Top Banner
LAPORAN PERJALANAN DINAS IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DI PULAU NGUAN, KELURAHAN GALANG BARU, KECAMATAN GALANG Disusun Oleh: ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc, SAIPUL BAHRI, S.St.Pi, M. SANURI, S.St.Pi, BENI OKTOMUNIS dan OSKAR PUTRA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM 2015
17

Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Jul 21, 2015

Download

Data & Analytics

Romi Novriadi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

LAPORAN PERJALANAN DINAS

IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS LINGKUNGAN

DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA DI PULAU NGUAN,

KELURAHAN GALANG BARU, KECAMATAN GALANG

Disusun Oleh: ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc, SAIPUL BAHRI, S.St.Pi,

M. SANURI, S.St.Pi, BENI OKTOMUNIS dan OSKAR PUTRA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM 2015

Page 2: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

IDENTIFIKASI PENYAKIT IKAN, KUALITAS

LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA

DI PULAU NGUAN, KELURAHAN GALANG BARU,

KECAMATAN GALANG. KOTAMADYA BATAM

Pelaksanaan Kegiatan :

Rabu / 25 Maret 2015

Disusun Oleh :

ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim., M.Sc

SAIPUL BAHRI, S.St.Pi,

M. SANURI, S.St.Pi

BENI OKTOMUNIS

OSKAR PUTRA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM

2015

Page 3: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Identifikasi Penyakit Ikan, Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Usaha Budidaya di Pulau

Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kotamadya Batam

Romi Novriadi1, Saipul Bahri2, M.Sanuri2, Beni Oktomunis3, Oskar Putra4

1) Pengendali hama dan penyakit ikan ahli muda BPBL Batam 2) Pengawas perikanan ahli muda BPBL Batam 3) Pengawas perikanan terampil pelaksana BPBL Batam 4) Penyuluh perikanan terampil BPBL Batam

Koresponding penulis: Komplek Balai Perikanan Budidaya Laut Batam, Jl. Raya Barelang Jembatan III,

PO BOX 60 Sekupang. Batam -29438. E-mail: [email protected] ; [email protected]

A B S T R A K

Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan kelayakan usaha

budidaya di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kotamadya Batam. Pengamatan dilakukan

pada tanggal 25 Maret 2015 di dua lokasi budidaya yang fokus pada pengembangan usaha budidaya ikan

laut. Pengambilan sampel air dilakukan dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI

No.6989.57:2008 untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat

(PO4) dan kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan

informasi terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pH berada

pada kisaran 8,01 – 8,03, salinitas 33 ‰, Nitrit < <0.1 mg/L, Ammonia (NH3) <0,009 mg/L, Posfat (PO4)

<0,033 mg/L dan suhu berada pada kisaran 30,1 – 30,2 ⁰C. Sementara kedalaman dan kekeruhan menjadi

faktor pembatas dalam mendukung optimalisasi produksi. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan bahwa

ikan budidaya bebas dari infeksi parasit dan virus, namun positif terinfeksi oleh bakteri Vibrio spp.

Adanya upaya untuk penerapan biosekuriti dan teknologi budidaya di kedua lokasi pemantauan

menjadikan Pulau Nguan sangat berpotensi sebagai sentra produksi budidaya ikan laut di Kota Batam

Kata kunci: Pulau Nguan, Kualitas Air, Mikrobiologi, Cara Budidaya Ikan yang Baik

A B S T R A C T

The objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture activity of

Nguan Island Sub District Galang Baru, Batam. The study was conducted on 25 March 2015 at two

aquaculture sites which focus on mariculture development. Integrated water sampling was used based on

SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat

(PO4) and turbidity. This study also performed an interview to collect the aquaculture activities data from

the farmers. The results shows that pH ranged from 8,01 – 8,03, salinity 33 ‰, Nitrite < <0.1 mg/L,

Ammonia (NH3) <0,009 mg/L, Posphate (PO4) <0,033 mg/L and temperature ranged from 30,1 – 30,2

⁰C. However, the depth and turbidity become a limited factor in order to support the production. The

microbiology test showed that fish are free from parasite and virus infection, but positively infected by

Vibrio spp. However, the effort to applied biosecurity and aquaculture technology in two aquaculture site

support Nguan island as the mariculture production center in Batam

Key words: Nguan island, Water quality, Microbiology, Good aquaculture practices

Page 4: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

1. Pendahuluan

Bank Dunia telah menyimpulkan bahwa tantangan kritis yang dihadapi oleh sektor penyedia

pangan di masa mendatang adalah meningkatnya jumlah penduduk yang diperkirakan akan

mencapai 9 milyar orang pada tahun 2050 (World bank, 2013). Tantangan untuk meningkatkan

jumlah produksi pangan ini justru berhadapan dengan semakin meningkatnya degradasi lahan

dan lingkungan, baik oleh tindakan manusia maupun gangguan alam (Muharam, 2011).

Transformasi lahan subur menjadi lahan non pertanian menjadikan sistem produksi beralih

kepada sistem (super) intensifikasi yang memerlukan input teknologi yang tinggi dan mahal

untuk menghasilkan produk pangan berkualitas.

