-
LAPORAN PERJALANAN DINAS
IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS LINGKUNGAN
DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DI PULAU NGUAN,
KELURAHAN GALANG BARU, KECAMATAN GALANG
Disusun Oleh: ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc, SAIPUL BAHRI,
S.St.Pi,
M. SANURI, S.St.Pi, BENI OKTOMUNIS dan OSKAR PUTRA
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN
BUDIDAYA
BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM 2015
-
IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS
LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA
DI PULAU NGUAN, KELURAHAN GALANG BARU,
KECAMATAN GALANG. KOTAMADYA BATAM
Pelaksanaan Kegiatan :
Rabu / 25 Maret 2015
Disusun Oleh :
ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc
SAIPUL BAHRI, S.St.Pi,
M. SANURI, S.St.Pi
BENI OKTOMUNIS
OSKAR PUTRA
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM
2015
-
Identifikasi Penyakit Ikan, Kualitas Lingkungan dan Kelayakan
Usaha Budidaya di Pulau
Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kotamadya
Batam
Romi Novriadi1, Saipul Bahri2, M.Sanuri2, Beni Oktomunis3, Oskar
Putra4
1) Pengendali hama dan penyakit ikan ahli muda BPBL Batam 2)
Pengawas perikanan ahli muda BPBL Batam 3) Pengawas perikanan
terampil pelaksana BPBL Batam 4) Penyuluh perikanan terampil BPBL
Batam
Koresponding penulis: Komplek Balai Perikanan Budidaya Laut
Batam, Jl. Raya Barelang Jembatan III,
PO BOX 60 Sekupang. Batam -29438. E-mail: [email protected] ;
[email protected]
A B S T R A K
Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas
perairan, penyakit dan kelayakan usaha
budidaya di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru,
Kotamadya Batam. Pengamatan dilakukan
pada tanggal 25 Maret 2015 di dua lokasi budidaya yang fokus
pada pengembangan usaha budidaya ikan
laut. Pengambilan sampel air dilakukan dengan metoda gabungan
tempat (integrated) berdasarkan SNI
No.6989.57:2008 untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman,
ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat
(PO4) dan kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan
metoda wawancara untuk mendapatkan
informasi terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil
pemantauan menunjukkan bahwa pH berada
pada kisaran 8,01 8,03, salinitas 33 , Nitrit <
-
1. Pendahuluan
Bank Dunia telah menyimpulkan bahwa tantangan kritis yang
dihadapi oleh sektor penyedia
pangan di masa mendatang adalah meningkatnya jumlah penduduk
yang diperkirakan akan
mencapai 9 milyar orang pada tahun 2050 (World bank, 2013).
Tantangan untuk meningkatkan
jumlah produksi pangan ini justru berhadapan dengan semakin
meningkatnya degradasi lahan
dan lingkungan, baik oleh tindakan manusia maupun gangguan alam
(Muharam, 2011).
Transformasi lahan subur menjadi lahan non pertanian menjadikan
sistem produksi beralih
kepada sistem (super) intensifikasi yang memerlukan input
teknologi yang tinggi dan mahal
untuk menghasilkan produk pangan berkualitas.
Secara geografis, sumber daya alam yang didukung oleh luas
perairan dan banyaknya pulau-
pulau kecil bisa menjadi modal yang besar dalam pembangunan
ekonomi (Anggoro, 2000) dan
salah satunya adalah melalui sektor perikanan budidaya. Selama
tiga dekade terakhir, produksi
perikanan budidaya dunia mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dari 5 juta ton menjadi
63 juta ton (FAO, 2012). Volume produksi ini menjadikan sektor
perikanan budidaya memiliki
kontribusi terhadap suplai protein pangan hewani sebanyak 16,6%
dan protein untuk konsumsi
manusia sebanyak 6,5 % (FAO, 2012). Namun, munculnya wabah
penyakit, degradasi kualitas
lingkungan dan pengelolaan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan
kepada sistem standar yang
sudah ditetapkan menjadi faktor pembatas dalam menjamin
keberlanjutan produksi perikanan
budidaya (Novriadi, 2013). Timbulnya wabah penyakit memiliki
potensi untuk menyebabkan
kerugian ekonomi hingga mencapai US$ 3 miliar per tahun
(Subasinghe et al., 2001) dan
menurunkan jumlah produksi di seluruh dunia (Hill, 2005).
Sementara kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh degradasi kualitas lingkungan juga memberikan
dampak yang cukup signifikan,
seperti yang dialami oleh pembudidaya ikan Kerapu di Batu licin
yang menderita kerugian akibat
limbah eksploitasi bauksit hingga 1,8 Milyar (Novriadi, 2013).
Berdasarkan hal tersebut,
diperlukan upaya pengendalian penyakit dan optimalisasi kualitas
lingkungan berdasarkan
informasi yang relevan tentang keragaan/dinamika penyakit
tertentu pada suatu lokasi sebagai akibat dari fluktuasi beberapa
parameter kualitas lingkungan budidaya (Taukhid, 2010).
