1. MM Hipersensitivitas1.1 DefenisiHipersensitivitas adalah
peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya (Imunologi Dasar,
2014)Hipersensitivitas adalah respon imunyang berlebihan dan yang
tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
1.2 Klasifikasia. Menurut waktu timbulnya reaksi Reaksi
cepatReaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2
jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi
cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis berat. Reaksi
intermedietReaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan
menghilang dalam 24 jam. Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan
kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau
sel NK. Manifestasi reaksi intermediet berupa : Reaksi transfusi
darah (eritroblastosis, fetalis, dan anemia hemolitik autoimun).
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik (serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES). Reaksi
lambatReaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setalah terjadi pajanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi oleh sel Th. Pada DTH,
sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah
dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.
b. Menurut Gell dan Coombs Reaksi hipersensitivitas tipe I atau
reaksi cepat atau reaksi alergi. Reaksi hipersensitivitas tipe II
atau reaksi sitotoksik. Reaksi hipersensitivitas tipe III atau
reaksi kompleks imun. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi
lambat.
2. MM Hipersensivitas tipe 12.1 DefinisiReaksi hipersensitifitas
tipe 1 adalah suatu reaksi yang terjadi secara cepat atau reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi mengikuti kombinasi suatu antigen
dengan antibodi yang terlebih dahulu diikat pada permukaan sel
basofilia (sel mast) dan basofil.
2.2 Etiologi Pasien-pasien dengan alergi saluran nafas musiman
sebagai akibat inhalasi tepungsari, serpihan kulit hewan dan spora
jamur. Selain itu dapat juga dicetuskan makanan tertentu seperti
buah-buahan, udang, ikan, produk-produk susu, coklat,
kacang-kacangan dan obat-obatan. Bahan tersebut dapat mencetuskan
reaksi anafilaksis dengan keluhan yang menonjol pada sistem
kardiovaskular dan gastrointestinal, selain juga menyebabkan
urtikaria kronik. Pencetus urtikaria lainnya yang mungkin adalah
rangsangan fisik seperti dingin, panas, sinar matahari, latihan
fisik/olahraga dan iritasi mekanik. Demam, mandi air hangat, atau
olahragadimana terjadi peningkatan temperatur tubuh dapat
mencetuskan urtikaria koligemik. Pemicu lain hipersensitivitas
adalah cahaya, air pada temperatur berapapun dan bahan kimia
tertentu. Bahan-bahan karet alam seperti lateks, merupakan masalah
tersendiri bagi pekerja medis.
2.3 Mekanisme Pada tipe 1 terdapat beberapa fase, yaitu :a. Fase
sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sek
mast/basofil.b. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara
pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil
melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal
ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.c. Fase
efektor yaitu waktu yang terjadi respon yang kompleks
(anafilaksisi) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel
mast/basofil dengan aktivasi farmakologik.
Antigen menginduksi sel B untuk membentuk antibodi IgE dengan
bantuan sel Th yang mengikat erat dengan bagian Fc-nya pada sel
mast dan basofil. Beberapa minggu kemudian, apabila tubuh terpajan
ulang dengan antigen yang sama, maka antigen akan diikat oleh IgE
yang sudah ada pada permukaan sel mast dan basofil. Akibat ikatan
antigen-IgE, sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepas
mediator dalam waktu beberapa menit yang preformed antara lain
histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe
I.
2.4 Performed mediatorMediator primer utama pada
hipersensitivitas Tipe 1
MediatorEfek
HistaminPeningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi,
kontraksi otot polos, sekresi mukosa gaster
ECF-AKemotaksis eosinofil
NCF-AKemotaksis neutrofil
ProteaseSekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh
darah, pembentukan produk pemecah komplemen
PAFAgregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos
paru
Hidrolase asamDegradasi matriks ekstraseluler
Mediator sekunder utama pada Hipersensitivitas Tipe 1
MediatorEfek
SitokinAktivasi berbagai sel radang
BradikininPeningkatan permebilitas kapiler, vasodilatasi,
kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri
Prostaglandin D2Kontraksi otot polos paru, vasodilatasi,
agregasi trombosit
LeukotrienKontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas,
kemotaksis
2.5 Jenis-jenis reaksia. Reaksi lokalReaksi hipersensitifitas
tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan
disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang
terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis
atopi. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera
diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel
mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi
dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi
yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
b. Reaksi sistemik anafilaksisiAnafilaksisi adalah reaksi Tipe 1
yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja. Anafilaksis
adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1 atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel
mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai
mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan
(asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga
lateks, latihan jasmani dan bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya
tidak dapat diidentifikasi.c. Reaksi pseudoalergi atau
anafilaktoidReaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi
sistemik umum yang melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast
yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi merupakan
mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini
menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun.
Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu
dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk
menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan
antimikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS, etilenoksid,
taksol, penisilin, dan pelemas otot.2.6 Manifestasi Jenis
AlergiAlergen UmumGambaran
AnafilaksisObat, serum, kacang-kacanganEdema dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, okulasi trakea , koleps sirkulasi yang dapat
menyebabkan kematian
Urtikaris akutSengatan seranggaBentol, merah
Rinitis alergiPolen, tungau debu rumahEdema dan iritasi mukosa
nasal
AsmaPolen, tungau debu rumahKonstriksi bronkial, peningkatan
produksi mukus, inflamasi saluran nafas
MakananKerang, susu, telur, ikan, bahan asal gandumUrtikaria
yang gatal dan potensial menjadi anafilaksis
Ekzem atopiPolen, tungau debu runah, beberapa makananInflamasi
pada kulit yang terasa gatal, biasanya merah dan ada kalanya
vesikular
3. MM Hipersensivitas tipe 23.1 DefinisiReaksi hipersensitivitas
tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik. Terjadi
karena dibentuk antibody jenis IgG/IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian dari pejamu. Antibodi bereaksi dengan determinan
antigen pada permukaan sel yang menimbulkan kerusakan sel/ kematian
melalui lisi dengan bantuan komplemen/ADCC (Antibody Dependent Cell
(mediated) Cytotoxicity)
3.2 Etiologi Reaksi transfusia. Sejumlah besar protein dan
glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen.b. Individu
golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi
transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah
B yagn menimbulka kerusakan darah direk oleh hemolisis masif
intravaskular Reaksi dapat cepat/ lambat Reaksi cepat: Disebabkan
oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma
dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemaglobinuria.
Beberapa hemaglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi
bersifat toksik. Gejala khas:Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam
pembuluh darah, nyeri pinggang bawah, dan hemoglobinuria. Reaksi
lambat: Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan
darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah
yang lain. Terjadi 2-6 hari setelah transfusi. Darah yagn
ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen
membran golongan darah, tersering adalah golongan resus, Kidd,
Kell, dan DuffyPenyakit hemolitik pda bayi baru lahirDitimbulkan
oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan
golongan darah rhesus dn janin dengan rhesus (+).Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan
streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM
yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa Pada
beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat
obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan
dan anemia progresif
3.3 Mekanisme Pada hipersensitivitas tipe II ,antibodi yang
ditunjukkan kepada antigen permukaan sel ataubjaringan berinteraksi
dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor .untuk merusak sel
sasasaran .Setelah antibodi melekat pada permukaaan sel,antibodi
akan mengikata dan mengaktivasi komplemen C1 komplemen
Konsekuensinya adalah ; Fragmen Komplemen (C3a dan C5a) yang
dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan dan
PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan
basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktifasi sel
efektor lain. Aktifasi jalur klasik komplemen mengakibatkan
deposisi C3b,C3bi dan C3D pada membran sel sasaran Aktivasi jalur
klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan membran
attack complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.Sel
sel efektor ,yaitu makrofag , neutrofil, eosinofil.dan sel
NK,.Berikatan pada komplekx antibodi melalui reseptpr Fc atau
berikatan dengan komponen komplemen yang melekat pada permukaan sel
tersebut.Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang fagosit
untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan plostraglandin ,yang
merupakan molekul molekul yang berperan pada rewspon inflamasi .Sel
sel efektor yang telah terikat kuat pada membaran sel sasaran .Tipe
II Hipersensitifitas SitotoksikAntigen yang terikat pada permukaan
sel bereaksi dengan antibodi (misalnya reaksi hemaglutinasi dan
hemolisis) dan menyebabkan :1. Fagositosis sel itu melalui
prosesOpsonic Adherence(Fc) atauImmune adeherens(C3).1. Reaksi
sitotoksik ekstraseluler oleh sel K (Killler Cell) yang mempunyai
reseptor untuk IgFc.1. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem
komplemen.Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada atigen lewat daerah
Fab dan bekerja sebagai suatu jembatan ke komplemen lewat daerah
Fc. Akibatnya dapat terjadi lisis yang berperantara-komplemen,
seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi darah
atau penyakit Inkompabilitas hemolitik Rhesus, transplantasi
jaringan, reaksi auto-imun (Autoimmune reaction) dan reaksi
obat.3.4 Manifestasi
4. MM Hipersensivitas tipe 34.1 DefinisiReaksi hipersensitivitas
tipe III atau yang disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi
imun tubuh yang melibatkan kompleks imun yang kemudian mengaktifkan
komplemen sehingga terbentuklah respons inflamasi melalui
infiltrasi masif neutrofil.