Secara geografis, sumber daya alam yang didukung oleh luas perairan dan banyaknya pulau-

pulau kecil bisa menjadi modal yang besar dalam pembangunan ekonomi (Anggoro, 2000) dan

salah satunya adalah melalui sektor perikanan budidaya. Selama tiga dekade terakhir, produksi

perikanan budidaya dunia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 5 juta ton menjadi

63 juta ton (FAO, 2012). Volume produksi ini menjadikan sektor perikanan budidaya memiliki

kontribusi terhadap suplai protein pangan hewani sebanyak 16,6% dan protein untuk konsumsi

manusia sebanyak 6,5 % (FAO, 2012). Namun, munculnya wabah penyakit, degradasi kualitas

lingkungan dan pengelolaan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan kepada sistem standar yang

sudah ditetapkan menjadi faktor pembatas dalam menjamin keberlanjutan produksi perikanan

budidaya (Novriadi, 2013). Timbulnya wabah penyakit memiliki potensi untuk menyebabkan

kerugian ekonomi hingga mencapai US$ 3 miliar per tahun (Subasinghe et al., 2001) dan

menurunkan jumlah produksi di seluruh dunia (Hill, 2005). Sementara kerugian ekonomi yang

diakibatkan oleh degradasi kualitas lingkungan juga memberikan dampak yang cukup signifikan,

seperti yang dialami oleh pembudidaya ikan Kerapu di Batu licin yang menderita kerugian akibat

limbah eksploitasi bauksit hingga 1,8 Milyar (Novriadi, 2013). Berdasarkan hal tersebut,

diperlukan upaya pengendalian penyakit dan optimalisasi kualitas lingkungan berdasarkan

informasi yang relevan tentang keragaan/dinamika penyakit tertentu pada suatu ”lokasi” sebagai

akibat dari fluktuasi beberapa parameter kualitas lingkungan budidaya (Taukhid, 2010).

Tujuan akhir dari kegiatan monitoring tidak selalu terfokus pada pengumpulan data atau

informasi tentang penyakit ikan dan kualitas lingkungan. Namun lebih diupayakan untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pembudidaya dan ditindaklanjuti oleh

para pengambil kebijakan menjadi sebuah regulasi yang berpihak kepada masyarakat

pembudidaya ikan. Pengambilan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan

kesehatan ikan dan lingkungan kepada masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan seluruh

komponen yang terlibat dalam industri budidaya perikanan (Cameroon, 2002; Taukhid, 2010).

Untuk mendukung optimalisasi produksi, maka Balai Perikanan Budidaya Laut Batam secara

aktif memberikan penyuluhan, masukan dan bimbingan teknis melalui kegiatan identifikasi

kelayakan usaha budidaya dan monitoring penyakit ikan dan lingkungan. Informasi yang

diperoleh melalui kegiatan ini akan dijadikan dasar untuk menyusun strategi pengelelolaan

kesehatan ikan dan sistem budidaya yang efisien dan efektif agar peluang keberhasilan usaha

budidaya semakin tinggi.

Page 5: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

2. Metodologi

2.1 Pelaksanaan kegiatan

Kegiatan pemantauan ini dilakukan di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru,

Kecamatan Galang, Kotamadya Batam pada tanggal 25 Maret 2015. Kegiatan pemantauan di

lakukan di wilayah Pulau Nguan dengan pertimbangan utama bahwa daerah ini memiliki potensi

untuk pengembangan sektor budidaya ikan laut. Selain hal tersebut, beroperasinya salah satu

industri budidaya ikan laut skala besar industri, PT. Cahaya Terang Sejati di wilayah Pulau

Nguan menjadi salah satu daya tarik tersendiri untuk memperoleh informasi primer dan sekunder

tentang aktivitas budidaya yang dikembangkan

2.2 Pengambilan contoh

Metoda pengambilan contoh air pada setiap lokasi budidaya dilakukan menurut metode

gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008, sementara metoda

pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive random sampling yang merupakan metoda

pemilihan sampel untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program pengambilan sampel juga

dilakukan dengan mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar atau penyakit ke lingkungan

laut, periode pemaparan dan mekanisme transport di badan air (Syakti, et al., 2012).

2.3 Preparasi Sampel

Penanganan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel air kedalam botol plastik tanpa

gelembung udara dan selanjutnya diberi nama sampel dan lokasi pengambilan. Sampel air yang

telah diberi label dipindahkan ke dalam kotak polystyrene yang mengandung es dan

dipertahankan pada suhu 40 C. Untuk identifikasi virus, organ target di fiksasi dalam larutan

ethanol 75% kemudian disimpan dalam kotak polystyrene terpisah untuk mencegah adanya

kontaminasi. Untuk identifikasi bakteri, organ target diinokulasikan ke dalam media umum dan

media khusus, kemudian diisolasi untuk menghindari kontaminasi selama proses transportasi.

2.4 Analisa Data

Analisa distribusi penyakit, kualitas lingkungan dan kelayakan usaha budidaya dilakukan melalui

tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site. Tahapan pre site merupakan tahapan

pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang keragaan budidaya dan kesehatan ikan

melalui studi literatur dan pencermatan dokumen hasil kegiatan pada periode pemantauan

sebelumnya. Tahapan on site dilakukan dengan melakukan analisa penyakit ikan, kualitas

lingkungan, diagnosa klinis dan data primer sistem produksi budidaya di lokasi pemantauan pada

saat kegiatan dilakukan. Parameter kualitas lingkungan yang diukur di lapangan (in situ) meliputi

parameter: pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), suhu, kedalaman dan kadar garam air.

Sementara data primer usaha budidaya diperoleh melalui wawancara dan pencermatan dokumen

terkini tentang kegiatan usaha budidaya. Tahapan post site dilakukan untuk analisa kualitas air

lanjutan di laboratorium (ex situ) yang meliputi parameter Kekeruhan, Ammonia (NH3), Nitrit

(NO2), Nitrat (NO3) dan Posphat (PO4) dengan menggunakan metode turbidimetri,

spektrofotometri dan kolorimetri. Tahapan analisa post site juga dilakukan untuk identifikasi

bakteri secara konvensional dan identifikasi keberadaan Betanodavirus sebagai agen penyebab

Viral Nervous Necrosis dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

konvensional.