Tujuan akhir dari kegiatan monitoring tidak selalu terfokus pada
pengumpulan data atau
informasi tentang penyakit ikan dan kualitas lingkungan. Namun
lebih diupayakan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para
pembudidaya dan ditindaklanjuti oleh
para pengambil kebijakan menjadi sebuah regulasi yang berpihak
kepada masyarakat
pembudidaya ikan. Pengambilan kebijakan ini diharapkan dapat
meningkatkan pelayanan
kesehatan ikan dan lingkungan kepada masyarakat serta
meningkatkan kesejahteraan seluruh
komponen yang terlibat dalam industri budidaya perikanan
(Cameroon, 2002; Taukhid, 2010).
Untuk mendukung optimalisasi produksi, maka Balai Perikanan
Budidaya Laut Batam secara
aktif memberikan penyuluhan, masukan dan bimbingan teknis
melalui kegiatan identifikasi
kelayakan usaha budidaya dan monitoring penyakit ikan dan
lingkungan. Informasi yang
diperoleh melalui kegiatan ini akan dijadikan dasar untuk
menyusun strategi pengelelolaan
kesehatan ikan dan sistem budidaya yang efisien dan efektif agar
peluang keberhasilan usaha
budidaya semakin tinggi.
-
2. Metodologi
2.1 Pelaksanaan kegiatan
Kegiatan pemantauan ini dilakukan di wilayah Pulau Nguan,
Kelurahan Galang Baru,
Kecamatan Galang, Kotamadya Batam pada tanggal 25 Maret 2015.
Kegiatan pemantauan di
lakukan di wilayah Pulau Nguan dengan pertimbangan utama bahwa
daerah ini memiliki potensi
untuk pengembangan sektor budidaya ikan laut. Selain hal
tersebut, beroperasinya salah satu
industri budidaya ikan laut skala besar industri, PT. Cahaya
Terang Sejati di wilayah Pulau
Nguan menjadi salah satu daya tarik tersendiri untuk memperoleh
informasi primer dan sekunder
tentang aktivitas budidaya yang dikembangkan
2.2 Pengambilan contoh
Metoda pengambilan contoh air pada setiap lokasi budidaya
dilakukan menurut metode
gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008,
sementara metoda
pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive random
sampling yang merupakan metoda
pemilihan sampel untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program
pengambilan sampel juga
dilakukan dengan mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar atau
penyakit ke lingkungan
laut, periode pemaparan dan mekanisme transport di badan air
(Syakti, et al., 2012).
2.3 Preparasi Sampel
Penanganan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel air kedalam
botol plastik tanpa
gelembung udara dan selanjutnya diberi nama sampel dan lokasi
pengambilan. Sampel air yang
telah diberi label dipindahkan ke dalam kotak polystyrene yang
mengandung es dan
dipertahankan pada suhu 40 C. Untuk identifikasi virus, organ
target di fiksasi dalam larutan
ethanol 75% kemudian disimpan dalam kotak polystyrene terpisah
untuk mencegah adanya
kontaminasi. Untuk identifikasi bakteri, organ target
diinokulasikan ke dalam media umum dan
media khusus, kemudian diisolasi untuk menghindari kontaminasi
selama proses transportasi.
2.4 Analisa Data
Analisa distribusi penyakit, kualitas lingkungan dan kelayakan
usaha budidaya dilakukan melalui
tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site.
Tahapan pre site merupakan tahapan
pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang keragaan
budidaya dan kesehatan ikan
melalui studi literatur dan pencermatan dokumen hasil kegiatan
pada periode pemantauan
sebelumnya. Tahapan on site dilakukan dengan melakukan analisa
penyakit ikan, kualitas
lingkungan, diagnosa klinis dan data primer sistem produksi
budidaya di lokasi pemantauan pada
saat kegiatan dilakukan. Parameter kualitas lingkungan yang
diukur di lapangan (in situ) meliputi
parameter: pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), suhu,
kedalaman dan kadar garam air.
Sementara data primer usaha budidaya diperoleh melalui wawancara
dan pencermatan dokumen
terkini tentang kegiatan usaha budidaya. Tahapan post site
dilakukan untuk analisa kualitas air
lanjutan di laboratorium (ex situ) yang meliputi parameter
Kekeruhan, Ammonia (NH3), Nitrit
(NO2), Nitrat (NO3) dan Posphat (PO4) dengan menggunakan metode
turbidimetri,
spektrofotometri dan kolorimetri. Tahapan analisa post site juga
dilakukan untuk identifikasi
bakteri secara konvensional dan identifikasi keberadaan
Betanodavirus sebagai agen penyebab
Viral Nervous Necrosis dengan menggunakan metode Polymerase
Chain Reaction (PCR)
konvensional.
-
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Kondisi umum lokasi pemantauan
Dinamika pengembangan produksi perikanan budidaya di Pulau Nguan
telah dimulai sejak
ditetapkannya Pulau Nguan menjadi salah satu sentra lokasi
proyek COREMAP II yang
merupakan kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan
dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Tujuan dilakukannya proyek ini adalah
untuk melindungi, merehabilitasi
dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait
lainnya secara berkelanjutan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar ekosistem
tersebut melalui penguatan
kapasitas pengelolaan sumberdaya karang di tingkat Nasional dan
Lokal/Daerah (Najamuddin,
2006). Pelaksanaan kegiatan ini secara langsung memberikan
dampak positif, khususnya dalam
mendukung optimalisasi produksi hasil perikanan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di
Pulau Nguan
.
