat erat kaitannya dengan
kegiatan pengajaran bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Soenardji (1989: 95) yang
menyatakan “Kedudukan linguistik dalam lingkup kegiatan pendidikan (dan
dengan sendirinya tercakup pula kegiatan pengajaran) sudah bersifat aksiomatik”.
Aksiomatik berarti pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa
pembuktian (Depdikbud, 1990: 16)
Corder (1974) dalam Pateda (1991: 24) menyatakan “Pengajaran linguistik
adalah pemanfaatan pengetahuan tentang alamiah bahasa yang dihasilkan oleh
peneliti bahasa yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilgunaan tugas-tugas
praktis yang menggunakan bahasa sebagai komponen inti”.
Dalam batasan tersebut terlihat adanya keterkaitan antara pengajaran
linguistik dengan pengetahuan linguistik. Pengetahuan linguistik digunakan untuk
kepentingan praktis, tetapi bidang yang tetap berkaitan dengan bahasa.
Penerapan pengetahuan linguistik di dalam berbagai objek adalah suatu aktifitas.
Aktifitas dalam pengajaran bahasa bukanlah studi teoritis, melainkan penerapan
temuan dalam studi teoritis. Orang yang bergerak dalam pengajaran linguistik
(guru bahasa) adalah pengguna teori dan bukanlah penghasil teori bahasa. Mereka
hanya pengguna teori yang dihasilkan oleh pakar bahasa atau ahli bahasa.
Memang, ahli bahasa dengan guru bahasa berbeda dalam beberapa hal,
misalnya hal yang berhubungan dengan tujuan, metode, dan sikap. Tujuan ahli
bahasa yakni menghasilkan teori dan rincian bahasa, sedangkan guru bahasa
bertujuan agar siswa segera terampil berbahasa dalam bahasa yang sedang
diajarkan. Dilihat dari segi metode, metode ahli bahasa bersifat formal dan
abstrak, sedangkan metode guru bahasa bersifat fungsional dan praktis. Dilihat
dari segi sikap, seorang ahli bahasa melihat bahasa sebagai seperangkat sistem,
sedangkan guru bahasa melihat bahasa sebagai seperangkat keterampilan.
Linguistik menghasilkan teori dan rincian bahasa tertentu. Teori dan
rincian bahasa tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa yang
bersangkutan, termasuk bahasa Indonesia. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia
dibutuhkan pengeta-huan linguistik yang cukup. Pengetahuan tentang linguistik
tersebut yang akan membantu pengajar bahasa sehingga teori dan rincian bahasa
tadi dapat diajarkan dengan baik melalui pengajaran bahasa.
Guru bahasa Indonesia yang tidak memiliki wawasan linguistik selalu
ragu-ragu, baik ketika menjelaskan materi yang diajarkan atau menjawab
pertanyaan siswa. Guru tersebut ragu-ragu apakah yang dijelaskan memang betul
atau kurang tepat? Misalnya seorang siswa bertanya “Manakah yang benar,
menerjemahkan atau menterjemahkan?” Apabila guru tersebut menjawab
menerjemahkan yang benar tentu siswa bertanya lagi mengapa bukan
menterjemahkan karena bentuk itu yang selalu digunakan oleh mayarakat untuk
berkomunikasi? Guru bingung. Guru yang tidak bijaksana akan marah atau akan
menjawab “Ya, dua-duanya benar.” Siswa tidak memperoleh pegangan. Siswa
menangkap kesan bahwa dalam bahasa Indonesia boleh begini, boleh begitu, tidak
ada kaidah yang pasti.