Page 6: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Kondisi umum lokasi pemantauan

Dinamika pengembangan produksi perikanan budidaya di Pulau Nguan telah dimulai sejak

ditetapkannya Pulau Nguan menjadi salah satu sentra lokasi proyek COREMAP II yang

merupakan kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Tujuan dilakukannya proyek ini adalah untuk melindungi, merehabilitasi

dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya secara berkelanjutan

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar ekosistem tersebut melalui penguatan

kapasitas pengelolaan sumberdaya karang di tingkat Nasional dan Lokal/Daerah (Najamuddin,

2006). Pelaksanaan kegiatan ini secara langsung memberikan dampak positif, khususnya dalam

mendukung optimalisasi produksi hasil perikanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di

Pulau Nguan

.

Gambar 1. Peta wilayah pulau nguan dengan dua titik kegiatan pemantauan, titik (1) milik Bp.

Josan dan (2) PT. Cahaya Terang Sejati (pj. Bp. Toni)

Secara geografis, Pulau Nguan berada pada ketinggian 0-50 meter dari permukaan laut,

dengan suhu berkisar antara 25-30⁰ C. Sebagian besar daratan wilayah ini berbukit-bukit dan

hanya 20 % wilayah daratan yang memiliki tekstur datar sampai bergelombang. Pulau Nguan

dan kelurahan Galang Baru memiliki posisi 0⁰41’40” sampai dengan 0⁰36’31,1” Lintang Utara

dan 104⁰12’29,2” sampai dengan 104⁰21”31,9” Bujur Timur. Sebagaimana kawasan Kepulauan

Riau lainnya, wilayah Pulau Nguan berada pada garis equatorial yang berada pada dua Lintang

Selatan dan Utara memiliki iklim yang khas, dimana musim hujan lebih panjang dari kemarau.

Iklim yang terdapat di kawasan ini dipengaruhi oleh empat musim yaitu Musim Timur, Selatan,

Barat dan Utara. Musim Timur terjadi berkisar bulan Maret sampai Mei, Musim Selatan terjadi

pada bulan Juni sampai Agustus, musim Barat terjadi pada bulan September sampai Nopember

dan musim Utara terjadi pada bulan Desember sampai Februari.

1

2

Page 7: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Secara administratif, Pulau Nguan berada dibawah pemerintahan Kelurahan Galang Baru

sejak diterbitkannya Keputusan Walikota Batam No. KPTS.60/BKD-M/VI/2006. Sebelum

adanya keputusan ini, penduduk Pulau Nguan berada diwilayah administratif Kelurahan Pulau

Abang. Keputusan ini dinilai tepat karna untuk urusan pemerintahan, masyarakat Pulau Nguan

memiliki jarak tempuh yang relatif lebih dekat. Pada wilayah pemerintahan Kelurahan Galang

Baru juga memiliki Suku Laut yang merupakan suku asli (indigenous people) yang berdomisili

di Pulau Nanga sekitar kawasan Pulau Sembur. Suku Laut pada awalnya adalah masyarakat yang

nomaden (tidak menetap. Mereka berdiam di atas perahu yang ditutupi dengan atap kajang

(anyaman dari sejenis daun pandan). Namun sebagian masyarakat dari Suku Laut ini telah

tersentuh peradaban saat ini, sehingga sudah ada yang menetap dengan berkelompok (belum

berbaur dengan masyarakat umumnya). Sebagian besar dari Suku Laut menganut kepercayaan

animisme, dan sebagian kecil lainnya ada yang memeluk agama islam.

Potensi pengembangan sektor perikanan

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh RPTK Kelurahan Galang Baru, sebahagian besar

masyarakat yang ada di Kelurahan Galang Baru memiliki profesi sebagai nelayan (87,11%).

Adapun keberadaan mata pencaharian lain, seperti pedagang dan buruh pada prinsipnya

dilakukan untuk mendukung dinamika ekonomi di sektor perikanan. Berdasarkan hasil

pemantauan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa basis pengembangan sektor perikanan

yang dilakiukan oleh masyarakat Galang Baru, khususnya di Pulau Nguan adalah sektor

perikanan tangkap. Namun, bila merujuk kepada pendapat Sachoemar (2006), Pulau Nguan

yang memiliki luas perairan kurang lebih 400 ha sangat direkomendasikan untuk pengembangan

sektor perikanan budidaya, khususnya untuk komoditas ikan Kerapu macan Epinephelus

fuscoguttatus. Potensi pengembangan sektor perikanan budidaya semakin diperkuat dengan

dikeluarkannya keputusan Walikota Batam No. KPTS. 124/HK/VI/2003 tentang Penetapan

Lokasi Kawasan Budidaya Laut dan ditetapkannya Pulau Nguan sebagai kawasan Batam

Marikultur Estat (BME).