4.2 EtiologiPenyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang
sering terjadi, terdiri dari : Infeksi persistenPada infeksi ini
terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah
organ yang diinfektif dan ginjal. AutoimunitasPada reaksi ini
terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah. EkstrinsikPada reaksi ini,
antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Selain itu, reaksi hipersensitivitas III bisa disebabkan oleh
adanya kompleks imun ukuran kecil yang susah untuk dimusnahkan dan
malah mengendap di dinding pembuluh darah. Kompleks antibodi
berikatan dengan komplemen dan memicu neutrophil untuk
berdegranulasi. Degranulasi neutrofil menyebabkan kerusakan
jaringan.
4.3 Mekanisme Dalam keadaan normal, kompleks imun yang terbentuk
akan diikat dan diangkut oleh eritrosit ke hati, limpa dan paru
untuk dimusnahkan oleh sel fagosit dan PMN. Kompleks imun yang
besar akan mudah untuk di musnahkan oleh makrofag hati. Namun, yang
menjadi masalah pada reaksi hipersensitivitas tipe III adalah
kompleks imun kecil yang tidak bisa atau sulit dimusnahkan yang
kemudian mengendap di pembuluh darah atau jaringan. 1. Kompleks
Imun Mengendap di Dinding Pembuluh DarahMakrofag yang diaktifkan
kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag
dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat
merusak jaringan. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan: Agregasi
trombosit Aktivasi makrofag Perubahan permeabilitas vaskuler
Aktivasi sel mast Produksi dan pelepasan mediator inflamasi
Pelepasan bahan kemotaksis Influks neutrofil
4.4 Manifestasi Reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh
hipersensitivitas tipe III memiliki dua bentuk reaksi, yaitu lokal
dan sistemik.a. Reaksi Lokal atau Fenomena ArthusPada mulanya,
Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di tempat
yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem
pada kelinci. Lalu setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat
perdarahan dan nekrosis di tempat suntikan. Hal tersebut adalah
fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah presipitin. Reaksi Arthus dalam
kilinis dapat berupa vaskulitis dengan nekrosis.
Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut:1. Neutrofil
menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah
(eritema) sampai nekrosis.
1. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah
edema. C3a dan C5a juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga
menarik neutrofil dan trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan
trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi total
aliran darah.
1. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas
bahan-bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif
bersama trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang
disertai nekrosis jaringan setempat.
b. Reaksi Sistemik atau Serum SicknessAntibodi yang berperan
dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme sebagai
berikut:1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan
anafilatoksin (C3a dan C5a) yang memacu sel mast dan basofil
melepas histamin. 1. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah
dengan tekanan darah yang tinggi dengan putaran arus (contoh:
kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, plexus koroid, dan
korpus silier mata)1. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit
yang membentuk mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif.