Contoh lain, siswa bertanya, “Apakah kata meja, kata benda?” Guru
menjawab “ya”. Kalau bermeja-meja, misalnya dalam kalimat “Hidangan di pesta
itu diatur bermeja-meja”. Guru bingung lagi. Tadi ia menjawab bahwa bentuk
meja adalah kata benda, tetapi kini ada bentuk bermeja-meja, yang jelas bermeja-
meja dan meja masih ada hubungan bentuk. Guru bingung. Guru yang tidak
bijaksana akan marah atau akan menakut-nakuti siswa yang bertanya tadi. Sikap
yang demikian mengakibatkan wibawanya turun di mata siswa. Guru dikatakan
bodoh dan tidak heran kalau siswa memperolok-olok guru atau tidak
mempedulikan guru. Siswa akan ribut, kelas akan sulit dikendalikan, tidak jarang
ada guru yang lari menghadap kepala sekolah atau tidak bersedia mengajar di
kelas itu.
2. Batasan dan Ruang Lingkup Pokok Bahasan
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang
akan dikemukakan pada makalah ini perlu dibatasi pada pemberdayaan
pengajaran bahasa Indonesia melalui peningakatan dan pengembangan
pengetahuan linguistik. Dengan demikian, rumusan masalah pada makalah ini
dikemukakan dalam bentuk pertanyaan, yaitu “Bagaimanakah peningkatan dan
pengembangan pengetahuan linguistik dapat memberdayakan pengajaran bahasa
Indonesia?”
3. Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peningkatan dan
pengem-bangan pengetahuan linguistik dapat memberdayakan pengajaran bahasa
Indonesia.
4. Manfaat Pembahasan
Berdasarkan tujuan pembahasan di atas, maka makalah ini diharapkan
dapat bermanfaat:
a) sebagai bahan masukan bagi pengajar bahasa Indonesia dalam pemberdayaan
pengajaran bahasa Indonesia; dan
b) untuk memperluas pengetahuan penulis sebagai mahasiswa dan guru mata
pelajaran bahasa Indonesia.
B. Tinjauan Teori
1. Linguistik
a. Linguistik sebagai Suatu Ilmu
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa (Depdikbud, 1990: 527). Ilmu ini mengkaji
tentang bahasa secara ilmiah. Kata linguistik berasal dari bahasa Latin lingua
yang berarti bahasa. Objek utama dari linguistik adalah bahasa. Dari beberapa
definisi linguistik yang dikemukakan oleh para linguis, kelihatan bahwa tujuan
dari ilmu ini adalah untuk mengkaji bahasa sebagai bahasa dan untuk bahasa itu
sendiri (Nikelas, 1988: 9).
Linguistik digolongkan ke dalam kelompok ilmu sosial. Ilmu sosial menyatu
dengan ilmu kemanusiaan karena fenomena sosial tergantung sepenuhnya dari
ciri-ciri manusia, sebaliknya, ilmu tentang manusia tidak dapat tidak bersifat
sosial. Linguistik menurut Jean Piage (1970) termasuk ke dalam ilmu nomotik,
yaitu ilmu-ilmu yang berusaha mencari kaidah-kaidah mempergunakan metode
aksperimental dan berusaha untuk memusatkan penelitian pada bidang yang
terbatas. Ilmu lain yang tergolong sebagai ilmu nomotik adalah psikologi,
sosiologi, etnologi, ekonomi, dan demografi. Piage juga mengatakan bahwa
beberapa aspek pendekatan bahasa bersifat historis, dan ada pula beberapa aspek
bahasa yang dapat didekati secara filosofis.
Kridalaksana dalam Kencono (1982) menjelaskan bahwa sekali pun linguistik
merupakan salah satu ilmu sosial atau kemanusiaan, namun kedudukannya
sebagai ilmu yang otonom tidak perlu diragukan lagi, karena linguistik
menyelidiki bahasa sebagai data utama. Selain itu, linguistik sudah
mengembangkan seperangkat prosedur yang sudah dianggap standar.
Sebagai suatu ilmu yang otonom, linguistik harus mempunyai dsar disiplin ilmiah.
Dalam ilmu pengetahuan modern, disiplin ilmiah itu telah mengalmi
perkembangan sebagai berikut.