Untuk menjamin keberlanjutan usaha produksi perikanan budidaya, maka dalam

pengembangannya perlu disesuaikan dengan kapasitas daya dukung lingkungan dan karakteristik

perairan yang ada di Pulau Nguan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sachoemar (2006),

potensi produksi perikanan budidaya di Pulau Nguan dapat mencapai 3.750 ton ikan pertahun

dalam karamba jaring apung sebanyak 3.750 unit untuk luas area efektif 50 ha atau 12,5 % dari

luas perairan Nguan yang mencapai 400 ha. Potensi ini ditindaklanjuti oleh masyarakat di Pulau

Nguan dengan melakukan pengembangan usaha budidaya melalui sistem Keramba Jaring

Tancap (KJT) dan Keramba Jaring Apung (KJA) di wilayah pesisir Pulau Nguan. Namun,

pengembangan usaha budidaya tetap harus ditata dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip

lingkungan, seperti situasi arus, morfologi pantai, alur layar untuk pengelola budidaya dan

pengangkutan fasilitas pendukung kegiatan budidaya serta pertimbangan lainnya sehubungan

dengan peruntukan pemanfaatan lahan perairan di Nguan seperti alur lintas pemukiman nelayan

dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan Batam Marikultur Estat (BME)

sebagai kawasan usaha budidaya. Disamping hal tersebut, permasalahan klasik yang selalu

ditimbulkan oleh aktivitas perikanan budidaya juga harus diperhatikan, seperti halnya

penumpukan nutrien akibat pemberian pakan maupun adanya pergeseran keberagaman

mikrobiota akibat penggunaan suplemen yang tidak bertanggungjawab (Cabello, 2003).

Page 8: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Data keragaan budidaya

Berikut ditampilkan data keragaan budidaya melalui kegiatan wawancara di dua lokasi

pemantauan di wilayah Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang, Kota Batam

Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Bujang / Bp. Josan

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik Bp. Bujang dan Bp. Josan

2 Nomor kontak 081268185333

3 Lokasi budidaya Pulau Nguan, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang,

Kotamadya Batam

4 Luas budidaya 130 unit KJA Kayu dengan 40 unit berukuran 3x3 m dan 90

unit berukuran 3 x 5 m

5 Struktur KJA Kayu

6 Tingkat teknologi Sederhana

7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi 15 ton 8 Jenis komoditas Kerapu bebek Cromileptes altivelis, Kerapu cantang Epinephelus sp,

Bawal bintang Trachinotus blochii, Kakap putih Lates calcarifer

8 Asal benih Bali dan Situbondo untuk komoditas Kerapu bebek dan Hybrid

BPBL Batam untuk Bawal bintang dan komoditas Kakap putih

9 Padat tebar ± 1000 ekor / unit KJA

10 Waktu tebar Penebaran awal dilakukan bulan Januari 2014

11 Tingkat kelulushidupan Rendah

12 Jumlah kematian Pada masa awal pemeliharaan terdapat mortalitas Kerapu bebek

(4-5 cm) sejumlah 40.000 ekor, Kakap putih 20.000 ekor dan

Kerapu hybrid 10.000 ekor

13 Sejarah penyakit Umumnya terjadi pada masa tiga minggu setelah penebaran.

Diawali dengan serangan parasit dan disertai dengan luka di

tubuh ikan

14 Upaya pengendalian

penyakit

Dilakukan dengan perendaman menggunakan obat kuning

(Tidak terdaftar di KKP)

15 Bobot serangan Tinggi

16 Taksiran kerugian ± Rp. 600.000.000,

17 Pakan Ikan rucah (harga Rp. 6000 - 8000/kg)

Pelet Otohime

18 Biosekuriti Negatif

19 Sertifikat Bebas penyakit untuk benih dari BPBL Batam 20 Mekanisme pasar Seluruh hasil produksi dijual ke pengumpul dari Singapore dan

beberapa restaurant Seafood yang rutin melakukan pembelian

21 Harapan Diperlukan bantuan pemerintah utamanya terkait subsidi pakan dan

subsidi pembelian benih

Page 9: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Tabel 2. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Toni (Salim Group)

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik PT. Cahaya Terang Sejati (Bp. Toni / Bp. Hendra)

2 Nomor kontak 081276565918

3 Lokasi budidaya Pelabuhan hasyim, Kelurahan Galang Baru, Kecamatan Galang,

Kotamadya Batam

4 Luas budidaya ± 2 ha dengan komposisi 560 lubang dengan ukuran @ 4 x 5 m

5 Struktur KJA Kayu

6 Tingkat teknologi Tinggi

7 Kapasitas produksi Target perusahaan 50 – 70 ton / tahun

8 Asal benih 1. Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus dari BPBL Batam

2. Bawal bintang Trachinotus blochii dari BPBL Batam

3. Kakap putih Lates calcarifer dari BPBL Batam

9 Padat tebar ± 1200 ekor / unit

10 Waktu tebar Perusahaan resmi beroperasi bulan Mei tahun 2014 dan

penebaran awal dilakukan pada bulan yang sama untuk ketiga

komoditas

11 Tingkat kelulushidupan 1. Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus SR : 60 %

2. Bawal bintang Trachinotus blochii SR: 40 %

3. Kakap putih Lates calcarifer SR : 30 %

12 Sejarah penyakit Penyakit mulai diamati pada masa dua minggu awal sejak penebaran

perdana atau sekitar Bulan Juni 2014 yang ditandai dengan ekor

bunting, nafsu makan berkurang, perubahan warna dan luka

dipermukaan tubuh

13 Waktu serangan Bulan Juni 2014

14 Upaya pengendalian

penyakit

Dilakukan perendaman dengan menggunakan antibiotika, namun

penanggung jawab usaha enggan menjelaskan jenis antibiotika yang

digunakan dan tim monitoring kesulitan mengidentifikasi

dikarenakan seluruh bahasa yang digunakan adalah mandarin dan

tidak ada registrasi obat dari KKP

15 Bobot serangan Tinggi

16 Taksiran kerugian Menurut penanggungjawab sejauh ini kerugian yang dialami ±

Rp. 200 juta

17 Pakan Mayoritas pellet (Matahari Sakti dan pakan dari Jepang)

18 Biosekuriti Positif

19 Sertifikat Positif (Specific Pathogen Free certificate) 20 Harapan Bimbingan dari pemerintah tentang pengelolaan cara budidaya ikan

yang baik

Page 10: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Proses pengambilan data sekunder melalui

wawancara dengan pembudidaya

Lokasi unit budidaya milik Bp. Bujang/Bp.