Bahan-bahan vasoaktiv tersebut mengakibatkan vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan inflamasi.1. Neutrofil
deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi
akan tetap melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan
lebih banyak kerusakan jaringan. 1. Makrofag yang dikerahkan ke
tempat tersebut juga meleaskan mediator-mediator antara lain
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan
Dari mekanisme diatas, beberapa hari minggu setelah pemberian
serum asing akan mulai terlihat manifestasi panas, gatal,
bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh
sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi
tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.5 MM Hipersensivitas
tipe 45.1 DefinisiMerupakan hipersensitivitas tipe lambat yang
dikontrol sebagian besar oleh reaktivitas sel T terhadap antigen.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi menjadi : Delayed
Type Hypersensitivity Tipe IVMerupakan hipersensitivitas
granulomatosis, terjadi pada bahan yang tidak dapat disingkirkan
dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan
kolagen sapi dari bawah kulit. T Cell Mediated CytolysisKerusakan
jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel
sasaran.
5.2 EtiologiReaksi ini terjadi karena sel T melepas sitokin
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya yang
menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit
hipersensitivitas lambat.
5.3 Mekanisme Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV :a. Fase
sensitasiMembutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan
antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel
Langerhans/SD pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan
membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke
sel T sehingga terjadi proliferasi sel Th1 (umumnya).
b. Fase efektorPajanan ulang dapat menginduksi sel efektor
sehingga mengaktifkan sel Th1 dan melepas sitokin yang menyebabkan
: Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag
dan sel inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah
kontak kedua. Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular,
bermigrasi ke jaringan sekitar. Mengaktifkan makrofag yang berperan
sebagai APC, sel efektor, dan menginduksi sel Th1 untuk reaksi
inflamasi dan menekan sel Th2.Mekanisme kedua reaksi adalah sama,
perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi. Pada Delayed
Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T
Cell Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.Contoh
mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV :Reaksi pada infeksi
parasit dan bakteri intrasela. DTH mengaktifkan influks makrofag
pada infeksi yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi.b. Makrofag
melepaskan enzim litik yang menyebabkan kerusakan jaringan.c. Bila
enzim litik terus diproduksi dapat mengakibatkan reaksi
granulomatosis yang akan menyebabkan nekrosis pada jaringan yang
dapat mengenai jaringan pembuluh darah.
Respon pada infeksi M. tuberkulosisa. Bakteri mengaktifkan
respon DTH yang selanjutnya mengaktifkan makrofag yang merangsang
isolasi kuman dalam lesi granuloma (tuberkulin)b. Tuberkulin akan
melepaskan enzim litik yang akan merusak jaringan paru-paru dan
menimbulkan nekrosis jaringan.
Granuloma terbentuk pada :a. TBb. Leprac. Skistosomiasisd.
Lesmaniasise. Sarkoidasis
5.4 Manifestasi Dematitis kontakMerupakan penyakit CD8+ yang
terjadi akibat kontak dengan bahan yang tidak berbahaya seperti
formaldehid, nikel, bahan aktif pada cat rambut (contoh reaksi
DTH).
Hipersensitivitas tuberkulinBentuk alergi spesifik terhadap
produk filtrat (ekstrak/PPD) biakan Mycobacterium tuberculosis yang
apabila disuntikan ke kulit (intrakutan), akan menimbulkan reaksi
ini berupa kemerahan dan indurasi pada tempat suntikan dalam 12-24
jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. tuberkulosis, kulit
akan membengkak pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi ini
diperantarai oleh sel CD4+. Reaksi Jones MoteReaksi terhadap
antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil yang
mencolok pada kulit di bawah dermis, reaksi ini juga disebut
sebagai hipersensitivitas basofil kutan. Reaksi ini lemah dan
nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah
kecil, tidak terjadi nekrosis jaringan. Reaksi ini disebabkan oleh
suntikan antigen larut (ovalbumin) dengan ajuvan Freund.
Penyakit CD8+Kerusakan jaringan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc
yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit ini terbatas pada
beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik, contoh pada
infeksi virus hepatitis.
6 MM Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin 6.1 Definisi
Ada banyak golongan obat yang termaksud dalam antihistamin, yaitu
antergan, neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif
untuk mengobati edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini
ditemukan adalah burinamid, metiamid, dan simetidin untuk
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Ada 2 jenis
antihistain, yaitu : Antagonis reseptor H1 (AH1) dan Antagonis
reseptor H2 (AH2).