Gambar 1. Peta wilayah pulau nguan dengan dua titik kegiatan
pemantauan, titik (1) milik Bp.
Josan dan (2) PT. Cahaya Terang Sejati (pj. Bp. Toni)
Secara geografis, Pulau Nguan berada pada ketinggian 0-50 meter
dari permukaan laut,
dengan suhu berkisar antara 25-30 C. Sebagian besar daratan
wilayah ini berbukit-bukit dan hanya 20 % wilayah daratan yang
memiliki tekstur datar sampai bergelombang. Pulau Nguan
dan kelurahan Galang Baru memiliki posisi 04140 sampai dengan
03631,1 Lintang Utara dan 1041229,2 sampai dengan 1042131,9 Bujur
Timur. Sebagaimana kawasan Kepulauan Riau lainnya, wilayah Pulau
Nguan berada pada garis equatorial yang berada pada dua Lintang
Selatan dan Utara memiliki iklim yang khas, dimana musim hujan
lebih panjang dari kemarau.
Iklim yang terdapat di kawasan ini dipengaruhi oleh empat musim
yaitu Musim Timur, Selatan,
Barat dan Utara. Musim Timur terjadi berkisar bulan Maret sampai
Mei, Musim Selatan terjadi
pada bulan Juni sampai Agustus, musim Barat terjadi pada bulan
September sampai Nopember
dan musim Utara terjadi pada bulan Desember sampai Februari.
1
2
-
Secara administratif, Pulau Nguan berada dibawah pemerintahan
Kelurahan Galang Baru
sejak diterbitkannya Keputusan Walikota Batam No.
KPTS.60/BKD-M/VI/2006. Sebelum
adanya keputusan ini, penduduk Pulau Nguan berada diwilayah
administratif Kelurahan Pulau
Abang. Keputusan ini dinilai tepat karna untuk urusan
pemerintahan, masyarakat Pulau Nguan
memiliki jarak tempuh yang relatif lebih dekat. Pada wilayah
pemerintahan Kelurahan Galang
Baru juga memiliki Suku Laut yang merupakan suku asli
(indigenous people) yang berdomisili
di Pulau Nanga sekitar kawasan Pulau Sembur. Suku Laut pada
awalnya adalah masyarakat yang
nomaden (tidak menetap. Mereka berdiam di atas perahu yang
ditutupi dengan atap kajang
(anyaman dari sejenis daun pandan). Namun sebagian masyarakat
dari Suku Laut ini telah
tersentuh peradaban saat ini, sehingga sudah ada yang menetap
dengan berkelompok (belum
berbaur dengan masyarakat umumnya). Sebagian besar dari Suku
Laut menganut kepercayaan
animisme, dan sebagian kecil lainnya ada yang memeluk agama
islam.
Potensi pengembangan sektor perikanan
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh RPTK Kelurahan Galang
Baru, sebahagian besar
masyarakat yang ada di Kelurahan Galang Baru memiliki profesi
sebagai nelayan (87,11%).
Adapun keberadaan mata pencaharian lain, seperti pedagang dan
buruh pada prinsipnya
dilakukan untuk mendukung dinamika ekonomi di sektor perikanan.
Berdasarkan hasil
pemantauan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa basis
pengembangan sektor perikanan
yang dilakiukan oleh masyarakat Galang Baru, khususnya di Pulau
Nguan adalah sektor
perikanan tangkap. Namun, bila merujuk kepada pendapat Sachoemar
(2006), Pulau Nguan
yang memiliki luas perairan kurang lebih 400 ha sangat
direkomendasikan untuk pengembangan
sektor perikanan budidaya, khususnya untuk komoditas ikan Kerapu
macan Epinephelus
fuscoguttatus. Potensi pengembangan sektor perikanan budidaya
semakin diperkuat dengan
dikeluarkannya keputusan Walikota Batam No. KPTS. 124/HK/VI/2003
tentang Penetapan
Lokasi Kawasan Budidaya Laut dan ditetapkannya Pulau Nguan
sebagai kawasan Batam
Marikultur Estat (BME).
Untuk menjamin keberlanjutan usaha produksi perikanan budidaya,
maka dalam
pengembangannya perlu disesuaikan dengan kapasitas daya dukung
lingkungan dan karakteristik
perairan yang ada di Pulau Nguan. Berdasarkan kajian yang
dilakukan oleh Sachoemar (2006),
potensi produksi perikanan budidaya di Pulau Nguan dapat
mencapai 3.750 ton ikan pertahun
dalam karamba jaring apung sebanyak 3.750 unit untuk luas area
efektif 50 ha atau 12,5 % dari
luas perairan Nguan yang mencapai 400 ha. Potensi ini
ditindaklanjuti oleh masyarakat di Pulau
Nguan dengan melakukan pengembangan usaha budidaya melalui
sistem Keramba Jaring
Tancap (KJT) dan Keramba Jaring Apung (KJA) di wilayah pesisir
Pulau Nguan. Namun,
pengembangan usaha budidaya tetap harus ditata dan disesuaikan
dengan prinsip-prinsip
lingkungan, seperti situasi arus, morfologi pantai, alur layar
untuk pengelola budidaya dan
pengangkutan fasilitas pendukung kegiatan budidaya serta
pertimbangan lainnya sehubungan
dengan peruntukan pemanfaatan lahan perairan di Nguan seperti
alur lintas pemukiman nelayan
dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan Batam
Marikultur Estat (BME)
sebagai kawasan usaha budidaya. Disamping hal tersebut,
permasalahan klasik yang selalu
ditimbulkan oleh aktivitas perikanan budidaya juga harus
diperhatikan, seperti halnya
penumpukan nutrien akibat pemberian pakan maupun adanya
pergeseran keberagaman
mikrobiota akibat penggunaan suplemen yang tidak
bertanggungjawab (Cabello, 2003).