Josan di Pulau Nguan

Pakan rucah yang digunakan pembudidaya di

Pulau Nguan (harga Rp. 6000-8000/kg)

Keramba Jaring Tancap yang diaplikasikan

oleh pembudidaya di Pulau Nguan

Unit usaha budidaya KJA milik PT. Cahaya

Terang Sejati di Pulau Galang Baru

Jenis pakan yang digunakan oleh Usaha

Budidaya PT. Cahaya Terang Sejati

Page 11: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui bahwa dua unit

usaha budidaya yang menjadi lokasi pemantauan, dikategorikan sebagai usaha baru mengingat

awal masa produksi budidaya dilakukan pada tahun 2013. Secara finansial, dua unit usaha

budidaya ini memiliki kondisi keuangan yang cukup sehat dalam mendukung produksi budidaya

yang berkelanjutan. Namun, hasil produksi budidaya ikan dapat mengalami kenaikan ataupun

masa paceklik akibat adanya infeksi mikroorganisme patogen maupun degradasi kualitas

lingkungan (Novriadi et al, 2014). Menurut Wahyono et al (2001), pendapatan yang diperoleh

dari usaha perikanan sangat berbeda dengan jenis usaha lainnya, seperti pedagang atau bahkan

petani. Jika pedagang dapat mengkalkulasikan keuntungan yang diperolehnya setiap bulannya,

begitu pula petani dapat memprediksi hasil panennya, maka usaha budidaya perikanan

dihadapkan kepada permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) serta bersifat

spekulatif dan fluktuatif.

Variabel kenaikan harga pakan dan harga benih di beberapa daerah yang menjadi sentra

produksi benih ikan laut seperti Bali dan Situbondo memiliki pengaruh yang cukup signifikan

terhadap menurunnya volume produksi. Kondisi ini diketahui dari menurunnya jumlah

pembelian benih yang dilakukan oleh kedua unit usaha budidaya untuk menjamin keberlanjutan

produksi. Berdasarkan hasil wawancara, kedua variabel ini menjadi fokus para pembudidaya

agar dapat dijadikan sebagai objek subsidi oleh Pemerintah dalam rangka mengurangi ongkos

produksi. Menurut BPP-PSPL Universitas Riau (2009), ketersediaan benih dan pakan

merupakan faktor yang telah menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan sektor perikanan

budidaya mandiri khususnya di daerah hinterland di wilayah administratif Kotamadya Batam.

Produktivitas usaha budidaya di sebahagian besar para pelaku usaha budidaya di Pulau

Nguan sangat bergantung kepada para penampung dan pemodal. Kondisi yang berbeda dijumpai

di unit usaha budidaya milik Salim Group dimana hasil produki dipasarkan ke tiga negara tujuan,

yakni China, Hongkong dan Korea Selatan. Peran tauke dalam kehidupan pembudidaya di Pulau

Nguan cukup tinggi, dimana para tauke ini turut serta sebagai pemasok bagi seluruh keperluan

usaha budidaya, perobatan hingga keperluan keluarga, namun kmudian harga hasil produksi akan

ditentukan secara sepihak oleh para tauke (BPP-PSPL Universitas Riau, 2009). Kondisi ini

harus segera dicarikan alternatifnya, karna usaha budidaya akan bergairah bila masyarakat

memiliki minat untuk melakukan usaha budidaya dan minat akan datang bila permintaan pasar

cukup tinggi dan memberikan nilai ekonomi positif bagi masyarakat.

Berdasarkan hasil pemantauan, juga diketahui bahwa tingkat mortalitas akibat infeksi

mikroorganisme patogen menjadi salah satu faktor pembatas bagi usaha budidaya. Data yang

diperoleh di lokasi pemantauan menunjukkan bahwa tingkat kerugian yang dialami pembudidaya

cukup signifikan. Di unit usaha budidaya milik Bp. Josan, kematian puluhan ribu ekor ikan

Kerapu bebek Cromileptes altivelis, Kakap putih Lates calcarifer, Kerapu cantang dan cantik

Epinephelus spp dan Bawal bintang Trachinotus blochii telah menyebabkan kerugian hingga

mencapai 600 juta rupiah. Hal yang sama juga dialami oleh usaha budidaya milik Salim Group

dimana kematian ribuan ekor ikan Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, Kakap putih Lates

calcarifer dan Bawal bintang Trachinotus blochii telah menyebabkan kerugian hingga mencapai

200 juta rupiah. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit dalam Industri budidaya ikan

memerlukan perhatian yang sangat serius

Page 12: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Berdasarkan kondisi diatas, tim pemantauan hama dan penyakit ikan melakukan analisa post

site di laboratorium terhadap sampel yang diambil dengan menggunakan metoda purposive

sampling. Hasil analisa identifikasi keberadaan mikroorganisme patogen dari sampel yang

diperoleh pada kegiatan pemantauan, disajikan pada Tabel 3 berikut

Tabel 3. Hasil analisa mikrobiologi terhadap sampel kegiatan pemantauan

No KODE SAMPEL

SAMPLE CODE

PARAMETER

PARAMETERS

HASIL UJI

TEST RESULT

SPESIFIKASI METODE

METHODE SPESIFICATION 1 Bawal bintang Parasit* Negatif (-) IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis)