6.2 Farmakodinamik Antagonis reseptor H1 (AH1)AH1 menghambat
efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam otot polos,
selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas
atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen
berlebihan.
Antagonis reseptor H2 (AH2)4. Simetadin dan ranitidineSimetadin
dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan
ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung.
4. FamotidineFamotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat
sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat
distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten
daripada ramitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
4. Nizatidin Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam
lambung.
6.3 Farmakokinetik Antagonis reseptor H1 (AH1)Efek yang
ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral
dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar
tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal,
otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama
biotransformasi AH1 ialah hati. AH1 disekresi melalui urin setelah
24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
Antagonis reseptor H2 (AH2)0. Simetadin dan ranitidineAbsorpsi
simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan
bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang
efek pada periode pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas
pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral.
Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal,
sisanya melalui fases.
0. FamotidineFamotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira
dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi
3-8 jam. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien
gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melibihi20 jam.
0. NizatidinKadar puncak dalam serum setelah pemberian oral
dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama
kerja sampai dengn 10 jam, disekresi melalui ginjal.
6.4 Indikasi Antagonis reseptor H1 (AH1)AH1 berguna untuk
pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan.
Antagonis reseptor H2 (AH2)0. Simetadin dan ranitidineEfektif
untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan
mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan
refluks lambung-esofagus.
0. FamotidineEfektifitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak
lambung, refluks esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom
Zollinger-Ellison.
0. NizatidinEfektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau
dua kali sehari selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis,
sindrom Zollinger-Ellion
6.5 Efek samping Antagonis reseptor H1 (AH1)Efek samping yang
paling sering adalah sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan
AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi,
penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor,
nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium,
konstipasi atau diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi,
sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada tangan. Antagonis reseptor
H2 (AH2)a. Simetadin dan ranitidineEfek sampingnya rendah, yaitu
penghambatan terhadap resptor H2, seperti nyeri kepala, pusing,
malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
b. FamotidineEfek samping ringan dan jarang terjadi, seperti
sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan
efek antiandrogenik.
c. NizatidinEfek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan
tidak memiliki efek antiandrogenik.
Kortikosteroid 6.1 Definisi Kortikosteroid adalah suatu kelompok
hormon steroid yang dihasilkan di kulit kelenjar adrenal. Hormon
ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya
tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan
pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein,
kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid bekerja
dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
6.2 Farmakodinamik Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi
sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan organ
lain. Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua
golongan besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek
utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek
anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada
penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Sediaan kortikosteroid
dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa kerjanya.
Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12
jam. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara
12-36 jam. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih
dari 36 jam.
6.3 FarmakokinetikPerubahan struktur kimia sangat mempengaruhi
kecepatan absorpsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan
protein.Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus
konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada
daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistematik, antara
lain supresi korteks adrenal.
6.4 Indikasi Prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat ini
digunakan : Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif
harus ditetapkan dengan trial dan error dan harus di evaluasi dari
waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu dosis
tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. Penggunaan
kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga
dosis melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek
letal potensial akan bertambah. Kecuali untuk insufisiensi adrenal,
penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun
kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek
anti-inflamasinya. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi
jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi
adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
6.5 KontraindikasiSebenarnya sampai sekarang tidak ada
kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal
besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin
dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama
pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.Bila obat akan diberikan
untuk beberapa hari atu beberapa minggu, kontraindikasi relatif
yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.6.6 Efek
samping1. Saluran cerna
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis
ulseratif.
2. Otot
Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu
3. Susunan saraf pusat
Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,kecendrungan bunuh
diri), nafsu makan bertambah
4. Tulang
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
5. Kulit
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosisakneiformis,
purpura, telangiektasis
6. Mata
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7. Darah
Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8. Pembuluh darah
Kenaikan tekanan darah
9. Kelenjaradrenal bagiankortek
Atrofi, tidak bisa melawan stres
10. MetabolismeProtein dan Karbohidrat
Kehilangan protein (efek katabolik),
hiperlipidemia,gulameninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan
hati.
11. Elektrolit
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani,
aritmia kor)
12. Sistemimmunitas
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes
simplek, keganasan dapat timbul.