-
Data keragaan budidaya
Berikut ditampilkan data keragaan budidaya melalui kegiatan
wawancara di dua lokasi
pemantauan di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru,
Kecamatan Galang, Kota Batam
Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan
milik Bp. Bujang / Bp. Josan
No Data primer Keterangan
1 Nama pemilik Bp. Bujang dan Bp. Josan
2 Nomor kontak 081268185333
3 Lokasi budidaya Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan
Galang,
Kotamadya Batam
4 Luas budidaya 130 unit KJA Kayu dengan 40 unit berukuran 3x3 m
dan 90
unit berukuran 3 x 5 m
5 Struktur KJA Kayu
6 Tingkat teknologi Sederhana
7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus
produksi 15 ton 8 Jenis komoditas Kerapu bebek Cromileptes
altivelis, Kerapu cantang Epinephelus sp,
Bawal bintang Trachinotus blochii, Kakap putih Lates
calcarifer
8 Asal benih Bali dan Situbondo untuk komoditas Kerapu bebek dan
Hybrid
BPBL Batam untuk Bawal bintang dan komoditas Kakap putih
9 Padat tebar 1000 ekor / unit KJA
10 Waktu tebar Penebaran awal dilakukan bulan Januari 2014
11 Tingkat kelulushidupan Rendah
12 Jumlah kematian Pada masa awal pemeliharaan terdapat
mortalitas Kerapu bebek
(4-5 cm) sejumlah 40.000 ekor, Kakap putih 20.000 ekor dan
Kerapu hybrid 10.000 ekor
13 Sejarah penyakit Umumnya terjadi pada masa tiga minggu
setelah penebaran.
Diawali dengan serangan parasit dan disertai dengan luka di
tubuh ikan
14 Upaya pengendalian
penyakit
Dilakukan dengan perendaman menggunakan obat kuning
(Tidak terdaftar di KKP)
15 Bobot serangan Tinggi
16 Taksiran kerugian Rp. 600.000.000,
17 Pakan Ikan rucah (harga Rp. 6000 - 8000/kg)
Pelet Otohime
18 Biosekuriti Negatif
19 Sertifikat Bebas penyakit untuk benih dari BPBL Batam 20
Mekanisme pasar Seluruh hasil produksi dijual ke pengumpul dari
Singapore dan
beberapa restaurant Seafood yang rutin melakukan pembelian
21 Harapan Diperlukan bantuan pemerintah utamanya terkait
subsidi pakan dan
subsidi pembelian benih
-
Tabel 2. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan
milik Bp. Toni (Salim Group)
No Data primer Keterangan
1 Nama pemilik PT. Cahaya Terang Sejati (Bp. Toni / Bp.
Hendra)
2 Nomor kontak 081276565918
3 Lokasi budidaya Pelabuhan hasyim, Kelurahan Galang Baru,
Kecamatan Galang,
Kotamadya Batam
4 Luas budidaya 2 ha dengan komposisi 560 lubang dengan ukuran @
4 x 5 m
5 Struktur KJA Kayu
6 Tingkat teknologi Tinggi
7 Kapasitas produksi Target perusahaan 50 70 ton / tahun
8 Asal benih 1. Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus dari BPBL
Batam 2. Bawal bintang Trachinotus blochii dari BPBL Batam 3. Kakap
putih Lates calcarifer dari BPBL Batam
9 Padat tebar 1200 ekor / unit
10 Waktu tebar Perusahaan resmi beroperasi bulan Mei tahun 2014
dan
penebaran awal dilakukan pada bulan yang sama untuk ketiga
komoditas
11 Tingkat kelulushidupan 1. Kerapu macan Epinephelus
fuscoguttatus SR : 60 % 2. Bawal bintang Trachinotus blochii SR: 40
% 3. Kakap putih Lates calcarifer SR : 30 %
12 Sejarah penyakit Penyakit mulai diamati pada masa dua minggu
awal sejak penebaran perdana atau sekitar Bulan Juni 2014 yang
ditandai dengan ekor
bunting, nafsu makan berkurang, perubahan warna dan luka
dipermukaan tubuh
13 Waktu serangan Bulan Juni 2014
14 Upaya pengendalian
penyakit
Dilakukan perendaman dengan menggunakan antibiotika, namun
penanggung jawab usaha enggan menjelaskan jenis antibiotika
yang
digunakan dan tim monitoring kesulitan mengidentifikasi
dikarenakan seluruh bahasa yang digunakan adalah mandarin
dan
tidak ada registrasi obat dari KKP
15 Bobot serangan Tinggi
16 Taksiran kerugian Menurut penanggungjawab sejauh ini kerugian
yang dialami
Rp. 200 juta
17 Pakan Mayoritas pellet (Matahari Sakti dan pakan dari
Jepang)
18 Biosekuriti Positif
19 Sertifikat Positif (Specific Pathogen Free certificate) 20
Harapan Bimbingan dari pemerintah tentang pengelolaan cara budidaya
ikan
yang baik
-
Proses pengambilan data sekunder melalui
wawancara dengan pembudidaya
Lokasi unit budidaya milik Bp. Bujang/Bp.