1) Pertama, tahap spekulasi. Pada tahap ini, data yang dibicarakan tidak
dikemukakan berdasarkan suatu teori atau suatu patokan, melainkan haya
berdasarkan anggapan belaka. Misalnya, dalam bidang kebahasaan, dulu orang
mengira bahwa semua bahasa di dunia berasal dari bahasa Ibrani. Orang juga
mengira bahwa Adam dan Hawa juga berbicara dalam bahasa Ibrani. Benarkah
semua bahasa bersumber atau diturunkan dari bahasa Ibrani dan benarkah
Adam dan Hawa bercakap-calap dalam bahasa tersebut? Sukar dibuktikan.
Anggapan ini tentu cuma spekulasi belaka. Dalam legenda suku Dayak Iban di
Kalimantan dinyatakan bahwa pada zaman dahulu manusia hanya mempunyai
satu bahasa tetapi karena keracunan cendawan, mereka jadi berbicara dalam
berbagai bahasa. Ini pun hanya spekulasi yang sukar diterima pada zaman
sekarang.
2) Kedua, tahap observasi dan klasifikasi. Pada tahap ini para ahli mengumpulkan
dan menggolong fakta-fakta yang menjadi objek penelitian secara teliti tanpa
memberikan teori apapun. Dalam penyelidikan bahasa tahap ini belum
dianggap tahap yang ilmiah karena ilmu yang matang bukan merupakan
kumpulan fakta semata.
3) Ketiga, tahap perumusan teori. Dalam tahap ini suatu disiplin berusaha
memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi lalu mengajukan pertanyaan-
pertanyaan mengenai masalah itu. Sesudah itu, dirumuskankanlah suatu
hipotesis atau teori yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan
menyusun tes untuk menguji hipotesis yang sudah diajukan tadi.
Linguistik dewasa ini telah mengalami tahap ketiga ini. Jadi, sebagai suatu
ilmu, linguistik sudah benar-benar melalui prosedur ilmiah. Namun, suatu usaha
penyelidikan dan penelitioan baru dapat dikatakan ilmiah kalau sudah memenuhi
tiga syarat dalam pelaksanaan pekerjaannya. Syarat-syarat tersebut adalah
eksplisit, sistematis, dan objektif. Syarat keeksplisitan dapat dipenuhidengan
menyatakan secara jelas kriteria yang dipakai dalam melakukan penelitian
termasuk menyususn peristilahan yang jelas dan konsisten. Kriteria yang eksplisit
diperlukan untuk menandai apa-apa yang diteliti. Peristilahan yang konsisten pun
merupakan syarat bagi pendekatan ilmiah—harus jelas-- batasan istilah yang
dipakai. Antara istilah yang satu dengan yang lain tidak boleh ada kontradiksi.
Syarat kesistematisan dapat dipenuhi dengan tiga hal, yaitu:
1) menyusun prosedur standar yang harus digunakan dalam penelitian. Di sini
peneliti memulai analisisnya dengan melihat berbagai aspek dari data serta
hubungannya dengan aspek-aspek lain. Umpamanya seorang peneliti bahasa
akan menyelidiki bunyi bahasa. Pertama-tama dia harus menentukan dulu apa
yang disebut vokal dan apa yang disebut dengan konsonan; kemudian
menyelidiki satuan-satuan yang lebih besar seperti kata dan kalimat. Setelah itu
baru menyelidiki makna dan akhirnya barulah sampai pada penyelidikan bunyi
tersebut. Dalam mmengikuti prosedur ini yang penting peneliti harus bertindak
secara konsisten.
2) menentukan kerangka deskripsi yang dipakai untuk menyesuaikan pandangan
tentang data. Setiap penyelidik harus mengetahui apa yang harus dilihat dan
dicari, sebab dia tidak mungkin memulai penelitiannya dengan pikiran dan
pandangan yang kosong. Kerangka deskripsi ini merupakan suatu versi
pendahuluan dari pemerian akhir yang diharapkan akan disusun setelah
kegiatan penelitian itu selesai. Kerangka deskripsi itu mungkin tidak begitu
jelas atau lengkap pada mulanya tetapi dalam pekerjaan selanjutnya dapat
terus-menerus disempurnakan.