6.7 Jenis Short Acting
1. CortisoneCortisone adalah jenis steroid yang diproduksi
secara alami oleh kelenjar dalam tubuh yang disebut kelenjar
adrenal. Cortisone berfungsi untuk meredakan inflamasi. Efek
samping yang biasa ditimbulkan adalah rasa nyeri.
2. HydrocortisoneHydrocortisone adalah kostikosteroid topical
yang mempunyai efek anti-inflamasi, anti alergi dan antipruritus
pada penyakit kulit. Indikasi pemberian obat ini adalah untuk
penderita dermatitis atopi, dermatitis alergik, dermatitis kontak,
pruritus anogenital dan neurodermatitis. Hydrocortisone tidak boleh
diberikan kepada penderita yang hipersensitif, herpes simplex,
varicella dan infeksi jamur. Efek samping yang mungkin ditimbulkan
dari obat ini adalah rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit
dan infeksi sekunder
Intermediate Acting
1. Prednisolone Prednisolone diberikan untuk pasien penekanan
jangka pendek peradangan pada gangguan alergi dan pengobatan jangka
pendek peradangan pada mata. Efek samping yang ditimbulkan adalah
mual, dyspepsia, malaise, cegukan, reaksi hipersensitifitas
termasuk anafilaksis, dll.
2. TriamcinoloneTriamcinolone mempunyai efek antiinflamasi dan
pembentukan glikogen yang lebih besar, dan berkurangnya efek
samping retensi garam. Efek samping yang dapat timbul adalah
fraktur spontan, ulkus peptik/tukak lambung, perubahancushingoid,
purpura, flushing, sering berkeringat, jerawat, striae, hirsutisme,
vertigo, sakit kepala, tromboembolisme, nekrosis aseptik,
pangkreatitis akut, kelemahan otot, esofagitis ulseratif,
peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, katarak
subkapsular.
3. MethylprednisoloneMethylprednisolone adalah suatu obat
glukokortikoid alamiah (memiliki sifat menahan garam (salt
retaining properties)), digunakan sebagai terapi pengganti pada
defisiensi adrenokortikal. Methylprednisolone dikontraindikasikan
pada infeksi jamur sistemik dan pasien yang hipersentitif terhadap
komponen obat.
4. FludrocortisoneFludrocortisone merupakan mineralokortikoid
yang paling banyak digunakan. Mempunyai aktivitas retensi garam
yang kuat dan efek anti-inflamasi yang berarti walaupun digunakan
dalam dosis yang sedikit.
Long Acting
1. DexamethasoneObat ini digunakan sebagai glucocorticoid
khususnya untuk Anti inflamasi, Pengobatan rematik arthritis, dan
penyakit kolagen lainnya, Alergi dermatitis, Penyakit kulit, dll.
Pengobatan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan efek katabolik
steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis, dan penghambatan
pertumbuhan anak. Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium
jarang terjadi bila dibandingkan dengan glucocorticoid lainnya.
Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi.
2. BetamethasoneBetamethasone digunakan untuk meringankan
inflamasi dari dermatosis yan responsive terhadap kortikosteroid.
Penggunaan kostikosteroid topical dapat menyebabkan efek samping
local seperti kulit kering, gatal-gatal, rasa terbakar, iritasi,
hipopigmentasi, dermatitis alergi, dll.
7. MM batasan alergi obat dalam hukum islam Dari Ibnu Abbas,
Nabi bersabda, Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api. (HR
Bukhari dan Muslim)Dari firman Allah disini dapat dipahami:
bahwasanya agama islam di bagun untuk kemaslahatan artinya : semua
syariat dalam perintah dan larangannya serta hukum-hukumnya adalah
untukmashoolihi(manfaat-manfaat)dan makna masholihi adalah : jamak
dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.Misal :Allah melarang
minuman keras dan judi karena mudharat (bahayanya) lebih besar dari
pada manfaatnya, sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :2198.
2:219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya.
Dorland W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2014. Imunologi Dasar.
Ed. 11. FKUI:Jakarta. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi,
Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V, Jakarta :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI Jawetz, Melnick and
Adelbergs, 2014.Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology).
Jakarta: Salemba Medika