Josan di Pulau Nguan
Pakan rucah yang digunakan pembudidaya di
Pulau Nguan (harga Rp. 6000-8000/kg)
Keramba Jaring Tancap yang diaplikasikan
oleh pembudidaya di Pulau Nguan
Unit usaha budidaya KJA milik PT. Cahaya
Terang Sejati di Pulau Galang Baru
Jenis pakan yang digunakan oleh Usaha
Budidaya PT. Cahaya Terang Sejati
-
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2
diketahui bahwa dua unit
usaha budidaya yang menjadi lokasi pemantauan, dikategorikan
sebagai usaha baru mengingat
awal masa produksi budidaya dilakukan pada tahun 2013. Secara
finansial, dua unit usaha
budidaya ini memiliki kondisi keuangan yang cukup sehat dalam
mendukung produksi budidaya
yang berkelanjutan. Namun, hasil produksi budidaya ikan dapat
mengalami kenaikan ataupun
masa paceklik akibat adanya infeksi mikroorganisme patogen
maupun degradasi kualitas
lingkungan (Novriadi et al, 2014). Menurut Wahyono et al (2001),
pendapatan yang diperoleh
dari usaha perikanan sangat berbeda dengan jenis usaha lainnya,
seperti pedagang atau bahkan
petani. Jika pedagang dapat mengkalkulasikan keuntungan yang
diperolehnya setiap bulannya,
begitu pula petani dapat memprediksi hasil panennya, maka usaha
budidaya perikanan
dihadapkan kepada permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian
(uncertainty) serta bersifat
spekulatif dan fluktuatif.
Variabel kenaikan harga pakan dan harga benih di beberapa daerah
yang menjadi sentra
produksi benih ikan laut seperti Bali dan Situbondo memiliki
pengaruh yang cukup signifikan
terhadap menurunnya volume produksi. Kondisi ini diketahui dari
menurunnya jumlah
pembelian benih yang dilakukan oleh kedua unit usaha budidaya
untuk menjamin keberlanjutan
produksi. Berdasarkan hasil wawancara, kedua variabel ini
menjadi fokus para pembudidaya
agar dapat dijadikan sebagai objek subsidi oleh Pemerintah dalam
rangka mengurangi ongkos
produksi. Menurut BPP-PSPL Universitas Riau (2009), ketersediaan
benih dan pakan
merupakan faktor yang telah menjadi tantangan tersendiri dalam
pembangunan sektor perikanan
budidaya mandiri khususnya di daerah hinterland di wilayah
administratif Kotamadya Batam.
Produktivitas usaha budidaya di sebahagian besar para pelaku
usaha budidaya di Pulau
Nguan sangat bergantung kepada para penampung dan pemodal.
Kondisi yang berbeda dijumpai
di unit usaha budidaya milik Salim Group dimana hasil produki
dipasarkan ke tiga negara tujuan,
yakni China, Hongkong dan Korea Selatan. Peran tauke dalam
kehidupan pembudidaya di Pulau
Nguan cukup tinggi, dimana para tauke ini turut serta sebagai
pemasok bagi seluruh keperluan
usaha budidaya, perobatan hingga keperluan keluarga, namun
kmudian harga hasil produksi akan
ditentukan secara sepihak oleh para tauke (BPP-PSPL Universitas
Riau, 2009). Kondisi ini
harus segera dicarikan alternatifnya, karna usaha budidaya akan
bergairah bila masyarakat
memiliki minat untuk melakukan usaha budidaya dan minat akan
datang bila permintaan pasar
cukup tinggi dan memberikan nilai ekonomi positif bagi
masyarakat.