VNN Negatif (-) IKM/5.4.5/BBL-B (PCR) Bakteri Vibrio sp Isolasi dan Identifikasi Konvensional

2 Kakap putih Parasit* Negatif (-) IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis) VNN Negatif (-) IKM/5.4.5/BBL-B (PCR)

Bakteri Vibrio sp Isolasi dan Identifikasi Konvensional 3 Kerapu cantik Parasit* Negatif (-) IKM/5.4.2/BBL-B (Mikroskopis)

Bakteri Vibrio sp Isolasi dan Identifikasi Konvensional

M (-) 1 2 (+)

Keterangan gambar :

M = Marker ( penanda berat Molekul 100 bp)

(-) = Kontrol negatif

1 = Contoh uji negatif (tidak ada pendaran pita DNA 420 bp) ikan Bawal bintang

2 = Contoh uji negatif (tidak ada pendaran pita DNA 420 bp) ikan Kakap putih

(+) = Kontrol Positif ( berpendar pada pita DNA 420 bp)

Gambar 2. Hasil identifikasi Betanodavirus sebagai agen penyebab penyakit Viral Nervous

Necrosis dengan menggunakan metoda Polymerase Chain Reaction terhadap sampel monitoring.

420 bp 500 bp

Page 13: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa bakteri Vibrio spp positif diketahui keberadaannya

di seluruh sampel ikan yang diperoleh dari kegaiatan pemantauan. Menurut Irianto (2005),

Vibrio digolongkan sebagai bakteri dengan sifat gram negatif, berbentuk batang dan sebagian

besar hidup di perairan laut dan payau. Secara umum, infeksi akibat Vibrio disebut sebagai

Vibriosis, kadang dikenal pula sebagai Salt water furunculosis, red boil dan pike pest. Bakteri

vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan

berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder.

Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai

patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh

parasit (Post, 1987). Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat

serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air

atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara

dengan kepadatan tinggi. Gejala klinis awal dari ikan yang terinfeksi penyakit ini adalah

anorexia atau hilang nafsu makan yang disertai dengan warna tubuh menghitam (Tendencia dan

Lavilla-Pitogo, 2004). Ikan yang terinfeksi juga akan mengalami kehilangan keseimbangan dan

menunjukkan perilaku berenang yang tidak normal. Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan laut

pada stadia juvenil selain lemah dan berwarna kehitaman, juga akan merangsang produksi lendir

yang berlebihan. Pada tingkat akut, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit

menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987).

Secara umum, menurut Irianto (2005), infeksi Vibriosis dapat menyebabkan mortalitas >

50% pada ikan budidaya. Dalam keadaan tertentu, terutama apabila padat tebarannya tinggi,

seringkali menyebabkan mortalitas hingga 100 %. Kondisi ini selaras dengan jumlah mortalitas

yang dialami oleh para pembudidaya di lokasi pemantauan, dimana tingkat mortalitas akibat

infeksi penyakit ini dapat mencapai 40 – 50%. Upaya pengendalian terbaik yang dapat dilakukan

adalah melalui pendekatan prophylaksis diantaranya melalui penguatan sistem kekebalan tubuh

dengan menggunakan immunostimulan atau melalui aplikasi vaksinasi dan probiotik untuk

mereduksi jumlah bakteri patogen di dalam lingkungan (Novriadi et al., 2014a). Hal yang harus

dihindari dalam mengatasi bakteri Vibrio spp ini adalah penggunaan antibiotika yang dapat

menyebabkan resistensi baik pada bakteri target maupun bakteri non-target dan bahkan dapat

menyebabkan alergi pada manusia yang mengkonsumsi produk budidaya yang memiliki

kandungan residu antibiotika (Cabello, 2006).

Tindakan pengendalian penyakit lainnya dapat dilakukan dengan mengaplikasikan sistem

biosekuriti baik pada media pemeliharaan maupun peralatan yang digunakan. Sterilisasi media

pemeliharan dapat dilakukan dengan menggunakan klorin 25 pm selama 12 jam untuk

menghasilkan air laut yang steril dan dan kemudian dilanjutkan dengan dengan penambahan

larutan Natrium thiosulfat (Na2S2O3) dengan dosis yang sama (25 ppm) untuk menetralisir residu

zat klorin yang mungkin masih tersisa dalam media pemeliharaan. Sementara untuk peralatan,

program biosekuriti dapat dilakukan dengan merendam seluruh peralatan pada air yang telah

diberi larutan klorin dengan dosis 50 ppm selama 6 jam, kemudian dibilas hingga bersih.