3) Mengadakan pengujian akhir yang ketat terhadap hipotesis, perkiraan atau
pandangan terhadap bahasa. Pengujian ini dilakukan dengan mengadakan
kontrol terhadap segala kemungkinan yang ada. Semua kemungkinan itu harus
dijelaskan dan adanya saling pengaruh dari setiap kemungkinan itu harus
dilihat dan diketahui.
Syarat keobjektifan dapat dipenuhi dengan mengadakan penelitian
terhadap data eksperimen yang terkontrol. Hasilnya harus terbuka terhadap
pengamatan dan penilaian langsung. Apabila eksperimen itu diulangi, hasil
penilaiannya akan tetap sama. Objektifitas menuntut kita tetap selu bersikap
terbuka terhadap analisis, kritis dengan setiap hipotesis sampai dapat dibuktikan
secara memadai, hati-hati dengan prasangka atau dugaan-dugaan, dan berusaha
selalu menggunakan prosedur standar yang telah ditentukan. Dalam merumuskan
teori tentang bahasa, linguistik juga menggunakan metode induktif dan deduktif
sekaligus.
Berdasarkan metode yang dipakai ahli bahasa dalam mengkaji dan menjelaskan
tentang bahasa, kita dapat menekankan bahwa linguistik merupakan ilmu sosial
yang kedudukanya sangat otonom dan berdiri sendiri dengan cara dan metoda
yang baku dan sistematika ilmiah. Linguistik adalah ilmu praktis yang objeknya
bahasa. Selain menggunakan pendekatan umum yang dibicarakan di atas,
linguistik juga menggukan pendekatan-pendekatan tertentu dalam bahasa.
Kridalaksana dalam Nikelas (1988: 13) menjelaskan sebagai berikut.
1) Linguistik mendekati bahasa secara deskriptif dan tidak secara preskriptif,
artinya yang dipentingkan dalam linguistik adalah apa yang sebenarnya
diungkapkan seseorang, bukan menurut si penyelidik seharusnya diungkapkan.
Bukanlah tugas linguistik menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan apa-apa
yang betul atau yang salah.
2) Linguistik berbeda daripada pendekatan-pendekatan lain. Dalam hal ini
linguistik tidak berusaha untuk memaksakan sesuatu dalam suatu bahasa ke
dalam kerangka bahasa yang lain. Misalnya, beberapa puluh tahun yang lalu
banyak ahli bahasa yang meneliti bahasa-bahasa di Indonesia dengan
menerapkan kategori-kategori yang berasal dari bahasa Latin, Yunani, atau
Arab sehingga kita sekarang mewarisi konsep-konsep yang tidak cocok untuk
bahasa-bahasa Indonesia seperti kata majemuk, tekanan, pengacauan bunyi,
fonem, huruf dan sebagainya. Pendekatan terhadap bahasa yang sudah-sudah
tidak melihat bahwa setiap bahasa itu mempunyai sistem yang bersamaan. Ini
dapat diakui bila telah dibuktikan adanya.
3) Linguistik juga memperlakukan bahasa sebagai suatu sistem dan bukan hanya
sebagai kumpulan dari unsur-unsur yang terlepas. Cara pendekatan semacam
ini disebut pendekatan struktural, sedangkan pendekatan bahasa yang
menganggapnya sebagai kumpulan unsur-unsur yang tidak berhubungan satu
sama lain disebut pendekatan otomatis. Pendekatan terakhir ini menandai ilmu
bahasa abad ke-19 dan sebelumnya.
4) Linguistik bersifat dinamis dan bukan bersifat statis. Linguistik selalu
berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya pemakainya. Oleh
sebab itu, pendekatan kepada bahasa dapat dilakukan secara deskriptif
(sinkronis), yaitu dengan mempelajari berbagai aspeknya pada suatu masa
tertentu. Selain itu, dapat juga dilakukan pendekatan secara historis(diakronis)
yaitu dengan mempelajari perkembangannya dari waktu ke waktu.