Berdasarkan hasil pemantauan, juga diketahui bahwa tingkat
mortalitas akibat infeksi
mikroorganisme patogen menjadi salah satu faktor pembatas bagi
usaha budidaya. Data yang
diperoleh di lokasi pemantauan menunjukkan bahwa tingkat
kerugian yang dialami pembudidaya
cukup signifikan. Di unit usaha budidaya milik Bp. Josan,
kematian puluhan ribu ekor ikan
Kerapu bebek Cromileptes altivelis, Kakap putih Lates
calcarifer, Kerapu cantang dan cantik
Epinephelus spp dan Bawal bintang Trachinotus blochii telah
menyebabkan kerugian hingga
mencapai 600 juta rupiah. Hal yang sama juga dialami oleh usaha
budidaya milik Salim Group
dimana kematian ribuan ekor ikan Kerapu macan Epinephelus
fuscoguttatus, Kakap putih Lates
calcarifer dan Bawal bintang Trachinotus blochii telah
menyebabkan kerugian hingga mencapai
200 juta rupiah. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit
dalam Industri budidaya ikan
memerlukan perhatian yang sangat serius
-
Berdasarkan kondisi diatas, tim pemantauan hama dan penyakit
ikan melakukan analisa post
site di laboratorium terhadap sampel yang diambil dengan
menggunakan metoda purposive
sampling. Hasil analisa identifikasi keberadaan mikroorganisme
patogen dari sampel yang
diperoleh pada kegiatan pemantauan, disajikan pada Tabel 3
berikut
Tabel 3. Hasil analisa mikrobiologi terhadap sampel kegiatan
pemantauan
No KODE SAMPEL
SAMPLE CODE
PARAMETER
PARAMETERS
HASIL UJI
TEST RESULT
SPESIFIKASI METODE
METHODE SPESIFICATION 1 Bawal bintang Parasit* Negatif (-)
IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis)
VNN Negatif (-) IKM/5.4.5/BBL-B (PCR) Bakteri Vibrio sp Isolasi
dan Identifikasi Konvensional
2 Kakap putih Parasit* Negatif (-) IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis)
VNN Negatif (-) IKM/5.4.5/BBL-B (PCR)
Bakteri Vibrio sp Isolasi dan Identifikasi Konvensional 3 Kerapu
cantik Parasit* Negatif (-) IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis)
Bakteri Vibrio sp Isolasi dan Identifikasi Konvensional
M (-) 1 2 (+)
Keterangan gambar :
M = Marker ( penanda berat Molekul 100 bp)
(-) = Kontrol negatif
1 = Contoh uji negatif (tidak ada pendaran pita DNA 420 bp) ikan
Bawal bintang
2 = Contoh uji negatif (tidak ada pendaran pita DNA 420 bp) ikan
Kakap putih
(+) = Kontrol Positif ( berpendar pada pita DNA 420 bp)
Gambar 2. Hasil identifikasi Betanodavirus sebagai agen penyebab
penyakit Viral Nervous
Necrosis dengan menggunakan metoda Polymerase Chain Reaction
terhadap sampel monitoring.
420 bp 500 bp
-
Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa bakteri Vibrio spp
positif diketahui keberadaannya
di seluruh sampel ikan yang diperoleh dari kegaiatan pemantauan.
Menurut Irianto (2005),
Vibrio digolongkan sebagai bakteri dengan sifat gram negatif,
berbentuk batang dan sebagian
besar hidup di perairan laut dan payau. Secara umum, infeksi
akibat Vibrio disebut sebagai
Vibriosis, kadang dikenal pula sebagai Salt water furunculosis,
red boil dan pike pest. Bakteri
vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan
bakteri yang sangat ganas dan
berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai
patogen primer dan sekunder.
Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak
langsung, sedangkan sebagai
patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang
penyakit lain, misalnya oleh
parasit (Post, 1987). Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga
merupakan masalah yang sangat
serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau.
Penularannya dapat melalui air
atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada
ikan-ikan yang dipelihara
dengan kepadatan tinggi. Gejala klinis awal dari ikan yang
terinfeksi penyakit ini adalah
anorexia atau hilang nafsu makan yang disertai dengan warna
tubuh menghitam (Tendencia dan
Lavilla-Pitogo, 2004). Ikan yang terinfeksi juga akan mengalami
kehilangan keseimbangan dan
menunjukkan perilaku berenang yang tidak normal. Bakteri vibrio
yang menginfeksi ikan laut
pada stadia juvenil selain lemah dan berwarna kehitaman, juga
akan merangsang produksi lendir
yang berlebihan. Pada tingkat akut, sirip punggung dan sirip
ekor gripis dengan permukaan kulit
menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987).
Secara umum, menurut Irianto (2005), infeksi Vibriosis dapat
menyebabkan mortalitas >
50% pada ikan budidaya. Dalam keadaan tertentu, terutama apabila
padat tebarannya tinggi,
seringkali menyebabkan mortalitas hingga 100 %. Kondisi ini
selaras dengan jumlah mortalitas
yang dialami oleh para pembudidaya di lokasi pemantauan, dimana
tingkat mortalitas akibat
infeksi penyakit ini dapat mencapai 40 50%. Upaya pengendalian
terbaik yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan prophylaksis
diantaranya melalui penguatan sistem kekebalan tubuh
dengan menggunakan immunostimulan atau melalui aplikasi
vaksinasi dan probiotik untuk
mereduksi jumlah bakteri patogen di dalam lingkungan (Novriadi
et al., 2014a). Hal yang harus
dihindari dalam mengatasi bakteri Vibrio spp ini adalah
penggunaan antibiotika yang dapat
menyebabkan resistensi baik pada bakteri target maupun bakteri
non-target dan bahkan dapat
menyebabkan alergi pada manusia yang mengkonsumsi produk
budidaya yang memiliki
kandungan residu antibiotika (Cabello, 2006).
Tindakan pengendalian penyakit lainnya dapat dilakukan dengan
mengaplikasikan sistem
biosekuriti baik pada media pemeliharaan maupun peralatan yang
digunakan. Sterilisasi media
pemeliharan dapat dilakukan dengan menggunakan klorin 25 pm
selama 12 jam untuk
menghasilkan air laut yang steril dan dan kemudian dilanjutkan
dengan dengan penambahan
larutan Natrium thiosulfat (Na2S2O3) dengan dosis yang sama (25
ppm) untuk menetralisir residu
zat klorin yang mungkin masih tersisa dalam media pemeliharaan.