Aplikasi biosekuriti ini cukup vital dalam sistem budidaya mengingat penyakit dapat ditularkan

melalui peralatan yang terkontaminasi (Munday and Nakai, 1997) ataupun melalui media air

pemeliharaan yang terkontaminasi (Ransangan and Manin, 2012)

Page 14: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Data kualitas air budidaya

Meningkatnya infeksi penyakit tidak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan media

pemeliharaan (Lio-Po and de la Pena, 2004). Bahkan di beberapa lokasi, adanya degradasi

kualitas lingkungan menyebabkan para pembudidaya tidak dapat melanjutkan usaha produksi

dan beralih ke jenis usaha yang lain (Novriadi, 2013). Hasil pemantauan kualitas lingkungan di

dua lokasi pemantauan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik kualitas air di lokasi pemantauan, Lokasi 1 merujuk pada unit KJA milik

Bp. Josan (Pulau Nguan) dan Lokasi 2 merujuk pada unit produksi PT. Cahaya Terang Sejati

Parameter Satuan Hasil Uji Kualitas Air

Metoda Analisa Lokasi 1 Lokasi 2

pH* 8,01 8.03 SNI 06-6989.11-2004

Suhu* ⁰C 30,1 30,2 Elektrometri

Kedalaman* m 6 7 Bathimetri

Salinitas* g/L 33 33 Refraktometri

Nitrit (NO2) mg/L <0.1 <0.1 Kolorimetri

Ammonia (NH3) mg/L <0,009 <0,009 IKM/5.4.6/BBL-B

Posfat (PO4) mg/L <0,033 <0.033 IKM/5.4.8/BBL-B

Kekeruhan NTU 0.565 0.68 IKM/5.4.9/BBL-B

Keterangan: * : Analisa dilakukan di lokasi pemantauan (In situ)

Berdasarkan analisa diketahui bahwa di kedua lokasi pemantauan, parameter pH, suhu,

salinitas, Nitrit (NO2), Ammonia (NH3) dan Posfat (PO4) masih berada dalam kisaran yang layak

untuk mendukung optimalisasi produksi (Sirajuddin, 2009; Adipu et al, 2013). Menurut

Sachoemar (2006), perairan di Pulau Nguan digolongkan kedalam kategori perairan oligotrofik,

yaitu perairan yang tergolong sangat baik, bersih, sehat dan jernih untuk pengembangan kegiatan

budidaya ikan. Dasar perairan yang ada di wilayah Pulau Nguan umumnya memiliki tekstur

karang berpasir serta jauh dari muara sungai menjadikan perairan ini sangat sesuai untuk

pengembangan komoditas budidaya ikan dalam Keramba Jaring Apung. Adanya sirkulasi air

yang baik dalam beberapa jam menjadikan perairan di wilayah Pulau Nguan memiliki kemiripan

dengan kolam air deras raksasa yang dapat digunakan untuk memacu produktivitas. Namun,

berbagai aktivitas yang muncul di sekitar lokasi usaha budidaya, seperti pelabuhan, industri es,

pembuangan oli oleh beberapa kapal dan kegiatan reklamasi yang ada di sepanjang garis pantai

Galang dan Galang Baru dapat berpotensi untuk mengganggu kegiatan budidaya dan berbahaya

bagi aktivitas biota perikanan. Hal ini terlihat dari tingkat kekeruhan yang diamati di lokasi

pemantauan yng berada pada kisaran 0.57 – 0.68 NTU. Menurut Fisesa et al., (2014), Nilai

kekeruhan pada perairan merupakan gambaran dari banyaknya bahan-bahan yang tersuspensi di

perairan, diantaranya adalah liat, debu, plankton dan organisme renik. Konsentrasi kekeruhan

yang melebihi baku mutu akan berdampak kepada terhambatnya penetrasi cahaya matahari yang

masuk keperairan dan mempengaruhi kehidupan organisme akuatik, seperti gangguan pada

sistem pernafasan, penglihatan dan mekanisme penyaringan makanan.

Page 15: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Kedalaman perairan di dua lokasi pemantauan berkisar antara 6 – 7 m, dimana di lokasi 1

memiliki rata-rata kedalam 6 m dan lokasi 2 memiliki rata-rata kedalaman 7 m. Menurut Adipu

et al. (2013), kedalaman pada budidaya ikan di Keramba Jaring Apung minimal ditentukan oleh

dimensi kantong jaring, perbedaan pasang surut dan jarak minimal antara dasar kantong dan

dasar perairan. Jika kantong jaring memiliki tinggi 3 m, beda pasang surut 2 m dan jarak antara

dasar kantong dan dasar perairan 2 m, maka kedalaman KJA minimal 7 m. Menurut Ramelan

(1998), kedalaman untuk budidaya ikan di Keramba Jaring Apung setidaknya harus melebihi 8

m. Kondisi ini menyatakan bahwa kedalaman di kedua lokasi pemantauan kurang layak untuk

usaha budidaya dan memberikan peluang yang besar bagi substrat dasar perairan, seperti pasir

ataupun mikroorganisme patogen terdeposit dalam tubuh ikan.

4. Kesimpulan

Kegiatan pemantauan kelayakan usaha budidaya dan sebaran mikroorganisme patogen

(geographical distribution) pada kegiatan usaha budidaya merupakan salah satu kegiatan yang

outputnya dapat digunakan dalam mendukung keberhasilan produksi dan pengendalian penyakit

ikan, baik pada level usaha, kawasan atau sentra budidaya, antar daerah dan perdagangan produk

hasil perikanan budidaya antar negara. Aktivitas usaha sebaiknya juga disertai dengan memenuhi

kaidah-kaidah yang dipersyaratkan dalam konsep Cara Budidaya Ikan yang Baik (Good

Aquaculture Practices) dan pengelolaan kesehatan ikan yang baik (Good Health Management

Practices). Berdasarkan hasil pemantauan dapat disimpulkan bahwa:

1. Perairan Nguan merupakan perairan oligotrofik – mesotrofik yang kandungan unsur haranya

masih sangat rendah. Perairan ini sangat baik dan potensial untuk pengembangan usaha

budidaya ikan secara intensif berskala industri tetapi tetap berwawaskan lingkungan.