5) Linguistik mendekati dan mendekati bahasa sebagai yang diucapkan yang
berupa bunyi; sedangkan bahasa tulisan hanya bersifat sekunder.
b. Bahasa sebagai Objek Linguistik
Bertitik tolak dari definisi linguistik, dapat diambilkesimpulan bahwa objek
linguistik adalah bahasa. Bahasa sebagai objek linguistik yang menyebabkan
linguistik diputuskan menjadi satu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Berkaitan dengan kemajuan teknologi sekarang, kita dapat berbicara langsung
dengan orang lain meskipun orang itu tinggal beratus-ratus kilometer dari tempat
tinggal kita. Kiata dapat menghubunginya dengan jalan menelepon jarak jauh
yang berarti kita telah menggunakan bahasa. Semestinya kita harus berlayar
menemuinya, tetapi dengan menggunakan bahasa melalui jasa telepon, kita dapat
meminta—misalnya—agar ia mengirim uang kepada kita.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berkata, “Toni, ambilkan buku itu!”
Tidak beberapa lama kemudian, buku yang kita maksud sudah berada di tangan
kita. Ini berarti dengan menggunakan beberapa patah kata, ada kegiatan manusia
yang diganti. Ini berarti pula bahwa bahasa berfungsi mengganti diri kita dan
kegiatan kita.
Menggunakan bahasa mengirimkan lambang-lambang dari pembicara menuju
pendengan. Oleh karena bahasa yang berwujud kata-kata dan kalimat yang
digunakan berasal dari pribadi seseorang, maka dapat dikatakan bahwa bahasa
bersifat individual. Bahasa berfungsi menghubungkan pribadi dengan pribadi.
Bahasa bersifat personal yang berarti berguna untuk menyatakan pikiran,
perasaan, dan kemauan individu.
Sesuatu yang dikatakan oleh pembicara akan ditafsirkan oleh pendengar. Dengan
kata lain, setelah kata atau kalimat yang berwujud bunyi-bunyi itu dihasilkan,
orang yang mendengarnya bisa saja menaatinya. Ini berarti terjadi kerja sama
antara pembicara dengan pendengar. Ini berarti pula bahwa hakikat bahasa yang
bersifat individual itu menjadi kooperatif. Maksudnya, antara pembicara dengan
pendengar terjadi kerja sama dengan jalan menggunakan bahasa.
Tanpa bahasa manusia tidak dapat melaksanakan amanah kehidupannya di dunia
ini secara sempurna. Bahasa menjadi alat yang sempurna untuk menghubungkan
dunia seseorang dengan dunia di luar dirinya. Bahasa sebagai alat mengacu juga
sebagai alat perekam dan penyampai aktivitas kebudayaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
c. Bidang-bidang Kajian Linguistik
Dewasa ini, perkembangan linguistik sangat pesat sekali. Aspek lain yang
berkaitan dengan bidang-bidang kajian linguistik juga berkembang. Kajian
tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja tetapi telah meluas ke bidang
atau aspek-aspek di luar bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dan
kehidupan manusia. Berikut ini kita lihat pembidangan linguistik.
Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar, yaitu mikrolinguistik dan
makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa dari struktur dalam bahasa
tersebut. Bidang-bidang pada ilmu ini secara umum terbagi atas (1) teori
linguistik, (2) linguistik deskriptif, dan (3) linguistik historis komparatif. Bidang-
bidang ilmu ini secara khusus terbagi atas (1) linguistik deskriptif, (2) linguistik
historis komparatif, dan (3) sejarah linguistik.
Makrolinguistik adalah bidang-bidang yang mengkaji bahasa yang
berhubungan dengan faktor-faktor di luar bahasa; termasuk di dalamnya bidang
antardisiplin dan bidang terapan. Bidang-bidang antardisiplin antara lain