Sementara untuk peralatan,
program biosekuriti dapat dilakukan dengan merendam seluruh
peralatan pada air yang telah
diberi larutan klorin dengan dosis 50 ppm selama 6 jam, kemudian
dibilas hingga bersih.
Aplikasi biosekuriti ini cukup vital dalam sistem budidaya
mengingat penyakit dapat ditularkan
melalui peralatan yang terkontaminasi (Munday and Nakai, 1997)
ataupun melalui media air
pemeliharaan yang terkontaminasi (Ransangan and Manin, 2012)
-
Data kualitas air budidaya
Meningkatnya infeksi penyakit tidak dapat dilepaskan dari
kualitas lingkungan media
pemeliharaan (Lio-Po and de la Pena, 2004). Bahkan di beberapa
lokasi, adanya degradasi
kualitas lingkungan menyebabkan para pembudidaya tidak dapat
melanjutkan usaha produksi
dan beralih ke jenis usaha yang lain (Novriadi, 2013). Hasil
pemantauan kualitas lingkungan di
dua lokasi pemantauan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik kualitas air di lokasi pemantauan, Lokasi
1 merujuk pada unit KJA milik
Bp. Josan (Pulau Nguan) dan Lokasi 2 merujuk pada unit produksi
PT. Cahaya Terang Sejati
Parameter Satuan Hasil Uji Kualitas Air
Metoda Analisa Lokasi 1 Lokasi 2
pH* 8,01 8.03 SNI 06-6989.11-2004
Suhu* C 30,1 30,2 Elektrometri Kedalaman* m 6 7 Bathimetri
Salinitas* g/L 33 33 Refraktometri
Nitrit (NO2) mg/L
-
Kedalaman perairan di dua lokasi pemantauan berkisar antara 6 7
m, dimana di lokasi 1 memiliki rata-rata kedalam 6 m dan lokasi 2
memiliki rata-rata kedalaman 7 m. Menurut Adipu
et al. (2013), kedalaman pada budidaya ikan di Keramba Jaring
Apung minimal ditentukan oleh
dimensi kantong jaring, perbedaan pasang surut dan jarak minimal
antara dasar kantong dan
dasar perairan. Jika kantong jaring memiliki tinggi 3 m, beda
pasang surut 2 m dan jarak antara
dasar kantong dan dasar perairan 2 m, maka kedalaman KJA minimal
7 m. Menurut Ramelan
(1998), kedalaman untuk budidaya ikan di Keramba Jaring Apung
setidaknya harus melebihi 8
m. Kondisi ini menyatakan bahwa kedalaman di kedua lokasi
pemantauan kurang layak untuk
usaha budidaya dan memberikan peluang yang besar bagi substrat
dasar perairan, seperti pasir
ataupun mikroorganisme patogen terdeposit dalam tubuh ikan.
4. Kesimpulan
Kegiatan pemantauan kelayakan usaha budidaya dan sebaran
mikroorganisme patogen
(geographical distribution) pada kegiatan usaha budidaya
merupakan salah satu kegiatan yang
outputnya dapat digunakan dalam mendukung keberhasilan produksi
dan pengendalian penyakit
ikan, baik pada level usaha, kawasan atau sentra budidaya, antar
daerah dan perdagangan produk
hasil perikanan budidaya antar negara. Aktivitas usaha sebaiknya
juga disertai dengan memenuhi
kaidah-kaidah yang dipersyaratkan dalam konsep Cara Budidaya
Ikan yang Baik (Good
Aquaculture Practices) dan pengelolaan kesehatan ikan yang baik
(Good Health Management
Practices). Berdasarkan hasil pemantauan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Perairan Nguan merupakan perairan oligotrofik mesotrofik yang
kandungan unsur haranya masih sangat rendah. Perairan ini sangat
baik dan potensial untuk pengembangan usaha
budidaya ikan secara intensif berskala industri tetapi tetap
berwawaskan lingkungan.
2. Pengembangan sektor usaha perikanan budidaya sudah cukup
baik, namun masyarakat sangat mengharapkan perhatian dan dukungan
dari Pemerintah khususnya terkait dengan
subsidi pakan dan benih agar dapat mengurangi biaya
produksi.
3. Pengujian parasit dan virus menunjukkan hasil negatif, namun
analisa bakteri menunjukkan bahwa bakteri dalam genus Vibrio spp
terdeteksi positif pada komoditas ikan di lokasi
pemantauan. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan, antara
lain dengan memperkuat
sistem biosekuriti di lokasi budidaya serta mengutamakan
tindakan pencegahan penyakit
melalui penggunaan immunostimulan, multivitamin, vaksinasi dan
probiotik.
5. Ucapan terima kasih
Penulis dan seluruh tim monitoring mengucapkan terima kasih
kepada jajaran Kelurahan
Galang Baru atas ijin yang diberikan untuk dilakukannya kegiatan
pemantauan dan Bp. Bujang
dan Bp. Hendra yang mewakili pemilik unit usaha budidaya dalam
melakukan wawancara
selama kegiatan pemantauan
-
Daftar pustaka
Adipu, Y., Lumenta, C., Kaligis, E., Sinjal, H.J. 2013.