2. Pengembangan sektor usaha perikanan budidaya sudah cukup baik, namun masyarakat

sangat mengharapkan perhatian dan dukungan dari Pemerintah khususnya terkait dengan

subsidi pakan dan benih agar dapat mengurangi biaya produksi.

3. Pengujian parasit dan virus menunjukkan hasil negatif, namun analisa bakteri menunjukkan

bahwa bakteri dalam genus Vibrio spp terdeteksi positif pada komoditas ikan di lokasi

pemantauan. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan, antara lain dengan memperkuat

sistem biosekuriti di lokasi budidaya serta mengutamakan tindakan pencegahan penyakit

melalui penggunaan immunostimulan, multivitamin, vaksinasi dan probiotik.

5. Ucapan terima kasih

Penulis dan seluruh tim monitoring mengucapkan terima kasih kepada jajaran Kelurahan

Galang Baru atas ijin yang diberikan untuk dilakukannya kegiatan pemantauan dan Bp. Bujang

dan Bp. Hendra yang mewakili pemilik unit usaha budidaya dalam melakukan wawancara

selama kegiatan pemantauan

Page 16: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Daftar pustaka

Adipu, Y., Lumenta, C., Kaligis, E., Sinjal, H.J. 2013. Kesesuaian lahan budidaya laut di

perairan Kabupaten Boolang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan

Kelautan Tropis 9 (1), 19-26

Anggoro, S. (2000). Pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan berwawasan lingkungan.

Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 43.

Universitas Diponegoro. Semarang

BPP-PSPL Universitas Riau. (2009). Laporan akhir : Studi potensi pengembangan budidaya

perikanan di Lokasi Coremap II Kota Batam. Universitas Riau. Pekanbaru

Cabello, F.C. (2006). Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture: a growing problem

for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol (8): 1137-1144.

Cabello, F.C. (2003). Antibiotics and aquaculture. An analysis of their potential impact upon the

environment, human and animal health in Chile. Fundacion Terram. Analisis de Politicas

Publicas No. 17, pp. 1–16

Cameron, A. (2002). Survey Toolbox for Aquatic Animal Diseases. A Practical Manual and

Software Package. ACIAR Monograph, No. 94, 375p

Fisesa, E.D., Setyobudiandi, I., Krisanti, M. (2014). Kondisi perairan dan struktur komunitas

makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Jurnal

Depik, 3(1):1-9

Hill, B.J. (2005). The need for effective disease control in international aquaculture. Dev. Biol.

(Basel) (121): 3–12

Irianto, A. (2005). Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lio-Po, G.D and de la Pena L.D. 2004. Viral diseases. In: Nagasawa, K. and E. R. Cruz-

Lacierda (eds.). Diseases of cultured groupers. Southeast Asian Fisheries Development

Center. pp. 3-4

Muharam. (2011). Pengembangan model konservasi lahan dan sumberdaya air dalam rangka

pengentasan kemisikinan. Solusi Unsika (10): 9 – 17

Munday B.L. and Nakai T. (1997). Special topic review: Nodaviruses as pathogens in larval

and juvenile marine finfish, World J. Microbiol. Biot.,13, 375–381

Najamuddin. (2006). Perencanaan penelitian kelautan dan perikanan. Disampaikan pada

Lokakarya Agenda Penelitian, Proyek COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September

2006

Novriadi, R. (2013). Studi komparasi dan dampak hasil keputusan gugatan perdata pencemaan

lingkungan budidaya ikan laut di pulau Bintan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan

Perikanan, 8 (2): 41-45

Novriadi, R., Agustatik, S., Bahri, S., Sunantara, D., Wijayanti, E. (2014a). Distribusi

patogen dan kualitas lingkungan pada budidaya perikanan laut di Provinsi Kepulauan Riau.

Jurnal Depik 3(1), 83-90

Novriadi, R., Agustatik, S., Hendrianto., Pramuanggit, R., Wibowo, A.H. (2014b). Penyakit

infeksi pada budidaya ikan laut di Indonesia. 88 p

Post, G. (1987). Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp.

Ramelan, H.S. (1998). Pengembangan budidaya ikan laut di Indonesia dalam: Kumpulan makalah

seminar teknologi perikanan pantai. Denpasar 6-7 Agustus 1998. Balitbang Departemen

Pertanian dan JICA. p. 1-8

Page 17: Pemantauan usaha budidaya, penyakit dan kualitas lingkungan di pulau nguan

Ransangan, J. and Manin, B.O. (2012). Genome analysis of Betanodavirusfrom cultured

marine fish species in Malaysia, Vet. Microbiol.,(156), 16-44

Sachoemar, I.S. (2006). Analisis daya dukung lingkungan perairan marikultur batam estat

(BME) Batam. Jurnal Hidrosfir 1 (2): 52-60.

Schubert, G. (1987). Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125

pp.

Sirajuddin, M. 2009. Informasi awal tentang kualitas biofisik perairan teluk waworada untuk

budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii). Jurnal Akuakultur Indonesia. FPIK IPB 8 (1), 1-

10

Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the

third millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third

millennium (Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA

Taukhid. (2010). Dukungan monitoring dan pemetaan sebaran jasad patogen bagi upaya

pengendalian penyakit ikan. Makalah disampaikan pada Pembahasan Pedoman Monitoring,

Surveillance dan Zoning Penykait Ikan Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Bogor

28 – 30 April 2010

Wahyono, A., I.G.P. Antariksa, M., Imron., R. Indrawasih, dan Sudiyono. (2001).

Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Pressindo, Jogjakarta

World Bank. (2013). Fish to 20130: Prospects for fisheries and aquaculture. World bank report

number 83177-GLB. Washington DC, USA

.