Kesesuaian lahan budidaya laut di
perairan Kabupaten Boolang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara.
Jurnal Perikanan dan
Kelautan Tropis 9 (1), 19-26
Anggoro, S. (2000). Pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan
berwawasan lingkungan.
Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis
Universitas Diponegoro ke 43.
Universitas Diponegoro. Semarang
BPP-PSPL Universitas Riau. (2009). Laporan akhir : Studi potensi
pengembangan budidaya
perikanan di Lokasi Coremap II Kota Batam. Universitas Riau.
Pekanbaru
Cabello, F.C. (2006). Heavy use of prophylactic antibiotics in
aquaculture: a growing problem
for human and animal health and for the environment. Environ
Microbiol (8): 1137-1144.
Cabello, F.C. (2003). Antibiotics and aquaculture. An analysis
of their potential impact upon the
environment, human and animal health in Chile. Fundacion Terram.
Analisis de Politicas
Publicas No. 17, pp. 116 Cameron, A. (2002). Survey Toolbox for
Aquatic Animal Diseases. A Practical Manual and
Software Package. ACIAR Monograph, No. 94, 375p
Fisesa, E.D., Setyobudiandi, I., Krisanti, M. (2014). Kondisi
perairan dan struktur komunitas
makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi
Sumatera Utara. Jurnal
Depik, 3(1):1-9
Hill, B.J. (2005). The need for effective disease control in
international aquaculture. Dev. Biol.
(Basel) (121): 312 Irianto, A. (2005). Patologi Ikan Teleostei.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lio-Po, G.D and de la Pena L.D. 2004. Viral diseases. In:
Nagasawa, K. and E. R. Cruz-
Lacierda (eds.). Diseases of cultured groupers. Southeast Asian
Fisheries Development
Center. pp. 3-4
Muharam. (2011). Pengembangan model konservasi lahan dan
sumberdaya air dalam rangka
pengentasan kemisikinan. Solusi Unsika (10): 9 17 Munday B.L.
and Nakai T. (1997). Special topic review: Nodaviruses as pathogens
in larval
and juvenile marine finfish, World J. Microbiol. Biot.,13,
375381 Najamuddin. (2006). Perencanaan penelitian kelautan dan
perikanan. Disampaikan pada
Lokakarya Agenda Penelitian, Proyek COREMAP II Kabupaten
Selayar, 9-10 September
2006
Novriadi, R. (2013). Studi komparasi dan dampak hasil keputusan
gugatan perdata pencemaan
lingkungan budidaya ikan laut di pulau Bintan. Jurnal Sosial
Ekonomi Kelautan dan
Perikanan, 8 (2): 41-45
Novriadi, R., Agustatik, S., Bahri, S., Sunantara, D.,
Wijayanti, E. (2014a). Distribusi
patogen dan kualitas lingkungan pada budidaya perikanan laut di
Provinsi Kepulauan Riau.
Jurnal Depik 3(1), 83-90
Novriadi, R., Agustatik, S., Hendrianto., Pramuanggit, R.,
Wibowo, A.H. (2014b). Penyakit
infeksi pada budidaya ikan laut di Indonesia. 88 p
Post, G. (1987). Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications
Inc. USA. 288 pp.
Ramelan, H.S. (1998). Pengembangan budidaya ikan laut di
Indonesia dalam: Kumpulan makalah
seminar teknologi perikanan pantai. Denpasar 6-7 Agustus 1998.
Balitbang Departemen
Pertanian dan JICA. p. 1-8
-
Ransangan, J. and Manin, B.O. (2012). Genome analysis of
Betanodavirusfrom cultured
marine fish species in Malaysia, Vet. Microbiol.,(156),
16-44
Sachoemar, I.S. (2006). Analisis daya dukung lingkungan perairan
marikultur batam estat
(BME) Batam. Jurnal Hidrosfir 1 (2): 52-60.
Schubert, G. (1987). Fish Diseases a Complete Introduction.
T.F.H. Publications Inc. USA. 125
pp.
Sirajuddin, M. 2009. Informasi awal tentang kualitas biofisik
perairan teluk waworada untuk
budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii). Jurnal Akuakultur
Indonesia. FPIK IPB 8 (1), 1-
10
Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and
wealth. In aquaculture in the
third millennium. Technical proceedings of the conference on
aquaculture in the third
millennium (Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok
and FAO, NACA
Taukhid. (2010). Dukungan monitoring dan pemetaan sebaran jasad
patogen bagi upaya
pengendalian penyakit ikan. Makalah disampaikan pada Pembahasan
Pedoman Monitoring,
Surveillance dan Zoning Penykait Ikan Direktorat Kesehatan Ikan
dan Lingkungan, Bogor
28 30 April 2010 Wahyono, A., I.G.P. Antariksa, M., Imron., R.
Indrawasih, dan Sudiyono. (2001).
Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Pressindo, Jogjakarta
World Bank. (2013). Fish to 20130: Prospects for fisheries and
aquaculture. World bank report
number 83177-GLB. Washington DC, USA
.